Untuk menjaga dan memelihara
benda-benda yang disita, maka benda tersebut harus dijaga dan dikoordinasikan
dengan baik dalam hal penyimpanannya. Hal ini berarti bahwa harus ada semacam
tempat atau lembaga resmi yang merupakan fasilitas dalam menjaga dan memelihara
keamanan benda atau barang yang disita. Mengenai hal tersebut dapat dilihat
ketentuan Pasal 44 KUHAP yang menyatakan bahwa :
1.
Benda
sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
2.
Penyimpanan
benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada
pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun
juga.
Dalam upaya penyelamatan dan
pengamanan barang bukti yang disita, maka telah ditetapkan sarana dan prasarana
untuk menjamin keutuhan barang bukti. Menurut M. Yahya Harahap (2003:278)
sarana tersebut yaitu :
1.
Sarana
penyimpanannya dalam Rupbasan
2.
Penanggung
jawab secara fisik berada pada Kepala Rupbasan.
3.
Penanggung
jawab secara yuridis berada pada pejabat penegak hukum sesuai dengan tingkatan
pemeriksaan.
Keberadaan Rupbasan tersebut tentunya
sangat diharapkan membantu pihak terkait utamanya dalam proses penyidikan,
penuntutan serta proses pemeriksaan pengadilan, akan tetapi keberadaan Rupbasan
juga masih kurang efektif diakibatkan oleh kurang terjalinnya komunikasi antara
pihak Rupbasan dengan aparat penegak hukum.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, maka di setiap
Ibukota Kabupaten/ Kota dibentuk suatu Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
(Rupbasan). Selanjutnya di dalam Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1983, bahwa di dalam Rupbasan ditempatkan benda yang harus disimpan
untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan pengadilan serta barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan
keputusan hakim.
Mengingat masih belum seluruhnya
Rupbasan ada di setiap daerah, maka menurut Pendapat A. Hamzah (2003:29) bahwa
:
Selama
belum ada rumah penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor
Kepolisian Negara, di Kantor Kejaksaan, di Kantor Pengadilan, di Gedung Bank
Pemerintah dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap di
tempat semula benda itu disita.
Ketentuan menyangkut penyimpanan benda
sitaan di luar Rupbasan tersebut, secara langsung menjawab yang mempersoalkan
tentang barang sitaan yang memiliki volume dan ukuran cukup besar serta tidak
dijelaskan secara rinci dalam Pasal 44 seperti kendaraan besar, kapal laut,
pesawat helikopter, kayu gelondongan dan sebagainya.
Apabila benda atau barang bukti yang
disita adalah benda yang lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin
disimpan sampai adanya putusan pengadilan terhadap perkara itu atau jika biaya
penyimpanan menjadi terlalu mahal, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka
atau terdakwa (kuasa hukumnya) dapat diambil tindakan sebagai berikut :
1.
Apabila
benda sitaan masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda itu dapat :
a.
dijual
lelang;
b.
diamankan
oleh penuntut umum;
c.
diamankan
oleh penyidik.
2.
Apabila perkara sudah ada di tangan
pengadilan, maka benda sitaan tersebut dapat :
a.
diamankan
oleh penuntut umum;
b.
dijual
lelang oleh penuntut umum;
c.
diamankan
oleh penyidik.
Hasil pelelangan benda tersebut yang
berupa uang dipakai sebagai barang bukti, guna kepentingan pembuktian sedapat
mungkin disisihkan sebagian kecil benda itu. Benda sitaan yang bersifat
terlarang tidak diperbolehkan untuk diedarkan, tidak dapat dilelang atau dijual
akan tetapi dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau
dimusnahkan.
Adapun benda-benda atau barang bukti
yang dapat diamankan di antaranya adalah :
1.
Benda-benda
yang mudah terbakar.
2.
Benda-benda
yang mudah meledak.
3.
Benda-benda
yang dapat membahayakan kesehatan orang atau kesehatan lingkunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar