Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan pada ayat (1) bahwa
Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dilakukan
berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
Dari ketentuan tersebut, maka hukum
acara yang berlaku bagi tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, sehingga dalam membahas proses
acara Tindak Pidana Korupsi menggunakan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 1 angka 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut disebutkan pengertian Penyidikan
yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Dan dalam Pasal 1 angka 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa yang dimaksudkan dengan penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan,penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dari ketentuan tersebut, bahwa
penyidik dan penyelidik bukan hanya polisi akan tetapi Komisi Pemberantasan
Korupsi diberi pula wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Penyidikan tidak terlepas dengan
penyelidikan yang menurut Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menyebutkan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dan yang dimaksud dengan penyelidik menurut
Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penyelidikan dan menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
Komisi Pemberantasan Korupsi juga dapat bertindak sebagai penyelidik dan
penyidik.
Antara penyelidikan dan penyidikan
adalah dua fase yang berwujud satu antara keduanya saling berkaitan dan isi
mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun
demikian ditinjau dari beberapa segi terdapat perbedaan antara kedua tindakan
tersebut, yaitu dari segi pejabat pelaksananya, pejabat penyelidik terdiri dari
semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah
pengawasan penyidik, wewenangnyapun sangat terbatas hanya meliputi penyelidikan
atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan
tindak pidana, hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat
penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebutkan dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b, yaitu penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan, penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seorang,
membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasal demi pasal dari
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sangat luas sekali, di mana KPK bukan
hanya lembaga yang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan akan tetapi
KPK juga berwenang mengambil alih penyelidikan dan penyidikan yang telah
dilakukan oleh Polisi dan mengambil alih penuntutan yang telah dilakukan oleh
Kejaksaan. (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
Dengan demikian di samping Polisi
sebagai penyidik dan penyelidik dalam Tindak Pidana Korupsi, Komisi
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berfungsi sebagai penyidik, penyelidik dan
penuntut umum.
Sehingga Polisi dan KPK sama-sama
mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan dalam tindak
pidana korupsi.
Selanjutnya mengenai penuntutan diatur
dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang menyebutkan bahwa
penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka
6 dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan antara Jaksa dengan Penuntut
Umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Seperti yang telah dijelaskan di muka
bahwa yang melakukan penuntutan yaitu melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang, bukan hanya dilakukan oleh penuntut umum akan tetapi
dalam tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang
melakukan penuntutan.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi bukan hanya dapat bertindak sebagai penyidik,
penyelidik dan melakukan penuntutan, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal
9, dikatakan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang
telah dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan dengan alasan :
1.
Laporan
masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.
2.
Proses
penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda dengan
alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Penanganan
tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sebenarnya.
4.
Penanganan
tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
5.
Hambatan
penanganan tindak pidana korupsi karena adanya campur tangan dari pihak
Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif, atau
6.
Keadaan
lain yang menurut pertimbangan pihak Kepolisian atau Kejaksaan penanganan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Adanya laporan masyarakat yang tidak
ditindaklanjuti merupakan wujud dari peran serta masyarakat untuk membantu
upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut
serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN yang
dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam
masyarakat.
Dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan
wujud peran serta masyarakat, yaitu :
a.
Hak
mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi.
b.
Hak
untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi.
c.
Hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d.
Hak
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e.
Hak
untuk memperoleh perlindungan hukum.
Peran serta masyarakat ini dimaksudkan
untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar