Di dalam pergaulan
masyarakat terdapat kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mengatur dan mencapai
suatu tata tertib. Pada perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah tersebut
dikelompokkan pada berbagai keperluan pokok pada kehidupan manusia misalnya
pertanian, peternakan, dan lain-lain sebagainya. Namun tidak semua
kaidah-kaidah itu merupakan bagian dari lembaga masyarakat, melainkan hanya
kaidah-kaidah yang mengatur kebutuhan pokok saja yang dapat merupakan lembaga
dan mengalami proses yang berlangsung terus menerus sehingga kaidah-kaidah
tersebut tidak saja melembaga melainkan juga menjiwai dan sudah mendarah daging
pada warga masyarakat.
Dalam hubungannya
dengan hal tersebut, maka perjanjian bagi hasil dalam tanah Akkinanreang juga
merupakan salah satu kebiasaan di dalam hukum adat yang mengatur kebutuhan
hidup masyarakat, yang telah melembaga dan menjadi kebiasaan masyarakat.
Lahirnya suatu perjanjian tersebut tidak terlepas pula dari kebutuhan hidup
masyarakat di daerah Kebupaten Sinjai.
Beberapa hal yang
melatarbelakangi lahirnya perjanjian bagi hasil dalam tanah Akkinanreang.
Pentingnya mengemukakan masalah latar belakang ini tentulah tidak terlepas dari
upaya untuk memperoleh pengertian atau penjelasan yang menyeluruh tentang
hakekat permasalahannya. Pengertian atau kejelasan itu kiranya amat penting
demi mendapat gambaran yang tepat dan selengkap lengkapnya menyangkut
permasalahan perjanjian bagi hasil tentang tanah Akkinanreang.
Latar belakang lahirnya perjanjian bagi hasil antara para
pihak teramat banyak kaitannya dengan keadaan individu masing-masing pihak
melakukan perjanjian tersebut.
2.
Bentuk
Perjanjian terhadap Tanah Akkinanreang
Sebagai mana
diketahui, setiap perbuatan hukum senantiasa menunjukkan ciri tertentu yang
dapat memberi gambaran tentang bagaimana perbuatan hukum tersebut dijalankan
atau dilaksanakan. Ciri yang dimaksud ini tercermin dalam cara bagaimana
sehingga perbuatan hukum dapat dinilai dalam wujud kongkritnya sesuai yang
menjadi tujuan orang atau pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut.
Dari pemahaman di
atas, dapatlah ditentukan bahwa adanya aspek tersebut menunjukkan pentingnya
suatu bentuk, model atau format suatu perbuatan hukum. Justru segi bentuk atau
model yang menunjukkan kejadian perbuatan hukum inilah yang merupakan segi atau unsur penting dalam mengarahkan
penilaan terhadap perbuatan hukumnya.
Perjanjian bagi hasil
pun dapat dikenal hakikat dan esensinya tentang bagaimana perbuatan hukum yang
melibatkan para pihak ini terjadi. Adanya bentuk yang telah ditentukan sendiri
sebagai suatu yang menjadi persyaratan untuk mengkategorikan dan kemudian
mengandung sebutan sebagai suatu perjanjian bagi hasil tentang tanah
Akkinanreang ini yang mewujudkan ciri khasnya sendiri sebagai suatu perbuatan
hukum yang sifatnya mengikat.
Bentuk perjanjian
bagi hasil tanah Akkinanreang dilakukan menurut adat setempat. Hampir semua
pewaris tanah Akkinanreang tersebut membuat perjanjian dengan tidak tertulis.
Perjanjian bagi hasil tanah Akkinanreang tidak berjalan sesuai dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 yang mengisyaratkan perjanjian dilakukan secara
tertulis. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 menjelaskan bahwa dalam
membuat suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis didepan Kepala Desa.
Mengenai tidak tertulisnya suatu pelaksanaan bagi hasil tanah
Akkinanreang sampai sekarang ini sebab masyarakat memang melaksanakan
perjanjian sesuai kebiasaan saja, dari dulu mengikuti apa yang sudah dilakukan
oleh nenek moyangnya berdasarkan kesepakatan atas dasar kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar