Secara umum sebutan tanah dalam
keseharian kita dapat dipakai dalam berbagai arti, karena itu dalam
penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui dalam arti apa istilah
tersebut digunakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Kebudayaan, 1994) tanah dapat diartikan :
1.
Permukaan
bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2.
Keadaan
bumi di suatu tempat
3.
Permukaan bumi yang diberi batas
4.
Bahan-bahan
dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,batu cadas dan sebagainya)
Sedangkan menurut Budi Harsono
(1999:18) memberi batasan tentang pengertian tanah berdasarkan apa yang
dimaksud dalam Pasal 4 UUPA, bahwa :
Dalam
hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian
yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA sebagaimana dalam Pasal 4 bahwa hak
menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi
yang disebut tanah.
Dengan demikian tanah dalam pengertian
yuridis dapat diartikan sebagai permukaan bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho
(1993:23) mengemukakan bahwa :
Tanah
adalah suatu benda bernilai ekonomis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia
pula yang sering memberi getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan
guncangan dalam masyarakat, lalu ia jua yang sering menimbulkan sendatan dalam
pelaksanaan pembangunan.
Berdasarkan pengertian tanah yang di
kemukakan di atas dapat memberi pemahaman bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis
yang sangat tinggi sehingga menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan
mempertahankan eksistensi sebagai benda yang bernilai ekonomis karena tanah
selain itu bermanfaat pula bagi pelaksanaan pembangunan namun tanah juga sering
menimbulkan berbagai macam persoalan bagi manusia sehingga dalam penggunaannya
perlu dikendalikan dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan masalah dalam
kehidupan masyarakat.
2.4.
Sistem
Publikasi yang Digunakan Dalam Pendaftaran Tanah
Sebelum membahas mengenai
sistem publikasi yang diapaki dalam pendaftaran tanah di Indonesia, maka
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa sistem publikasi yang dipakai di
beberapa negara.
Menurut Ali Achmad Chomzah
(2004:17) apabila dilihat dari aspek jaminan yang diberikan dengan pemberian
surat-surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat ha atas tanah) sebagai alat
pembuktian, maka rechts kadaster
(pendaftaran tanah) ini mengenal 2 macam sistem, yaitu :
1.
Sistem Negatif
Yang dimaksud sistem negatif
dalam pendaftaran tanah ini adalah suatu sistem bahwa kepada si pemilik tanah
diberikan jaminan lebih kuat, apabila dibandingkan perlindungan yang diberikan
kepada pihak ketiga. Menurut sistem negatif ini segala apa yang tercantum di
dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dibuktikan suatu keadaan yang
sebaliknya di muka sidang pengadilan. Adapun asas peralihan hak atas tanah
menurut sistem ini adalah asas nemo plus
juris.
Menurut Irawan Soerodjo
(2003:189) mengemukakan bahwa asas nemo
plus juris merupakan asas di mana seseorang tidak dapat melakukan tindakan
hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut
adalah batal demi hukum (van rechts
wegenietig). Dengan kata lain asas ini melindungi pemegang hak atas yang
sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui
oleh pemegang hak sebenarnya.
Ciri pokok sistem negatif ini
ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin
bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah jika nama
yang terdaftar bukanlah pemilik yang sebenarnya (Bachtiar Effendi, 1993:33).
Negara yang menggunakan sistem publikasi negatif ini di antaranya : Belanda,
Prancis dan Filipina.
2.
Sistem Positif
Sistem publikasi positif
dalam pendaftaran tanah adalah suatu sistem di mana kepada yang memperoleh hak
atas tanah akan diberikan jaminan lebih kuat.
Menurut sistem ini suatu
sertifikat tanah yang diberikan adalah berlakunya sebagai tanda bukti hak atas
tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Ciri pokok dari sistem
positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah
adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah
adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata bukanlah pemilik yang
berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan mutlak
kepada buku tanah (Bachtiar Effendi, 1993:32). Negara yang menggunakan sistem
ini di antaranya : Jerman, Swiss, Austria dan Australia.
Sistem publikasi yang
digunakan di Indonesia menurut Boedi Harsono (1999:463) adalah tetap seperti
dalam pendaftaran tanah menurut PP Nomor 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif
yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hal ini membawa akibat hukum
bahwa segala apa yang tercantum dalam surat tanda bukti tersebut adalah
dianggap benar sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya yang
menyatakan sertifikat tersebut tidak benar. Dengan sistem ini
keterangan-keterangan itu apabila ternyata tidak benar, maka dapat diubah dan
dibetulkan.
Ciri-ciri sistem ini menurut
Ali Achmad Chomzah (2004:16) yaitu :
a.
Nama yang tercantum di dalam buku tanah
adalah pemilik yang benar dan dilindungi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda
bukti hak yang terkuat, bukannya mutlak.
b.
Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur
dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar beginsel).
c.
Setiap persil batas diukur dan digambar
dengan peta pendaftaran tanah, dengan skala 1:1000, ukuran mana yang
memungkinkan untuk dapat dilihat kembali batas persil, apabila di kemudian hari
ternyata terjadi sengketa batas.
d.
Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah
dan sertifikat dapat dicabut melalui proses keputusan Pengadilan Negeri atau
dibatalkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional apabila terdapat cacat hukum.
e.
Pemerintah tidak menyediakan dana untuk
pembayaran ganti rugi pada masyarakat, karena kesalahan administrasi
pendaftaran tanah.
Mengenai alat pembuktian
yang kuat tersebut, Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
a.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
b.
Dalam hak atas suatu bidang tanah sudah
diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun
tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.
Ketentuan dalam Pasal 32
ayat (2) tersebut di atas bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada
sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan
kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah
dan diatur sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertifikat sebagai
tanda buktinya.
Kelemahan dari sistem
publikasi ini adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari
pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu, tetapi kelemahan tersebut dapat
diatasi dengan menggunakan lembaga yang dalam hukum adat disebut lembaga rechts verwerking.
Dalam penjelasan Pasal 32
ayat (2) tersebut dijelaskan tentang rechts
verwerking tersebut, yaitu jika seseorang selama sekian waktu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang
memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali
tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah
karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar