Tujuan hukum seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu akan tercapai apabila, fungsi hukum berjalan dengan baik, fungsi hukum dalam melakukan fungsinya tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh baik dari penegak hukum itu sendiri maupun pengaruh dari luar penegak hukum tersebut.
Soerjono Soekanto (1983:2), mengatakan bahwa :
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Jaksa Agung MA Rahman dalam rapat kerja Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dengan Jaksa Agung mengatakan bahwa kegiatan penyidikan hingga kini kejaksaan masih mengalami kendala dalam menangani perkara korupsi. Selain sistem dan kelembagaan, kejaksaan juga menghadapi kendala dalam bentuk keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia serta sarana, selanjutnya dalam hal peraturan perundang-undangan, kendala yang dihadapi antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPRD dan DPD yang memberikan imunitas terhadap beberapa pejabat negara tertentu. (Kompas, Kamis 13 Mei 2004).
Muladi mengatakan dalam seminar nasional “Aspek pertanggungjawaban pidana dalam kebijakan publik dari Tindak Pidana Korupsi” mengatakan bahwa KPK saat ini mati segan hidup pun enggak, saking bingungnya, ceramah sana sini aja, jika Pemerintah dan DPR tidak segera turun tangan, maka KPK bukan hanya mati suri tetapi juga akan menjadi bahan tertawaan. (Kompas, Sabtu 8 Mei 2004).
Selanjutnya menurut Andi Hamzah dalam Seminar Nasional “Aspek pertanggungjawaban pidana dalam kebijakan publik dari Tindak Pidana Korupsi” yang mengatakan bahwa sudah 6 (enam) bulan KPK terbentuk tetapi kelihatannya seperti baru mencapai apa yang harus dikerjakan. Tidak tahu apa yang mesti dikerjakan. DPR yang memilih orang seperti itu, yang tidak tahu apa yang mesti dikerjakannya. Cuma satu sarjana hukum di sana bagaimana ujarnya. (Kompas, Jumat 7 Mei 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar