1. Sejarah Perkembangan Lelang
Adolf Warouw (1998 : 43) mengemukakan bahwa Indonesia adalah bekas negara jajahan Belanda yang disebut sebagai Hindia Belanda yang pada waktu itu penduduk Hindia Belanda menurut pasal 163 ayat (1) "Indische Stactsregeling" (IS) dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. golongan Eropa
b. golongan Timur Asing
c. golongan Bumiputera
Bagi masing-masing golongan penduduk berlaku Hukum Perdata yang berbeda-beda. Bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku di Negara Belanda. Bagi golongan Timur Asing berlaku bab-bab tertentu hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku bagi golongan Eropa. Sedangkan bagi penduduk asli (golongan Bumiputera) berlaku hukum adat. Sesuai dengan asas konkordasi maka berbagai bidang hukum perdata yang diberlakukan bagi penduduk Eropa dan Timur Asing tersebut antara lain mengatur tentang lelang.
Hindia Belanda adalah negara jajahan sedangkan jabatan pejabat pemerintahan dan perusahaan-perusahaan Belanda di Hindia Belanda dijabat oleh orang-orang Belanda. Bila terjadi mutasi perpindahan/mutasi pejabat Belanda tersebut timbul masalah mengenai penjualan barang-barang dan para pejabat Belanda yang mutasi tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, perlu adanya suatu lembaga lelang Akhirnya pemerintah Hindia Belanda berpikir untuk menciptakan lembaga lelang tersebut, maka pada tahun 1908 terbitlah Staatblad 1908 Nomor 189 tentang Vendu Reglement. Pertimbangan tersebut sangat nyata, apalagi pada Pasal 5 Vendu Reglement menyatakan permintaan lelang eksekusi dan barangbarang-barang pindahan untuk diutamakan (Adolf Warouw , 1998 : 44)
Pada saat itu juga terbentuk institusi yang namanya Inspeksi Lelang, yang bertanggung jawab dan berada dibawah Menteri Keuangan yang pada waktu itu disebut Direktuur Van Financient. Pada saat itu juga terdapat Direktorat Jenderal Pajak yang bernama Inspeksi Keuangan. Namun demikian tidak berarti bahwa Inspeksi Lelang sama atau sederajat
Di bawah Menteri Keuangan terdapat unit operasionalnya yang disebut Vendu Kantoren (Kantor Lelang Negeri) yang pada saat itu jumlahnya belum banyak yaitu berada di beberapa kota antara lain Batavia (Jakarta), Bandung, Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, Banda Aceh, Medan dan Palembang. (Adolf Warouw , 1998 : 45)
Selanjutnya pada tahun 1919 dengan keputusan Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie untuk daerah-daerah yang belum terjangkau Vendu Kantoren (Kantor Lelang Negeri) dan kurangnya pelaksanaan lelang maka diangkatlah Vendumesteer klas II (Pejabat Lelang Kelas II). Pada waktu itu jabatan Vendumesteer klas II (Pejabat Lelang Kelas II) dilakukan Pejabat Notaris setempat, dan secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dengan meningkatnya elayanan lelang maka jabatan tersebut ditingkatkan menjadi Kantor Lelang Negeri Kelas I. Tidak diketahui pasti perubahan penyebutan Vendumesteer menjadi Juru Lelang dan seterusnya menjadi Pejabat Lelang, diperkirakan pada tahun 1970-an dalam praktek dan peraturan yang mengatur tentang lelang telah digunakan istilah Pejabat Lelang. (Adolf Warouw , 1998 : 47)
Tata cara dan prosedur lelang diatur dalam peraturan (reglement) sedangkan Bea Materai diatur dalam peraturan (verordening) dan kemudian masih banyak lagi pengaturan-pengaturan yang dilakukan dengan reglement dan verordening. Pengaturan-pengaturan tersebut belum diatur dalam ordonansi karena pada tahun itu belum terbentuk lembaga yang disebut Volksraads (parlemen atau DPR) yang bertugas membentuk ordonansi atau Undang-undang. Volksraad ini barn dibentuk pada tahun 1926 yang anggotanya dipilih berdasarkan penunjukan bukan melalui pemilihan Dengan demikian reglement dan verordening saat itu dibuat bersama antara Gubernur Jenderal dengan Hegerechthoof (Mahkamah Agung).
Lelang menurut sejarahnya berasal dan bahasa latin auctio yang berarti peningkatan harga secara bertahap. Para ahli menemukan di dalam literatur Yunani bahwa lelang telah dikenal sejak 450 tahun sebelum Masehi. Beberapa jenis lelang yang populer pada saat itu antara lain adalah lelang karya seni, tembakau, kuda, budak, dan sebagainya.
Di Indonesia, lelang secara resmi masuk dalam perundang-undangan sejak 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement, Stbl. 1908 No. 189 dan Vendu Instructie, Stbl. 1908 No. 190. Peraturan-peraturan dasar lelang ini masih berlaku hingga saat ini dan menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia.
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, lelang digolongkan sebagai suatu cara penjualan khusus yang prosedurnya berbeda dengan jual-beli pada umumnya Oleh karenanya cara penjualan lelang diatur dalam undang-undang tersendiri yang sifatnya Lex Spesialis. Kekhususan (spesialisasi) lelang ini tampak antara lain pada sifatnya yang transparan/keterbukaan dengan pembentukan harga yang kompetitif dan adanya ketentuan yang mengharuskan pelaksanaaan lelang itu dipimpin oleh seorang Pejabat Umum, yaitu Pejabat Lelang yang mandiri.
Peranan lembaga lelang dalam sistem perundang-undangan kita tampak masih dianggap relevan. Hal ini terbukti dengan difungsikannya lelang untuk mendukung upaya Law Enforcement dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum pajak, hukum administrasi negara, dan hukum pengelolaan kekayaan negara. Perkembangan hukum belakangan ini seperti Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) No. 4 Tahun 1996, Undang-Undang Perpajakan dan Undang-undang Kepailitan, serta Undang-Undang Perbendaharaan UU No. 1 tahun 2003 membuktikan ekspektasi masyarakat dan pemerintah yang semakin besar terhadap peranan lelang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa meskipun sistem lelang yang diatur dalam Vendu Reglement termasuk salah satu peraturan lama warisan Belanda, sistem dan konsep dasarnya sebenarnya cukup baik dalam mendukung sistem hukum saat ini.
2. Sejarah Struktur Organisasi Unit Lelang
Berdirinya Unit Lelang Negara dapat dikaitkan dengan lahirnya Vendu Reglement Stbl. 1908 no. 189 dan Vendu Instructie Stbl. 1908 No. 190 yaitu pada bulan Februari 1908, sehingga diperkirakan pada saat itulah mulai berdirinya unit lelang negara. Jumlah unit operasional di seluruh Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) pada saat itu juga tidak dapat diketahui secara pasti. Demikian halnya sampai saat terjadinya perubahan Vendu Reglement pada tahun 1940 dengan S.1940 No. 56 tidak diketahui jumlah unit operasional lelang. (Adolf Warouw , 1998 : 21)
Sejak lahirnya Vendu Reglement tahun 1908, unit lelang berada di lingkungan Departemen Keuangan dengan kedudukan dan tanggung jawab langsung di bawah Menteri Keuangan. Adapun struktur organisasi pada masa itu yaitu di tingkat Pusat adalah Inspeksi Urusan Lelang. Sedangkan, di tingkat daerah/unit operasional: Kantor Lelang Negeri, pegawainya merupakan pegawai organik Departemen Keuangan dan Kantor Pejabat Lelang kelas II yang dulu dijabat rangkap oleh Notaris, Pejabat Pemda Tingkat II (Bupati dan Walikota), tapi semenjak tahun 1983 seluruhnya dirangkap oleh Pejabat dan Direktorat Jenderal Pajak. (Adolf Warouw , 1998 : 22).
Selain KLN dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II yang memberikan jasa lelang, pada waktu itu terdapat Balai Lelang/Komisioner Lelang Negara yang juga memberikan Pelayanan Lelang. Balai Lelang ini dikelola oleh swasta dan berkedudukan di kota-kota besar tertentu di Indonesia seperti Surabaya, Makassar, Medan, dll. Namun pada tahun 1972, Lembaga Komisioner Lelang Negara dihapuskan oleh Menteri Keuangan dengan SK No. D.15.4/D1/16-2 tanggal 2 Mei 1972. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dihapuskannya Lembaga Komisioner Lelang Negara tersebut antara lain adalah :
1. Bahwa dengan Inpres 9 tahun 1970, pemindahtanganan barang-barang yang dimiliki/dikuasai negara harus dilaksanakan di hadapan Pejabat Lelang sesuai Undang-Undang.
2. Bahwa pelelangan-pelelangan pada umumnya sudah dapat ditampung dan diselesaikan oleh Kantor Lelang Negara (KLN) dan atau Kantor-Kantor Lelang Kelas II.
Pada tahun 1960 terjadi pembentukan Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen Keuangan, dengan ketentuan tiap departemen maksimum mempunyai
5 (lima) Direktorat Jenderal. Maka Unit Lelang digabung dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak dengan pertimbangan bahwa :
1. Penerimaan negara yang dihimpun unit lelang negara berupa Bea Lelang yang merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung.
2. Saat itu baru saja terbentuk Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, di mana lembaga lelang sangat diperlukan dalam pelaksanaan penagihan pajak.
Struktur organisasi dan penggabungan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Di tingkat pusat adalah Dinas Lelang setingkat eselon III
2) Di tingkat daerah adalah Kantor Lelang Negeri Kelas I (setingkat eselon IV). Di seluruh Indonesia ada 12 KLN kelas I (kecuali Jakarta merupakan Eselon III) dan Pejabat Lelang kelas II untuk kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang belum dibentuk Kantor Lelang Negeri. Saat itu yang termasuk Pejabat Lelang Kelas I adalah :
1. Pejabat-pejabat pemerintah yang khusus diangkat untuk itu (Pegawai Negeri Sipil).
2. Penerima Umum dan Kas Negara (book houdere) yang dihapus tahun 1930.
Yang termasuk Pejabat Lelang Kelas II adalah :
1. Pegawai Negeri Sipil selain Pejabat Lelang Kelas I pada Unit Lelang Negara yang tugas pokoknya melayani jasa lelang, misalnya Pejabat Lelang Kelas II yang dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
2. Orang-orang yang khusus diangkat untuk itu.
Pada tahun 1975, dibentuk Seksi Lelang di tingkat Kanwil Ditjen Pajak setingkat Eselon IV/a dengan nama Seksi Pembinaan Lelang Bidang Pajak Tidak Langsung, sedangkan pembinaan yang tadinya disebut sebagai Dinas Lelang sebutannya diubah menjadi Sub Direktorat Lelang (Eselon III).
Pada tanggal 1 April 1990, Unit Lelang Negara dipindahkan ke lingkungan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 428/KMK.02/1990 tanggal 4 April 1990.
a) Di Tingkat Pusat adalah Sub Direktorat Pembinaan Lelang (eselon III)
b) Di Tingkat Kanwil adalah Seksi Bimbingan Lelang (eselon IV) sebanyak 6 kantor.
c) Di Tingkat Operasional : Kantor Lelang Negara (KLN) sebanyak 18 kantor;
d) Pejabat Lelang Kelas II sebanyak 108 kantor yang dijabat rangkap oleh eselon IV kantor operasional Ditjen Pajak.
Pada tanggal 1 Juni 1991, berdasarkan Keppres 21 tahun 1991 nama BUPN diganti menjadi BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara). Terjadi pengembangan dan pengukuhan organisasi unit lelang.
a) Di Tingkat Pusat adalah Sub Direktorat Pembinaan Lelang ditingkatkan menjadi Biro Lelang Negara (eselon II).
b) Di Tingkat Kanwil adalah Bidang Lelang (eselon III/a).
c) Di Tingkat Operasional adalah KLN berkedudukan di tiap propinsi :
1) KLN tipe A (eselon III/b) sebanyak 5 kantor
2) KLN tipe B (eselon IV/a) sebanyak 22 kantor
3) Pejabat Lelang Kelas II berkedudukan di Kabupaten sebanyak 87 kantor
Pada tanggal 15 Desember 2000 dengan Keppres No 177 Th. 2000, BUPLN menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara). Kepala Badan menjadi Direktur Jenderal.
a) Di Tingkat Pusat adalah Biro Lelang Negara menjadi Direktorat Lelang Negara (eselon II).
b) Di Tingkat Kanwil adalah Bidang Lelang (eselon III/a).
c) Tingkat Operasional KLN digabung dengan KP3N (Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara) menjadi KP2LN (Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara) berkedudukan di tiap propinsi :
1) KP2LN tipe A (eselon III/a) sebanyak 29 kantor
2) KP2LN tipe B (eselon III/b) sebanyak 27 kantor
3) Pejabat Lelang kelas II berkedudukan di kabupaten yang belum terlayani oleh KP2LN.
3. Pengertian Lelang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000 : 323) disebutkan bahwa Lelang adalah penjualan dihadapan orang banyak (dengan tawaran yang atas mengatas) dipimpin oleh Pejabat Lelang. Sedangkan yang dimaksud melelangkan atau memperlelangkan adalah :
a) Menjual dengan jalan lelang;
b) Memberikan barang untuk dijual dengan plan lelang;
c) Memborongkan pekerjaan.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian lelang tidak dibatasi pada penjualan barang-barang saja, tetapi meliputi juga pemborongan pekerjaan.
Pengertian lelang menurut kamus hukum dalam Bahasa Inggris (2001 : 342) adalah auction, yaitu "Public sale at white goods are sold to the person making the highest bids or offers" yang dalam bahasa Indonesia berarti penjualan di hadapan umum di mana barang-barang dijual kepada penawaran tertinggi.
Pengertian lelang dalam dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia (Engelbrecht) adalah :
"Openbare verkoopingen" verstaan veilingen en verkoopingen van zaken, walke in het openbaar bij opbod, afslag of inschrijving worden met de veiling of verkooping in kennis gesteloe, dan wel tot die veilingen of verkoopingen toegelaten personen gelegenheid wordt gegeven om te bieden, te mijnen of in te scrijven.
(Teks asli Art. 1 Vendu Reglement Stbl. 1908-189).
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
Lelang atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.
Definisi lelang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 304/KMK.01 /2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang adalah sebagai berikut :
" Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat."
Meskipun mengandung persamaan, pengertian lelang di sini berbeda dengan tender/pelelangan terhadap pengadaan barang/pemborongan pekerjaan.
1. Persamaan tender dengan lelang yaitu:
a. Dilakukan di muka umum;
b. Didahului dengan pengumuman.
2. Perbedaan tender dengan lelang, yaitu:
Tender adalah pembelian/pengadaan barang atau pembelian jasa pemborongan pekerjaan, sedangkan lelang adalah penjualan barang;
a. Tender tidak dipimpin oleh Pejabat Lelang;
b. Penawaran dalam tender hanya dilakukan secara tertulis;
c. Dalam tender, penjual banyak dan calon pembeli hanya satu. Sedangkan dalam lelang adalah sebaliknya.
Berdasarkan pengertian tersebut tampak bahwa Unit Lelang Negara membatasi pengertian lelang hanya pada pelayanan penjualan barang di muka umum saja. Sedangkan tender pengadaan barang/jasa pemborongan proyek/pekerjaan tidak termasuk dalam pengertian lelang dalam Vendu Reglement dan peraturan pelaksananya atau dapat dikatakan bukan tugas pelayanan Unit Lelang Negara.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas tampak bahwa lelang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Dilakukan pada suatu saat dan tempat yang telah ditentukan;
b) Dilakukan dengan cara mengumumkannya terlebih dahulu;
c) Dilakukan dengan cara penawaran atau pembentukan harga yang khusus, yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan atau secara tertulis yang kompetitif;
d) Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang/pembeli;
e) Pelaksanaan lelang dilakukan dengan campur tangan/dihadapan/di depan Pejabat Lelang;
f) Setiap pelaksanaan lelang harus dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang.
4. Asas Lelang
Dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang lelang dapat ditemukan adanya Asas Lelang yaitu: Asas Keterbukaan, Asas Keadilan, Asas Kepastian Hukum, Asas Efisiensi dan Asas Akuntabilitas.
1) Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adaya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadi praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
2) Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan Pejabat Lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.
3) Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akte otentik. Risalah Lelang digunakan penjual/pemilik barang, pembeli dan Pejabat Lelang untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan kewajibannya .
4) Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan pada saat itu juga.
5) Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
5. Sifat Lelang
Sifat lelang dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu dari sudut sebab barang itu dijual dan dan sudut penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang. Sifat lelang ditinjau dan sudut sebab barang itu dijual dibedakan menjadi lelang eksekusi dan non eksekusi.
1. Lelang Eksekusi
Lelang eksekusi adalah penjualan barang yang bersifat paksa atau eksekusi suatu putusan Pengadilan Negeri yang menyangkut bidang pidana atau perdata maupun putusan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dalam kaitannya dengan pengurusan Piutang Negara, serta putusan dari Kantor Pelayanan Pajak dalam masalah perpajakan. Dalam hal ini Penjualan lelang biasanya dilakukan atas barang-barang milik tergugat atau Debitur/Penanggung Hutang atau Wajib Pajak yang sebelumnya telah disita eksekusi. Tetapi juga karena perintah peraturan perundang-undangan seperti Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan. Singkatnya lelang eksekusi adalah lelang yang dilakukan dalam rangka melaksanakan putusan/penetapan Pengadilan atau yang dipersamakan dengan putusan/penetapan Pengadilan atau atas perintah peraturan perundang-undangan.
2. Lelang non Eksekusi
Lelang non Eksekusi adalah lelang barang milik/dikuasai negara yang tidak diwajibkan dijual secara lelang apabila dipindahtangankan atau lelang sukarela atas barang milik swasta. Lelang ini dilaksanakan bukan dalam rangka eksekusi/tidak bersifat paksa atas harta benda seseorang.
Dari sudut penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang dibedakan menjadi lelang yang sifatnya wajib dan lelang yang sifatnya sukarela.
1. Lelang yang sifatnya wajib
Lelang yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang menguasai/memiliki suatu barang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dijual secara lelang. Contohnya: Barang-barang inventaris milik Instansi Pemerintah, apabila sudah dihapuskan maka berdasarkan Pasal 48 UU Perbendaharaan jo. Inpres No.9 tahun 1970 barang-barang tersebut harus dijual secara lelang melalui Kantor Lelang, termasuk lelang atas putusan/penetapan lembaga peradilan yang dalam amar putusannya mewajibkan adanya penjualan secara lelang, dan sebagainya.
2. Lelang yang sifatnya sukarela
Lelang yang dilaksanakan atas permintaan masyarakat/pengusaha yang secara sukarela menginginkan barangnya dilelang
6. Fungsi Lelang
Lembaga lelang dalam aplikasinya di masyarakat memiliki dua fungsi, yaitu :
1. Fungsi Privat yang tercermin pada saat digunakan masyarakat yang secara sukarela memilih menjual barang miliknya secara lelang untuk memperoleh harga yang optimal. Dalam hal ini lelang akan memperlancar arus lalu lintas.
2. Fungsi Publik yang tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di bidang penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-Undang sesuai ketentuan yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Acara Pidana dan Perdata, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Panitia Umsan Piutang Negara UndangUndang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Kepailitan.
Selain itu lelang juga digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan/atau Kekayaan Negara yang dipisahkan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan/atau Pemindahtanganan Barang-Barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara sekaligus untuk mengumpulkan penerimaan negara.
F. Pejabat Lelang
1. Pengertian Pejabat Lelang
Pejabat Lelang sering juga disebut Vendumeester atau Auctioneer atau Juru Lelang. Rachmat Soemitro dalam Ardian Martinus (2003 : 32) mengemukakan bahwa :
Vendumeester diartikan sebagai Juru Lelang, dan istilah juru lelang jarang dipakai oleh para Vendumeester. Hal ini dapat dimengerti, mengingat para Vendumeester Kelas II umumnya dijabat oleh Notaris, Bupati/Walikota, Sekwilda. Apalagi untuk Notaris yang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, dia disebut sebagai "Pejabat". Padahal fungsi PPAT dan Vendumeester adalah sama.
Sejak tahun 1983, seluruh Vendumeester kelas II dijabat oleh para kepala seksi dari Ditjen Pajak, lebih-lebih sekarang persyaratam Vendumeester minimal berijazah sarjana, sehingga saat ini istilah Vendumeester diterjemahkan menjadi Pejabat Lelang. Hal ini terbukti, saat ini para Vendumeester mencantumkan jabatannya sebagai Pejabat Lelang dalam Risalah Lelang yang dibuatnya. Rachmat Soemitro dalam Ardian Martinus (2003 : 32).
Berdasarkan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 305/KMK/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 yang dimaksud Pejabat Lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2. Standar Profesi Pejabat Lelang
Dalam standar Profesi Pejabat Lelang telah dirumuskan pokok-pokok pikiran yang terdiri dari:
1) Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan.
2) Pelayanan Masyarakat
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada masyarakat, menghormati kepercayaan masyarakat dan menunjukkan komitmen atas profesionalismenya.
3) Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4) Objektivitas dan Kemandirian
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5) Inovatif dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan profesinya dengan kehati-hatian, kompetensi, ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kemampuan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan pengguna jasa memperoleh manfaat dari jasa profesional Pejabat Lelang.
6) Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang menurunkan martabat profesi.
7) Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
8) Kekeluargaan dan Kebersamaan
Setiap anggota harus saling menghormati dan mau berbagi pengalaman kepada sesama anggota, serta mengusahakan penyelesaian permasalahan anggota secara kekeluargaan/musyawarah.
9) Transparansi Informasi
Setiap anggota dalam melaksanakan profesinya harus secara transparan menginformasikan fakta dan data yang benar mengenai pelaksanaan suatu lelang kepada pengguna jasa, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional untuk merahasiakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar