Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Pokok-pokok kekuasaan kehakiman, menyatakan bahwa :
Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang. Hakim mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka menurut Ratna Nurul Afiah (1989:18) bahwa :
Disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut, dengan demikian bukan tersangka pelaku tindak pidana saja yang harus dicari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan bahan pembuktiannyapun harus ditemukan pula. Hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari hukum acara pidana adalah tidak lain daripada me-rekontrucer kembali kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya yang dilarang sedangkan alat-alat pelengkap daripada usaha tersebut adalah barang bukti. Pelaku perbuatannya dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari pada usaha mencari dan menemukan kebenaran materiil, terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (toerekenbaar) disamping bukti tentang adanya kesalahan (schuld) dan terhadap perbuatannya apakah terbukti sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari perbuatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar