A. Tinjauan
Umum Tentang Perkawinan
1.
Pengertian
Perkawinan
Seperti yang telah dikemukakan oleh
Aristoteteles (seorang filsuf Yunani) bahwa manusia adalah zoon politikon,
yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk hidup bersama. Hidup bersama
merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia dan hanya manusia-manusia
yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari
orang-orang lain.[1]
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang
manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang
laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam
hal ini alam pikiran orang tidaklah mesti atau selalu ditujukan pada hal
bersetubuh antara dua orang manusia tadi, meskipun pada umumnya dapat
dikatakan, hal bersetubuh ini merupakan faktor pendorong yang penting untuk
hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapatkan anak turunannya sendiri
maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Selanjutnya dikatakan, hidup
bersama ini berakibat sangat penting di dalam masyarakat dan akibat paling
dekat ialah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini hanya
sekedar menyendirikan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat dan akibat
lebih jauh ialah kalau kemudian mereka mempunyai anak-anak, dengan anak-anaknya
itu mereka merupakan keluarga tersendiri.
Berhubung dengan akibat yang sangat penting
inilah dari hidup bersama, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan dari
hidup bersama ini yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian, pelaksanaan,
kelanjutan dan terhentinya hidup bersama itu.Dan peraturan inilah yang
menimbulkan pengertian perkawinan, yaitu suatu hidup bersama dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan tersebut.Dengan ini teranglah, bahwa pengertian perkawinan adalah
lepas dari pengertian hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hayat
(biologi).Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang di tiap-tiap Negara
berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorang perempuan dan
seorang laki-laki”.[2]
Untuk mengetahui definisi perkawinan, penulis
mengacu pada pendapat para ahli hukum. Beberapa ahli hukum yang memberi
definisi mengenai perkawinan antara lain:
a. Menurut
Prof. Soediman Kartohadiprodjo, SH: Perkawinan adalah suatu hubungan antara
orang wanita dan pria yang bersifat abadi.[3]
b. Menurut
Paul Scholten mendefinisikan perkawinan sebagai berikut : “ Perkawinan adalah
suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”[4]
c. Menurut
Prof. Subekti, SH, mendefinisikan perkawinan sebagai pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[5]
d. Menurut
K. Wantjik Saleh, SH: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami-isteri.[6]
e. Menurut
Prof. Ali Afandi, SH: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.[7]
Dari
pendapat-pendapat yang diterangkan diatas dapat dilihat bahwa perkawinan
menurut hukum tidak hanya mementingkan aspek perdata saja tetapi juga
menyinggung aspek lain seperti aspek biologis maupun aspek agama. Ketentuan
Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut Burgelijk
Wetboek / BW) menyatakan bahwa: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata”. Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu
perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam BW dan syarat-syarat serta peraturan Agama itu dikesampingkan.[8]Jadi
suatu perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat menurut BW dan telah
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil merupakan suatu perkawinan yang sah
menurut hukum meskipun bertentangan dengan peraturan Agama.
Dari
penjelasan diatas, dapat diketahui unsur-unsur perkawinan sebagai berikut :
a. perkawinan
yang sah hanyalah perkawinan yang dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang
b. perkawinan
berasaskan monogamy
c. perkawinan
pada dasarnya harus berlangsung kekal dan abadi.
a.
Pengertian
Perkawinan Menurut UUP
Menurut UUP yang terdapat dalam pasal 1 yang
berbunyi : “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dari bunyi pasal 1 UUPtesebut diatas,
tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. “Arti“ perkawinan
dimaksud adalah: ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah: membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perkawinan terdiri dari lima unsur,
yaitu :[9]
1. Ikatan
lahir batin, berarti ikatan tersebut tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja
atau ikatan batin saja. Melainkan keduanya harus terpadu erat-erat,[10]
ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa terdapat
hubungan hukum antara suami dan istri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan
formal. Ikatan lahir tersebut mengikat diri suami dan istri, serta pihak
ketiga. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak, suatu ikatan
yang hanya dapat dirasakan suami dan istri.[11]
2. Antara
seorang pria dan seorang wanita, menunjukkan bahwa perkawinan hanya boleh
terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita. Dengan demikian perkawinan
antara seorang pria dengan seorang pria adalah tidak memungkinkan. Demikian
juga perkawinan antara seorang wanita dengan seorang wanita juga tidak
dimungkinkan. Selain itu unsur kedua ini menunjukkan bahwa UUP menganut asas
monogami.[12]
3. Sebagai
suami istri, adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang
sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu perkawinan terbagi menjadi syarat
intern dan syarat extern. Syarat interen berkaitan dengan para pihak yang
melakukan perkawinan sedangkan syarat exteren berkaitan dengan
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.[13]
4. Membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini
adalah satu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.[14]
Suatu keluarga yang dibentuk diharapkan akan memberikan kebahagiaan bagi tiap
anggota keluarga. Selain itu diharapkan keluarga yang terbentuk tersebut akan
berlangsung untuk selamanya, kecuali dipisahkan oleh kematian.
5. Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, UUP menganggap bahwa perkawinan berhubungan erat
dengan agama atau kerohanian.[15]
Sehingga pasal 2 ayat (1) UUP menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
b.
Pengertian perkawinan menurut BW
BW tidak memuat suatu ketentuan arti atau
definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam
Pasal 26 BW “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata”.Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Undang-undang
memandang perkawinan hanya dari sudut perhubungannya dengan hukum perdata saja,
lain dari itu adalah tidak. Dengan kata lain bahwa BW masih menjunjung tinggi
nilai-nilai perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat
masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan.
c.
Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(untuk selanjutnya disebut KHI), pasal 2
memberikan pengertian perkawinan sebagai pernikahan, yaitu akad nikah yangsangat kuat ataumissaaqan qholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah.[16]
Nikah adalah suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua bela pihak dengan dasar suka rela
dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup
berkeluarga yang diliputi kasih sanyang dan ketentraman dengan cara cara yang
diridhoi Allah.
Perkawinan menurut pandangan Islam
mengandung tiga aspek yaitu:[17]
a. Dari aspek hukum
Perkawinan merupakan suatu
perjanjian. Dalam bahasa Al-Qur’an perkawinan adalah yang sangat kuat disebut dengan katamissaqan qholidhan.
b. Dari aspek sosial
Dalam
masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian umum iyalah bahwa orang yang
berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dari mereka yang tidak kawin.
c. Dari aspek agama
Perkawinan itu dianggap
suatu lembaga suci dalam agama Islam. Upacara perkawinan adalah upacara suci
yang kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling
minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Menurut hukum asal pekawinan itu
adalah mubah atau boleh, namun dikatakan
bahwa hukum asal perkawinan itu sebagai berikut:
a. Wajib yaitu bagi orang orang yang telah pantas untuk kawin,
berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia takut akan
terjerumus berbuat zina kalau tidak kawin.[18]
b. Sunnah yaitu apabila seseorang dilihat dari segi jasmanianya
sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai, maka bagi
orang yang demikian itu sunnahlah baginnya untuk kawin. Artinya kalau dia kawin
akan mendapat pahala sedang tidak kawin dia tidak berdosa atau tidak mendapat
apa apa.[19]
c. Makruh yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan
perkawinan namun merasa ia akan berbuat curang dalam perkawinan itu.[20]
Dari berbagai pengertian perkawinan yang
telah dikemukaakan diatas tidak terdapat pertentangan pengertian yang satu
dengan yang lainnya.Sebab pada dasarnya syariat Islam itu bersumber kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Hukum perkawinan
adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang hal ikhwal perkawinan yaitu bagaimana prosedur menuju terbentuknya
ikatan perkawinan, bagaimana cara
menyelenggarakan aqad perkawinan menurut hukum,
bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang mengancam ikatan lahir
batin antara suami dan isteri, bagaimana
proses dan prosedur dari berakhirnya perkawinan serta akibat yuridis dari
berakhirnya perkawinan baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami
dan isteri, anak-anak mereka dan harta
mereka. Untuk tercapainya hal tersebut
jika memasuki jenjang pernikahan maka dibutuhkan persiapan-persiapan yang
matang; kematangan fisik, psikis, maupun spritual.
2.
Syarat-Syarat
Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan ialah:
a. Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua
c. Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
d. Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e. Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3),
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
f. Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepeanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon
mempelai adalah adanya persetujuan bebas, tanpa ada paksaan lahir dan batin
dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan dalam UUP dan BW
pada prinsipnya adalah sama, hanya ada sedikit perbedaan yaitu dalam masalah
umur untuk kawin. Dalam UUP batas umur untuk kawin pria adalah 19 tahun;
sedangkan wanita adalah 16 tahun.Bila dibandingkan dengan BW untuk pria adalah
18 tahun; sedangkan untuk wanita adalah 15 tahun.
Dalam BW prinsip monogami adalah mutlak,
sedangkan dalam ketentuan Pasal 3 UUP mengenal asas monogami tidak mutlak,
yaitu :”Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dariseorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan” Sahnya suatu
perkawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila perkawinan itu sudah
dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan itu belum
terdaftar, maka perkawinan itu belum dianggap sah menurut ketentuan hukum,
walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama.
Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan
perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan
tersebut dan tidak menentukkan sah atau tidaknya perkawinan. Apabila diteliti
ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan sesuai yang tercantum dalam Pasal 2 UUP
adalah sebagai berikut:
1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu
2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikan tidak ada lagi perkawinan di
luar hukum agama masing-masing. Yang
dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Uandang-undang
ini. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum agamanya sendiri.Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang
Hindu, Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.Maka untuk suatu sahnya
perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya.
Pasal 2 ayat (2) UUP menentukan :”Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini
berarti pencatatan perkawinan yang beragama Islam dicatat oleh pegawai pencatat
nikah, talak dan rujuk, sedangkan bagi non Islam, dicatat di Kantor Catatan
Sipil (Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975). Apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan,
maka perkawinan itu tidak terbukti, karena menurut hukum suatu perkawinan itu
baru terbukti dengan adanya buku nikah. Bila tidak ada Buku Nikah maka
seseorang tidak dapat mengurus perceraian, pensiun janda, menuntut bagian dari harta
suami atau mengurus akta kelahiran anak-anak sebagai anak sah, menuntut warisan
dari si ayah tersebut.
Setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan dalam waktu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan harus memberitahukan
kehendaknya itu baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Setelah itu diteliti apakah
syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan
menurut Undang-Undang. Selanjutnya diteliti pula akta kelahiran atau surat
kenal lahir,yang bila tidak ada dapat diganti dengan keterangan dari kepala
desa yang menyatakan umur atau asal usul dari calon mempelai, nama, agama,
pekerjaan orang tua; ada tidaknya izin tertulis dari Pengadilan sebagai
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UUP.
Apabila semua persyaratan telah terpenuhi,
maka perkawinan dilangsungkan pada hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan oleh pegawai pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 PP No. 9 tahun
1975. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu dan perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Setelah perkawinan berlangsung, kedua mempelai
menandatangani Akta Perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawi pencatat dan
turut ditandatangani pula oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang
menghadiri perkawinan.Bagi yang beragama Islam ditandatangani pula oleh wali
nikah atau yang mewakili.Dengan demikian perkawinan telah tercatat secara resmi
(Pasal 10 dan 11 PP No. 9 tahun 1975).
Akta perkawinan ini adalah merupakan bukti
tentang adanya perkawinan. Akta ini dibuat dalam rangkap dua, helai pertama
disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan
dalam wliayah kantor pencatat analisis terhadap perkawinan. Kepada suami atau
isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 12 dan Pasal 13
PP No. 9 tahun 1975).
Baik BW maupun UUP mengenal dua syarat
perkawinan, yaitu:
1. Syarat
Materil, yang dimaksud syarat materil adalah syarat yang mengenai atau
berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang
harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan. Syarat yang mengenai diri
pribadi calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan ini, yang
merupakan syarat materiil dapat dibedakan menjadi :
a. Syarat
Materiil Umumialah syarat yang
mengenai diripribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang
harusdipenuhi oleh seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Syarat materiil umum itu lazim juga disebut dengan istilah syarat materiil absolute untuk melangsungkan
perkawinan, karena tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon
suami-isteri tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan.
b. Syarat
materiil khusus suatu perkawinan ialah syarat yang mengenai diri pribadi
seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan dan berlaku untuk perkawinan
tertentu. Syarat materiil khusus lazim juga disebut dengan syarat relatif untuk
melangsungkan perkawinan, yang berupa kewajiban untuk meminta izin kepada
orang-orang tertentu yang harus dimintai izin dalam perkawinan dan
larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Syarat
Formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan,
baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan
perkawinan. Dengan demikian syarat formil ini berupa :
a. Syarat
formalitas sebelum berlangsungnya perkawinan:
1) Adanya
pemberitahua, Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib
memberitahukan niatnya kepada pejabat pencatat perkawinan di tempat dimana
perkawinan tersebut akan dilangsungkan. Dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dapat
disampaikan secara lisan maupun tertulis
2) Adanya
penelitian
3) Adanya
pengumuman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Memuat atau
berisi hal-hal yang mdenyangkut ortangorang yang akan melangsungkan perkawinan,
tempat dan waktu akan dilangsungkan perkawinan. Pengumuman tersebut dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya perkawinan. Apabila hal itu diketahui
bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan atau bertentangan dengan undang-undang yang berlaku
b. Syarat
formalitas pada saat berlangsungnya perkawinan :
1) Perkawinan
dilangsungkan menurut tatacara yang ditentukan dalam agama masing-masing dean
kepercayaan para pihak yang bersangkutan
2) Perkawinan
baru dapat dilangsungkan setelah hari yang kesepuluh sejak pengumuman hendak
kawin
3) Perkawinan
dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan 2 (dua) orang saksi
4) Setelah
perkawinan selesai dilangsungkan menurut tatacata yang berlaku, maka kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan, begitu pula pencatat dan saksi-saksi
yang hadir
5) Dengan
selesainya penandatangan naskah, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
3. Asas-asas Perkawinan
Dalam UUP ditentukan
asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah
sebagai berikut :
a.
Tujuan perkawinan;
b.
Sahnya perkawinan;
c.
Monogami;
d.
Kematangan calon suami istri;
e.
Mempersulit perceraian;
f.
Keseimbangan kedudukan suami
istri.
Dalam UUP dinyatakan
bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa dalam kehidupan seseorang. Misalnya
kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. UUP menentukan bahwa sahnya
perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, artinya bahwa
tidak dapat dibenarkan sesuatu perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama.
Pegawai pencatat
nikah baru mencatat setelah memeriksa dan menyaksikan bahwa perkawinan itu
telah dilangsungkan sesuai dengan hukum agama.Pencatatan itu diperlukan untuk
mendapatkan kepastian hukum.UUP menganut asas monogami tetapi apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama dari yang bersangkutan
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.Namun demikian
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Poligami merupakan
suatu hal yang tidak disenangi, karena poligami cenderung menimbulkan
persoalan-persoalan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.Tanggung jawab
moral dan materiil seorang suami yang beristri lebih dari seorang adalah lebih
berat jika dibandingkan dengan suami yang beristri hanya seorang.Oleh karena
itu UUP menetapkan bahwa poligami baru dapat dilakukan apabila ada izin dari
pengadilan.
Izin dari Pengadilan
diberikan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Istri
tidak dapat menjalankan tugas sebagai seorang istri.
b. Istri
dapat mencatat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Adanya persetujuan dari istri atau
istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri,
dan anak-anaknya.
UUP juga menganut prinsip bahwa calon suami istri itu
telah termasuk jiwa raganya, agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan dapat mendapatkan keturunan yang baik
pula, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, disamping itu
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas
umur yang terlalu rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju perkawinan
yang tinggi.
UUP mementingkan
batas umur untuk kawin baik dari pria maupun wanita, bagi pria batasnya adalah
19 tahun, bagi wanita 16 tahun, namun hendaknya perkawinan dilakukan dalam usia
yang lebih tinggi untuk memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan, karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
sejahtera, maka Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersulit
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Hak-hak istri dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak-hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
dapat diputuskan bersama oleh suami istri.
Dalam ajaran Islam
ada beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu :[22]
a. Harus
ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
Caranya ialah mengadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah
kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak
semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c. Perkawinan
harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu baik yang
menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan
perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan
pada dasarnya adalah untuk satu keluarga rumah tangga yang tentram.
e. Hak
dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga ada pada suami. Kalau dibandingkan prinsip-prinsip
dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut UUP maka dapat dikatakan
sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsip.
4.
Tujuan
Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, dan
merupakan sesuatu yang amat penting bagi
kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan bahkan dianggap sebagai bagian
dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu
alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari
dosa.Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan
penting. Bila dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga,
maka hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling
mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka. Karena itulah, tujuan
perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.
Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 UUP,
disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama
pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan
dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan
dasar agama.
Rumusan tujuan perkawinan yang terkandung
pada Pasal 1 UUP, mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan,
akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang
ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara tetapi kebahagiaan
yang kekal, yang hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pihak.Dengan
dasar pandangan itu maka pembuat undang-undang memberikan pembatasan yang ketat
terhadap pemutusan perkawinan selain dari kematian.[23]
Menurut hukum Islam, di dalam Al-Quran dan
hadits, perkawinan dan anak-anak sangat
ditekankan. Allah S.W.T menyatakan dalam Al-Quran: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.” (QS 30:21). Perkawinan menurut agama
Islam mempunyai unsur-unsur ibadah, melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan
sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari
agamanya.Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling
cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.[24]
Dalam hukum Islam, perkawinan memiliki tujuan
tertentu, dan tujuan itu adalah :
a. Untuk
memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
b. Untuk
membentengi ahlak yang luhur
c. Untuk
menegakkan rumah tangga yang islami
d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
e. Untuk
mencari keturunan yang shalih
5.
Akibat
Hukum dari Perkawinan
Dengan dilangsungkan akad nikah antara
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya,
terjalinlah hubungan suami istri dan timbul hak dan kewajiban masing-masing
timbal-balik yang merupakan akibat hukum dari adanya perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita.Adapun hak-hak yang dimaksud :
a. Hak-hak
Bersama
Hak-hak
bersama antara suami dan istri adalah sebagai berikut:
1) Halal
bergaul antara suami dan istri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu
sama lain.
2) Terjadi
hubungan mahram semenda; istri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas,
demikian pula suami menjadi mahram ibu istri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
3) Terjadi
hubungan waris-mewaris antara suami dan istri sejak akad nikah dilaksanakan.
Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak
waris atas peninggalan istri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaulan
suami istri.
4) Anak
yang lahir dari istri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai
hasil hubungan setelah nikah).
5) Bergaul
dengan baik antara suami dan istri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis
dan damai. Mengenai hak dan kewajiban
bersama suami istri, UUP menyebutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut: “Suami
istri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.”
b. Hak-hak
Istri
Hak-hak
istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu
mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, berbuat adil di
antara pria para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang
merugikan istri dan sebagainya.
1) Mahar
(Maskawin)
Dengan
demikian, mahar yang menjadi hak istri dan kewajiban atas suami itu hanya
merupakan symbol kesanggupan suami untuk memikul kewajiban-kewajibannya sebagai
suami dalam hidup perkawinan yang akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman
hati istri. Jadi bukan uang pembelian dan bukan pula sebagai upah bagi istri
yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.
2) Nafkah
Yang
dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan istri, meliputi
makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun
istri tergolong kaya.
Menggauli
istri dengan baik dapat mencakup:
a) Sikap
menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan
taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan.
b) Melindungi
dan menjaga nama baik istri. Suami berkewajiban melindungi istri serta menjaga
nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutup-nutupi kesalahan
yang memang terdapat pada istri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk
tidak membeberkan kesalahan-kesalahan istri kepada orang lain.
c) Memenuhi
kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri Hajat bilogis adalah kodrat pembawaan
hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri dalam hal ini.
Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor
hajat biologis ini.
c. Hak-hak
Suami
Hak-hak
suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab
menurut hukum Islam tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah
ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah
keluarga dengan baik.Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan
perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan
mempersiapkan generasi yang saleh.
B.
Tinjauan Umum
Tentang Pembatalan Perkawinan
1.
Pengertian
Pembatalan Perkawinan
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan
Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu
dinyatakan tidak syah (No Legal force or
declared Void), dan sesuatu yang dinyatakan no legal force, maka keadaan itu dianggap tidak pernah ada (never exizted). Dari pengertian
pembatalan ini dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
1) Perkawinan
dianggap tidak sah (no legal force)
2) Juga
dengan sendirinya diangggap tidak pernah ada (never existed)
3) Oleh
karena itu, si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya
dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.[25]
Oleh karena itu perlu dipahami perbedaan
antara pembatalan dan pencegahan perkawinan.Pencegahan perkawinan dilakukan
sebelum perkawinan dilaksanakan, disebabkan karena adanya syarat-syarat
perkawinan belum terpenuhi.Pencegahan atau menghalang-halangi (stuiting) perkawinan merupakan usaha
untuk menghindari adanya suatu perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku.[26]Sedangkan,
pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.Sehingga,
pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan itu dilangsungkan, sedangkan
pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan apabila perkawinan telah
dilangsungkan.Dalam Pasal 22 UUPmerumuskan: “Perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.” Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa
tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menetukkan lain.
Dari
pengertian yang tersebut diatas, dapat kita pahami, apabila perkawinan telah
dilaksanakan akan tetapi sesudah terjadinya pelaksanaan perkawinan baru
diketahui bahwa perkawinan yang terlaksana itu rupa-rupanya masih terdapat
kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan
undang-undang. Kata “dapat” disini tidak bisa dipisahkan dari kata
dibatalkan yang berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah, kemudian baru
menjadi batal karena adanya putusan pengadilan (vernietigbaar) sebagai lawan batal demi hukum.Jadi kalau kita
mengikuti alam pikiran Pembentuk Undang-undang maka suatu perkawinan itu ada
yang bisa dibatalkan dan ada yang tidak bisa dibatalkan atau ada perkawinan
yang sah dan ada perkawinan yang keabsahannya diragukan sehingga dapat
dibatalkan.
Perkawinan yang melanggar syarat-syarat
formil dan materiil maka perkawinan itu dapat dibatalkan.Oleh karena itu
sebelum berlangsungnya suatu perkawinan perlu diadakan pemeriksaan dan
penelitian terlebih dahulu terhadap wali nikah dan calon suami-isteri tersebut,
untuk mengetahui apakah syarat perkawinan yang diperlukan telah dipenuhi atau
tidak ada halangan yang merintangi pelaksanaan perkawinan itu.Apabila ternyata
ada syarat-syarat perkawinan yang tidak terpenuhi, maka pelaksanaan perkawinan
itu harus dicegah.Hal ini untuk melindungi kepentingan dari calon suami-isteri
dan agar tidak menimbulkan kerugian yang diderita oleh para pihak yang
berkepentingan di kemudian hari.Sebab perkawinan tidak semata-mata menyangkut
kepentingan pribadi dari orang-orang yang terikat pada perkawinan tersebut akantetapi
juga menyangkut kepentingan yang lebih luas.
Oleh karena itu terhadap pegawai pencatat
nikah, prinsip ketelitian dan sikap hati-hati, sifatnya adalah mutlak.Namun
apabila perkawinan tersebut telah terlaksana, maka harus diadakan pembatalan
terhadap perkawinan yang bersangkutan. Ketentuan tentang pembatalan perkawinan
diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UUP, serta dalam Pasal 37 dan
Pasal 38 PP No. 9 tahun 1975. Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan yang daerah kekuasannya meliputi tempat dilangsungkannya suatu
perkawinan itu, atau di tempat tinggal kedua mempelai, atau ditempat tinggal
suami atau isteri.
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
oleh yang berhak mengajukannya. Dan juga ditentukkan mengenai tata cara pengajuan
permohonan, pemanggilan, pemeriksaan, dan putusan dilaksanakan sesuai dengan
tata cara yang tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36UUP. Sehingga
dapat lebih jelaslah cara untuk melakukan pembatalan perkawinan, yaitu sama
halnya cara gugatan perceraian yang secara terinci diatur pula dalam Pasal 20
sampai dengan Pasal 36 UUP, sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam
hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu.
2.
Pihak-Pihak
yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan (vernitigen) diatur dalam pasal 23 dan pasal 24 UUPmenentukkan
pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan yaitu:
a. Para
keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri. Ketentuan
ini korkondan dengan oknum-oknum yang dapat memberi izin atau menjadi wali
terhadap calon mempelai
b. Suami
atau isteri. Ini berarti si suami atau isteri sesudah perkawinan dapat
mengajukan pembatalan disebabkan oleh keadaan-keadaan yang disebutkan dalam
Pasal 27 UUP.
c. Oleh
Pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang hanya dapat meminta
pembatalan selama perkawinan belum diputuskan. Jika telah ada putusan
pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebutkan pada
sub a dan sub b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh lagi mengajukan
pembatalan. Jadi pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan selama belum ada putusan pengadilan.
d. Salah
seorang dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan dapat
mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru. Ketentuan pasal ini
hampir bersamaan dengan Pasal 15 UUP, yaitu hal yang berhubungan dengan
pencegahan perkawinan. Tapi oleh karena pasal 24 dengan penjelasan pasal 15 UUP,
pembatalan ini hanya berlaku mutlak bagi laki-laki saja sebagaimana bagi
seorang isteri mutlak tidak boleh kawin dengan laki-laki lain selama dia masih
mempunyai seorang suami yang sah. Akan tetapi, bagi seorang laki-laki sesuai
dengan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UUP dapat saja melakukan perkawinan poligami
jika telah dipenuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UUP. Jadi
seorang isteri baru dapat mempergunakan ketentuan pasal 24 UUP selama dia belum
memberikan izin persetujuan atas perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang
suami. Akan tetapi bagi seorang suami selamanya tanpa suatu persyaratan apapun
dapat mempergunakan hak untuk pembatalan kapanpun atas perkawinan baru yang
dilakukan oleh seorang isteri.
e. Pembatalan
dapat juga dimintakan oleh pihak kejaksaan sesuai dengan yang diatur dalam
pasal 26 ayat (1)UUP, apabila perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat yang
tidak berwenang atau apabila wali yang bertindak adalah wali yang tidak sah
atau apabila perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi.
3.
Prosedur
Pembatalan Perkawinan
Setiap orang yang hendak mengajukan
pembatalan perkawinan mengajukan permohonan itu kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan, atau di tempat tinggal kedua suami
isteri, suami atau isteri.UUP menganut prinsip bahwa “tidak ada suatu
perkawinan yang dengan sendirinya batal menurut hukum”.Batalnya suatu
perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.Dengan dibatalkannya suatu
perkawinan oleh Pengadilan maka perkawinan tersebut menjadi batal.
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan
perkawinan ialah Permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan kepada
Pengadilan yang berwenang. Dalam Pasal 37 PP No 9 Tahun 1975: “batalnya suatu
perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”. Selanjutnya mengenai
tatacara memajukan permohonan dan panggilan untuk pemeriksaan pembatalan
perkawinan diatur dalam Pasal 38 PP No 9 Tahun 1975 yang menentukkan:
a) Permohonan
pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
b) Tata
cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan
tatacara pengajuan perceraian
c) Hal-hal
yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan
putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20
sampai dengan pasal 36 PP No 9 Tahun 1975
Sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 PP
No 9 Tahun 1975 diatas, segala sesuatu yang berhubungan dengan pembatalan
perkawinan sama prosedurnya dengan tatacara perceraian. Untuk tidak berlebihan
persoalannya akan dibicarakan sehubungan dengan persoalan yang menyangkut
perceraian. Berdasarkan hal tersebut, maka kiranya dapat disimpulkan tata cara
permohonan pembatalan perkawinan sebagai berikut :
a. Permohonan
pembatalan perkawinan oleh pemohon atau kuasanya diajukan ke Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kediaman termohon, yang isinya
memberitahukan niatnya untuk membatalkan perkawinan tersebut disertai dengan
alasan-alasan yang dipergunakan untuk menuntut pembatalan perkawinan tersebut.
Dalam hal termohon tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, permohonan pembatalan perrkawinan diajukan ke Pengadilan ditempat
pemohonan. Dalam hal termohon berada di luar negeri, maka Ketua Pengadilan
menyampaikan permohonan pembatalan perkawinan tersebut kepada termohon melalui
Perwakilan Republik Indonesia di Negara tempat tiggal termohon.
b. Pengadilan
memanggil termohon secara tertulis dengan melampirkan permohonan mengenai
pembatalan perkawinan, yang harus disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari
sebelum persidangan pemeriksaan dilakukan (Pasal 38 PP No. 9 tahun 1975 jo.
Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975);
c. Pengadilan
memeriksa permohonan pembatalan perkawinan tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan diajukan (Pasal 38 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975
jo. Pasal 29 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975). Jika termohon berada di luar negeri
maka pemeriksaan ditentukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak gugatan
diterima di Pengadilan Negeri;
d. Pengadilan
berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan jika perdamaian tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan dilakukan dalam siding tertutup, sedangkan keputusan
diucapkan dalam siding terbuka;
e. Apabila
keputusan Pengadilan telah mempunyai kekuataan yang tetap, Panitera Pengadilan
menyampaikan satu lembar dari keputusan itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan,
untuk selanjutnya oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dicatat pada daftar yang
diperuntukkan untuk itu;
f. Jika
pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama, Panitera Pengadilan
Agama itu berkeharusan meminta dikukuhkan putusan itu oleh Panitera Pengadilan
Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan itu mempunyai kekuataan
hukum yang tetap, dan pengadilan berkewajiban untuk mengembalikan putusan
tersebut ke Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya putusan itu untuk
dikukuhkan, dengan menyebutkan “dikukuhkan”, serta keputusan yang dikukuhkan
itu ditanda tangani oleh Hakim serta di cap dengan cap jabatan.
4.
Alasan-Alasan
Pembatalan Perkawinan
Alasan-alasan pembatalan itu diatur dalam
Pasal 26 dan Pasal 27 UUP :
a. Pihak
yang melakukan perkawinan kedua kali masih terikat dirinya dalam suatu ikatan
perkawinan yang sah dengan orang lain.
b. Apabila
perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencacat
perkawinan yang tidak berwenang
c. Perkawinan
tanpa izin dari orang yang harus memberi izin perkawinan, maka perkawinan dapat
dituntut pembatalannya oleh orang yang harus memberikan izin.
d. Apabila
wali nikah yang bertindak menjadi wali adalah wali yang tidak sah. Dan adanya
kemungkinan apabila para wali menghalangi perkawinan calon mempelai dapat minta
perwalian kepada Hakim sendiri. Kecuali secara mutlak wali itu memang tidak
termasuk dalam urutan susunan prioritas, dalam hal ini tak perlu penelitian
yang berhati-hati.
e. Apabila
perkawinan itu dilangsung tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Dalam hal ini
sudah jelas tidak memenuhi ketentuan undang-undang yang mengakibatkan tidak
sahnya perkawinan dan memang beralasan sekali untuk minta pembatalan.
f. Alasan
yang didasarkan atas dilangsungkannya perkawinan disebabkan adanya ancaman yang
melanggar hukum. Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat
yang menghilangkan kehendak bebas (vrii willig) dari salah seorang calon
mempelai. Dan mempunyai pengertian yang lebih luas dari pengertian ancaman
kekerasan yang bersifat tindak pidana. Dapat kita katakan segala macam ancaman
apa pun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai,
termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27
ayat (3) UUP tersebut sifat ancaman itu berhenti apabila telah lewat masa 6
bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum,
yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap
hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila jangka waktu 6 bulan itu telah
lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan. Batas jangka
waktu ini memang perlu untuk adanya kepastian hukum (rechtzekerheid)
g. Alasan
salah sangka (dwaling) mengenai “diri” suami atau isteri. Pasal 27 ayat (2)UUPini
tegas disebut salah sangkanya harus mengenai “diri”. Jadi mengenai orangnya
atau personnya. Sebab itu kekeliruan yang dimaksudkan dalam hal ini tidak
mengenai “keadaan” orangnya, yang menyangkut status sosial ekonomis. Dan jangka
waktu salah sangka ini pun tidak lebih dari 6 bulan dan mereka sudah hidup
bersama sebagai suami isteri, dengan lewat jangka waktu tersebut gugurlah hak
yang bersangkutan untuk minta pembatalan berdasar salah sangka (Pasal 27 ayat (3)UUP).
h. Perkawinan
yang melanggar batas umur perkawinan (pihak pria belum mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun).
Pembatalan yang disebut dalam Pasal 26 dan
Pasal 27 UUP ini adalah alasan-alasan yang agak limitatip tapi tidak secara
mutlak. Terutama alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 27 UUP tersebut tidak
membatasi kemungkinan-kemungkinan alasan-alasan yang mungkin dapat dipergunakan
berdasar kepatuhan dalam batas-batas perikemanusiaan dan kesusilaan.
UUP menghendaki perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai.Karena dengan adanya persetujuan kedua
calon mempelai tersebut berarti telah dipasang suatu pondasi yang kuat untuk
membina suatu rumah tangga.Hendaklah persetujuan itu merupakan suatu
persetujuan yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai
sendiri, bukan karena suatu paksaan.[27]
Pelanggaran terhadap persetujuan tersebut,
seperti dinyatakan di dalam Pasal 27 UUP, yaitu berupa kemungkinan adanya suatu
ancaman yang melanggar hukum dan salah sangka mengenai diri suami atau isteri,
memberi kemungkinan kepada suami atau isteri tersebut untuk meminta pembatalan
perkawinan. Apa yang dimaksud ancaman dan salah sangka tersebut, tidak terdapat
suatu penjelasan resmi. Oleh karena itu harus diartikan secara seluas mungkin,
bukan saja ancaman yang bersifat jasmani tetapi juga rohani.Begitu juga
mengenai salah sangka, bukan saja perpangkal dari calon itu sendiri tetapi juga
bisa berasal dari orang lain, umpamanya tipuan.
5.
Saat
Berlakunya Pembatalan dan AkibatnyaTerhadap
Anak
Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan
terhitung sejak tanggal hari keputusan Pengadilan tentang pembatalan itu
mempunyai kekuataan hukum yang tetap.Dan keputusan itu berlaku surut sejak
tanggal hari dilangsungkan perkawinan (pasal 28 ayat (1)UUP). Selama keputusan
pengadilan tersebut belum mempunyai kekuataan hukum yang tetap, maka suatu
perkawinan akan tetap sah walaupun ada cacat di dalamnya dan hal itu telah
diajukan permohonan pembatalan oleh orang yang berhak untuk menuntut
pembatalan.
Adapun tujuan undang-undang mengatur demikian
adalah untuk menjamin kepastian hukum tentang ada atau tidaknya suatu
perkawinan. Kepastian hukum dalam suatu perkawinan dapat dikatakan merupakan
syarat yang utama, oleh karena perkawinan tidak hanya menyangkut pribadi orang-orang
yang terikat dalam perkawinan tersebut, melainkan juga mengikat kepentingan
umum.[28]
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata
agar tidak menimbulkan akibat suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu
tidak terlindungi oleh hukum. Karena dengan adannya kekurangan-kekurangan
persayaratan atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan
dalam melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah,
sehingga secara sepintas terkesan kedudukan hukum anak yang dilahrikan dari
perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah
pula menurut hukum.
Dengan berlakunya UUP, sah tidaknya suatu
perkawinan oleh Negara ditentukan pula oleh sah atau tidaknya perkawinan itu
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pada dasarnya UUP tidak
mengatur secara panjang lebar mengenai masalah akibat hukum dari pembatalan
perkawinan. Begitu juga di dalam PP No. 9 tahun 1975, tidak mengatur lebih
lanjut mengenai akibat pembatalan perkawinan.
Di dalam pasal 28 ayat (1) UUP menyatakan
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan Pengadilan mempunyai
kekuataan hukum yang tetap. Dengan adanya keputusan yang berkekuataan tetap
perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum perkawinan itu ada. Pembatalan
itu tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut terhadap :
a) Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan. Hal ini adalah pantas berdasarkan kemanusiaan
dan kepentingan anak-anak yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua
mereka tidak pantas dipikulkan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang
dibatalkan. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status
hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orang rua mereka. Oleh karena itu
pembatalan perkawinan tidak mengakibatkan hilangnya status anak-anak.
b) Suami
atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila
perkawinan itu didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
Pihak-pihak yang beritikad baik dilindungi dari segala akibat-akibat batalnya
perkawinan, sehingga akibat yang bisa menimbulkan kerugian akibat pembatalan
harus dipikulkan kepada pihak-pihak yang beritikad tidak baik yang menjadi
sebab alasan pembatalan perkawinan, kecuali terhadap harta bersama. Sepanjang
mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dianggap sah sebagai
harta kekayaan perkawinan yang pelaksanaan pemecahan pembahagiannya dipedomani
ketentuan pasal 37 UUP. Yaitu harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
c) Juga
terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai
akibat hukum yang berlaku surut. Karena itu segala ikatan-ikatan hukum dibidang
keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang diperbuat oleh suami isteri sebelum
pembatalan adalah ikatan-ikatan dan persetujuan yang sah yang dapat
dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami-isteri
yang telah dibatalkan perkawinannya secara tanggung-menanggung (hoofdelyke),
baik terhadap harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing
pribadi.[29]
Dalam perkawinan yang telah dikarunia anak. Maka
mengenai kedudukan anak dalam hal perkawinan orangtuanya menjadi persoalan
tersendiri. Karena antara orang tua dan anak ada kewajiban-kewajiban yang
diatur oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 45 ayat (1) UUP bahwa kedua orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya dan berlaku terus
sampai anak tersebut kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban tersebut terus
berlangsung meskipun antara mereka telah putus perkawinannya, dimana putusnya atau
berakhirnya perkawinan itu karena kematian, perceraian dan putusnya pengadilan.
Menurut Prof. Subekti “Perkawinan hapus
jikalau salah satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau salah
satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya
meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada
ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.”[30]
Apabila dalam perkawinan dilahirkan
anak-anak, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang akibat putusan
pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya tetap merupakan anak sah
walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah ada.Karena anak dan orang tuanya mempunyai hubungan kekeluargaan
dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas diri
anak tersebut. Apabila suatu perkawinan dinyatakan tidak sah, maka anakanak
yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak sah akan menjadi anak yang tidak
sah juga. Undang-undang memberikan pengaturan terhadap status (kedudukan) anak
yang perkawinan orang tuanya dibatalkan oleh Pengadilan.
Undang-undang dalam hal ini tidak saja
memberikan perlindungan terhadap suami-isteri yang bertindak dengan itikad
baik, tetapi juga perlindungan mengenai status (kedudukan) anak disamping
perlindungan terhadap pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
itikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam Pasal 28 ayat (2) sub a UUP yang juga
sama dengan yang terdapat pada pasal 95 BW,
diatur mengenai kedudukan anak akibat adanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuataan hukum tetap terhadap pembatalan perkawinan. Dalam pasal
tersebut di atas intinya menyebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Jadi
walaupun perkawinan kedua orangtuanya oleh pengadilan telah dibatalkan, akan
tetapi putusan pengadilan tidak mempengaruhi kedudukan anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tersebut dan mereka tetap dianggap anak sah yang dilahirkan
dari suatu perkawinan yang sah.
Pengertian “anak” yang dimaksud dalam hal ini
adalah tidak hanya anak-anak yang dilahirkan saja akan tetapi juga anak yang
dibenihkan sepanjang proses pembatalan hingga perkawinan dinyatakan batal oleh
Pengadilan, juga pengesahan anak-anak luar kawin menurut ketentuan Pasal 272
BW. Demikian juga apabila ada anak adopsi yang dilakukan oleh suami isteri
sepanjang perkawinan mereka yang perkawinan mereka dinyatakan batal, anak adopsi
tetap akan sah dan tidak menjadi batal karena adanya putusan pengadilan
terhadap perkawinan kedua orang tua mereka. Kedudukan anak yang dilahirkan
tersebut, dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuataan hukum
yang tetap, tidak terpengaruh dengan ada atau tidak adanya tindakan yang
dilakukan dengan itikad baik dari kedua orang tuanya.
Orang tua tetap mempunyai kewajiban terhadap
anak-anaknya, demikian juga anak-anaknya tetap mempunyai kewajiban yang harus
dipenuhi kepada orangtuanya, karena walaupun keputusan pembatalan tersebut
menganggap suatu perkawinan tidak pernah ada, tetapi kewajibankewajibannya
sebagai orang tua akan tetap ada dan keputusan pembatalan perkawinan tersebut
tidak mengakibatkan kewajiabnnya sebagai orang tua menjadi hapus juga, akan
tetapi keputusan pembatalan perkawinan tersebut akan tetap berakibat apabila
tidak ada itikad dari kedua orang tuanya.
Apabila suatu perkawinan yang dilakukan
dengan itikad buruk dan dinyatakan batal oleh Pengadilan maka tidak ada akibat
hukum sama sekali, sehingga keputusan Hakim berlaku surut sampai pada saat
perkawinan dilangsungkan dan anak-anak dari hasil perkawinan dianggap sebagai
anak-anak luar kawin. Pengesahan atas anak-anak tersebut dianggap batal, demikian
pula terhadap anak-anak adopsi dianggap batal. Karena dianggap sebagai anak
luar kawin maka ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya (sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) UUP).
Walaupun pada prinsipnya pembatalan
perkawinan tersebut berarti menganggap suatu perkawinan tidak pernah terjadi,
tetapi undang-undang dengan jelas telah menetapkan bahwa keputusan pembatalan
perkawinan oleh Pengadilan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang
dilahirkan dalam perkawinan, untuk itu ia tetap berhak menerima apa yang
menjadi haknya sebagai anak sah, yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh kedua orang tuanya.Anak tersebut juga tetap berhak mewaris dari kedua
orang tuanya, sebagaimana anak sah.Kekuasaan orang tua juga tetap berlangsung
sampai anak tersebut dewasa.
[1] Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan
Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1991), hal.1
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di
Indonesia,Cet. 9,(Bandung : Sumur Bandung, 1991), hal. 7
[3] Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Ghalia Indonesia 1984), hal.36
[4] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis
Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 5, (Bandung:Alumni, 1986),
hal.13
[7] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kelurga,
Hukum Pembuktian, cet IV,(Jakarta :Rineka Cipta, 1997), hal.94
[9] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme
Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia (Airlangga University
Press, 1988) hal. 38
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13]Ibid., hal. 39
[14]Ibid., hal. 42
[15]Ibid., hal. 43
[16]Endang, sumiarni, Kedudukan Suami Istri dalam Hukum Perkawinan, (Yogyakarta: Wonderful
Publising Company, 2005), hal. 65
[22]Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty, 1982), hal. 5
[23]Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor. 1 Tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hal. 20.
[24] R. Tama dan Rusli, Perkawinan
Antar Agama Dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1984, hal. 21.
[26] Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati
Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdara Barat, (Jakarta, Gitama
jaya, 2005), hal 33
[27]
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta :Ghalia
Indonesia,1960), hal 25
[28]Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,
Hukum Perkainan dan Keluarga Di
Indonesia, (Jakarta : Rizkita, 2002),hal 70
[29] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan
:Zahir Trading, 1975), hal 81
[30] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,1985), hal. 42
Pada artikel Status Perpajakan Suami Istri sudah dibahas mengenai status perpajakan apa saja yang terdapat pada suami istri, salah satunya Pisah Harta. Pisah Harta merupakan keadaan di mana suami-istri yang tidak bercerai tetapi sepakat di hadapan hukum melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Suami dan istri harus memiliki NPWP sendiri-sendiri dan melaporkan SPT secara terpisah. Pada pembahasan kali ini akan dibahas tentang ketentuan apa saja untuk wanita yang sudah kawin dan memilih untuk Pisah Harta. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1124/ketentuan-perpajakan-untuk-wanita-kawin-pisah-harta/
BalasHapus