BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan kondisi
negara yang berubah menuju kearah yang lebih baik patut didukung. Kepeloporan
pemimpin negeri ini ditambah dengan aparatnya, serta masyarakatnya yang bekerja
keras, jujur dan tanpa pamrih adalah suatu keharusan. Hal tersebut juga berlaku
dalam dunia peradilan yang sejalan dengan perkembangan dunia kejahatan, maka
profesionalisme aparat penegak hukum yang mau bekerja keras, jujur dan tanpa
pamrih merupakan jawaban atas perkembangan kriminalitas.
Dewasa ini tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan sangat rendah. Hal ini terlihat
dengan maraknya unjuk rasa di pengadilan, angka tindakan main hakim sendiri
yang meningkat serta banyaknya laporan ke pengawas lembaga peradilan yang bersangkutan.
Fenomena ini demikian merupakan implikasi dari ketidakmampuan aparat peradilan
bekerja dengan baik yang disebabkan oleh sistem maupun personnya.
Dalam sistem
peradilan pidana peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan
lembaga yang menentukan apakah seorang harus diperiksa oleh pengadilan atau
tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang akan dijatuhi hukuman atau
tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Sedemkian
pentingnya posisi jaksa bagi proses penegakan hukum sehingga lembaga ini harus
diisi oleh orang-orang yang profesional dan memiliki integritas tinggi.
Keberadaan lembaga kejaksaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang tersebut
menyatakan bahwa kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana,
kejaksaan juga memiliki peran lain dalam bidang hukum, perdata dan Tata Usaha
Negara (TUN), yaitu dapat mewakili negara dan pemerintah dalam perdata dan TUN.
Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang.
Secara umum KUHAP
tidak memberikan kewenangan bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan, dengan
demikian Indonesia dapat dikatakatan satu-satunya Negara dimana jaksa atau
penuntut umumnya tidak berwenang untuk melakukan penyidikan walaupun sifatnya
insidential. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 butir 1 KUHAP telah menyatakan
bahwa “penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan”. Penuntutan hanya dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum sesuai dengan kewenangan nyang dimilikinya (Andi Hamzah, 1990:70).
Namun pelaksaan
wewenang penyidikan tidak sepenuhnya menjadi milik kepolisian sebagai penyidik
tunggal, karena apabila diperhatikan bunyi Pasal 284 ayat (2) KUHAP, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dikecualikan dari penerapan KUHAP ini,
yang menetapkan sebagai berikut :
“dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan hukum acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku lagi”.
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagai
peraturan pelaksanaan KUHAP, menyatakan bahwa :
Penyidik menurut ketentuan hukum acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik
yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagai pendukung atas ketentuan di atas maka
ditetapkan Keputusan Presiden yang mengatur perihal Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia melalui Keputusan Presidan No. 86 Tahun
1999.
Pasal 5 ayat (1) Kepres tersebut mengatur
mengenai tugas dan kewenangan dari Jaksa agung yang antara lain menyebutkan :
a.
Memimpin
dan mengendalikan kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta
membina aparatur kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna;
b.
Menetapkan
dan mengendalikan kebijaksaan dan pelaksaan penegakan hukum dan keadilan baik
preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c.
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d.
Mengkoordinasikan
penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi
penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan
oleh presiden;
e.
Melakukan
pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara
pidana untuk masuk ke dalam ataupun ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan
Negara Republik Indonesia, pengedaran barang cetakan yang dapat mengganggu
ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran
kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
f.
Melakukan
tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha Negara, mewakili pemerintah dan
Negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan
Negara di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh presiden.
g.
Menyampingkan
perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentigan hukum kepada
Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha Negara, mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan
grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;
h.
Memberikan
izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka
atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam
maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan;
i.
Memberikan
perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan
presiden;
j.
Membentuk
satuan tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari instansi sipil, TNI, dan
POLRI untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus
serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan;
k.
Membina
dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen,
lembaga Negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang
timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya.
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa
kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung memiliki wewenang untuk melakukan
penyidikan dan mengkoordinasikan dengan instansi terkait dalam hal penanganan
perkara pidana tertentu dalam hal ini tindak pidana pidana korupsi. Kewenangan
Jaksa Agung tersebut dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Keppres tersebut menyatakan :
Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan
penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan
keputusan lepas bersyarat dan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Peran penting yang dimainkan oleh lembaga
kejaksaan tak lepas dari perwujudan representasi Negara dalam melidungi warga
Negaranya. Untuk itulah, aspek penghormatan dan ketaatan pada prinsip-prinsip
hukum yang bersifat universal dalam menjalankan tugas menjadi unsur yang sangat
menentukan. Howard Abadinsky (Harkristuti Harkrisnowo, 2001:2), menyatakan
bahwa tugas dan mandat publik yang diberikan kepada Jaksa yaitu :
1. To enforce the law on behalf of the people in the name of
the state, and
2. To ensure that justice accomplished by not prosecuting
those for whom evidence is lacking or whose guilt is in serious doubts.
Pendapat tersebut secara jelas menyatakan
bahwa dalam menjalankan fungsinya, jaksa bekerja sama atas nama rakyat dalam
melakukan tugas menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk
itu, jaksa diberikan kewenangan yang tidak dimiliki oleh setiap penegak hukum.
Tetapi dalam menjalankan kewenangan tersebut kerap kali kejaksaan melanggar hak
asasi manusia.
Dari uraian di atas telah jelas bahwa dalam
tindak pidana khusus, khususnya tindak pidana korupsi kewenangan penyidikan dan
penuntutan berada dibawah “satu atap”. Dengan diletakkannya kewenangan tersebut
kepada lembaga yang sama dalam hal ini lembaga kejaksaan, bukan tidak mungkin
akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) oleh lembaga yang bersangkutan.
Dalam menjalankan kewenangannya, Jaksa bisa
saja melakukan penyimpangan terhadap aturan bahkan melakukan abuse of power. Hal tersebut dapat terjadi karena tingkat pengetahuan
masyarakat mengenai proses beracara sangat rendah ditambah dengan kurang
efektifnya pengawasan internal di lembaga kejaksaan.
Sebagaimana penyitaan Jaksa Agung terdahulu
M. A. Rahman bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan selama
ini dirasakan mengecewakan. Penilaian lain juga dapat dibaca dari hasil audit
yang dilakukan oleh pricewaterhuose
cooper dan British institute of
international and comparative law yang menyatakan bahwa kejaksaan sebagai “poor reputation” yang berkaitan dengan professionalism, integrity, dan inefficiency
para jaksa. Penilaian yang senada juga dapat kita baca dari pernyataan Ketua
Forum 2004, Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa “Lembaga Kejaksaan sekarang
ini mengalami degradasi kepercayaan publik” (Suhardibroto, 2004:2).
Melihat hasil pemantauan yang sudah dicapai
dalam pemantauan kinerja dan perilaku jaksa, khususnya dalam proses
persidangan, penyimpangan-penyimpangan masih saja terjadi. Dengan kata lain,
jaksa sebagai penuntut umum kurang dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara
optimal dan fungsi pengawasan di internal lembaga berjalan kurang efektif
(Abdul Azis, 2004:3).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
kewenangan pengawasan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana korups pada Peraturan Jaksa Agung
Nomor:PER-069/A/JA/07/2007i?
2. Kendala
apakah yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik
dalam tindak pidana korupsi pada
Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007?
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka
penulis dapat mengemukakan tujuan dan kegunaan penelitian adalah :
1.
Tujuan
Penelitian
a. Untuk
mengetahui dan menganalisis kewenangan pengawasan terhadap Jaksa selaku
penyidik dalam tindak pidana korupsi.
b. Untuk
mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan
terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi
2.
Kegunaan
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi pihak yang
berkompeten di bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum pidana pada khususnya
terutama bagi yang berhubungan dengan penanganan tindak pidana korupsi. Hasil
penelitian ini juga sebagai sarana untuk memperluas wawasan bagi para pembaca
mengenai tindak pidana korupsi, serta untuk mengkaji secara yuridis tentang
bentuk dan pelaksanaan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam tindak
pidana korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum Tentang Kewenangan
1. Teori
Kewenangan
Kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan
baik terhadap segolongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap sesuatu
bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan
legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah, sedangkan wewenang hanya mengenai
sesuatu bidang tertentu saja. Jadi, kewenangan merupakan kumpulan dari
wewenang-wewenang. Misalnya wewenang menandatangani suatu surat keputusan oleh
seorang pejabat menteri sedangkan kewenangnnya tetap berada ditangan menteri.
Dalam hal yang demikian yang terjadi adalah pemberian mandat, dimana tanggung
jawab dan tanggung gugat berada pada pemberi mandat (Marbun: 2004: 1954).
Lebih lanjut dikatakan bahwa wewenang
merupakan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara
yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh UU yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Menurut H. D. Stout (Ridwan: 2006: 73),
wewenang tak lain adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh
subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Menurut Bagirmanan, wewenang
dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam
kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk
mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen),
se angkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara
keseluruhan.
Sifat wewenang pemerintahan adalah jelas
maksud dan tujuannya serta terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada
batasan-batasan hukum tertulis maupun pada hukum yang tidak tertulis. Sedangkan
isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan
dan dapat pula bersifat konkrit dalam bentuk suatu keputusan atau suatu
rencana, misalnya membuat Rencana Tata Ruang serta memberikan nasehat.
Wewenang atau kekuasaan diperoleh dari
Undang-Undang (Azas Legalitas), sesuai dengan prinsip negara hukum yang
meletakkan Undang-Undang sebagai sumber kekuasaan. Badan pemerintah tanpa dasar
peraturan umum tidak mempunyai wewenang untuk melaksanakan perbuatan
administrasi. Dengan demikian semua wewenang hukum admistrasi pemerintah harus
berlandaskan atas peraturan umum dan dalam peraturan itu harus pula dicantumkan
wewenangnya (Marbun: 2004: 74).
Sementara itu dikenal pula adanya wewenang
pemerintahan bersifat fakultatif yaitu apabila peraturan dasarnya menentukan
kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat dipergunakan. Jadi,
badan /pejabat tata usaha Negara tidak wajib menggunakan wewenangnya karena masih ada pilihan (alternatif) dan
pilihan itu hanya dapat dilakukan setelah keadaan atau hal-hal yang ditentukan
dalam peraturan dasarnya terpenuhi. Untuk mengetahui apakah wewenang itu
bersifat fakultatif atau tidak tergantung pada peraturan dasarnya.
Lain pula halnya dengan wewenang pemerintahan
yang bersifat terikat (gebondeng bestuur) yaitu, apabila peraturan
dasarnya menentukan isi suatu keputusan
yang harus diambil secara terperinci, sehingga pejabat tata usaha tersebut
tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan ketentuan secara harfiah seperti
dalam rumusan dasarnya, misalnya suatu ketentuan yang berbunyi: pejabat yang
berwenang ”wajib” memberikan cuti kepada bawahannya. Jadi, pejabat tersebut
harus memberikan cuti dan tidak ada alternatif lainnya. Berbeda halnya dengan
wewenang yang bersifat “bebas” (discretioner), dimana peraturan dasarnya
memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada badan/pejabat tata
usaha Negara untuk menolak atau mengabulkan, dengan mengaitkannya atau
meletakkannya pada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, misalnya
ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1974 menentukan : “pejabat yang berwenang memiliki
wewenang untuk memberikan cuti kepada bawahannya”. Rumusan seperti ini pada
akhirnya meletakkan pemberian wewenang cuti kepada pejabat tata usaha Negara
dan pemberian cuti itu diberikan atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang pejabat
tata usaha Negara tersebut (Merbun: 2004: 156).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh badan
dan perorangan untuk mengatur berbagai hal.
2. Sumber Dan Cara Memperoleh Wewenang
Seiring dengan pilar utama Negara hukum yaitu
asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur),maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenagn pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara teoretik, kewenangan yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperolh melaui 3
(tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat, yang defenisinya adalah
sebagai berikut :
a. Atribusi
adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.
b. Delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya.
c. Mandat
terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya.
Menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek (
Ridwan,2006:756) menyebutkan bahwa :
“hanya
2 cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi.
Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi
menyangkut pelumpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh
wewenang secara atributif kepada orang lain. Jadi delegas secara logis selalu
didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan
wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang apapun, namun
yang ada hanyalah hubungan internal.
Dalam mengetahui sumber dan cara memperoleh
wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan
wewenang tersebut seiring denagn salah satu prinsip dalam Negara hukum yaitu “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban”.
Setiap
pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, akan tersirat
didalamnya pertanggunjawaban-pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.
Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan perolehan kewenangan secara
langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan
Dalam
hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada dimana tanggung jawab intern pelaksanaan wewenang
tersebut diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang( atributaris).
Menurut
Ridwan ( Ridwan, 2006:77)
“Pada
delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang
dari pejabat yang satu kepejabat yang lain . tanggungjawab yuridis tidak lagi
berada pada pemberi dlegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima
delegasi (delegataris) . semetara pada mandat, penmerima mandate (mandataris)hanya
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggungjawab
akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berad pada mandans karena
pada dasarnya penerim mandate tersebut bukan pihk lain dari pemberi mandat
“
B.
Pengertian
Istilah Pengawasan
Dalam Black’s Law Dictionary, (O. C. Kaligis,
2006:41) control atau pengawasan memiliki pengertian : Power or authority to ménage, direct, superintend, regulate, govern,
administer, or oversee. W.J.S. Poerwadarminta (1990:99) dalam Kamus Bahasa
Indonesia Pengawasan diartikan : “pemilikan dan penjagaan”. Sedangkan dalam
pengertian manajemen , (O. C. Kaligis,
2006:41), pengawasan atau kontrol adalah :
“Proses
mencocokkan antara aktivitas yang sesungguhnya dilakukan dengan rencana yang
dibuat. Jadi pengawas adalah proses mengevaluasi keefektifan tindakan
perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), dan pengarahan (leading).”
Menurut ismail Saleh (1988:2) yang
dimaksud dengan pengawasan adalah sebagai berikut :
“Pengawasan
adalah sesuatu yang bersifat kodrati, yang diperlukan dalam kehidupan manusia
maupun dalam kehidupan organisasi. Pengawasan adalah bagian dari mekanisme
sistem suatu mata rantai yang mempunyai peran tertentu”.
Berdasarkan
pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
suatu pengertian pengawasan, yaitu suatu tahap pengevaluasian mengenai
keefektifan dan keefesienan suatu kegiatan hal ini menyangkut apakah suatu
kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan
atau tidak.
Demi terciptanya
suatu konsep pengawasan yang efektif maka konsep tersebut haruslah dilakukan
secara terbuka, terdapat keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi, pelaku
pengawasan sendiri haruslah bersih, ada kemampuan teknis dan keberanian moral,
ada tahapannya serta dilakukan dengan konsisten (O. C. Kaligis, 2006:42).
Pengawasan memiliki
arti lahirilah dan bathiniah atau dengan kata lain disebut pengawasan luar dan
dalam. Pengawasan luar adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang lain.
Sedangkan pengawasan dari dalam berlangsung dalam diri sendiri. Pengawasan
seperi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pengawasan melekat.
Pengawasan melekat
adalah serangkaian kegiatan yang sersifat sebagai pengendalian terus-menerus
dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau
represif, agar pelaksanaan tugas bawahan dapat berjalan secara efektif dan
efesien sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan dalam
pemerintahan tersebut telah menjelma dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 15
Tahun PI83 tanggal 4 Oktober 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, telah
menginstruksikan kepada seluruh Menteri, Jaksa Agung, Gubernur BI dan para
pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Lembaga Tertinggi dan Tinggi
Negara dan para Gubernur Daerah, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan
pengawasan dilingkungan pemerintah masing-masing secara terus-menerus dan
menyeluruh. Tugas koordinasi pengawasan tersebut diserahkan kepada Menteri
Koordinator Ekuin dan dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Dengan demikian, secara jelas maksud pengawasan dalam
Instruksi tersebut mengarah pada pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan keuangan negara atau korupsi.
Dalam tata
pemerintahan Negara, umumnya dikenal 4 (empat) jalur pengawasan, yaitu :
·
Pengawasan Rutin oleh inspektorat Jendral;
·
Pengawasan pimpinan;
·
Pengawasan khusus atau pemeriksaan terhadap
suatu kasus yang dilaporkan; dan
·
Pengawasan yang bersifat mendadak atau lebih
dikenal dengan istilah “sidak”.
Menurut Sjahrir
(1986:15), masalah pengawasan dalam upaya mengatasi dan mencegah korupsi dalam
struktur pemerintahan Indonesia dapat dipilah dalam 2 (dua) masa. Pada masa
tahun 1970-an pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan
unsur-unsur “luar” seperti mahasiswa, pers, dan lain-lain. Hal ini terlihat
dari serangkaian peristiwa-peristiwa demonstrasi, seperti pada saat peristiwa
Malari, atau pembentukan Komisi Empat untuk Pemberantasan Korupsi, dan
lain-lain.
Sedangkan pada kurun
waktu 1980-an, upaya pengawasan menjadi pendekatan yang sistematik, yaitu
pengawasan dalam suatu sistem struktur pemerintah itu sendiri. Namun, dengan
pengawasan seperti ini; kegiatan dan antusiasme masyarakat luas mengenai
pemberantasan korupsi praktis telah sirna, karena perhatian masyarakat dan
mahasiswa serta pers lebih tertarik kepada masalah-masalah politik dan ekonomi.
C.
Pengertian
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Khusus
Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang
dimaksud dengan pengertian korupsi sebagai tindak pidana khusus maka terlebih
dahulu penulis ingin mengemukakan bahwa asal kata serta pengertian korupsi
menurut para pakar.
Menurut Fockema Andrea (Andi Hamzah, 2006:4)
istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Selanjutnya
disebutkan bahwa corruption itu
sendiri berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan,
disamping itu dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk.
Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption;
dari bahasa Belanda, yaitu corruptie
dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu
“korupsi”.
Arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia
iti disimpulkan oleh W.J.S. Poerdarwinta (1990:514) dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia bahwa “korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang, sogok, dan sebagainya.
Disamping itu, istilah korupsi di beberapa
negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi
banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan, ini
dilihat dari istilah dibeberapa negara yakni: Gin Moung (Muangthai), yang berarti “makan mangsa”, tanwu (Cina), yang berarti “keserahan
bernoda” Oshuko (Jepang) yang berarti
“kerja kotor” (Martiman Prajohamidjojo, 2001:8).
Sukarton Marmosudjono (1989:68) mengemukakan
bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung dari mana kita
menyorotinya, apakah ditinjau dari segi asal kata, hukum, sosiologis, ekonomi,
dan lain-lain. Arti harfiah dari istilah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapakan yang menghina atau memfitnah.
Hal di atas ditegaskan kembali oleh
Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa dan Moch. Yamin, 1987:6) yang mengemukakan dan
memandang korupsi dalam bidang materil, bidang politik dan bidang ilmu
pengetahuan sebagai berikut :
Korupsi
adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan
perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau
kepentingan rakyat/umum.
Lebih
lanjut dijelaskan :
Perbuatan
yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang
materil sedangkan korupsi di bidang politik dapat terwujud berupa manipulasi
pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan atau campur tangan
yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan
dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si murid
(siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang seharusnya atau
menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ ciptaan ilmu pengetahuan atas
namanya adalah ciptaan orang lain.
Selo Sumarjan (Robert Kitgaard, 1998:xiii)
mengemukakan bahwa:
“korupsi jika seseorang secara tidak sah meletakkan
kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita yang menurut
sumpah akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk dan menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif,
sistem penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian
pinjaman, dan lain-lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana. Korupsi
bisa jarang atau meluas, bahkan di sejumlah negara sedang berkembang korupsi
telah meresap ke dalam sistem ketatanegaraan”.
O.C. Kaligis (2006:60) mengemukakan bahwa
dalam birokrasi atau suatu lembaga kejaksaan, korupsi dapat mengambil bentuk
sebagai berikut :
a.
Korupsi
Ekternal
1.
Pembayaran
untuk jasa-jasa wajib (payment for licit
service), misalnya seorang pegawai kejaksaan meminta sumbangan sukarela
untuk mengrimkan surat panggilan saksi.
2.
Pembayaran
bagi jasa-jasa yang tidak halal (payment
for illicit services), misalnya upaya untuk tidak memeriksa atau
mengesampingkan saksi a charge.
3.
Pungutan
uang untuk mejamin agar klien tidak dirugikan (extortion of bribes for refraining doing harm to the client)
misalnya seorang saksi yang terpaksa ikut menyuap jaksa dan polisi demi
melindungi posisinya, karena ada kemungkinan kesaksiannya tersebut menyudutkan
dirinya sendiri (dituduh ikut melakukan/made
dader).
b.
Korupsi
internal, dilakukan dengan cara-cara :
1.
Pemalsuan
catatan;
2.
Mencetak
label secara berlebihan;
3.
Penipuan
personalia, jabatan dipengaruhi dengan korupsi;
4.
Menunda
setoran;
5.
Korupsi
terhadap pengawasan internal, dengan menyuap pegawai yang bertugas menyidik,
agar kasus korupsinya dihentikan atau tidak dilanjutkan penyidikannya.
Sementara menurut Tim Prenzler dan Janet
Ransley (O. C. Kaligis, 2006:60), korupsi dikalangan penegakan hukum dapat
dibedakan atas 4 jenis, yaitu :
1.
Korupsi
klasik, sebagaimana umumnya dikenal, termasuk suap atau pemberian uang atau
hadiah agar seseorang tidak mejalankan tugasnya. Dalam hal ini juga termasuk
“uang keamanan” atau “perlindungan” yang diberikan dari aparat penegak hukum
kepada orang-orang tertentu. Termasuk juga mencuri barang-barang bukti, menjual
narkoba hasil sitaan atau menjual suatu informasi penting.
2.
Korupsi
proses, misalnya dalam hal penegakan hukum dapat memilih siapa-siapa yang ingin
dituntutnya dan siapa yang tidak akan dituntut atau dihadirkan sebagai saksi.
3.
Brutally corruption; dan
4.
Miscellaneous
misconduct.
Dari apa yang telah penulis uraikan di atas
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung
dari sudut pandang yang melakukan. Korupsi dapat berupa janji, ancamana, atau
keduanya; dapat pula dimulai oleh seorang pegawai negeri atau pihak lain yang
mempunyai kepentingan. Dapat mencakup tindakan penghilangan jejak ataupun
komisi; dapat melibatkan jasa yang sah maupun yang tidak sah; dan dapat terjadi
di dalam atau di luar organisasi pemerintah. Batas-batas korupsi sebagai suatu
tindak pidana sangatlah sulit untuk dirumuskan tergantung pada kebiasaan maupun
undang-undang domestik suatu negara yang akan mengaturnya.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan korupsi maka dapat kita katakana bahwa perbuatan korupsi tersebut
sangat merugikan terutama bagi perekonomian negara. Menurut Arief Sritua
(1986:44), perbuatan korupsi menciptakan 4 efek negatif yang telah melanda
kehidupan sosial ekonomi, yaitu :
1.
Berkembangnya
naluri komsumtif ke seluruh lapisan masyarakat yang ditimbulkan oleh pelemparan
uang panas atau pembelanjaan pendapatan gelap (black income) oleh para pelaku korupsi dan demonstration effect yang menyertainya.
2.
Pengalihan
sumber-sumber nasional ke luar negeri oleh pelaku-pelaku korupsi disebabkan
adanya kekhawatiran timbulnya gejolak sosial yang ditimbul di dalam negeri. Ini
membuat kemampuan ekonomis negara-negara dengan pemerintah yang korup sangat
lemah, dalam memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat dalam proses pembangunannya.
3.
Pergeseran
pendapatan yang bersifat semakin regresif setelah memperhitungkan pendapatan
dari hasil korupsi yang tidak tercatat; pendapatan dari hasil korupsi dan
penyimpangan-penyimpangan lain yang bersifat terselubung dan diselubungkan,
menyebabkan pendapatan ini tidak dapat masuk dalam jaringan objek perpajakan
langsung.
4.
Penyempitan
sosial dalam pemanfaatan jasa harta-harta sosial atau barang-barang dan
jasa-jasa umum. Ini terjadi akibat berlangsungnya suatu proses penentuan harga
barang dan jasa yang tidak wajar dalam masyarakat yang timbul dari adanya
ketidakwajaran di segi penyediaan dan permintaan.
Dalam kongres PBB ke-6 mengenai the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders pada tahun 1980, maka tindak pidana korupsi diklasifikasikan
sebagai jenis tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law).
Hal ini terjadi karena aparat penegak hukum relatif tidak berdaya atau tidak
mempunyai kekuatan menghadapi jenis tindak pidana ini, karena dua alasan, yaitu
:
1. Kedudukan
ekonomi atau politik yang kuat dari si pelaku (the high economic of
political status of their perpetrators); dan
2. Keadaan
yang dibuat sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk
dilaporkan atau dituntut (the
circumstances under which they had been commited were such as to decrease the
likehood of their being reported and prosecuted). (O. C. Kaligis,
2006:67).
Karena akibat yang sangat merugikan dari
perbuatan korupsi dan masih kurangnya pengaturan mengenai hal ini, dalam
kodifikasi peraturan pidana materil (KUHP) serta Hukum Acara Pidana di
Indonesia (KUHAP) maka perbuatan korupsi dimasukkan dalam kategori tindak
pidana khusus. Menurut M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan tindak pidana
khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan KUHAP. M. Yahya Harahap
(2002:257) membagi pemberlauan hukum acara pidana pada tindak pidana khusus ke
dalam dua kategori yaitu :
1.
Merupakan
gabungan antara hukum acara pidana umum (KUHAP) dengan hukum acara khusus yang
diatur sendiri dalam tindak pidana khusus tersebut. Jika terjadi penggabungan
yang seperti ini, biasanya hal itu ditegaskan dalam tindak pidana khusus,
dengan jalan menyebutkan bahwa disamping hukum acara pidana khusus yang
terdapat di dalamnya, diperlukan juga hukum acara pidana umum dengan cara
menggabungkan keduanya. Dengan demikian terjadilah dua kewenangan penyidikan
antara instansi kepolisian dan kejaksaan sebagai pengecualian terhadap prinsip
kewenangan tunggal penyidikan kepada instansi kepolisian.
2.
Disamping
penggabungan hukum acara tersebut di atas, tindak pidana khusus mengatur
sendiri hukum acara pidana dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan pembuktian.
Hal seperti ini dapat dilihat dalam tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas pemerintah merasa
perlu untuk mengupayakan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
membuat peraturan hukum khusus yang
mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi pertama kali
dianggap tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun
1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kenyataannya undang-undang ini tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Dalam perkembangannya undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengalami beberapa kali perubahan
diantaranya Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang pemberantasan Tindak Pindana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak
Pindana Korupsi, yang merupakan undang-undang tindak pidana korupsi terbaru
berupaya memperluas pengertian tindak pidana korupsi dan dibagi dalam 2
kelompok, yaitu :
1. Tindak
Pidana Korupsi
Tindak
Pidana Korupsi ini terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20. Delik korupsi
menurut undang-undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(a) Delik
korupsi dirumuskan dalam Pasal 2 (1) dan Pasal 3
(b) Delik
dalam KUHP Pasal, 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan pasal
453 yang diangkat menjadi delik korupsi masing-masing dalam Pasal 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, dan Pasal 12.
(c) Delik
penyuapan aktif, dalam Pasal 13.
(d) Delik
korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi
sebagai delik korupsi dalam Pasal 14
(e) Delik korupsi percobaan, pembantuan, pemufakatan
dalam Pasal 15
(f) Delik
korupsi dilakukan di luar teritori Negara Republik Indonesia dalam Pasal 16
(g) Delik
korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam Pasal 20.
2. Tindak
pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari Pasal 21 sampai dengan
Pasal 24, yaitu :
(a)
Mencegah,
merintangi, menggagalkan penyidikan/penuntutan pengadilan.
(b)
Pelanggaran
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengkualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi. Setiap ortang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar.
(c)
Pelanggaran
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, 421, 429,
dan Pasal 430 KUHP, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
(d)
Pelanggaran
Pasal 24 Undang-Undang 31 Tahun 1999, diancam dengan pidana sanksi yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 31 melarang saksi
atau orang yang bersangkutan dengan pidana korupsi menyebut nama atau alamat
pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahui identitas
pelapor (Martiman Promohamidjojo, 2001:19).
D.
Tugas
dan Wewenang Kejaksaan R.I
Pengaturan mengenai tugas dan wewenang
Kejaksaan RI dilihat dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, sebagaimana yang
hendak diketengahkan di bawah ini, yaitu :
(1) Di
bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan
penuntutan;
b. Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
e. Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
(2) Di
bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
(3) Dalam
bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan :
a. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan
kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan
peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e. Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian
dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16
tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakum untuk
menempatkan terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat
lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri disebabkan
oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya
sendiri.
Kemudian Pasal 32 undang-undang tersebut
menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama
dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi
lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Setela mencermati isi beberapa pasal di atas
dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Di
bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan
penuntutan;
b. Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
e. Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2. Di
bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau
pemerintah.
3. Dalam
bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan :
a. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan
kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan
peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e. Pencegahan
penyalahgunaan dan atau penodaan agama; dan
f. Penelitian
dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
4. Dapat
meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak;
5. Membina
hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan bagdan Negara lainnya;
6. Dapat
memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Jika dikaitkan dengan wewenang kejaksaan
dalam hal melakukan penuntutan perkara pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 14
KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang :
a.
Menerima
dan memeriksa berkas penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.
Melakukan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP. Dengan memberikan petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan penyidik;
c.
Memberikan
perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat
surat dakwaan;
e.
Melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f.
Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu disidangkan yang
disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.
Melakukan
penuntutan;
h.
Menutup
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut Undang-Undang ini;
i.
Melaksanakan
penetapan hakim;
Secara garis besar wewenang penuntut umum
menurut KUHAP dapat diinventarisir sebagai berikut :
a. Menerima
pemberitahuan dari penyidik mengenai suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana (Pasal 109 ayat (1), dan
pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6
ayat (1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan demi hukum);
b. Menerima
berkas perkara dari penyidik dalam tahap dan kedua sebagaimana dimaksud oelh
Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b KUHAP. Dalam hal acara pemeriksaan singkat
menerima langsung dari penyidik pembantu;
c. Mengadakan
prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) KUHAP dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 (3), (4) dan Pasal 138 ayat
(1) dan ayat (2) KUHAP;
d. Memberikan
perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (2)) melakukan penahanan dan penahanan
lanjutan (Pasal 20 ayat (20); Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 29,
melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2)); penahanan kota (Pasal 23) KUHAP;
e. Atas
permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat
mencabut penangguhan syarat yang ditentukan (Pasal 131) KUHAP;
f. Meminta
diadakan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan Negara untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80) KUHAP;
g. Menentukan
sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan (pasal 139) KUHAP;
h. Apabila
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat
1) membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat 1) KUHAP;
i. Membuat
surat penetapan penghentian penuntutan (SP3) (Pasal 140 ayat (2) huruf a)
KUHAP, dikarenakan :
1. Tidak
terdapat cukup bukti
2. Peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana
3. Perkara
ditutup demi hukum
j. Menentukan
penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutannya dikarenakan adanya
alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d) KUHAP;
k. Mengadakan
penggabungan perkara dan membuatkannya dalam surat dakwaan (Pasal 141) KUHAP;
l. Mengadakan
pemisahan penuntutan (Splitseng)
terhadap suatu berkas perkara yang
membuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal
142);
m. Melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas
perkara (Pasal 143 ayat (1)) KUHAP;
n. Membuat
surat dakwaan (Pasal 143 (2)) KUHAP;
o. Untuk
maksud penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, penuntut umum dapat
mengubah dakwaan sebelum pengadilan menentukan hasil sidang yang dimulai (Pasal
144) KUHAP.
E.
Jaksa Sebagai
Penyidik dan Penuntut Umum dalam Tindak Pidana Korupsi
Dalam
lingkup peraturan hukum Indonesia, pada waktu Herziene Inland Reglement (HIR) masih berlaku sebagai hukum acara
pidana di Indonesia, penyidikan dianggap sebagai bagian dari penuntutan.
Kewenangan yang demikian menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator
penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. Apabila jaksa
melakukan sendiri tindakan penyidikan terhadap suatu perkara, untuk menangani
perkara tersebut tidak diperlukan lagi penyidik Polri atau Penyidi Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) agar tidak terjadi duplikasi.
Hal
di atas tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Neil C. Chalin
(Indriyanto Seno Adji, 2001:5) yang menyatakan bahwa “sistem peradilan
pidana terdiri dari 3 (tiga) subsistem,
yaitu polisi, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan”. Serta pendapat Norval
Morris (Marjono Reksodiputro, 2000:8), yang menempatkan kejaksaan sebagai salah
satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4
(empat) subsistem, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan yang harus dilakukan secara bersinergi.
Oleh
karena itu perlu adanya pembaharuan ketentuan perundang-undangan di bidang
hukum acara pidana. Dengan dicabutnya HIR dan digantikan oleh KUHAP pada tahun
1981 melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Indonesia. Kelahiran KUHAP disambut dengan gembira dan diakui oleh dunia hukum
sebagai tonggak terjadinya pembaharuan hukum, khususnya hukum acara pidana
korupsi di Indonesia. KUHAP menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, serta hakim
(bahkan termasuk penasihat hukum), di dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
persidangan di pengadilan. Di dalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan,
penangkapan, dan penahanan berada di tangan lembaga kepolisian, sedangkan penuntutan
berada di tangan lembaga kejaksaan. Dengan dilakukannya pemisahan kewenangan
lembaga kepolisian sebagai penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai penuntut
umum, maka telah tercermin adanya suatu sistem pengawasan, agar tidak terjadi
sentralisasi kekuasaan. Meskipun secara yuridis-normatif telah diatur mengenai
tugas dan kewenangan masing-masing lembaga, namun perselisihan dan
ketidakharmonisan tugas dan kewenangan antar lembaga dalam sistem peradilan
pidana masih sering timbul.
Salah satu perselisihan
tugas dan kewenangan tersebut antara lain berada di bidang penyidikan. Pada
waktu HIR masih berlaku, penyidikan dapat dilakukan oleh banyak instansi.
Setelah berlakunya KUHAP, wewenang penyidikan hanya dibebankan kepada Polri
sebagai penyidik tunggal, walaupun masih ada penyidik lain, yaitu Penyidik
Pegawai Negeri SIpil (PPNS) yang kewenangannya sangat terbatas dan di bawah
koordinasi penyidk Polri. Masih ada penyidik lain selain penyidik yang
disebutkan di atas, yaitu jaksa yang melakukan penyidikan bagi pelaku tindak
pidana tertentu. Hal ini tersirat pengaturannya dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP
:
“Dalam
waktu dua tahun setelah undang-undang ini digunakan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus dengan acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi”.
Adapun yang dimaksud
dengan “ketentuan khusus acara pidana” sebagaimana termaktub dalam undang-undang
tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagai diatur dalam
undang-undang tindak pidana, misalnya tindak pidana ekonomi dan tindak pidana
korupsi (Marwan Effendy, 2005:145).
Setelah diberlakukan
Undang-Undang No. 5 tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI dengan Pasal 27 ayat (1)
huruf d, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan (nasporing) yang berbeda dengan
pemeriksaan lanjutan (osporing). Kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang diberikan oleh undang-undang tersebut
terbatas terhadap permintaan keterangan terhadap saksi dan ahli serta upaya
lain berupa penggeledahan dan penyitaan, sedangkan pemeriksaan lanjutan (nasporing) dapat dilakukan juga
terhadap tersangka. Baik pemeriksaan tambahan maupun penyidikan lanjutan hanya
dilakukan terhadap berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana
dimaksud oleh KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b.
Menurut Harun M.
Husein (1991:7) ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus dihubungkan dengan
Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983, Kewenangan Jaksa tidak hanya meliputi tugas
penuntutan sebagaimana diatur oleh KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan
penyidikan terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana
yang bersifat khusus. Jadi, memang benar jika dikatakan bahwa undang-undang
yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat khusus, yaitu mengenai
kewenangan jaksa untuk penyidikan dan penuntutan. Perlu juga dipahami, bahwa
kewenangan tersebut tidak bersifat mutlak, karena sekalipun KUHAP yang memuat
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, dapat dikesampingkan berdasarkan
prinsip lex-specialis derogate legi
generali oleh ketentuan undang-undang khusus tersebut. Undang-undang khusus
tersebut juga tidak pernah membatasi kewenangan polisi untuk menyidik tindak
pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dengan perkataan lain, tidak pernah
terdapat ketentuan acara pidana yang menyatakan bahwa penyidik Polri tidak
berwenang untuk menyidik suatu tindak pidana apapun.
F.
Bentuk-Bentuk
Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi
1.
Kewenangan Pengawasan Menurut KUHAP
Pengawasan
di dalam KUHAP antara lain terdapat dalam pasal 101 ayat (2) yaitu :
Penuntut umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai pentunjuk untuk
dilengkapi.
Pengawasan lain berbentuk berita acara pemeriksaan sesuai pasal 75 KUHAP. Yang
dibuat oleh penyidik, dalam pengawasan jaksa terhadap penyidik terdapat pada
pasal 138 ayat (2) KUHAP yang berbunyi :
Dalam hasil penyidikan ternyata belum lengkap
penuntut umum mengembalikan
berkas perkaranya kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14
hari sejak tanggal pengembalian berkas, penyidik harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara kepada penuntut umum.
Jika
mengutip pendapat Ismail Saleh ( 1988:7 ) bahwa :
Salah satu unsur pengawasan adalah
keterpaduan atau kebersamaan dalam kordinasi, maka hubungan antara kejaksaan
dan kepolisian tercermin dalam sebuah kelompok MAHKEJAROL (Mahkamah
Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisiaan), yang
merupakan wadah bagi pimpinan masing-masing lembaga yang mempunyai kaitan
dengan penegakkan hukum di Indonesia untuk saling bertukar Informasi,
berdiskusi memecahkan masalah-masalah yang memerlukan penanganan bersama.
Kelompok ini penting untuk mengatasi berbagai perbedaan antara instansi yang
sering kali menyebabkan lemahnya menegakkan hukum di Indonesia.
Dalam
Pasal 109 KUHAP terkandung nilai pengawasan, yaitu pengawasan jaksa kepada
tindakan penyidikan polisi. Bentuk pengawasan ini juga tercermin dalam pasal 80
KUHAP, dimana jaksa dapat digugat praperadilan jika menghentikan penuntutan.
Dalam hal kepolisian sudah melimpahkan berkas hasil penyidikan kepada
kejaksaan, dan Kejaksaan sudah mengatakan berkas tersebut lengkap tetapi
menghentikan penuntutan dengan surat P-21 yang seharusnya diteruskan dengan
membuat penuntutan. Hal ini cukup baik
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena selain kepolisian dapat
diawasi oleh kejaksaan, kepolisian juga dapat mengawasi pihak kejaksaan jika
hasil penyidikan yang telah P-21 tidak juga diajikan ke Pengadilan. Kedua
Lembaga ini tentunya akan sangat hati-hati dalam mengambil sebuah keputusan dan
ini akan membuat kedua lembaga akan bekerja dengan baik.
Pemberitahuan oleh penyidik
kepada penuntut umum dimulai sejak dimulainya penyidikan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP
:
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Lebih
lanjut Harum M. Husain ( 1991 :
208 ) menambahkan bahwa:
Dalam Praktik sering terjadi adanya pemberitahuan
dimulainya penyidikan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian apakah penyidikan
itu dihentikan atau berkasnya akan diserahkan kepada penuntut umum. Untuk
mengatasi permasalah ini, diperlukan rumusan yang jelas mengenai pemberitahuan
perkembangan penyidikan :
a.
Penyidik
memberitahukan tentang perkembangan penyidikan kepada penuntut umum, atau
b.
Penuntut
umum meminta penjelasan kepada penyidik atas perkembangan penyidikan.
Dengan
demikian, seharusnya fungsi Kontrol atau pengawasan tersebut berjalan dua sisi
atau timbal balik, bukan hanya pada saat penyidik melaporkan kepada penuntut
umum pada saat dimulainya penyidikan, namun penuntut umum berhak mempertanyakan
atau meminta penjelasan kepada penyidik mengenai perkembangan penyidikan suatu
perkara, tetapi dalam praktek jarang sekali terjadi.
Dalam KUHAP mekanisme
pengawasan terhadap tindakan penuntut umum hanya dapat dilakukan dalam hal :
- Kewajiban
untuk menyelesaikan penuntutan paling lama 20 ( dua
puluh) hari dan segera melimpahkannya kepada pengadilan, jika jangka waktu itu
terlampaui dan penuntut umum selesai, maka demi hukum si tersangka harus
dilepaskan dari tahanan. Apabila penuntut umum masih memerlukan waktu dari dua
puluh hari, maka penahanan si tersangka dapat diperpanjang atas perintah ketua
Pengadilan Negeri Untuk masa paling lambat 30 ( tiga
puluh ) hari.
- Dalam
hal penuntut umum menghentikan proses penuntutan (Sp-3) sesuai dalam pasal 140
ayat (2) :
a. Dalam
penuntut umum memutuskan untuk menghentikan benuntutan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa bukan tindak pidana atau ditutup demi hukum,
penuntut umum menuangkan dalam surat ketetapan.
b. Isi
surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,
wajib segera dibebaskan.
c. Turunan
surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik dan Hakim.
d. Apabila
kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
Berdasarkan apa yang dikemukakan
di atas, adalah pengawasan yang tersirat dari pasal-pasal KUHAP, sementara
tidak satupun pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur pengawasan terhadap
penuntut umum dalam membuat dan mengajukan tuntutannya, kondisi ini menjadi titik lemah dalam
pelaksaan KUHAP yang membuka kesempatan untuk terjadinya praktik-praktik manipulasi dan korupsi.
Karena tidak adanya di dalam
pasal-pasal KUHAP yang mengatur bagaimana fungsi
pengawasan terhadap penuntut umum secara umum dan jaksa secara khusus, dalam
menjalankan tugas-tugasnya dibidang pradilan pidana. Tidak adanya fungsi
pengawasan atau kontrol
terhadap lembaga kejaksaan telah menimbulkan berbagai penyimpangan dan
penyelewengan.
2.
Komisi
Kejaksaan Sebagai Lembaga Pengawasan Terhadap Jaksa
Akuntabilitas
sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi
terjadinya deviasi (penyalahgunaan) kewenangan oleh aparat kejaksaan saat
menjalakan tugas dan wewenangnya menegakkan hukum. Untuk menciptakan
akuntabilitas tersebut, perlu adanya pengawasan agar terbentuk aparat yang
bersih penuh tangung jawab, baik secara moral, agama dan hukum dan dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, terlebih terjadinya krisis kepercayaan
terhadap kinerja lembaga kejaksaan khususnya dalam memberantas Korupsi.
Pada dasarnya pertanggungjawaban kejaksaan adalah
pertanggungjawaban institusi kejaksaan dan pertanggungjawaban jaksa Perorangan
pertanggung jawab kejaksaan Republik Indonesia ini langsung kepada Presiden,
hal ini diamanatkan dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1991 dan undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan bahwa kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan kedudukan
jaksa agung ditetapkan setinggi Menteri di Negara, sebagai pembantu Presiden,
yang secara tegas dinyatakan diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung
jawab kepada presiden sedangkan secara individu jaksa dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya berada dibawah pengawasan jaksa agung muda pengawasan (JAMWAS)
selain itu fungsi pengawasan terhadap lembaga kejaksaan secara fungsional
External oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang masih terbatas jangkauannya,
sehingga produk yang dihasilkan dianggap sempit dan sektrol, belum menyentuh
subtansi fungsi yudisial, begitu juga JAMWAS sebagai aparat pengawas fungsional
external meskipun jangkauan pengawasanya lebih menyeluruh termasuk kinerja
institusi dan individu yang menyangkut fungsi yudisial, akan tetapi terbatas
pada aparatur Eselon struktur atau fungsional tertentu.
Berdasarkan hal diatas dan
krisis kepercayaan terhadap kinerja lembaga kejaksaan menjadi latar belakang
dibentuknya komisi kejaksaan, sebagai komisi yang bertugas mengawasi kinerja
lembaga kejaksaan dan para jaksa, dengan tujuan mewujudkan lembaga kejaksaan
yang mendiri dan profesional.
Komisi kejaksaan yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Perisiden Nomor 18 Tahun 2005 sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan, komisi kejaksaan yang
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Prisiden yang terdiri dari unsur
Pimpinan dan anggota yang seluruhnya
berjumlah tujuh orang yang berada dari beberapa orang kaingan Pesiunan Jaksa,
akademisi, Praktisi,dan tokoh masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 3 PERPRES
No. 18 Tahun 2005 mengenai kedudukan dan susunan Komisi Kejaksaan adalah :
1. Komisi
kejaksaan merupakan lembaga pemerintah Non-struktural
yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri, bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun.
2. Komisi
kejaksaan berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Sedangkan dalam Pasal 4
mengenai susunan Anggota dari komisi kejaksaan adalah:
1.
Komisi kejaksaan terdiri atas pimpinan dan
anggota yang seluruhnya berjumlah 7 orang.
2.
Pimpinan komisi kejaksaan terdiri atas ketua
dan seorang wakil ketua yang merangkap anggota.
3.
Anggota komisi kejaksaan adalah pejabat
publik.
4.
Keanggotaan komisi kejaksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Mantan Jaksa, Praktisi Hukum, Akdemisi dan
anggota masyarakat.
Apabila melihat dari segi
jumlah keanggotaan dari Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas terhadap
Kejaksaan hampir dapat dipastikan komisi kejaksaan tidak akan efektif
menjalankan fungsi pengawasan terhadap seluruh aparat kejaksaan. Kordinasi antara kejaksaan dan komisi
kejaksaan adalah elemen penting dalam rangka mewujudkan mekanisme pengawasan
yang efektif, agar tidak terjadi tumpang tindih, komisi kejaksaan dengan komisi
kejaksaan yang dalam tugas bekerja sama dan saling melengkapi.
Komisi kejaksaan yang dibentuk
sebagai badan yang mengawasi kinerja jaksa komisi ini memberikan rekomondasi
baik tertang penjatuhan sanksi kepada
jaksa yang bermasalah, maupun rekomendasi pemberian reward kepada jaksa yang
dinilai berprestasi, komisi kejaksaan yang bertugas melakukan pengawasan,
pemantau dan penilaian terhadap sikap dan sikap dan prilaku jaksa dan pegawai
kejaksaan baik didalam mapun diluar tugas kedinasan, melakukan pemantauan dan
penilaian terhadap kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta
sumber daya manusia dilingkungan kejaksaan.
Sesuai dengan PerPers No. 18
tahun 2005 pasal 10 mengenai tugas dan wewenang komisi kejaksaan adalah :
3. Komisi
kejaksaan mempunyai tugas :
a. Melakukan
pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai
kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya.
b. Melakukan
pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan prilaku jaksa dan
pegawai kejaksaan baik di dalam maupun diluar tugas kedinasan.
c. Melakukan
pematauan dan penilai atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan.
d. Menyampaikan
masukkan kepada jaksa agung hasil pemantauan, dan penilaian sebagai tersebut
huruf a, b, dan huruf c untuk ditindak lanjuti.
4. Dalam
melaksakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi kejaksaan wajib :
a.
Mentaati norma hukum dan ketentuan peraturan
Undang-undang.
b.
Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena
sifatnya merupakan rahasia komisi kejaksaan yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota.
Sedangkan dalam pasal 11 dalam
pelaksanaan tugas komisi kejaksaan
berwenang sebagai berikut :
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), Komisi kejaksaan berwenang :
a.
Menerima laporan masyarakat tentang perilaku
jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun
diluar kedinasan.
b.
Meminta Informasi dari badan pemerintah,
organisasi, atau anggota masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja
dilingkungan kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasaan kejaksaan
maupun berkaitan dengan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan didalam atau
diluar kedinasan.
c.
Memanggil dan meminta keterangan kepada jaksa
dan pegawai kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan / atau
dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan.
d. Meminta Informasi kepada badan di lingkungan
kejaksaan berkaitan dengan kondisi organisasi, personalia, sarana, dan
parsarana.
e. Menerima masukkan dari masyarakat tentang kondisi
organisasi kelengkapan sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia di
lingkungan kejaksaan.
f. Membuat laporan, rekomendasi atau saran yang
berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi
lingkungan kejaksaan atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan
Pegawai Kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden.
Pasal
12 ayat (2) Perpers Nomor 18 Tahun 2005 Komisi Kejaksaan berwenang mengambil
ahli fungsi dan dapat mengambil ahli pemeriksaan atas perilaku atau pelanggaran
peraturan kedinasan apabila memenuhi ketiga syarat dalam pasal 12 ayat (2)
sebagai berikut :
2)
Komisi Kejaksaan
dapat mengambil alih pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :
a.
Pemeriksaan oleh
aparat internal tidak menunjukkan kesungguhan atau berlarut-larut.
b.
Hasil pemeriksaan
oleh aparat pengawasan internal dinilai tidak sesuai dengan kesalahan yang
dilakukan oleh jaksa atau pegawai Kejaksaan yang diperiksa dan/ atau.
c.
Terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat
pengawasan internal.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum
Kejaksaan Tinggi Sulselbar, adapun alasan memilih lokasi tersebut oleh karena
Kejaksaan Tinggi Sulselbar merupakan salah kejaksaan tinggi diluar pulau jawa
yang banyak menagani perkara korupsi.
B. Jenis dan Sumber Data
a. Data Primer,
yaitu data yang diperoleh dan hasil wawancara langsung, dalam hal ini berupa
data yang terhimpun dan responden.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dan hasil
kajian pustaka, berupa buku-buku, bahan-bahan laporan, majalah-majalah, artikel
serta bahan literature lainnya.
C. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian Pustaka (Library Research)
Penelitian
dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan landasan teoritis dengan mempelajari
buku, karya ilmiah, hasil penelitian terdahulu, artikel-artikel, serta
sumber-sumber bacaan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang
diteliti. Data sekunder dan data primer diperoleh di Kejaksaan Tinggi Sulselbar.
b. Penelitian Lapang (Field Research)
Teknik
pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini dilakukan dengan Wawancara,
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersifat primer dan ada
relevansinya dengan permasalahan. Teknik wawancara tidak didasarkan pada daftar
pertanyaan tertulis dan tersusun, tetapi wawancara langsung tanpa membacakan
daftar pertanyaan. Wawancara dilakukan secara terpisah dengan mendatangi para
responden.
D.
Analisis
Data
Penulis dalam menganalisa data yang diperoleh
dan hasil penelitian menggunakan teknik analisa data pendekatan kualitatif,
yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif,
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan
perilaku nyata, yang diteliti dan dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh,
sepanjang hal itu sebagai sesuatu yang nyata.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Kewenangan
Pengawasan Terhadap Jaksa Penyidik Dalam Tindak Pidana Korupsi pada
Peraturan Jaksa
Agung Nomor: PER-069/A/JA/07/2007
Dalam
peraturan Jaksa Agung Ini, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1, telah
ditentukan secara limitatif mengenai defenisi pengawasan, yaitu:
Pengawasan adalah kegiatan berupa pengamatan,
penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban, pemeriksaan,
penindakan, dan pemantauan terhadap pelaksanaan tugas semua unsur kejaksaan,
serta sikap perilaku, dan tutur kata pegawai Kejaksaan sesuai dengan peraturan
peraundang-undangan, Rencana Strategis,serta kebijakan yang telah ditetapkan
oleh jaksa Agung Republik Indonesia.
Berdasarkan
defenisi di atas, penulis beranggapan bahwa dibentuknya Peraturan Jaksa Agung
Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 merupakan salah satu upaya pimpinan Kejaksaan
Republik Indonesia untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pegawai kejaksaan yang dilakukan secara internal. Hal ini cukup positif guna penegakan hukum di Indonesia,
hal ini dikarenakan, pengawasan terhadap jaksa tidak hanya dilakukan mengenai
kinerja jaksa menyangkut tugas pokok dan fungsinya, melainkan juga mencakup
keseharian seorang jaksa diluar jam kerja.
Tujuan
pengawasan telah dipaparkan lebih jelas dalam Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung
Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa:
Tujuan pengawasan:
a.
Agar
kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mampu mewujudkan kepastian
hukum, ketertiban hukum, keadilan, kebenaran, berdasarkan hukum dengan
mengindahkan norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan.
b.
Agar
setiap pegawai kejaksaan mengemban tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung
jawab serta menghindarkan diri dari sikap, perilaku dan tutur kata yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih
lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, juga
disebutkan bahwa sasaran pengawasan meliputi:
a.
Pelaksanaan
tugas baik rutin maupun pembangunan oleh setiap satuan kerja apakah telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Rencana strategis serta kebijakan
yang ditetapkan oleh jaksa Agung Republik Indoinesia.
b.
Penggunaan,
pemeliharaan, serta kebutuhan atas sarana prasarana serta biaya yang diperlukan
dalam mendukung kegiatan organisasi.
c.
Sikap,
perilaku, dan tutur kata pegawai kejaksaan.
Jika kita melihat baik
tujuan maupun sasaran pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Jaksa
Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
pegawasan ini pada hakikatnya dilakukan untuk mengawasi pegawai kejaksaan
secara umum, tanpa memprioritaskan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik
tindak pidana korupsi. Namun, sebagai
pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap jaksa seharusnya mampu
memprioritaskan fungsi pengawasan terhadap jaksa yang berkaitan dengan
penuntutan terutama pada perkara tindak pida korupsi, mengingat bahwa perkara
tindak pidana korupsi di Indoneisa sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan.
1.
Bentuk
Pengawasan Yang Diatur Dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007.
a.
Pengawasan
Melekat.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pengawasan melekat adalah serangkaian
kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan
langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif, agar pelaksanaan
tugas bawahan dapat berjalan secara efektif dan efesien sesuai dengan rencana
kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan Jaksa Agung
Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 pengawasan melekat diartikan sebagai pengawasan yang
dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja terhadap bawahannya untuk mengarahkan
seluruh kegiatan pada setiap unit kerja agar rencana strategis Kejaksaan dapat
dicapai secara afektif dan efesien.
Dalam pegawasan melekat
ini, pihak yang berwenang melakukan pengawasan adalah :
a. Tingkat
Kejaksaan Agung:
1. Jaksa
Agung Republik Indonesia;
2. Pejabat
Eselon I;
3. Pejabat
Eselon II;
4. Pejabat
Eselon III;
5. Pejabat
Eselon IV;
b. Tingkat
Kejaksaan Tinggi:
1. Kepala
kejaksaan Tinggi dan Wakil kejaksaan Tinggi;
2. Pejabat
Eselon III;
3. Pejabat
Eselon IV;
4. Pejabat
Eselon V;
c. Tingkat
Kejaksaan Negeri:
1. Kepala
Kejaksaan Negeri;
2. Pejabat
Eselon IV;
3. Pejabat
Eselon V;
Pengaturan pihak yang
berwenang melakukan pengawasan ini diberikan kepada satuan
kerja sampai dengan dua tingkat kebawah, tentunya pengaturan ini bukan tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar
pihak yang melakukan pengawasan tidak berada di bawah tekanan dikarenakan
persoalan kepangkatan, oleh sebab itu pihak yang berwenang melakukan pengawasan
selalu diberikan kepada pihak yang lebih tinggi kepangkatannya dari pada pihak
yang diawasi. Namun walaupun demikian ada baiknya selain pengawas dari pihak
kejaksaan, perlu juga adanya pengawas dari luar instansi kejaksaan, seperti KPK
atau pihak kepolisian yang diberikan kewenangan mengawasi pihak kejaksaan,
terutama dalam perkara tindak pidana korupsi.
Adapun
yang menjadi fungsi pengawasan melekat yang di atur dalam Pasal 6 Peraturan
Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 adalah:
a.
Melakukan
pengawasan preventif agar tugas rutin dan pembangunan serta sikap, tutur kata
pegawai kejaksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana
strategis, dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik
Indonesia.
b.
Menegakkan
Disiplin, meningkatkan etos kerja, dan membangun kerja sama.
c.
Melakukan
langkah-langkah pembinaan, pemberdayaan penertiban, dan pemantauan terhadap
kekurangan dan penyimpangan yang ditemukan sebagai upaya optimalisasi
pelaksanaan tugas pada satuan kerja masing-masing.
d.
Mengambil
langkah-langkah pemberian rekomendasi penghargaan terhadap prestasi kerja yang
ditemukan.
Dalam pengawasan
melekat ini, peranan pengawas sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai
kejaksaan, jika pengawas tidak dapat memberikan contoh perilaku yang baik dan
sesuai dengan tujuan pengawasan melekat ini, maka pihak yang diawasi tentunya
akan berperilaku sama dengan pengawasnya, hal ini dikarenakan pihak yang
diawasi akan tidak takut dan tunduk lagi pada pengawas karena saling mengetahui
kesalahan dan bersama-sama menyembunyikan kesalahannya agar tidak diketahui
oleh pihak pengawas yang lebih tinggi, apalagi antara pengawas dan pihak yang
diawasi berada dalam satu atap.
Tata cara pengawasan melekat yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan
Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 ini adalah:
(1)
Pengawasan
melekat dilaksanakan terus menerus dengan memperhatikan sistem pengendalian
manajemen.
(2)
Pengawasan
melekat dilaksanakan ditempat satuan kerja sampai dua tingkat ke bawah.
(3)
Terhadap
jaksa pengawasan melekat juga dilaksanakan dengan instrumen Penilaian kinerja
jaksa yang menilai unsur penanganan perkara dan administrasi perkara.
(4)
Dalam
melaksanakan pengawasan melekat, terutama mengenai tugas yang saling berkaitan
dengan satuan kerja lainnya, amsing-masing pimpinan satuan kerja wajib
memperhatikan:
a.
Adanya
kesamaan dan kesatuan bahasa.
b.
Adanya
kesamaan dan kesaruan tafsir.
c.
Adanya
kesamaan dan kesatuan tindak.
(5)
Pimpinan
satuan kerja yang melaksanakan pengawasan melekat dan memperoleh temuan yang
ada kaitannya dengan satuan kerja lainnya, wajib secepatnya menyampaikan temuan
tersebut kepada pimpinan satuan kerja yang bersangkutan.
Tata cara pengawasan sebagaimana disebutkan diatas dianggap
oleh penulis cukup efektif. Dengan
cara pengawasan seperti ini, pegawai kejaksaan akan terus menyelesaikan
tugasnya dengan cepat dan tepat sasaran. Apalagi mengingat bahwa tindak pidana
yang sering
dilakukan seorang jaksa terkait dengan jabatannya adalah melakukan
negosiasi atau tawar menawar dengan pihak tersangka, keluarga dan pengacaranya
dengan tawaran bahwa kasus tersebut dapat dikeluarkan SP3, atau dengan menggantung status seseorang
atau memperlambat proses pemeriksaan dengan harapan menunggu tersangka
menghubungi dengan ancaman mau lanjut atau stop. Jadi status dapat
dinegosiasikan dengan jaksa apakah menjadi saksi atau tersangka. Jika terdakwa
bisa menyediakan sejumlah uang yang sesuai dengan bobot kasusnya maka kasus itu
dapat dihentikan dan diterbitkan P18 dengan alasan utama tidak cukup bukti Abdul
Asiz (2004:1).
b.
Pengawasan
Fungsional
Dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007
pengawasan Fungsional diartikan sebagai:
Pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat
fungsional terhadap pelaksanaan tugas semua unsur Kejaksaan Serta sikap,
perilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan.
Pejabat pengawasan sebagaimana
dimaksud di atas terdiri dari;
a. Tingkat
Kejaksaan Agung
1. Jaksa
Agung Muda Pengawasan.
2. Sekretaris
Jaksa Agung Muda Pengwasan.
3. Inspektur.
4. Inspektur
Pembantu.
5. Pemeriksa.
b. Tingkat
Kejaksaan Tinggi:
1. Asisten
Pengawasan;
2. Pemeriksa;
c. Tingkat
Kejaksaan Negeri Yang memiliki Cabang Kejaksaan Negeri:
1. Pemeriksa.
Sama halnya dengan
pengawasan melekat, kewenangan pengawasan pada bentuk pengawasan fungsional ini
diberikan kepada pihak internal kejaksaan, namun hal yang lebih positif adalah
pihak yang berwenang melakukan pengawasan bukan merupakan pimpinan pada
instansi kejaksaan yang bersangkutan. Penulis menganggap hal ini baik karena
pengawas tidak memiliki kepentingan yang berpengaruh terhadap hasil laporan,
sehingga laporan hasil penelitian bukanlah merupakan manipilasi dari pengawas,
terkecuali ada campur tangan lain. Berbeda dengan pengawasan melekat, tentunya
untuk mendapatkan penghargaan dan tidak dinyatakan gagal dalam memimpin
kejaksaan tinggi maupun negeri, pengawas dalam hal ini salah satunya adalah
kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan negeri akan senantiasa memberikan
laporan baik guna keberhasilan kepemimpinannya. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kinerja pegawai kejaksaan yang tidak menganggap serius pelaksanaan
pengawasan ini.
Funsi pengawasan fungsional seabgaimana
ditentukan
dalam Pasal 12 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
a.
Melakukan
pengawasan secara represif agar tugas rutin dan pembangunan serta sikap,
perilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan sesuai dengan peraturan
perundang-undanggan, rencana kerja dan program kerja serta kebijakan yang
ditetapkan oleh jaksa agung Republik Indonesia.
b.
Mengambil
langkah-langkah berupa pemeriksaan, penertiban, dan penindakan terhadap
penyimpangan yang ditemukan.
c.
Menindaklanjuti
Laporan pengawasan melekat sebagai salah satu dasar pelaksanaan pengawasan
fungsional.
Adapun bentuk-bentuk pengawasan fungsional adalah:
1)
Pengawasan
di belakang meja:
Pengwasan di belakang meja merupakan penelitian dan
pemberian petunjuk atas surat-surat dan atau laporan yang diterima. Adapun tata
cara pengawasan dibelakang meja ini adalah :
1) Penelitian, pengujian, bimbingan, penertiban, dan
pertimbangan atas surat-surat dari satuan kerja, laporan pengaduan atau
sumber-sumber lainnya yang diterima.
2) Pemeriksaan dibelakang meja dilakukan atas surat-surat
dari satuan kerja meliputi kecepatan, ketetapan, pengiriman, format dan materi
laporan.
3) Pemeriksaan dibelakang meja, atas laporan pengaduan
adalah pemeriksaan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada
perbuatan tercela yang dilakuakn oleh pegawai kejaksaan.
4) Hasil penelitian dituangkan dalam telaahan untuk
diteruskan kepada pimpinan di tingkat:
a. Kejaksaan Agung Republik Indonesia kepada Jaksa Agung
Muda Pengawasan.
b. Kejaksaan Tinggi Kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
c. Kejaksaan Negeri Kepada Kepala Kejaksaan Negeri.
Jika dikaitkan
dengan permasalahan seringnya berkas penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi tertunda untuk di ajikan ke
pengadilan, maka bentuk pengawasan di belakang meja ini dapat dikatakan cukup
efektif dan dapat menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan masalah
terlambatnya sebauh perkara tindak pidana korupsi diajukan ke pengadilan.
2)
Inspeksi
umum
Inspeksi umum
adalah pemeriksaan terhadap semua satuan kerja kejaksaan berdasarkan program
kerja pengawasan tahunan (PKPT) yaitu program kerja yang disusun dan
direncanakan untuk tahun mana yang bersangkutan yang merupakan jadwal inspeksi
umum dalam satu tahun sebagaimana tersebut dalam rencana straregik Kejaksaan
Republik Indonesia. Adapun tata cara pengawasan inspeksi umum ini adalah:
1) Inspeksi umum dilaksanakan sekurang-kurangnya satu hari
untuk satu satuan kerja.
2) Pimpinan inspeksi memberitahukan kepada pimpinan satuan
kerja tentang inspeksi yang akan dilaksanakan.
3) Setelah tiba ditempat satuan kerja, pimpinan dan anggota
inspeksi mengadakan pertemuan singkat dengan pimpinan satuan kerja yang di
inspeksi beserta staff dan memberitahukan maksud dan tujuan inspeksi serta menyerahkan
Surat Perintah Inspeksi.
4) Selesai pertemuan tersebut selanjutnya dilanjutkan dengan
inspeksi berdasarkan Program Kerja Pemeriksaan (PKP) yang telah dipersiapkan.
5) Selesai melaksanakan inspeksi, pimpinan inspeksi
memberitahukan kepada pimpinan satuan kerja tentang temuan inspeksi dan
memberikan pokok-pokok petunjuk penertiban.
6) Pemberitahuan hasil temuan inspeksi dapat juga dihadiri
oleh seluruh atau sebagian pegawai satuan kerja tersebut.
7) Setelah inspeksi umum, pimpinan inspeksi wajib segera
melaporkan secara lisan dan atau tertulis mengenai hal-hal penting/menarik
perhatian kepada atasannya langsung untuk mendapat perhatian dan tindak lanjut.
Dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap jaksa selaku
penyidik dalam tindak pidana korupsi, penulis menilai bahwa inspeksi umum ini
tidak terlalu berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya sebuah perkara diajukan
ke pengadilan, atau apakah pasal yang diterapkan kepada terdakwa tindak pidana
korupsi sudah sesuai atau belum. Hal ini dikarenakan inspeksi umum ini hanya
memprioritaskan kepada terlaksananya program kerja tahunan dan rencana
strategis yang dilakukan oleh satuan kerja pada tiap kantor kejaksaan.
3)
Inspeksi
Pimpinan
Inspeksi pimpinan adalah inspeksi yang dilaksanakan oleh
Jaksa Agung Muda Pengawasan atau Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan atas
perintah Jaksa Agung Muda Pengawasan dengan obyek periksa megenai pelaksanaan
pengawasan di daerah serta kepemimpinan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Asisten
Pengawasan Dalam melaksanakan tugas rutin dan pembangunan. Adapun tata cara
inspeksi pimpinan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan
Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 adalah sama dengan tata cara inspeksi umum. Tentunya hal ini tidak
berpengaruh banyak terhadap kenerja jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana
korupsi, dalam penyampaian laporan kerja seorang pimpinan akan senantiasa memberikan
laporan kinerja yang baik. Hal ini dimaksudkan agar kepemimpinannya dianggap
tidak gagal dan dapat memperoleh penghargaan atas laporan kinerja yang baik.
4)
Ispeksi
Kasus
Inspeksi kasus merupakan pemeriksaan terhadap dugaan
terjadinya perbuatan tercela yang dilakukan oleh pegawai kejaksaan. Adapun tata
cara inspeksi kasus ini adalah:
1) Petunjuk adanya penyimpangan dan perbuatan tercela
diperoleh dari hasil temuan pengawasan melekat atau berdasarkan laporan
pengaduan masyarakat yang diterima oleh Pejabat Pengawasan Fungsional
Kejaksaan.
2) Petunjuk tersebut diteliti dan diolah dalam bentuk
telaahan untuk menjadi bahan pertimbangan Jaksa Agung Muda Pengawasan/Kepala
Kejaksaan Tinggi/ Kepala Kejaksaan negeri dalam mengambil keputusan perlu
tidaknya dilaksanakan inspeksi kasus.
3) Apabila Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kepala Kejaksaan
Tinggi/Kepala Kejaksaan Negeri menganggap perlu dilaksanakan isnpeksi kasus,
maka pemeriksaan dilakukan oleh Pejabat Pengawasan Fungsional pada:
a. Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia atas perintah jaksa Agung Republik Indonesia.
b. Kejaksaan Tinggi atas perintah Kepala Kejaksaan Tinggi.
c. Kejaksaan Negeri atas perintah Kepala Kejaksaan Negeri.
Jika dicermati,
inspeksi kasus yang dimaksudkan ini merupakan upaya Kejaksaan untuk melakukan
pengawasan terhadap pegawai kejaksaan menyangkut etika dan tingkah lakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Penulis beranggapan bahwa hal ini dimaksudkan agar
pegawai kejaksaan dapat terus menjaga citra kejaksaan di mata masyarakat.
Secara umum Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007 ini memang kebanyakan
mengatur mengenai pegawai kejaksaan dalam kaitannya dengan tingkah laku pegawai
kejaksaan, hanya sebagian kecil saja aturan yang menyangkut kinerja pegawai
kejaksaan dalam kaitannya dengan jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana
korupsi.
2.
Bentuk Tindak Lanjut
Dalam sebuah
pengawasan, hasil yang dicapai baik itu berupa pelanggaran, maupun berupa
prestasi akan ditindak lanjuti. Tentunya jika ditemukan adanya pelanggaran
terhadap peraturan tertentu harus ada tinjak lanjut yang dilakukan guna
memberikan efek jera terhadap pelanggar dan pelanggar tidak mengulangi
perbuatannya. Sebaliknya jika pegawai kejaksaan ternyata memberikan prestasi
akan diberikan penghargaan guna memacu pegawai lainnya bisa memperoleh prestasi
yang sama atau lebih. Tindak lanjut hasil pengawasan ini dituangkan dalam
bentuk petunjuk penertiban, nota pengawasan, penindakan atau pemberian
penghargaan.
Pejabat yang
berwenang memberikan menjatuhkan hukuman di lingkungan kejaksaan adalah Jaksa
Agung Republik Indonesia dan pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung
Republik Indonesia. Penjatuhan hukuman terhadap hasil pengawasan ini diatur
pada Pasal 34 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
1) Pegawai Kejaksaan yang berdasarkan hasil pemeriksaan
ternyata melakukan beberapa perbuatan tercela terhadapnya dapat dijatuhi satu
hukuman disiplin yang terberat.
2) Pegawai kejaksaan yang pernah dijatuhi hukuman disiplin
kemudian dalam tenggang waktu tertentu melakuakn perbuatan tercela, dijatuhi
hukuman disiplin lebih berat.
3) Tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di
atas dihitung sejak yang bersangkutan menjalankan hukuman disiplin dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. 6 bulan untuk tingkat hukuman disiplin ringan.
b. 1 tahun untuk hukuman disiplin sedang.
c. 2 tahun untuk tingkat hukuman disiplin berat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 30
tahun 1980.
Selain pemberian
sanksi kepada pegawai kejaksaan, tentunya kepada mereka yang menorehkan
serangkaian prestasi diberikan penghargaan guna memacu pegawai kejaksaan
lainnya. Pemberian penghargaan tersebut di atur dalam Pasal 38 Peraturan Jaksa
Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007,
yaitu;
1) Pemberian penghargaan diberikan atas dasar temuan
pengawasan tentang prestasi.
2) Pemberian penghargaan disusun oleh Jaksa Agung Muda
Pengawasan kepada jaksa Agung Republik Indonesia
3) Pemberian penghargaan diatur lebih lanjut dalam peraturan
Jaksa Agung Republik Indonesia.
Apa yang penulis
paparkan di atas merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dilakukan penulis dari
berbagai literatur. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada
Kejaksaan Tinggi SulSelBar tanggal 29
Juli 2010, penulis juga menemukan hal serupa. Arif Syarifudin selaku jaksa
tindak pidana korupsi menyebutkan bahwa;
Yang berwenang melakukan pengawasan terhadap jaksa
penyidik dalam tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah sebagaimana yang
disebutkan pada Pasal 5 Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-069/A/JA/07/2007, yaitu:
a.
Tingkat
Kejaksaan Agung:
1.
Jaksa
Agung Republik Indonesia;
2.
Pejabat
Eselon I;
3.
Pejabat
Eselon II;
4.
Pejabat
Eselon III;
5.
Pejabat
Eselon IV;
b.
Tingkat
Kejaksaan Tinggi:
1.
Kepala
kejaksaan Tinggi dan Wakil kejaksaan Tinggi;
2.
Pejabat
Eselon III;
3.
Pejabat
Eselon IV;
4.
Pejabat
Eselon V;
c.
Tingkat
Kejaksaan Negeri:
1.
Kepala
Kejaksaan Negeri;
2.
Pejabat
Eselon IV;
3.
Pejabat
Eselon V;
Namun agar pengawasan ini dapat berjalan dengan baik,
maka diperlukan kerja sama yang baik antara stakeholders, termasuk didalamnya
adalah kepolisian dan juga KPK. Bentuk pengawasan terhadap jaksa penyidik dalam
tindak pidana korupsi terbagi menjadi 3 bagian yaitu, pengawasan melekat,
pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat.
Dalam wawancara
yang sama, lanjut Arif Syarifudin menegaskan bahwa:
Kewenangan terhadap jaksa penyidik dalam tindak pidana
korupsi secara teknis sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pada
tataran kenyataan, apa yang diharapkan belum dapat terlaksana secara maksimal.
Hal ini dikarenakan belum terbentuknya sinegritas yang bagus antara stakeholder
yaitu masyarakat, pihak swasta, pemerintah, kepolisian, KPK, termasuk
didalamnya pihak Kejaksaan itu sendiri.
Berdasarkan hasil
penelitian di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan pengawasan terhadap jaksa
selaku penyidik pada tindak pidana korupsi masih sangat lemah. Kewenangan
pengawasan yang dilakukan selama ini sebenarnya bukanlah kewenangan yang
spesifik, akan tetapi hanya berupa kewenangan pengawasan secara umum dalam hal
ini pemberdayaan penertiban, dan pemantauan terhadap kekurangan dan
penyimpangan yang ditemukan sebagai upaya optimalisasi pelaksanaan tugas pada
satuan kerja masing-masing. Penulis berpendapat bahwa tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah termasuk dalam tahap yang memprihatinkan, sehingga sudah
seharusnya dibentuk suatu lembaga yang kewenangannya ksusus mengawasi jaksa
maupun penyidik yang manangani perkara tindak pidana korupsi.
B.
Kendala
Yang Dihadapi Dalam Kewenangan Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Dalam
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam upaya pengawasan
terhadap jaksa tentunya kewenangan ini menjadi salah satu faktor yang sangat
berpengaruh. Siapa yang berwenang, apa jabatannya dan apa kewenangannya
merupakan hal yang harus dipertimbangkan secara baik, agar pelaksanaan
pengawasan ini dapat berjalan sebagaimna mestinya. Dari berbagai peraturan yang terkait mengenai kewenangan
pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi,
banyak kendala yang mungkin terjadi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
oleh penulis di Kejaksaan tinggi SulSelBar pada tanggal 29 Juli 2010 dengan
Amir Syarifudin, menyatakan bahwa:
Salah satu problema besar yang
dihadapi dalam kewenangan pengawasan ini adalah terjadinya penghentian proses
penyidikan dikerenakan kurang cukupnya barang bukti. Hal ini dapat saja
dilakukan oleh seorang penyidik, tanpa diketahui oleh pengawasan penyidik.
Sehingga pengawas penyidik pun tidak dapat melakukan tindakan apa-apa,
sekalipun tidak cukupnya barang bukti tersebut merupakan hasil rekayasa oleh
jaksa selaku penyidik setelah bekerja sama dengan tersangka. Sementara
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, baik itu pengawasan
fungsional maupun pengawasan melekat hanya melakukan pengawaan melalui
pemeriksaan berkas saja. sementara kecurangan-kecurangan bisa saja terjadi pada
tataran praktek dan berkas/laporan dapat dimanipulasi, dalam hal ini pegawai
kejaksaan yang memberikan laporan tidak bersifat kooperatif.
Penulis
berpendapat bahwa perlu adanya kewenangan lebih yang diberikan kepada pengawas
agar pengawasan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini terkait dengan proses
penyidikan, pengawas semestinya diberikan kewenangan untuk dapat ikut melakukan
penyidikan dan mempertanyakan perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh
seorang pegawai kejaksaan.
Lebih
lanjut dalam wawancara yang sama Amir
Syarifudin menambahkan:
Bahwa salah satu faktor yang juga
menghambat kewenangan pengawasan yang dilakukan dalam lingkup kejaksaan adalah
adanya intervensi tugas pengawasan yang dilakukan oleh pihak legislatif dan
eksekutif. Hal ini tentunya akan sangat mengganggu kinerja dan proses
pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi. Tindakan ini jelas sangat
tidak diharapkan, Apalagi
ditambah dengan munculnya lembaga KPK, jelas bahwa pihak eksekutif sangat
meragukan kredibilitas dari pihak kejaksaan. Semestinya pihak legislatif dan eksekutif
mempercayakan wewenang pengawasan itu sendiri pada pihak kejaksaan.
Namun hal ini bukan berarti bahwa pihak eksekutif dan legislatif lepas tangan,
tetap mengawasi hanya saja mohon dikurangi, jangan sedikit-sedikit memanggil
pihak kejaksaan ke DPR untuk di interogasi.
Jika di
amati, apa yang disampaikan oleh Amir Syarifudin selaku jaksa merupakan bentuk
kekecewaan kepada pihak legislatif dan eksekutif yang tidak mempercayai pihak
kejaksaan dalam upaya pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik pada perkara
tindak pidana korupsi. Namun penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh
pihak eksekutif dan legislatif adalah hal yang sangat wajar, mengingat
banyaknya perkara tindak pidana korupsi yang sering dihentikan di tingkat
penyidikan, selain itu hal ini dapat memberikan dorongan kepada seorang jaksa
agar senantiasa bekerja tepa waktu dan tepat sasaran. Sehingga tidak menjadikan
pegawai kejaksaan yang menjadi penyidik dapat melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan negara.
Namun,
penulis membenarkan juga apa yang disampaikan Amir Syarifudin mengenai
pemanggilan mendadak yang dilakukan oleh pihak legislatif dan eksekutif. Hal
ini bukanlah suatu tindakan yang dapat membantu, melainkan sangat dapat
menggangu pekerjaan seorang jaksa dalam upaya penanganan perkara tindak pidana
korupsi. Agar proses pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif dan
legislatif ini tidak menggangu, ada baiknya indikasi terjadinya kesalah penggunaan
wewenang diselesaikan sesuai dengan prosedur yang ada. Baik itu setelah suatu
perkara tindak pidana di proses, atau pun meminta keterangan melalui kepala
kejaksaan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kewenangan
pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi meliputi
pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Kewenangan untuk melakukan
pengawasan diberikan kepada satuan
kerja sampai dengan dua tingkat kebawah,
hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan pengawasan, pihak yang berwenang tidak
berada dalam tekanan. Dalam hal melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi, pengawas berwenang meminta laporan mengenai perkembangan perkara
tindak pidana korupsi yang ditangani oleh seorang jaksa.
2. kendala
yang dihadapi dalam kewenangan pengawasan terhadap jaksa selaku penyidik dalam
tindak pidana korupsi adalah :
a.
Tidak kooperatifnya seorang jaksa penyidik
tindak pidana korupsi dalam memberikan laporan kepada pihak yang berwenang
melakukan pengawasan.
b.
Adanya campur tangan dari pihak eksekutif dan
legislatif yang dapat membuat proses penyidikan menjadi terhambat dikarenakan
penyidik dimintai laporan pada saat proses penyidikan belum selesai.
B. Saran
Adapun saran yang dapat
direkomendasikan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Ada
baiknya kewenangan melakukan pengawasan terehadap jaksa selaku penyidik tindak
pidana korupsi diberikan juga kepa pihak yang berasal dari luar kejaksaan. Hal
ini dimaksudkan agar transparansi mengeanai kinerja kejaksaan dapat diketahui
oleeh masyarakat umum dan juga dapat lebih meningkatkan pelaksanaan pengawasan
terhadap jaksa selaku penyidik pada tindak pidana korupsi.
2. Agar
proses penyidikan tidak terhambat, ada baiknya pihak eksekutif maupun
legislatif yang ingin melakukan pengawasan terhadap kinerja jaksa selaku
penyidik tindak pidana korupsi tidak melakukan pemanggilan terhadap jaksa yang
bersangkutan pada saat proses penyidikan sementara berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Azis,
Abdul, Pemantauan Terhadap Kinerja
Kejaksaan Terhadap Proses Peradilan Pidana. Tulisan disampaikan pada
Workshop Pemantauan Kejaksaan diselenggarakan oleh MaPPI dan Yayasan TIFA di
Jakarta. 28-30 Juni 2004.
Baharuddin
Lopa dan Moch. Yamin. 1987. Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alumni. Bandung.
Effendi,
Marwan, 2005. Kejaksaan RI Posisi dan
Fungsinya dari Perspektif HUkum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hamzah,
Andi, 1984. Korupsi di Indonesia Masalah
dan Pemecahannya. PT. Gramedia.Jakarta.
__________
1990. Pengatur Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Harahap,
M. Yahya, 1985. Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta.
__________
2000. Pembahasan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan. Cetakan II. Sinar Grafika. Jakarta.
Harkristuti
Harkrisnowo. Membangun Strategi Kinerja
Kejaksaan bagi Peningkatan Produktivitas, Profesionalisme, dan Akuntabilitas
Publik: Suatu Usulan Pemikiran. Makalah disampaikan pada Seminar Strategi
Peningkatan Kinerja Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supermasi HUkum.
Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung di
Jakarta. 22 Agustus 2001.
Harun
M. Husein. 1991. Penyidikan dan
Penuntutan Dalam Proses Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
O.C.
Kaligis. 2006. Pengawasan terhadap Jaksa
Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. O.C.
Kaligis & Associates. Jakarta.
Prodohamidjojo,
Martiman, 2001. Penerapan pembuktian
Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Mandar Maju. Bandung
Reksodiputro,
Marjono, Kedudukan Advokad dalam Sistem
Peradilan Pidana (dalam Rangka Integrated Judicary System). Makalah
disampaikan pada Semiloka di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 13 Desember
2000.
Ridwan,
HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta .
Robert
Klitgaard. 1998. Membasmi Korupsi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Supandji,
Hendarman, Peningkatan Peran Masyarakat
Melalui Program Pemantauan GUna Penguatan Fungsi Pengawasan Internal Kejaksaan.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan Kejaksaan diselenggarakan
oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta. 28-309 Juni 2004.
Sritua,
Arief, 1986. Korupsi. Lembaga Studi
Pembanguna. Jakarta.
Seno
Adji, Indriyanto, 2001. Arah Sistem
Peradilan Pidana. Kantor pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno
Adji dan Rekan. Jakarta.
Saleh,
Ismail, 1988. Ketertiban dan Pengawasan. Haji
Masagung. Jakarta.
Sjahrir,
Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal
Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi? Tulisan dalam Buletin Prisma Edisi
No. 3 Maret 1986. Tahun XV. LP3ES. Jakarta.
Suhadibroto.
Kualitas Aparat Kejaksaan dalam Upaya
Melasanakan Penegakan Hukum. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan
Kejaksaan diselenggarakan oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta. 28-30
Juni 2004.
W.
J. S. Poerwadarminta. 1990. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Undang-undang
No. 16 th 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-undang
No. 15 th 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
SUMBER LAIN
http://www.bpk.co.id/. Tugas dan Wewenang BPK
http://www.geogle.com/. Meissy Subardiah, Pembaharuan Pengawasan di kejaksaan : Suatu
Tinjauan Hukum, Peradilan.
Http://www.geogle.com/. Topo Santoso, Polisi dan Jaksa dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar