Seperti yang
disebutkan pada bagian dari judul bab ini maka akan diuraikan beberapa batasan
berkaitan dengan penggunaan yang menjadi tema pokok skripsi ini, yakni
perjanjian bagi hasil terhadap tanah Akkinanreang. Hal ini pertama-tama
dikemukakan mengingat pentingnya pemahaman penggunaan istilah dalam pembahasan
selanjutnya yang dengan sendirinya diharapkan akan berguna untuk memberi
kejelasan masalah dan kejernihan tujuan suatu masalah.
Menurut H. Ahmad
Manggau ( 1985 : 1 ) bahwa :
“Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian antara pemilik tanah
dan penggarap, dengan mana penggarap diperkenakan usaha pertanian di atas tanah
pemilik dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.
Sedangkan
menurut Ter Haar ( 2001 : 102 ) sebagai berikut :
“Saja ada sebidang tanah tapi ada kesempatan atau kemauan
mengusahakan sendiri sampai berhasilnya tapi walaupun begitu saya hendak
memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya
ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya sebahagian hasil
panennya”.
Selanjutnya Van Dijk
( 1982 : 69 ) mengemukakan sebagai berikut :
“Pertalian belah pinang adalah suatu perjanjian dalam si
pemilik tanah mengizinkan orang lain mengerjakan, menanami, dan memetik
hasilnya menurut perbandingan yang telah ditentukan sebelumnya itu”.
Menurut K. Wantijk
Saleh ( 1982 : 51 ) melihat dari sudut hak yang timbul dari akibat perjanjian
itu menyebutnya :
“Bahwa hak bagi hasil adalah hak seseorang untuk mengusahakan
pertanian di atas hak tanah milik orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya
akan dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian”.
Dari beberapa uraian
yang memberi batasan tentang pengertian
perjanjian dalam kaitannya dengan hukum adat seperti dikemukakan di atas, maka
jelaslah bahwa kesepakatan yang dikaitkan dalam suatu bentuk persetujuan
bersama merupakan unsur yang sifatnya mendasar atau esensial dari suatu
perjanjian.
Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa sesungguhnya suatu perjanjian bagi hasil di daerah
tertentu berbeda dengan daerah lain. Perbedaan itu terutama terletak pada
kenyataan akan adanya perbedaan dalam isi perjanjian yang menyangkut perjanjian
pembagian riil antara para pihak. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena
kondisi geografis dan populasi petani serta tatanan sistem adat yang berbeda
pada suatu daerah.
Ada banyak istilah
yang dipakai untuk mengartikan perjanjian bagi hasil di berbagai daerah di
Indonesia. Hal ini mengikat bagi pihak yang membuatnya.
Bila diadakan
perbandingan antara sistem perjanjian menurut hukum adat dan sistem perjanjian
menurut hukum barat, maka akan ditemukan beberapa hal yang berbeda diantara
keduanya, adalah :
1.
Titik tolak pada dasar kejiwaan. Pada hukum adat bertitik
tolak pada dasar kejiwaan, kekeluargaan, kerukunan dan bersifat
tolong-menolong, sedangkan pada hukum barat bertitik tolak pada dasar
kepentingan individu dan kebendaan.
2.
Perjanjian pada hukum barat menerbitkan perikatan dengan
cukup adanya kata sepakat, sedangkan pada hukum adat selain kata sepakat maka
lazimnya disertai dengan tanda ikatan, sesuai dengan sifat hukum adat yang
nyata ( konkrit )
3.
Perjanjian pada hukum barat hanya menyangkut dalam ruang
lingkup harta kekayaan, sedangkan pada hukum adat selain hukum harta kekayaan
juga menyangkut yang tidak bersifat kebendaan.
Ada banyak istilah
yang dipakai untuk pengertian perjanjian bagi hasil di berbagai daerah di
Indonesia. Hal ini banyak disesuaikan dengan peristilahan adat daerah setempat
di Indonesia yang tentu saja erat kaitannya dengan tata aturan atau tradisi
hukum adat di daerah yang bersangkutan.
Sedangkan dalam
perjanjian bagi hasil menurut kebiasaan dalam praktek yang terjadi di Kabupaten
Sinjai, oleh masyarakat setempat dinamakan dengan nama Akkinanreang.
Istilah Akkinanreang secara etimologi dan
terjemahannya kurang begitu jelas, namun menurut kisahnya bahwa istilah
tersebut dipakai secara turun temurun, dalam hal perjanjian sebidang tanah,
dengan objek tanah kering (kebun) ataukah tanah basah (sawah).
Perjanjian tanah
Akkinanreang menurut kebiasaan yang terjadi di Kabupaten Sinjai adalah suatu
perjanjian yang dilakukan secara lisan, yang pelaksanaannya berdasarkan
kebiasaan antara pihak yang mengadakan suatu perjanjian.
Selanjutnya pada
umumnya kategori orang melakukan suatu perjanjian semestinya memenuhi
persyaratan yang diatur secara tertentu. Syarat-syarat ini biasa diterapkan
secara umum dan senantiasa dikenal dalam melakukan suatu perbuatan perjanjian,
yakni pada subjek perjanjian hendaknya dapat dinilai mampu melakukan suatu
perbuatan hukum secara sah, artinya manusia yang sehat pikirannya dan tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban masyarakat.
Dalam hubungan dengan
semua pemaparan dan pengertian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam
perjanjian bagi hasil pun semestinya para pihak yang mengambil peranan atau
bagian dalam melakukan perjanjian hendaknya senantiasa memenuhi syarat
bagaimana yang dituntut oleh aturan hukum maupun kebiasaan menurut hukum adat.
Khususnya dilokasi penelitian yang penulis jadikan acuan perbandingan, yaitu
daerah Kabupaten Sinjai. Pada umumnya setiap perjanjian memang dilakukan oleh
para pihak yang telah memenuhi syarat yaitu orang dewasa, cakap bertindak menurut hukum dan sehat akal pikiranya.
Setelah penulis
menguraikan secukupnya tentang beberapa hal yang menyangkut perjanjian bagi
hasil dalam kaitannya dengan hukum adat, maka selanjutnya akan disinggung
mengenai karateristik atau ciri-ciri perjanjian bagi hasil menurut hukum adat,
di mana hukum adat mengenal adanya perjanjian bagi hasil. Ciri-ciri nya dapat
diklarifikasikan sebagai berikut :
a.
Tidak dilakukan secara tertulis. Pada umumnya perjanjian bagi
hasil ini dilakukan dengan lisan dan tanpa mengenal semacam akta perjanjian.
b.
Penyaksian atau pengesahan maupun bantuan dari Kepala Desa
atau Kepala Persekutuan adat tidak diperlukan. Hal ini berlainan dengan
teransaksi tanah seperti jual lepas, jual gadai yang di mana bantuan Kepala
Desa amat dibutuhkan. Oleh karena diketahui bahwa transaksi bagi hasil adalah
transaksi yang berhubungan dengan tanah, maka tidaklah terjadi penyerahan tanah
dalam arti peralihan kepemilikan tanah, sehinggah bantuan Kepala Desa/ Kepala
Persekutuan tidaklah diperlukan.
c.
Hak ulayat tidak menjadi objek suatu perjanjian bagi hasil.
d.
Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat, jadi dapat saja
berakhir setelah melewati satu masa panen.
e.
Terjadinya suatu transaksi dengan pihak ketiga, seperti
misalnya peralihan dari pemilik.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^