Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) berlaku efektif, terhitung sejak tanggal 9 April 1996, setelah melewati rentang waktu lebih dari 36 tahun semenjak diamanatkan oleh Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan ini diharapkan dapat menampung serta sekaligus mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan tersedianya dana untuk berbagai kegiatan pembangunan dan juga bagi mereka yang membutuhkan kredit guna memenuhi keperluan hidupnya.
Sebagai suatu peraturan perundang-undangan baru, maka reaksi awal yang muncul pada umumnya berupa pertanyaan seputar hal-hal baru yang diatur dalam UUHT. Permasalahan yang muncul bersifat administratif dari pelaksanaan UUHT dan bukan sifatnya substantif, di antaranya seperti dikemukakan oleh Maria S.W. Soemardjono (Arie Sundari, 1996:39) bahwa :
a. Perkembangan dan penegasan tentang objek Hak Tanggungan
b. Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
c. Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial
d. Sanksi Administratif
e. Peraturan pelaksanaan UUHT.
Menurut Maria S.W. Soemardjono (Arie Sundari, 1996:40) Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada krediturnya
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek itu berada.
c. Memenuhi asas spesialis dan publisitas
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Di samping itu hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi artinya bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian hutang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, tetapi hak tanggungan tetap membebani seluruh objeknya.
Asas tidak dapat dibagi-bagi tersebut dapat diterapkan dalam hal hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pembayaran dilakukan dengan cara angsuran sebesar nilai tanggungan yang akan dibebankan dari hak tanggungan tersebut. Dengan demikian, hak tanggungan hanya akan membebani objek hak tanggungan. Agar hal tersebut dapat berlaku, maka harus diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Dalam kaitannya dengan pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, maka apabila hal tersebut dikehendaki harus dicantumkan sebagai salah satu janji dalam Akta Pemberian Hak Tanggungannya, mengingat bahwa penjualan objek hak tanggungan tersebut harus mempertimbangkan hak-hak dari pemberi hak tanggungan dan dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan dan sertifikat Hak Tanggungan, maka segala macam janji itu sudah tercantum di dalam formulir APHT. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1996 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 17 UUHT dan Buku Tanah Hak Tanggungan serta hal-hal yang berkaitan dengan pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kini diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Menurut Boedi Harsono (1996:42) bahwa :
Pembuatan APHT wajib diikuti dengan pengiriman oleh Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) ke kantor pertanahan, aktanya beserta warkat lain yang diperlukan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT tersebut.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran, maka kantor pertanahan melakukan pendaftaran hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berarti bahwa tanggal Buku Tanah Hak tanggungan adalah hari ketujuh tersebut. Pemberian tanggal Buku Tanah adalah sangat penting karena pada saat itulah hak tanggungan lahir, yang berarti mulainya kedudukan bagi kreditur, penentuan peringkat hak tanggungan dan berlakunya hak tanggungan terhadap pihak ketiga.
Pada prinsipnya objek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yakni wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindah tangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya). Sesuai dengan makna Pasal 51 UUPA, hak atas tanah yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan adalah Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Dalam perkembangannya kemudian Hak Pakai atas tanah menurut ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1996 juga wajib didaftarkan dan dapat dijadikan sebagai objek hak tanggungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar