Secara
umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang
dilakukan lebih dari satu orang. Kata penertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu
seseorang lain melakukan tindak pidana.
Menurut
Chazawi (2002:71) mengartikan penyertaan sebagai berikut :
Pengertian
yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang
baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Dasar
hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Ketentuan
pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya berbunyi :
(1) Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari
suatu tindak pidana, yaitu:
1.
Mereka
yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan.
2.
Mereka
yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
(2) Mengenai mereka yang disebutkan
terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah
tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan
oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan
ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut rumusannya berbunyi:
1. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
2. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Pengertian
Dader atau Pelaku
Perkataan dader berasal dari bahasa pokok
perkataan yaitu daad, yang dalam
bahasa Belanda juga mempunyai arti yang sama dengan perkataan hetdoen atau hendeling, yang dalam bahasa Indonesia juga mempunyai arti sebagai
hal melakukan atau sebagai tindakan.
Orang yang melakukan
suatu daad itu disebut seorang dader dan orang yang melakukan suatu
tindakan itu daam bahasa Indonesia disebut sebagai seorang pelaku.
Menurut ilmu
pengetahuan hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku
itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa sering pembuat itu telah
membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang sering dikatakan orang adalah
bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut penjelasan
mengenai pembentukan Pasal 55 KUHP yang harus dipandang sebagai daders itu bukan saja mereka yang telah
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana melainkan juga mereka
yang telah menyuruh melakukan dan mereka telah turut melakukan suatu tindak
pidana.
Van Hammel
(Lamintang,1997:593) telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan
membuat suatu definisi yang mengatakan antara lain, bahwa :
Dader (auteur, Thater) vaneen delikt
is… hij-en aleen hij-in wien en in wiens doen en laten met de gevolgen daarvan,
alle in-en uitwendige bestan-delen aan wezig zijn diein de wettelijke
begrips-omse rijving van het delikt … worden genoend hij dus die alleen en zelt
het teit pleegt of begat.
Berdasarkan definisi
di atas yang dimaksud dengan pelaku adalah pelaku suatu tindak pidana itu
hanyalah dia yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik
seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah
dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku
itu adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana
yang bersangkutan.
Simons (Lamintang,
1997:594) telah merumuskan pengertian dader sebagai berikut :
Pelaku
suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang
bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu
ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan
suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan
tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh
undang-undang atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua
unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undang-undang, baik
itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif tanpa memandang
apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya
sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.
Berdasarkan rumusan
pengertian dader di atas, baik yang
dibuat oleh Van Hammel maupun oleh Simons, ternyata mempunyai suatu tindak
pidana yaitu dengan melihat bagaimana caranya tindak pidana tersebut telah
dirumuskan dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang.
Menurut Pompe (Lamintang,1997:295) : “Daders moaten wezen alle in art 47
genoemdeni … het wordt beveshyd door dememorie van toelichting, wearalle in art
47 genoemde personen uitdrukkelijk daders worden genoemd”.
Berdasarkan definisi
di atas yang dimaksud dengan dader
adalah semua orang yang disebutkan dalam Pasal 55 KUHP yang telah dikuatkan
oleh penjelasan yang mengatakan bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam
Pasal 55 KUHP itu adalah pelaku.
Menurut Langemeijer
(Lamintang,1997:295 dan 296) :
Apabila
orang mendengar perkataan pelaku, maka menurut pengertiannya yang umum di dalam
tata bahasa, teringatlah orang mula-mula pada orang yang secara sendirian telah
memenuhi seluruh rumusan delik adalah sudah jelas bahwa undang-undang tidak
pernah mempunyai maksud untuk memandang mereka yang telah menyuruh melakukan
atau mereka yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana itu sebagai pelaku dalam pengertian seperti yang dimaksud yang di atas
sebab apabila mereka itu harus juga dipandang sebagai seorang pelaku, maka
mereka itu harus pula melaksanakan sendiri tindakan pelaksanaannya.
2.3.2 Bentuk-bentuk Penyertaan
1. Menyuruh Melakukan (doen plegen)
Di dalam suatu doen plegen itu, terdapat seseorang yang
menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana yang biasa disebut sebagai manus domina (tangan yang menguasai),
dan seseorang lainnya yang disuruh melakukan tindak pidana yang disebut sebagai
manus ministra (tangan yang dikuasai).
Di dalam ilmu hukum
pengetahuan pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak
pidana itu biasanya disebut sebagai seorang middelik
dader atau seorang mittel baretater
yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut sebagai seorang pelaku
tidak langsung karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak
pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Sedangkan orang lain yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu, biasanya disebut sebagai seorang materieele dader atau seorang pelaku
material.
Menurut KUHP yang
dikemukakan oleh Chazawi (2002:85) yang disebut sebagai menyuruh melakukan
adalah :
Dia
yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan
perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu
berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan
yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk paa kekerasan.
Berdasarkan keterangan
di atas, dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
1) Melakukan
tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya
2) Orang
lain itu berbuat
a) Tanpa
kesengajaan
b) Tanpa
kealpaan
c) Tanpa
tanggung jawab oleh sebab keadaan :
(1)Yang
tidak diketahuinya
(2)Karena
disesatkan
(3)Karena
tunduk pada kekerasan
Penentuan bentuk
pembuat penyuruh lebih diutamakan pada ukuran objektif, yaitu tindak pidana itu
dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang mana
dia bertanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal
yang ternyata subjektif, yaitu dalam hal tidak dipidananya pembuat materilnya
(orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan dan dalam hal
tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai
alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan
alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.
1) Orang
lain sebagai alat di dalam tangannya
Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat disimpulkan tentang pembuat penyuruh, dialah orang
yang menguasai orang lain sebab orang lain itu adalah sebagai alat. Orang
inilah yang sesungguhnya mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat
penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif, perbuatan pelaku penyuruh
tidak melahirkan tindak pidana.
Mengenai apa yang
dimaksud dengan melakukan tindak pidana tidak secara pribadi tetapi dengan
menggunakan orang lain sebagai alat dalam tangannya, mengandung konsekuensi
logis, yaitu :
a) Terwujudnya
tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh perbuatan pembuat penyuruh tetapi
oleh perbuatan orang lain (manus
ministra).
b) Orang
lain tidak bertanggung jawab atas perbuatannya yang pada kenyataannya telah
melahirkan tindak pidana.
c) Manus ministra ini
tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuat penyuruh.
2) Tanpa
kesengajaan atau tanpa kealpaan
Perbuatan manus ministra pada kenyataannya telah
mewujudkan tindak pidana namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena
kesengajaan maupun kealpaan. Contoh, karena alasan tanpa kesengajaan, seorang
pemilik uang palsu (manus domina) menyuruh
pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan sepuluh lembar uang yang
diketahuinya palsu. Dalam kejahatan ini, terkandung unsur kesengajaan. Dalam
hal ini pembantu itu tidak mengetahui tentang palsunya uang yang
dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada
unsur kesalahan.
Contoh alasan tanpa
kealpaan, seorang ibu membenci seorang pemulung karena seringnya mencuri
benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumahnya. Pada suatu hari ia mengetahui
pemulung yang dibenci itu sedang menarik benda-benda bekas di bawah jendela
rumahnya. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya
untuk menumpahkan air panas dari jendela dan mengenai pemulung tersebut. Pada
diri pembantu tidak ada kelalaian apabila telah diketahuinya selama ini bahwa
tidaklah mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada di bawah jendela dan
perbuatan seperti itu telah sering pula dilakukannya.
3) Karena
tersesatkan
Apa yang dimaksud
dengan tersesatkan di sini ialah kekeliruan atau kesalahpahaman akan sesuatu
unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in casu manus domina) dengan cara-cara
yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas kesalahpahaman itu memutuskan
kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul kesalahpahaman
itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri. Sehingga apa yang
diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada
orang yang sengaja menyebabkan keadaan tersesatkan itu. Contohnya, ada seorang
berkehendak untuk mencuri sebuah tas milik seorang penumpang bus. Sejak semula
di terminal, sebelum orang itu naik, bus sedang berhenti pada suatu terminal.
Orang jahat tadi itu menyuruh seorang kuli angkut untuk menurunkan tas itu dan
membawanya ke sebuah taksi. Pada peristiwa ini, kuli telah melakukan perbuatan
mengambil barang milik orang lain oleh sebab tersesatkan. Di sini telah terjadi
pencurian tas tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, melainkan
pada orang jahat tersebut sebagai pembuat penyuruh.
4) Karena
kekerasan
Kekerasan (geweld) adalah perbuatan dengan
menggunakan kekuatan fisik yang besar yang ditujukan pada orang yang mengakibatkan
orang itu (fisiknya) tidak berdaya. Dalam hal ini bentuk pembuat penyuruh,
kekerasan itu datangnya dari pembuat penyuruh sendiri yang ditujukan pada fisik
orang lain (manus ministra) sehingga
yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada
pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh. Contoh, dua
orang hendak merampok, perampok marah karena tuan rumah tidak memberitahu nomor
kode pembuka brankas. Perampok itu secara bersama-sama melemparkan tuan rumah
itu dari jendela rumah yang bertingkat dan korban menimpa anak kecil yang
sedang bermain di bawah dan meninggal. Atas meninggalnya anak ini, tidak dapat
dipertanggungjawabkan pada tuan rumah tetapi pada dua orang yang
melemparkannya. Dalam peristiwa ini, tuan rumah adalah murni manus ministra, semata-mata alat dalam
kekuasaan dua orang yang hendak merampok tadi dan mereka adalah pembuat
penyuruh.
Berdasarkan apa yang
telah diuraikan mengenai tidak dapat dipidananya pembuat materiil dalam bentuk
orang yang menyuruh melakukan menurut keterangan yang termuat dalam KUHP, maka
dari sudut perbuatan, manus ministra
dapat dibedakan atas :
1) Manus ministra
yang berbuat positif
Pada sebab tidak dipidananya manus minustra atas dasar tanpa
kesalahan (baik kesengajaan maupun kealpaan), tersesatkan, sesuatu sebab dari
sikap batinnya sendiri (subjekti). Di sini tindak pidana dapat terwujud adalah
atas perbuatannya sepenuhnya.
2) Manus ministra
yang tidak berbuat apapun
Pada sebab tidak dipidananya manus ministra, pembuat materiilnya atas
dasar kekerasan, sesuatu yang dapat menyebabkan ketidakberdayaan fisik
absolute. Di sini manus ministra
sebagai alat, laksana tongkat untuk memukul orang.
VOS (Chazawi,2002:91)
menyatakan bahwa tidak dipidananya pembuat materiil dalam bentuk menyuruh
melakukan disebabkan karena :
1)
Orang yang disuruh melakukan (manus ministra) adalah tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya oleh
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya karena
penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 44 KUHP.
2)
Pembuat materiilnya itu terpaksa melakukan
perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana karena adanya pengaruh daya
paksa (over macht) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 48 KUHP.
3)
Manus
ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana
oleh sebab menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
4)
Pada diri pembuat materiil tidak terdapat
kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.
5)
Manus
ministra dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu
unsur dari tindak pidana yang dirumuskan undang-undang.
Utrecht
(Chazawi,2002:93) berbeda cara dalam melihat sebab mengapa pembuat penyuruh
tidak dapat dipidana, yaitu :
“Manus ministra itu sebenarnya tidaklah
melakukan tindak pidana, atau perbuatan apa yang diperbuatnya tidaklah dapat
dikualifisir sebagai tindak pidana. Manus
ministra dalam berbuat yang pada kenyataannya tindak pidana, oleh sebab
beberapa alasan yang menghapus kesalahan pada diri pembuat materiilnya.”
Berdasarkan rumusan
di atas, dapat diberikan contoh yaitu seorang pembantu rumah tangga yang
diperintah oleh majikannya untuk memberikan minuman kepada seorang tamunya,
dimana majikan tersebut bermaksud membunuh si tamu. Majikan tahu betul bahwa
minuman itu akan segera mematikan tamu yan dituju. Pembantu yang tidak
mengetahui maksud majikannya yang sebenarnya dan tidak tahu pula bahwa minuman itu
dapat mematikan si tamu dan karena tunduk pada perintah majikannya, dia
memberikan minuman itu, dan matilah si tamu. Dari contoh tersebut, apa yang
dilakukan oleh pembantu rumah tangga tidak dapat dikualifisir sebagai
pembunuhan. Unsur kesengajaan yang ditujukan pada akibat kematian si tamu tidak
ada, padahal unsur ini adalah unsur yang tidak dapat dihilangkan dari kejahatan
pembunuhan.
Alasan penghapus
kesalahan yang dimaksud ialah alasan peniadaan pidana yang berasal dari batin
si pembuat. Perbuatan si pembuat pada kenyatannya atau wujudnya adalah tindak
pidana, tetapi tidak terdapat unsur kesalahan pada diri si pembuat.
2. Turut Melakukan (mede plegen)
Menurut KUHP
(Chazawi,2002:96) yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah setiap
orang yang sengaja berbuat (meedoet)
dalam melakukan suatu tindak pidana.
Pada mulanya yang
disebut dengan turut berbuat itu ialah bahwa masing-masing peserta telah
melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang
bersangkutan. Seperti, dua orang A dan B mencuri sebuah televisi di sebuah
rumah, di mana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak
terkunci dan sama-sama pula mengangkat televisi tersebut ke dalam mobil yang
berada di pinggir jalan. Pada contoh ini, perbuatan A dan B sama-sama
mengangkat televisi jelas perbuatan mereka telah sama-sama memenuhi rumusan
tindak pidana.
Menurut
Van Hamel (Lamintang,1997:617) mengatakan bahwa :
“Suatu
medeplegen itu hanya dapat dianggap
sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak
pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna.”
Hoge Raad dalam
arrestnya (Chazawi,2002:99) telah meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk
pembuat peserta, yaitu : “yang pertama antara para peserta ada kerja sama yang
diinsyafi dan yang kedua yaitu para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak
pidana yang dimaksudkan”.
Sehubungan dengan dua
syarat yang diberikan oleh Roge Raad di atas, maka arah kesengajaan bagi
pembuat peserta ditujukan pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1) Kesengajaan
yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk mewujudkan tindak pidana.
2) Kesengajaan
yang ditujukan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak
pidana. Di sini kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan
pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak pidana.
Kerjasama yang diinsyafi
adalah suatu bentuk kesepakatan atau suatu kesamaan kehendak antara beberapa
orang (pembuat peserta dan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan suatu tindak
pidana secara bersama. Di dalam keinsyafan kerjasama ini terdapat kehendak yang
sama kuat yang ditujukan pada penyelesaian tindak pidana. Pembuat peserta
mempunyai kepentingan yang sama dengan pembuat pelaksana untuk terwujudnya
tindak pidana. Kerjasama yang diinsyafi tidak perlu berupa permufakatan yang
rapi dan formal yang dibentuk sebelum pelaksanaan, tetapi cukup adanya saling
pengertian yang sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan yang
satunya terhadap perbuatan yang lainnya ketika berlangsungnya pelaksanaan.
Mengenai mereka
bersama-sama telah melaksanakan tindak pidana terkandung makna bahwa wujud
perbuatan masing-masing antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksana tidak
perlu sama, yang penting wujud perbuatan pembuat peserta itu sedikit atau
banyak terkait dan mempunyai hubungan dengan perbuatan yang dilakukan pembuat
pelaksana dalam mewujudkan tindak pidana.
3. Membujuk atau Menggerakkan Orang Lain (uitlokker)
Van Hammel telah
merumuskan uitlokking itu sebagai
suatu bentuk deelneming atau
keturutsertaan (Lamintang, 1997:634) berupa :
Kesengajaan
menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri
untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah
ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian
telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
Rumusan Pasal 55 ayat
(2) ke-2 menyebutkan secara lengkap tentang bentuk orang yang sengaja
menganjurkan sebagai berikut :
“Mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.”
Berdasarkan rumusan tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima syarat bagi seorang pembuat
penganjur, yaitu :
a. Tentang
kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan pada empat hal, antara
lain:
1) Ditujukan
pada digunakannya upaya-upaya penganjuran
Penempatan unsur
kesengajaan dalam rumusan bentuk pembuat penganjur ditujukan pada perbuatan
menganjurkan dan pada apa yang dianjurkan yakni melakukan perbuatan. Hal ini
berdasarkan keterangan di dalam KUHP (Chazawi,2002:110) yang menyatakan bahwa :
Apabila
unsur kesengajaan dicantumkan dalam rumusan suatu tindak pidana, maka harus
diartikan bahwa kesengajaan itu dianjurkan pada semua unsur yang diletakkan di
belakang unsur kesengajaan itu.
Berdasarkan kenyataan
tidak mungkin terhadap cara-cara misalnya menggunakan kekerasan atau dengan
memberikan sesuatu dilakukan tidak dengan sengaja. Kesengajaan ini telah dengan
sendirinya ada dan melekat pada unsur-unsur upaya tersebut, mengingat cara
merumuskan upaya itu dengan perkataan aktif, sehingga dengan terbukti adanya
upaya, maka kesengajaan di dalamnya dianggap telah terbukti pula.
2) Ditujukan
pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
Kesengajaan ini, di
samping ditujukan pada perbuatan menganjurkan, juga ditujukan pada akibat dari
perbuatan itu, yaitu orang lain tergerak hatinya untuk melakukan apa yang
dianjurkan.
3) Ditujukan
pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan)
Kesengajaan ini
ditujukan pada perbuatan (feit),
maksudnya adalah kesengajaan itu harus ditujukan agar orang lain melakukan
tindak pidana. Misalnya, A dengan menjanjikan upah lima puluh juta rupiah
kepada B untuk menggelapkan suatu barang. Perbuatan yang dimaksud tidak lain
adalah tindak pidana penggelapan. Kesengajaan ini tidak wajib ditujukan pada
orang satu-satunya yaitu B untuk melakukan penggelapan. Karena bisa juga pada
akhirnya nanti bukan B yang melaksanakan penggelapan itu, tetapi orang lain
lagi yaitu C.
4) Ditujukan
pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana
5) Kesengajaan
ini penting untuk membedakan antara penganjuran dengan menyuruh melakukan.
Sebab kesengajaan pada bentuk menyuruh melakukan ditujukan pada orang lain yang
tidak mampu bertanggung jawab untuk melakukan tindak pidana. Misalnya menyuruh
orang gila untuk membunuh. Kegilaan orang itu harus disadari oleh pembuat
penyuruh.
b. Dalam
menganjurkan harus menggunakan upaya-upaya penganjuran yang ditentukan dalam
undang-undang
Cara penganjuran ini
telah ditentukan secara limitative dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2. Hal ini
juga salah satu yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat
penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara asalkan pembuat
materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
1) Dengan
memberikan sesuatu
Dimaksudkan dengan
sesuatu dari apa yang diberikan pada orang yang dianjurkan (pembuat pelaksana)
adalah sesuatu yang berharga bagi orang yang dianjurkan oleh karena sesuatu itu
adalah sesuatu yang berharga bagi orang yang dianjurkan atau pembuat
materiilnya, maka sesuatu itu harus berupa benda tertentu. Misalnya uang atau
mobil tetapi bisa juga sesuatu yang bukan benda, misalnya suatu jasa atau
pekerjaan atau kemudahan-kemudahan atau fasilitas tertentu. Contoh, A
menganjurkan pada B untuk menganiaya C dengan memberikan fasilitas berlibur
selama 7 hari.
2) Dengan
menjanjikan sesuatu
Janji adalah upaya
yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain (orang yang menganjurkan)
bahwa sesuatu yang dijanjikan itu benar-benar dapat memberikan manfaat,
kenikmatan, keuntungan dan sebagainya atau segala sesuatu yang bersifat
menyenangkan bagi orang itu. Timbulnya kepercayaan akan memperoleh sesuatu yang
menyenangkan adalah syarat penting dari upaya menjanjikan. Sebab tanpa
timbulnya kepercayaan maka janji tersebut tidak mungkin dapat membentuk
kehendak orang lain.
Menurut VOS
(Chazawi,2002:115) mengatakan bahwa “janji juga dapat diberikan secara
diam-diam”. Pendapat ini dapat diterima sepanjang janji diam-diam seperti itu
telah cukup menimbulkan kepercayaan bagi orang lain yang menerimanya bahwa
benar-benar akan dipenuhi atau dilaksanakan.
3) Dengan
menyalahgunakan kekuasaan
Menyalahgunakan
kekuasaan adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan
ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan baik dalam
lapangan hukum publik maupun dalam lapangan hukum privat.
Dalam lapangan hukum
publik, seorang pejabat atau
pegawai negeri yang karena sesuatu jabatan yang dipangkunya, dia memiliki suatu
kekuasaan tertentu dalam menjalankan tugas dan kewajiban jabatannya, yang
berhubungan dengan orang lain yang disebut dengan bawahan yang ada di bawah
pengaruh kekuasaan atau perintahnya dan terhadap bawahan inilah kekuasaan yang
dimilikinya dapat disalahgunakan. Contoh, hubungan antara hakim dan panitera.
Hakim mempunyai hubungan kekuasaan terhadap panitera mengenai perkara yang
sedang ditangani lalu dengan kekuasaan itu dia menganjurkan untuk mencatat
keterangan seorang saksi secara palsu di dalam berita acara sidang yang
dibuatnya.
Dalam lapangan hukum privat, seorang pimpinan
perusahaan atau pimpinan unit suatu perusahaan atau seorang majikan dalam hal
menjalankan tugas dan kewajiban jabatan yang dipangkunya, dia mempunyai
kekuasaan terhadap orang-orang atau pekerja yang ada di bawah perintah atau
pengaruhnya. Kekuasaan yang dimilikinya ini dapat disalahgunakan terhadap
bawahannya itu.
4) Dengan
menyalahgunakan martabat
Dalam masyarakat kita
ada sesuatu kewibawaan yang dapat melekat pada orang-orang tertentu yang
mempunyai kedudukan terhormat yang dalam bahasa sosial disebut dengan tokoh
masyarakat seperti pemuka agama, tokoh politik, pejabat publik tertentu.
Misalnya, seorang dukun dapat ditokohkan dan mempunyai pengaruh di
masyarakatnya. Semua kedudukan seperti itu mengandung kewibawaan yang mempunyai
pengaruh pada masyarakat atau orang-orang tertentu. Pengaruh mana yang dapat
disalahgunakan, inilah yang dimaksud dengan menyalahgunakan martabat.
5) Dengan
menggunakan kekerasan
Kekerasan (geweld) adalah perbuatan fisik orang
dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar atau cukup besar. Misalnya memukul
atau menendang. Dalam melakukan penganjuran dengan menggunakan upaya kekerasan
yang ditujukan pada orang lain menimbulkan akibat ketidakberdayaan orang yang
menerima kekerasan itu, sehingga ia melakukan apa yang dianjurkan oleh pembuat
penganjurnya.
Kekerasan haruslah
tidak sedemikian kerasnya yang mengakibatkan masih ada kemungkinan orang itu
untuk melawannya dengan resiko berbahaya bagi dirinya tidaklah cukup besar.
Misalnya, sesorang yang dipukul wajahnya agar menandatangani sebuah surat palsu
yang telah disiapkan. Pemukulan wajah adalah berupa kekerasan yang masih dapat
dilawan dengan membalas pukulannya untuk menolak menandatanganinya. Kalau dia
tidak melakukan pilihan menolak dalam hal semacam ini, maka dia adalah pembuat
pelaksana dalam penganjuran.
Apabila kekerasan itu
sedemikian kerasnya sehingga orang yang menerima kekerasan itu sama sekali
tidak berdaya untuk melawannya, maka yang terjadi bukan lagi bentuk pembuat
penganjur akan tetapi berupa pembuat penyuruh dan orang yang menerima kekerasan
ini berkualitas sebagai manus ministra
yang tidak dapat dipidana.
6) Dengan
menggunakan ancaman
Ancaman (bedreiging) adalah suatu paksaan yang
bersifat rohani atau psikhis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa
sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang
yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan tetapi tidak bersifat
fisik, melainkan psikhis, misalnya menimbulkan rasa curiga.
Syarat ancaman ialah,
bagi orang yang menerima ancaman timbul suatu kepercayaan bahwa apa yang
diancamkan itu benar-benar akan diwujudkan jika dia tidak memenuhi apa yang
menjadi kehendak si pengancam. Sebab apabila ancaman itu tidak menimbulkan
kepercayaan semacam itu, karena dinilai tidak serius hanya main-main saja
tetapi dilaksanakan juga oleh yang menerima ancaman, maka tindak pidana itu
dipertanggungjawabkan pada pembuat materiilnya sendiri, dia adalah dader. Walaupun mungkin bagi pengancam
untuk melakukan ancaman itu dengan serius.
7) Dengan
menggunakan penyesatan
Penyesatan (mesleiding) adalah berupa perbuatan
yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau
pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar dan bersifat
palsu sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.
Dalam bentuk pembuat
penyuruh maupun dalam bentuk pembuat penganjur, sama-sama terdapat upaya
mengelabui (penyesatan) pada orang lain sehingga orang lain itu berbuat sesuai
dengan kehendak orang yang melakukan penyesatan. Namun penyesatan antara kedua
bentuk penyertaan itu ada perbedaannya. Perbedaan itu adalah :
a) Penyesatan
pada bentuk pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak
pidana. Contoh, seorang pejabat yang menyuruh seorang kuli angkutan menurunkan
koper, di mana pemiliknya sedang tertidur lelap ketika bus sedang berhenti di
suatu terminal. Kuli ini tersesat, dalam unsur tindak pidana dalam hal
mengambil koper itu yang menurut pikirannya atau pendiriannya adalah milik
orang yang menyuruh tadi.
b) Berbuat
karena tersesat dalam unsur tindak
pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Yang dipidana adalah pembuat
penyuruhnya. Berbuat karena tersesat dalam unsur tindak pidana, yang terjadi
adalah bentuk pembuat penganjur dan pembuat materiilnya (pembuat pelaksana)
sama-sama dibebani tanggung jawab pidana terhadap perbuatan masing-masing dan
karenanya dipidana.
8) Dengan
memberikan kesempatan
Memberikan kesempatan
adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan
tindak pidana. Misalnya, A penjaga gudang yang menganjurkan pada B untuk
mencuri di gudang dengan kesepakatan pembagian hasilnya. A sengaja memberi
kesempatan bagi B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam
itu dia absen dari tugasnya.
9) Dengan
memberikan sarana
Memberikan sarana
adalah berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak
pidana. Misalnya, A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di
gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.
10)
Dengan memberikan keterangan
Memberikan keterangan
adalah memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat-kalimat yang
dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu
timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana yang kemudian tindak
pidana itu benar dilaksanakan.
c. Harus
terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan untuk melaksanakan tindak pidana,
terbentuknya kehendak adalah disebabkan lansung oleh digunakannya upaya
penganjuran
Kehendak itu baru
terbentuk setelah pembuat penganjur melakukan perbuatan menganjurkan dengan
menggunakan salah satu atau beberapa upaya penganjuran. Jadi ada hubungan sebab
akibat atau kausalitas. Sebab digunakannya upaya penganjuran dan akibatnya
adalah terbentuknya kehendak orang lain yang dianjurkan.
Menurut Birkmeyer dan
Hazewinkel Suringa (Chazawi,2002:126) mengatakan bahwa :
Pembuat
penganjur tidak mungkin dapat mewujudkan kehendak orang lain, karena kehendak
orang lain untuk melakukan tindak pidana itu adalah berasal dari dirinya
sendiri. Pembuat penganjur itu adalah hanya sekedar faktor-faktor atau suasana
yang mempengaruhi orang yang dianjurkan untuk membentuk kehendaknya melakukan
tindak pidana, sedangkan kehendak itu adalah berasal dan dari sebab oleh orang
itu sendiri.
Menurut Utrecht
(Chazawi,2002:126) berpendapat tentang adanya hubungan kausalitas dalam bentuk penganjuran
ialah : “bahwa dalam praktik adanya hubungan kausalitas itu haruslah
dibuktikan”.
d. Orang
yang dianjurkan ialah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan
Sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan itu, tidak lain adalah sengaja
menganjurkan orang lain agar orang lain itu melakukan tindak pidana. Tindak
pidana yang dilaksanakan oleh pembuat pelaksana harus sama dengan tindak pidana
yang dianjurkan. Apabila tindak pidana yang dilaksanakan oleh pembuat pelaksana
adalah tindak pidana yang lain dari yang dianjurkan maka oleh orang yang semula
dianjurkan itu adalah dipertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri tanpa
mempertanggungjawabkan pada orang semula menganjurkan.
Dalam hal tanggung
jawab pembuat penganjur, bergantung pada perbuatan pelaksanaan sesuai dengan
apa yang sengaja dianjurkan. Selain tanggung jawab pembuat penganjur bergantung
pada pelaksanaan sesuai dengan apa yang dianjurkan saja oleh pembuat
pelaksananya, juga bergantung pada akibat dari perbuatan yang sengaja
dianjurkan itu. Akibat di sini diartikan adalah keadaan-keadaan objektif yang
memberatkan yang timbul setelah perbuatan dilakukan. Misalnya, dengan upah Rp
5.000.000,- A menganjurkan pada B untuk menganiaya C. setelah B melaksanakan
penganiayaan, ternyata menimbulkan akibat kematian C (Pasal 351 ayat (3)bjo
Pasal jo Pasal 55 ayat (1) ke-1) maka B adalah seabagai pembuat pelaksana pada
penganiayaan yang menimbulkan kematian (Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1)
ke-2).
e. Orang
yang dianjurkan adalah orang yang mampu bertanggung jawab.
Apabila pembuat
materiilnya adalah orang yang tidak mau bertanggung jawab,misalnya orang yang
terganggu jiwanya karena penyakit, maka tidak mungkin bisa terjadi bentuk
menyuruh melakukan. Karena pembuat materiil yang tidak mampu bertanggung jawab
tidak mungkin dapat dipidana sedangkan bentuk pembuat pelaksana dalam hal
penganjuran dapat dipidana. Pembuat materiil sebagai pembuat pelaksana haruslah
orang-orang yang memenuhi syarat sebagai seorang pembuat tunggal (dader) termasuk mampu bertanggung jawab
karena terwujudnya tindak pidana adalah oleh adanya perbuatannya.
2.3.3
Pengertian Pembantuan
Mengenai hal
pembantuan diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 56,57, dan 60. Pasal 56
merumuskan tentang unsur objektif dan unsur subjektif pembantuan serta bentuk
pembantuan. Sedangkan pasal 57 merumuskan tentang batas luasnya
pertanggungjawaban bagi pembuat pembantu. Pasal 60 mengenai penegasan
pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan
dan tidak dalam hal pelanggaran.
Berdasarkan rumusan
Pasal 56 KUHP, ada dua bentuk pembantuan, yaitu :
1. Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan
Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, oleh
undang-undang telah diberikan pembatasan-pembatasan mengenai cara melakukannya,
yaitu :
a. dengan memberikan
kesempatan
b. dengan memberikan sarana
c. dengan memberikan
keterangan
Ketiga cara tersebut di atas
terdapat juga pada bentuk penganjuran.
Perbedaan antara ketiga cara tersebut pada penganjuran
dengan pada pembantuan adalah dalam hal fungsinya. Dalam penganjuran fungsi
atau andil dari penggunaan tiga upaya penganjuran itu adalah membentuk kehendak
orang lain untuk melakukan tindak pidana selalu berasal dari pembuat
penganjurnya. Selain itu upaya yamg digunakan itu berfungsi untuk membentuk
kehendak orang atau pembuat pelaksananya untuk melakukan tindak pidana.
Sedangkan
pada bentuk pembantuan, ketiga cara pembantuan tersebut di atas tidak berfungsi
membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melaksanakan kejahatan. Karena pada
setiap bentuk pembantuan, kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat
pelaksanannya telah terbentuk lebih dulu sebelum pembuat pembantu menyampaikan
atau menggunakan tiga upaya pembantuan tersebut. Dalam bentuk pembantuan,
kesengajaan pembuat pembantu dalam menggunakan tiga cara tersebut tidak
ditujukan pada pembentukan kehendak orang yang dibantunya (pembuat pelaksananya)
tetapi ditujukan untuk sekedar mempermudah atau memperlancar bagi pembuat
pelaksana dalam hal melaksanakan kejahatan. Kehendak pembuat pelaksana untuk
mewujudkan tindak pidana tidak ada hubungan dengan kehendak atau kesengajaan
pembuat pembantu.
Contoh pertama, pembantuan dengan
memberikan keterangan. A kecewa pada B karena B melaporkannya ke polisi yang
mengakibatkan A dipidana penjara. Untuk melampiaskan kekecewaannya itu, A
memutuskan untuk membunuh B setelah keluar dari penjara. Setelah selesai
menjalani pidana, A mencari B namun tidak berhasil. Maka A dating menemui
temannya yaitu C untuk menanyakan tentang keberadaan B dan menerangkan tentang
kehendaknya membunuh B. Kebetulan C juga sakit hati pada B karena B pernah
menipunya. Untuk menolong A, maka C memberikan keterangan tentang keberadaan
atau tempat tinggal B. Atas keterangan C, A berhasil menemukan B kemudian
membunuhnya.
Contoh kedua, pembantuan dengan
memberikan sarana. B memberikan sebuah samurai pada A yang diketahuinya bahwa A
hendak membunuh C. Dengan samurai itu, A melaksanakan pembunuhan terhadap si C.
Contoh ketiga, pembantuan dengan
memberikan kesempatan. A seorang supir taksi, dia sengaja menghentikan mobilnya
di tempat yang sepi dengan berpura-pura mogok dengan maksud menolong temannya B
yang diketahuinya sejak lama telah menguntit C untuk merampok uang yang dibawa
penumpangnya itu.
2.
Pembantuan pada saat kejahatan dilaksanakan
Pembantuan pada saat pelaksanaan
kejahatan kadang sukar membedakannya dengan bentuk pembuat peserta atau orang
turut serta melakukan tindak pidana (Pasal 55 ayat 1 butir 1). Pembedaan ini
menjadi sangat penting berhubung dengan dua hal, yaitu :
a.
Pidana pada orang turut serta adalah sama dengan pembuat tunggal (dader) sedangkan pada orang yang membantu
tidak sama dengan pembuat tunggal atau juga tidak sama dengan bentuk-bentuk
peserta lainnya karena pidana terhadap pembantuan setinggi-tingginya pidana
pokok dikurangi sepertiganya (Pasal 57 ayat 1).
b. Turut serta pada pelanggaran dipidana, sedangkan
pembantuan pelanggaran tidak dipidana.
Dalam KUHP, pleger, doen pleger, medepleger, dan uitlokker dibebani tanggung
jawab yang sama antara mereka, yakni masing-masing dibebani tanggung jawab yang
sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana tanpa dibeda-bedakan
baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya,
sedangkan bagi orang yang terlibat sebagai pembuat pembantu, baik pembantuan
pada pelaksanaan kejahatan maupun pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (Pasal
56 KUHP) dibebani tanggung jawab yang lebih ringan dari orang-orang yang
disebutkan dalam Pasal 55 KUHP yaitu maksimum pidana pokok terhadap kejahatan
dikurangi sepertiga (Pasal 57 ayat (1) KUHP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar