Secara umum dapat dikatakan
bahwa hak gadai itu terjadi di dalam masyarakat karena di satu pihak kebutuhan
uang sangat mendesak sehingga pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak
lain yang memberikan uang padanya dengan perjanjian bahwa tanah itu akan
kembali setelah ia mengembalikan uang dalam jumlah yang sama kepada pemegang
gadai.
Dalam perjanjian gadai
menggadai tanah mengenai besarnya uang gadai tidak selamnya tergantung pada
kesuburan tanahnya namun tergantung dari kebutuhan penggadai. Oleh karena itu
tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan harga yang rendah, begitu pula
dengan tanah yang tingkat kesuburannya rendah digadaikan dengan uang gadai yang
tinggi.
Sehubungan dengan hal tersebut
di atas, maka kebanyakan gadai itu diadakan dengan pertimbangan sangat
merugikan penggadai dan menguntungkan pemegang gadai akan tetapi kadang-kadang
pula dalam suatu perjanjian gadai yang diadakan justru pemegang gadai yang
sangat dirugikan jika hal ini dibandingkan dengan uang gadai yang lepas,
contohnya gadai terjadi pada tanah pertanian yang tingkat kesuburan tanahnya
sangat rendah sehingga tidak dapat diambil hasilnya.
Dengan adanya penguasaan tanah
yang luas oleh sebagian petani, maka akan membuka kemungkinan dilakukan
usaha-usaha atau praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk, contohnya
dengan jalan menggadai, membagi hasil dan lain-lain. pada umumnya orang yang
menguasai tanah-tanah yang luas tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya,
sehingga tanah-tanah yang dikuasainya dibagi hasilnya kepada petani yang tidak
mempunyai tanah atau tidak cukup tanahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
bahkan tidak jarang dalam hubungan gadai para petani yang pemilik tanah
kemudian menjadi penggarap dengan jalan bagi hasil.
Oleh karena itu, dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 hak gadai dimasukkan ke dalam hak-hak
yang bersifat sementara yang diharapkan akan hapus dalam waktu tidak terlalu
lama, namun dalam kenyataannya masih tetap berlaku hingga saat ini.
Menurut hukum adat bahwa dalam
perjanjian gadai menggadai tanah biasanya dengan bantuan Kepala Desa atau
Kepala Adat, kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat bagi
sahnya proses gadai menggadai tersebut, melainkan dimaksudkan untuk memperkuat
kedudukan dan dengan demikian mengurangi risiko pemegang gadai jika dikemudikan
hari ada sanggahan atau keberatan dari salah satu pihak.
Proses terjadinya gadai
menggadai pada umumnya juga tidak dibuatkan akta atau bukti tertulis sehingga
menimbulkan kesulitan bagi si pemberi gadai, jika waktu tanahnya akan ditebus
pemegang gadai menolak dengan lasan bahwa yang mereka lakukan dan perjanjikan
dahulu bukanlah gadai menggadai melainkan jual lepas terlebih lagi akan
menimbulkan permasalahan lebih besar apabila pemegang gadai dan pemberi gadai
sudah meninggal dunia dan hubungan gadainya kemudian dilanjutkan oleh para ahli
waris masing-masing pihak.
Dalam praktek gadai menggadai
tanah setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 120 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran tanah yang mengharuskan pendaftar tanah bagi yang bermaksud
memindahkan hak atas tanahnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 19 Peraturan
tersebut yang tertulis sebagai berikut :
Setiap
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan baru hak atas
tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungannya harus dibuktikan dengan suatu uang yang dibuat oleh dan di
hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut pejabat).
Perkembangan zaman yang terus
mengalami kemajuan juga mengakibatkan banyaknya perubahan dan juga pencabutan
terhadap suatu peraturan perudang-undangan termasuk Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 tersebut yang digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran, Peralihan dan Pembebasan Hak, dalam Bab V Pasal
37 tertulis sebagai berikut :
Peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli,
tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
lainnya, kecuali pemindahan hak lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai ketentuan Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka setelah para pihak yang berkepentingan
mengadakan perjanjian gadai di hadapan PPAT, maka para pihak diwajibkan
mendaftarkan ke kantor Agraria untuk dibuat aktanya.
Dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah ini bahwa gadai yang hanya dilakukan di hadapan
Kepala Desa atau Kepala Adat dan tidak didaftar di kantor Pendaftaran Tanah
tidak dijamin kepastian hukumnya, akan tetapi untuk menghapus adat kebiasaan
yang ada dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak mudah terutama apabila
disadari bahwa hukum adat itu adalah suatu ketentuan hukum asli dari masyarakat
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar