Di atas telah di uraikan tentang
pengertian delik yang dikemukan oleh beberapa sarjana hukum, maka sekarang
penulis menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan delik pers.
Gambaran tentang arti teknis yuridis
mengenai istilah ”delik pers” yang dalam kata-kata demikian tidak kita jumpai
dalam perundang-undangan kita. Menurut Mr. Ny. Sutamijah Hadi mengemukakan
adanya pandangan yang sempit dan
pandangan yang luas. Disertai pula di situ kenyataan bahwa pada umumnya para ahli
memberikan kepada delik pers arti yang lebih sempit, sedangkan tampaknya
pandangan yang luas dipandang identik dengan pemakaian istilah tersebut dalam
bahasa sehari-hari. Maka dalam bahasa sehari-hari orang mengartikan delik pers
sebagai semua kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang pers. Suatu
perumusan yang sangat luas dan yang membawa akibat hukum yang sangat jauh. Ia
dapat memasukkan di dalamnya misalnya pencurian atau pun pelanggaran lalu
lintas, yang di lakukan oleh pers.
Menurut disertasi Prof. Dr. Simons
yang terkenal atau karangan Prof. Mr. W.F.C Van Hattum menjelaskan bahwa yang
di maksudkan dengan arti yang luas dan sempit mengenai kata ”delik pers”, yang
khususnya diambil dari kata-kata Pasal 7 Grondwet
Belanda, Pasal 62, KUHP dan bukan dari Pasal 33 ”Drukpersreglement”, seperti dikemukakan penulis. Bukankah pasal
tersebut memberikan tafsiran authentik mengenai arti ”barang cetakan” dan hanya terbatas berlakunya, sekedar kita
mempergunakan ”Drukpersreglement”
sehingga arti tersebut tidak melampaui batas-batas dari peraturan tersebut.
Perbedaan pokok yang ada antara
kedua pendapat tersebut terletak pada tidak atau tidak adanya syarat publikasi
sebagai unsur yang perlu dari delik yang originair. Syarat publikasi untuk
dapat di pidanakan sebagai suatu delik inilah yang menentukan, apakah suatu
delik dapat dikwalisifir sebagai ”delik pers” atau tidak.
Maka, apabila dirumuskan secara
tidak sempit, bahwa ”delik pers” itu adalah ”elke op zich zelf openbaring van de gedachten, aanhet publiek gericht
en door middel van de drukpers geschied”.
Menurut Ridwan J. Silamma
mengemukakan bahwa yang di maksud dengan ”delik pers” ialah segala suatu
perbuatan yang diancam pidana yang (hanya dapat) dilakukan oleh pers. Dalam
arti sempit : menyangkut salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum
dan terbit teratur/reguler (majalah, tabloid koran harian dan sebagainya) yang
berfungsi sebagai sarana penyebarluasan informasi. Dalam arti luasnya beliau
mengemukakan bahwa ”delik pers” menyangkut segala barang cetakan.
Delik pers berasal dari dua kata
delik dan pers. Delik berasal dari perkataan Belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Kata pers tentu
sudah di ketahui dari penjelasan sebelumnya yaitu mengacu pada pengertian
komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi sekarang,
pengertian pers itu termasuk juga kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui
media elektronik seperti televisi dan radio. Jadi, ”delik pers” artinya semua
tindak pidana atau pelanggaran yang di lakukan melalui media massa.
Padanan untuk delik pers dalam
bahasa inggris adalah libel. The New
Webster Internasional Dictionary mengartikannya sebagai ”a malicious writing or representation which
brings its object into contempt or expose him ta public derision”
(terjemahan bebasnya : tulisan atau pernyataan jahat yang menyebabkan objeknya
berada dalam keadaan hina atau menyebabkan dia menjadi cemoohan publik).
Sementara itu ada kamus Inggris
lainnya yang mengartikan libel
sebagai ”any written, printed, or
pictorial statement that damages a person by defaming his character or exposing
him to ridicule.” (terjemahan bebasnya : pernyataan apa pun melalui
tulisan, barang cetakan, atau gambar yang merugikan seseorang dengan
mencemarkan nama baiknya atau membuatnya menjadi bahan ejekan.”
Mr. D. Hazewinkel suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht
menyatakan bahwa “Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat
dijatuhi pidana yang untuk penyelesainnya membutuhkan publikasi pers.”
Baik definisi pertama maupun
definisi kedua tentang libel
kedua-duanya menekan pihak yang dirugikan yang bersifat orang-perorangan, sedangkan
definisi delik pers oleh Suringa menekankan pihak yang melakukannya dan pihak
yang dirugikan bisa siapa saja atau apa saja, orang atau lembaga, asalkan
perbuatannya bisa di pidana. Dengan demikian, dalam konteks hukum kita, definisi
Suringa rasanya lebih tepat karena sifatnya lebih luas, yaitu bahwa delik pers
itu adalah delik pers yang bisa mendatangkan kerugian pada seseorang (private libel) atau bisa juga
mendatangkan pada negara, masyarat, atau pemerintah (public libel).
Memang ada perbedaan prinsip antara
pengertian libel dan delik pers. Perbedaan
ini terletak pada perbedaan tujuannya. Hukum yang menyangkut libel yang berasal dari Barat yang
sistem politiknya bersifat liberal itu tujuannya terutama untuk melindungi
individu-individu warga negaranya. Sedangkan hukum yang menyangkut delik pers
yang dibentuk semasa pemerintahan Kolonia Belanda bertujuan selain untuk
melindungi warga Negara tetapi juga untuk melindungi kepentingan penguasa waktu
itu. Hal ini mengingat para pejuang kemerdekaan Indonesia sering mengutarakan
pendapat atau mengkritisi pemerintah Kolonia melalui tulisan-tulisan di surat
kabar.
Jiwa kolonial yang masih tersisa
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyangkut delik pers ini
dapat dilihat misalnya dari beberapa pasalnya yang bukan saja mengatur
pelanggaran yang merugikan orang perorangan (private libel), tetapi juga ada pula pasal-pasal yang mengatur
pelanggaran atau kejahatan oleh pers terhadap negara dan pejabat negara serta
terhadap masyarakat.
Yang termasuk public libel antara lain “membocorkan rahasia Negara” (pasal 322
KUHP), “penghinaan terhadap presiden dan wakil presidan” (pasal 134 KUHP),
“penghinaan terhadap kepala negara sahabat” (pasal 144 KUHP) “menodai bendera
lambang Negara” (pasal 154a KUHP),”penodaan terhadap agama” (pasal 160 KUHP),
“menghina penguasa dan badan umum (pasal 207 KUHP), dan “melanggar kesusilaan /
pornografi” (pasal 282 KUHP).
Contoh paling aktual mengenai kasus
penghinaan terhadap presiden, menyangkut pengajuan penanggung jawab Harian
Rakyat Merdeka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tuduhannya menyerang
kehormatan presiden. Dalam tuntutannya, jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain dalam pasal-pasal KUHP, masih
ada ketentuan lain menyangkut delik pers, yaitu pasal 1 ayat (3) Penetapan
Presiden No. 4 tahun 1963 tentang mencetak barang cetakan yang terlarang. Kemudian
pasal 19 UU No. 21 tahun 1982 serta pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946 yang
mencabut pasal 171 KUHP. Undang-undang yang disebut terakhir itu, selain
mencabut aturan lama juga menetapkan ketentuan-ketentuan baru tantang penyiaran
kabar bohong dan kabar-kabar yang tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran.
Delik
pers yang dapat di golongkan sebagai private
libel, yaitu delik pers terhadap orang perorangan, diatur dalam pasal-pasal
KUHP mulai pasal 310 sampai pasal 315.Pasal 310 KUHP, misalnya, berbunyi:
(1)
Barang
siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)
Bila
hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)
Tidak
merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Contoh
delik pers yang menyerang pribadi orang perorangan ini adalah dalam kasus
pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, ia dijatuhi hukuman
lima bulan penjara oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan gara-gara
pemuatan gambar parodi Akbar Tanjung di Harian
Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Karim oleh pengadilan dianggap
bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Kriteria
delik pers:
1.
Harus
dilakukan dengan barang cetakan
2.
Perbuatan
yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan
3.
Harus
dipublikasikan.
Syarat
adanya publikasi bersifat mutlak. Artinya tanpa publikasi pikiran dan peranan
tidak ada delik pers.
Pasal-pasal
KUHP yang paling terkenal di zaman kolonial Belanda di kalangan para wartawan
dan surat kabar-surat kabar pribumi adalah pasal-pasal tentang haatzaai-artikelen ini. Pasal-pasal yang
menyangkut haatzaai-artikelen ini
menjadi terkenal karena sifat karetnya. Delik pers yang dikategorikan haatzaai menyangkut kepentingan penguasa
Kolonial di negeri jajahannya, sehingga ia harus dapat dilentur-lenturkan agar
bisa menjerat para intelektual kita yang mengkritik penguasa kolonial melalui
tulisan. Mantan pemimpin redaksi harian Sipatahunan
yang juga sesepuh pers Jawa Barat, Mohammad Kurdi, pernah memperingatkan kepada
penulis agar tidak menulis yang menyerempet-nyerempet bahaya sehingga tulisan
dikategorikan ke dalam haatzaai-artikelen.
Demikianlah gambaran kehati-hatian wartawan tempo dulu terhadap kemungkinan
dijerat oleh haatzaai-artikelen.
Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa
Belanda yang artinya masing-masing : Haat = (benih) kebencian ; zaaien =
menabur,menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau
karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen.
Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen
ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang menabur benih kebencian”
Pasal-pasal KUHP yang mengatur haatzaain-artikelen
ini adalah pasal-pasal 154 hingga 157 dan 207.
Apa
yang termasuk dalam haatzaai-artikelen
ini dinyatakan secara jelas dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: ”Barangsiapa
menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia
di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dari
bunyi pasal 154 KUHP ini kita pun bisa menduga bahwa pasal yang masih terasa
jiwa koloninya ini hanya diubah dengan mengganti kata Nederlands Indie dengan
kata Indonesia saja di belakang kata Pemerintah. Di era Orde Baru pasal-pasal
ini telah menelan korban antara lain pada tahun 1971 ketika Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada tanggal 2 September 1971 menghukum Tengku Hafaz, Pemimpin
Redaksi Harian Nusantara, dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun.
Selain
Hafaz, juga ada Mochtar Lubis, wartawan terkenal dan satu-satunya wartawan
Indonesia yang mendapat kehormatan menjadi honorary
editor Majalah Times, pernah
mendekam selama bertahun-tahun tanpa diadili pada zaman Orde lama karena
dituduh menulis haatzaai-artikelen ini pada surat kabarnya, Indonesia Raya. Muchtar
lubis baru keluar dari penjara ketika rezim Orde Lama tumbang pada tahun 1965
untuk digantikan rezim Orde Baru.
Kalaupun
ada pasal-pasal yang termasuk public
libel yang bertujuan melindungi
warga seperti pasal 156 KUHP, yakni pelarangan menyatakan rasa permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap ras dan suku, itu hanya untuk mencegah
berkobarnya kerusuhan yang menyulitkan penguasa.
Pasal yang menyangkut delik pers dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Karena
Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999 yang mengatur kehidupan pers merupakan lex specialis, sehingga sepatutnya
undang-undang inilah yang mengatur kehidupan pers. Sekarang ini hak-hak
kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat pun memperoleh jaminan lebih rinci
lagi dalam Amandemen ke-2 UUD 1945.
bagus sangat bermanfaat
BalasHapusterimakash kak,, ilmunya bermanfaat
BalasHapus