1. Hak Menguasai Negara
Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia, yang isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4 sebagai berikut :
(1) Atas dasar kesatuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Kewenangan negara dalam bidang pertanahan tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa. Kewenangan tersebut bersifat publik semata-mata, maka berbeda benar dengan hubungan hukum yang bersifat pemilikan antara negara dan tanah berdasarkan domein-verklaring dalam hukum tanah administratif pada waktu sebelum berlakunya UUPA. Sebagaimana diketahui berbagai domein-verklaring sudah dicabut.
Subjek hak menguasai dari negara adalah negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dimiliki dengan hak-hak perorangan oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 28, 37, 41, 43, 49). Untuk menyingkat pemakaian kata-kata dalam praktek administrasi digunakan sebutan tanah negara.
2. Pemberian Hak Atas Tanah Negara
Penggunaan istilah tanah negara bermula pada zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep hubungan antara penguasa dengan tanah yang berupa hubungan kepemilikan. Maka, dikeluarkanlah sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama domein-verklaring, dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Tahun 1870 yang secara singkat menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai eigendom-nya adalah domein (milik) negara.
Tanah negara menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
Pengertian tanah negara menurut Maria Sumardjono (2001: 61) adalah sebagai berikut :
“Tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah ulayat dan tanah wakaf”.
Pengertian tanah negara menurut Ali Achmad (Chomzah, 2002:1) adalah sebagai berikut :
“Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Pengertian pemberian hak atas tanah menurut Ali Achmad (Chomzah, 2002:1) adalah :
“Pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa orang bersama-sama atau sesuatu badan hukum”.
Agar dapat memenuhi jiwa reformasi bidang hukum, khususnya hukum pertanahan seperti yang kita harapkan bersama maka oleh pemerintah, c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 9 Februari 1999 nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Untuk diketahui bahwa selama ini dalam periode 38 tahun terakhir telah diterbitkan beberapa Peraturan Menteri Agraria tentang pembagian tugas dan wewenang agraria yang antara lain :
- Keputusan Menteri Agraria, tanggal 1 April 1961 Nomor SK 112/ KA/ 1961 tentang pembagian tugas dan wewenang agraria.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 28 Februari 1967 No.1 Tahun 1967 tentang tugas dan wewenang agraria.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 30 Juni 1972 No. 6 Tahun 1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, tertanggal 9 Februari 1999 No.3 Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan hak atas tanah negara bersambung dengan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 J.o. Nomor 6 Tahun 1998 tentang pedoman penetapan uang pemasukan dalam pemberian hak atas tanah negara.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan.
3. Kedudukan Hak Garap Dalam Penguasaan Tanah
Hak garap adalah pengalihan hak penguasaan atas tanah tertentu kepada pihak lain untuk dikelola atau digarap. Pengertian penguasaan menurut Urip Santoso (2005:73), dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis serta aspek privat dan aspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum untuk mengusai secara fisik tanah yang dimiliki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dimiliki tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dimiliki secara fisik, tetapi pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (bank) pemegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap ada, pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Untuk membuktikan penguasaan hak atas tanah menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adalah sebagai berikut :
a. Hak atas tanah harus dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari Tanah Negara atau tanah hak pengelolaan.
b. Asli Akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.
c. Hak Pengelolaan di buktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
d. Tanah Wakaf di buktikan dengan Akta Ikrar Wakaf.
e. Hak Milik atas satuan rumah susun di buktikan dengan akta pemisahan.
f. Pemberian Hak Tanggungan di buktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah menurut Urip Santoso (2005:75) dibagi menjadi dua yaitu :
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :
- Memberi nama pada hak yang bersangkutan.
- Menetapkan isinya yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
- Mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
- Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit
Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut “hak”) jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :
- Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.
- Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain.
- Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain.
- Mengatur hal-hal mengenai hapusnya.
- Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Terkait dengan kedudukan hak garap dalam penguasaan tanah, terlihat jelas bahwa hak garap merupakan penguasaan tanah dalam arti fisik, dan belum tentu secara yuridis atau kedua-duanya. Hak garap dapat dihubungkan dengan fungsi sosial tanah sebagaimana bunyi Pasal 6 UUPA bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
B. Landasan Hukum Pemberian Hak Atas Tanah Negara
1. Hak Menguasai Negara
Hak menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia, yang isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4 sebagai berikut :
(1) Atas dasar kesatuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Kewenangan negara dalam bidang pertanahan tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa. Kewenangan tersebut bersifat publik semata-mata, maka berbeda benar dengan hubungan hukum yang bersifat pemilikan antara negara dan tanah berdasarkan domein-verklaring dalam hukum tanah administratif pada waktu sebelum berlakunya UUPA. Sebagaimana diketahui berbagai domein-verklaring sudah dicabut.
Subjek hak menguasai dari negara adalah negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dimiliki dengan hak-hak perorangan oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 28, 37, 41, 43, 49). Untuk menyingkat pemakaian kata-kata dalam praktek administrasi digunakan sebutan tanah negara.
2. Pemberian Hak Atas Tanah Negara
Penggunaan istilah tanah negara bermula pada zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep hubungan antara penguasa dengan tanah yang berupa hubungan kepemilikan. Maka, dikeluarkanlah sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama domein-verklaring, dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Tahun 1870 yang secara singkat menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai eigendom-nya adalah domein (milik) negara.
Tanah negara menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
Pengertian tanah negara menurut Maria Sumardjono (2001: 61) adalah sebagai berikut :
“Tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah ulayat dan tanah wakaf”.
Pengertian tanah negara menurut Ali Achmad (Chomzah, 2002:1) adalah sebagai berikut :
“Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Pengertian pemberian hak atas tanah menurut Ali Achmad (Chomzah, 2002:1) adalah :
“Pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa orang bersama-sama atau sesuatu badan hukum”.
Agar dapat memenuhi jiwa reformasi bidang hukum, khususnya hukum pertanahan seperti yang kita harapkan bersama maka oleh pemerintah, c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 9 Februari 1999 nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Untuk diketahui bahwa selama ini dalam periode 38 tahun terakhir telah diterbitkan beberapa Peraturan Menteri Agraria tentang pembagian tugas dan wewenang agraria yang antara lain :
- Keputusan Menteri Agraria, tanggal 1 April 1961 Nomor SK 112/ KA/ 1961 tentang pembagian tugas dan wewenang agraria.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 28 Februari 1967 No.1 Tahun 1967 tentang tugas dan wewenang agraria.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri, tanggal 30 Juni 1972 No. 6 Tahun 1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, tertanggal 9 Februari 1999 No.3 Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan hak atas tanah negara bersambung dengan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 J.o. Nomor 6 Tahun 1998 tentang pedoman penetapan uang pemasukan dalam pemberian hak atas tanah negara.
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan.
3. Kedudukan Hak Garap Dalam Penguasaan Tanah
Hak garap adalah pengalihan hak penguasaan atas tanah tertentu kepada pihak lain untuk dikelola atau digarap. Pengertian penguasaan menurut Urip Santoso (2005:73), dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis serta aspek privat dan aspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum untuk mengusai secara fisik tanah yang dimiliki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dimiliki tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dimiliki secara fisik, tetapi pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (bank) pemegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap ada, pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Untuk membuktikan penguasaan hak atas tanah menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adalah sebagai berikut :
a. Hak atas tanah harus dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari Tanah Negara atau tanah hak pengelolaan.
b. Asli Akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.
c. Hak Pengelolaan di buktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.
d. Tanah Wakaf di buktikan dengan Akta Ikrar Wakaf.
e. Hak Milik atas satuan rumah susun di buktikan dengan akta pemisahan.
f. Pemberian Hak Tanggungan di buktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah menurut Urip Santoso (2005:75) dibagi menjadi dua yaitu :
c. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :
- Memberi nama pada hak yang bersangkutan.
- Menetapkan isinya yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
- Mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
- Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
d. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit
Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut “hak”) jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :
- Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.
- Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain.
- Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain.
- Mengatur hal-hal mengenai hapusnya.
- Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Terkait dengan kedudukan hak garap dalam penguasaan tanah, terlihat jelas bahwa hak garap merupakan penguasaan tanah dalam arti fisik, dan belum tentu secara yuridis atau kedua-duanya. Hak garap dapat dihubungkan dengan fungsi sosial tanah sebagaimana bunyi Pasal 6 UUPA bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
izin copaste utk bhan diskusi makul Agraria ya mas..
BalasHapusutk tanah wakaf, ada gak mas..??
thank you before
^_^