Prinsip hubungan industrial yang diterapkan di Indonesia adalah prinsip hubungan industrial Pancasila. Prinsip ini menghendaki bahwa dalam mengatasi berbagai permasalahan atau sengketa di bidang ketenagakerjaan yang terjadi harus diselesaikan melalui prinsip hubungan industrial Pancasila.
Terjadinya perselisihan di antara manusia merupakan masalah yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu sendiri, oleh karena itu yang penting dilakukan adalah bagaimana cara mencegah atau memperkecil perselisihan tersebut atau mendamaikan kembali mereka yang berselisih.
Menurut Zeni Asyhadie (Zainal Asikin, 2004:201-202) bahwa yang menjadi pokok pangkal kekurangpuasan pada umumnya berkisar pada masalah :
a. Pengupahan;
b. Jaminan sosial;
c. Perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai dengan kepribadian;
d. Daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang harus diemban;
e. Adanya masalah pribadi.
Menurut Charles D. Drake (Lalu Husni,2005:41-42) bahwa perselisihan perburuhan yang terjadi akibat pelanggaran hukum pada umumnya disebabkan karena :
a. Terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini tercermin dari tindakan-tindakan pekerja/ buruh atau pengusaha yang melanggar suatu ketentuan hukum, misalnya pengusaha tidak mempertanggungjawabkan buruh/ pekerjanya pada program jamsostek, membayar upah di bawah ketentuan standar minimum yang berlaku, tidak memberikan cuti dan sebagainya.
b. Tindakan pengusaha yang diskriminatif, misalnya jabatan, jenis pekerjaan, pendidikan, masa kerja yang sama tapi karena perbedaan jenis kelamin lalu diperlakukan berbeda.
Sedangkan perselisihan perburuhan yang terjadi tanpa didahului oleh suatu pelanggaran, umumnya disebabkan oleh :
a. Perbedaan dalam menafsirkan hukum perburuhan, misalnya menyangkut cuti melahirkan dan gugur kandungan, menurut pengusaha buruh/ pekerja wanita tidak berhak atas cuti penuh karena mengalami gugur kandungan, tetapi menurut buruh/ serikat buruh bahwa hak cuti tetap harus diberikan dengan upah penuh meskipun buruh hanya mengalami gugur kandungan atau tidak melahirkan.
b. Terjadi karena ketidaksepahaman dalam perubahan syarat-syarat kerja, misalnya buruh/ serikat buruh menuntut kenaikan upah, uang makan, transportasi, tetapi pihak pengusaha tidak menyetujui.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam sutau perusahaan”.
Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat di bagi dalam 4 macam atau jenis perselisihan, yaitu :
a. Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Menurut pendapat Lalu Husni (2005:43) bahwa :
“Berdasarkan pengertian di atas, jelaslah bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil) merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan dan perundang-undangan yang berlaku”.
b. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004).
Perselisihan kepentingan menurut Iman Soepomo (Lalu Husni, 2005:44-45) terjadi karena “ ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.
Sedangkan menurut Mumuddi Khan (Lalu Husni, 2005:45) perselisihan kepentingan (interest disputes)adalah :
“Involve dissagreement over the formulation of standars terms and condition of employment, as exist in a deadlock in collective bergaining negosiations”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat adanya perbedaan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan, dalam perselisihan hak yang dilanggar adalah hukumannya baik yang ada dalam peraturan perundang-undangan, dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sedangkan dalam perselisihan kepentingan menyangkut pembuatan hukum dan/ atau perubahan terhadap substansi hukum yang telah ada.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Selain perselisihan hak dan kepentingan dalam hubungan industrial juga dikenal adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan PHK berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah :
“Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak”.
Perselisihan PHK ini merupakan jenis perselisihan yang paling banyak terjadi, pihak pengusaha dengan berbagai alasan mengeluarkan surat PHK kepada pekerja/ buruh tertentu jika pengusaha menganggap bahwa pekerja/ buruh sudah tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan, tetapi PHK juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja/ buruh karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada pekerja/ buruh.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja serta dasar-dasar yang dapat dijadikan alasan PHK, termasuk larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
1. pekerja/ buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
2. pekerja/ buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. pekerja/ buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. pekerja/ buruh menikah;
5. pekerja/ buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
6. pekerja/ buruh mempunyai pertalian darah dan/ atau ikatan perkawinan dengan pekerja/ buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
7. pekerja/ buruh mendirikan, menjadi anggota dan/ atau pengurus serikat pekerja/ serikat buruh, pekerja/ buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/ serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
8. pekerja/ buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
10. pekerja/ buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Selain adanya larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan-alasan tersebut di atas, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan juga diatur tentang alasan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja/ buruh dengan alasan pekerja/ buruh melakukan kesalahan berat, yaitu :
1. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang atau uang milik pengusaha atau milik teman sekerja dan atau milik teman pengusaha;
2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3. mabuk, minum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di tempat kerja;
5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau
10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Terhadap pekerja yang terbukti melakukan kesalahan berat seperti tersebut, kepadanya tidak diberikan uang pesangon. Namun demikian, pekerja yang bersangkutan berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
PHK juga dapat diajukan oleh pekerja/ buruh kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh;
2. membujuk dan/ atau menyuruh pekerja/ buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
5. memerintahkan pekerja/ buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, atau;
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/ buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dalam hal pemutusan hubungan kerja terjadi berdasarkan alasan sebagaimana disebutkan di atas, pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
d. Perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 khususnya dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh adalah :
“Perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan”.
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi, dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/ buruh, sehingga jumlah serikat pekerja/ buruh di suatu perusahaan tidak dibatasi.
Dengan semakin bertambahnya jumlah serikat pekerja/ serikat buruh, maka perselisihan antar sesama serikat pekerja/ serikat buruh juga semakin besar potensi untuk terjadi, hal ini menurut Lalu Husni (2005:52) dapat terjadi dalam hal :
“Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pihak pengusaha , serikat pekerja/ buruh yang satu mengklaim bahwa dirinya yang berwenang membuat perjanjian tersebut dengan pihak pengusaha, sementara serikat pekerja/ buruh yang lain juga mengatakan hal yang sama”.
Faktor lain yang juga dapat menjadi penyebab terjadinya perselisihan antar serikat pekerja/ buruh adalah masalah keanggotaan dari masing-masing serikat pekerja/ buruh dalam satu perusahaan.
Artikel yang diatas sangat bermanfaat untuk di baca.
BalasHapusAgen Poker Omdomino <<==
Segera kunjungin bandar judi bola sbobet online terbesar kami.
Sbobet
Agen Sbobet
Sbobet Online
Sbobet Terbesar
Sbobet Terpercaya
Agen Judi Sbobet
Situs Judi Sbobet