Menurut ketentuan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bahwa hukum acara yang berlaku bagi tindak pidana korupsi adalah hukum acara
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981, kecuali diatur tersendiri dalam undang-undang tindak pidana
korupsi.
Dengan demikian penulis akan
menguraikan Bab ini berdasarkan pada ketentuan dari hukum acara pidana yang
berlaku sekarang yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana kecuali ditentukan tersendiri menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
A. Prinsip
Pemeriksaan dalam Persidangan
Sebelum lebih lanjut memasuki seluk
beluk pemeriksaan dalam persidangan Pengadilan Negeri, ada baiknya dipahami
terlebih dahulu beberapa prinsip yang harus ditegakkan dan dipedomani dalam
setiap persidangan. Prinsip-prinsip pemeriksaan persidangan, bukan hanya
ditujukan dan dijadikan landasan bagi peradilan, tetapi juga penting diketahui
dan disadari oleh seorang terdakwa. Adapun prinsip-prinsip persidangan yang
dimaksudkan adalah :
1.
Pemeriksaan
Terbuka Untuk Umum
Pada prinsipnya, semua persidangan
terbuka untuk umum setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan
dapat hadir memasuki ruangan sidang kecuali ketentuan yang termuat dalam Pasal
153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa
dalam perkara kesusilaan dan atau perkara yang terdakwanya anak-anak sidang
dilakukan dalam keadaan tertutup, apabila ketentuan ini dilanggar sesuai dengan
Pasal 153 ayat (4) KUHAP mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
Sanksi ini bertujuan agar semua
persidangan jelas dan terang dilihat dan diketahui oleh masyarakat, sehingga
dengan diperbolehkannya masyarakat mengikuti persidangan, masyarakat juga dapat
menilai persidangan tersebut karena putusan tersebut bukan hanya
dipertanggungjawabkan kepada hukum akan tetapi juga harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, diri sendiri dan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
2.
Hadirnya
Terdakwa Dalam Persidangan
Di dalam ketentuan KUHAP, tidak
dibenarkan proses pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) itu sebabnya Pasal 154 KUHAP mengatur bagaimana cara
menghadirkan terdakwa dalam persidangan, tata cara tersebut memperlihatkan pada
kita bahwa tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak
dapat dilaksanakan. Adapun tata cara tersebut dimulai dari : Hakim Ketua sidang
memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa masuk ke dalam
persidangan, jika terdakwa tidak hadir, Ketua Majelis akan meneliti apakah
terdakwa telah dipanggil dengan sah, kalau pemanggilan tidak sah, Ketua Majelis
memerintahkan kembali Penuntut Umum untuk memanggil kembali terdakwa sekali
lagi, kalau pemanggilan sah sementara terdakwa tidak hadir, maka Ketua Majelis
akan memerintahkan penuntut umum untuk memanggil kembali, jika pemanggilan
telah dilakukan secara sah, akan tetapi terdakwa juga tidak hadir, maka hakim dapat
memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa secara paksa terhadap
seseorang terdakwa yang tidak mau datang menghadiri persidangan, baru dapat
dilakukan apabila terdakwa telah dua kali dipanggil secara sah, dan walaupun
kedua panggilan itu telah dilakukan secara sah, terdakwa tetap tak hadir tanpa
alasan yang sah.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan lain yang
berbeda dengan ketentuan KUHAP di mana dalam Pasal 38 menyebutkan bahwa dalam
hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir disidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya.
Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1)
undang-undang dimaksud, bahwa pelaksanaan peradilan inabsentia (tanpa kehadiran terdakwa) dimaksudkan adalah untuk
menyelamatkan keuangan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun perkara
dapat diperiksa dan diputus.
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa dan segala
keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3.
Hakim
Ketua Majelis Memimpin Persidangan
Prinsip ini diatur dalam Pasal 217
KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim Ketua sidang bertindak memimpin jalannya
pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan. Kedudukan Ketua
Majelis Hakim sebagai pimpinan sidang menempatkan dia sebagai orang yang
berwenang menentukan jalannya pemeriksaan terdakwa, semua tanya jawab harus
melalui dia, dan semua keterangan dan jawaban ditujukan kepadanya.
4.
Pemeriksaan
Secara langsung dengan lisan
Prinsip ini diatur dalam Pasal 153
ayat (2) huruf a KUHAP, yang menegaskan bahwa Hakim Ketua sidang di dalam
memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dengan
lisan, tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap
terdakwa maupun terhadap saksi-saksi, kecuali bagi mereka yang tuli atau bisu.
Pemeriksaan atas mereka dilakukan secara tertulis, tujuan hal ini dilakukan
adalah untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar dapat menemukan
kebenaran yang hakiki sebab dari pemeriksaan secara langsung dengan lisan tidak
hanya keterangan terdakwa dan saksi-saksi saja yang dapat didengar dan
diteliti, akan tetapi sikap dan tata cara mereka memberikan keterangan itu
sendiri, dapat menentukan isi dan nilai keterangan mereka.
5.
Wajib
menjaga pemeriksaan secara bebas
Sesuai dengan penegasan Pasal 152 ayat
(2) huruf b KUHAP, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi dilakukan dengan
bebas, dalam arti terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan
yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas, baik
kepada terdakwa maupun saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang
dapat menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan, malah bukan
hanya penekanan atau ancaman bahkan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak
boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi, sebagaimana hal
ini ditegaskan dalam Pasal 166 KUHAP.
B. Proses
Pemeriksaan Persidangan
Sebelum penulis memaparkan proses
pemeriksaan persidangan, perlu penulis jelaskan mengenai pasal-pasal yang
termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang menyangkut tentang proses pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan
54 undang-undang tersebut, menyebutkan bahwa dengan undang-undang ini dibentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
KPK. Pengadilan Tipikor berada di lingkungan Peradilan Umum yang untuk pertama
sekali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya
meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang nantinya akan dilakukan
secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Berikut ini penulis akan menguraikan
proses pemeriksaan perkara pidana sampai pada pembacaan putusan yang dilakukan
dalam beberapa tahap :
1.
Pemeriksaan
Identitas Terdakwa
Setelah hakim ketua majelis membuka
persidangan dan dinyatakan terbuka untuk umum, hakim ketua majelis
memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa selanjutnya hakim ketua
majelis memeriksa identitas terdakwa, mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur
dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan.
Pemeriksaan identitas ini dicocokkan
hakim ketua majelis dengan identitas terdakwa yang terdapat pada surat dakwaan
dalam berkas perkara, pemeriksaan identitas ini dimaksudkan untuk memastikan
dan meyakinkan persidangan bahwa memang terdakwalah yang dimaksudkan dalam
surat dakwaan sebagai pelaku tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
2.
Memperingatkan
Terdakwa
Setelah hakim ketua majelis selesai
menanyakan identitas terdakwa, kewajiban selanjutnya ialah memperingatkan
terdakwa berupa nasihat dan anjuran kepada terdakwa, memperhatikan segala
sesuatu yang didengar dan dilihatnya di dalam persidangan hal ini bertujuan
untuk kepentingan terdakwa dalam hal pembelaan atas dirinya.
3.
Pembacaan
Surat Dakwaan
Selanjutnya hakim ketua majelis,
memerintahkan Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaannya. Pembacaan surat
dakwaan dilakukan Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua majelis. Fungsi
pembacaan surat dakwaan sesuai dengan kedudukan jaksa sebagai penuntut umum.
4.
Menanyakan
tentang isi surat dakwaan
Acara selanjutnya adalah hakim
menanyakan kepada terdakwa apakah dia telah benar-benar mengerti dan memahami
apa yang didakwakan penuntut umum kepadanya, kalau terdakwa belum mengerti,
maka menurut ketentuan Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP, hakim dapat
memerintahkan penuntut umum untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang
hal-hal yang belum jelas dipahami terdakwa.
5.
Hak
mengajukan eksepsi
Berdasarkan Pasal 156 KUHAP,
undang-undang memberi hak kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk
mengajukan keberatan yang dalam prakteknya sering disebut Eksepsi yaitu
keberatan atas hal-hal yang formil bukan menyangkut pokok perkara, sehingga
harus diajukan sebelum pokok perkara diperiksa yang dapat diajukan setelah
pembacaan surat dakwaan. Menurut undang-undang keberatan yang dimaksud di sini
ada 2 jenis yaitu : 1. Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
baik secara absolut maupun relatif, 2. Keberatan dakwaan tidak dapat diterima
atau surat dakwaan harus dibatalkan.
6.
Tanggapan
Penuntut Umum atas eksepsi terdakwa
Setelah eksepsi dibacakan oleh
terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, hakim ketua majelis memberi kesempatan
kepada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi.
7.
Putusan
sela
Setelah tanggapan penuntut umum atas
eksepsi terdakwa di kemukakan, maka majelis hakim akan mempertimbangkan
keberatan tersebut dan untuk selanjutnya mengambil putusan, jika putusan sela
atas eksepsi tak berwenang mengadili diterima, maka berkas perkara akan
dikembalikan kepada penuntut umum, jika putusan sela atas eksepsi dapat
diterima. Maka kelanjutan pemeriksaan perkara sudah selesai, akan tetapi jika
putusan sela baik dalam eksepsi tidak berwenang mengadili maupun eksepsi
dakwaan tidak dapat diterima, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan
pemeriksaan saksi-saksi.
8.
Pemeriksaan
Saksi
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan
saksi, yang sebelum memberikan keterangan saksi ditanyakan identitasnya dan
hubungannya dengan terdakwa, kemudian saksi wajib berjanji/ bersumpah menurut
tata cara agamanya, dan sebelum saksi memberikan keterangan ketua majelis akan
menasihati terdakwa supaya terdakwa memperhatikan segala keterangan saksi yang
diberikan dipersidangkan, kemudian setelah saksi memberikan keterangan kepada
terdakwa ditanyakan apakah keterangan saksi tersebut, terdakwa merasa keberatan
atau tidak.
9.
Pemeriksaan
Terdakwa
Setelah saksi memberikan
keterangannya, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan terdakwa.
10. Penuntutan dan Pembelaan
Setelah keterangan terdakwa didengar
dipersidangkan, proses selanjutnya adalah penuntut umum membacakan tuntutannya,
setelah pembacaan tuntutan, dilanjutkan dengan pembacaan pembelaan dari
terdakwa atau penasihat hukum terdakwa.
11. Musyawarah Majelis Hakim
Setelah penuntutan dan pembelaan
dilakukan, maka selanjutnya adalah musyawarah majelis hakim untuk mengambil
putusan.
Dalam musyawarah tersebut, ketua majelis
mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua,
sedangkan hakim yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua
majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
12. Putusan
Terakhir dari proses pemeriksaan
perkara tindak pidana korupsi adalah pembacaan putusan akhir, bentuk putusan
yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik
tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan
pengadilan, menurut ketentuan undang-undang ada beberapa jenis putusan akhir,
yaitu : 1. Putusan bebas dari segala tuntutan yaitu apabila kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, 2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum yaitu apabila
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, dan 3.
Putusan Pemidanaan yaitu jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa
terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar