Untuk menilai kekuatan pembuktian
terhadap alat-alat bukti, maka menurut Ansori Sabuan (1990:186-189) ada 4
(empat) sistem pembuktian yaitu :
Sistem
pembuktian keyakinan belaka, menurut sistem ini hakim dianggap cukup
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan hukum, hingga dengan sistem ini hakim dapat
mencari dasar putusannya itu menurut perasaan semata-mata, hingga dengan
demikian atas dasar perasaan itu dapat dipakai untuk menentukan apakah sesuatu
keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. Dalam sistem ini hakim tidak
diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai dasar putusannya namun
demikian kalau hakim dalam putusannya itu dengan menyebut alat bukti yang
dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, termasuk upaya pembuktian
yang sekira sulit diterima dengan akal. Misalnya adanya kepercayaan terhadap
seorang dukun setelah mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menetapkan
siapa yang salah dan siapa yang tidak salah dalam suatu tindak pidana.
Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu
kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim.
Sistem
pembuktian menurut Undang-Undang yang positif (positief wettelijk), dalam sistem ini Undang-Undang menentukan alat
bukti yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat
mempergunakannya, asal alat bukti itu telah dipakai secara yang ditentukan oleh
Undang-Undang maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau
tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, walaupun barangkali hakim sendiri
belum begitu yakin atas kebenaran putusan itu. Sebaliknya bila tidak dipenuhi
persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat bukti itu sebagaimana
ditetapkan Undang-Undang, maka hakim akan mengambil putusan yang sejajar
artinya bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan adanya, walaupun dalam hal ini mungkin hakim berkeyakinan atas hal
tersebut. Misalnya ada dua orang saksi telah disumpah mengatakan kesalahan
tersangka, meskipun kemungkinan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa itu tidak
melakukan pelanggaran hukum, maka hakim akan menjatuhkan putusan adanya
kesalahan bagi terdakwa tersebut. Demikian pula sebaliknya andaikan dua orang
saksi itu menyatakan tidak adanya kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa, maka
walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa melakukan pelanggaran hukum, maka
hakim harus membebaskannya.
Sistem
pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif (negatief wettelijk), menurut teori ini hakim hanya boleh
menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah
ditentukan Undang-Undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pada itu Pasal 183 KUHAP menyatakan
bahwa :Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Atas dasar Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa
KUHAP memakai sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif. Ini berarti
bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup
alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh Undang-Undang
(minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang
ada tau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa menurut teori ini hakim baru boleh menyatakan
seseorang bersalah jika telah dapat dipenuhinya syarat-syarat bukti menurut
Undang-Undang, ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Dengan
demikian walaupun sudah cukup bukti yang sah, tetapi jika hakim tidak yakin
ataupun hakim telah yakin tetapi jika bukti yang sah belum cukup, maka hakim
belum boleh menjatuhkan pidana atas diri terdakwa.
Sistem
pembuktian bebas (vrije bewijstheorie),
dalam teori ini ditentukan bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan
alasan-alasan untuk mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada
penyebutan alat-alat bukti yang termaktub dalam Undang-Undang, melainkan hakim
tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan
semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tetap menurut logika. Sistem ini
di dalam ilmu pengetahuan juga dinamakan sebagai teori conviction raissonee. Jadi, menurut teori ini alat-alat dan cara
pembuktian tidak ditentukan dalam Undang-Undang. Hal ini tidaklah berarti bahwa
menurut teori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya
semua itu tidak dipastikan dalam Undang-Undang sebagaimana teori-teori di atas.
Oleh karena itu dalam menentukan macam dan banyaknya bukti yang dipandang cukup
untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim sangat bebas dalam arti tidak
terikat oleh suatu ketentuan.
2. Konsep Umum Tentang Teori Pembuktian
Dalam pembuktian perkara pada
umumnya dan khusunya delik korupsi diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam
pemeriksaan delik korupsi selain ditetapkan Hukum Acara Pidana, yaitu pada Bab
IV pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam hal pembuktian Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1971 menerapkan
pembuktian terbalik namun bersifat “terbatas” dan “berimbang”. Sistem ini tidak
sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP. Penerapan sistem ini lebih kepada
inginnya para pembuat undang-undang mengefektifkan Undang-Undang Korupsi agar
dapat memberantas atau minimal menekan perkembangan perbuatan korupsi itu tersebut.
Adapun beberapa teori pembuktian
yang selama ini dikenal dan sempat berlaku dalam perkembangan hukum pembuktian
adalah sebagai berikut:
a. Teori Tradisional
Bosch-Kemper, (Martiman Projohamidjojo, 2001:100), membagi teori tentang
pembuktian yang tradisional, yakni:
1. Teori negatief
Teori ini menyatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika
hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Teori ini dianut oleh HIR,
sebagaimana tertera dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah:
a.
Keharusan
adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada:
b.
Alat-alat
bukti yang sah.
2. Teori Positief
Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh
menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh
undang-undang. Jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan
menyatakan kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini adalah positivistis.
Jika tidak ada bukti maka terdakwa tidak akan dihukum.
Teori ini dianut KUHAP,
sebagai dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “
3. Teori bebas
Teori ini tidak mengikat hakim
kepada aturan hukum yang dijadikan pokok. Asal sajaada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti
dan dibenarkan oleh pengalaman.
b. Teori Modern
Teori modern dapat diklasifikasikan
kedalam beberapa kategori, yaitu sebagai berikut:
- Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gameodelijke overtuiging, atau conviction intime)
Teori ini tidak membutuhkan
suatu peraturan tentang pembuktian dan penyerahan segala sesuatunya kepada
kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subyektif. Hakim harus
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan Dasar pertimbangan menggunakan pikiran secara
logika dengan memakai silogisme, yakni premis mayor, premis minor, dan
konklusio.
Kelemahan pada sistem ini
adalah terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada
kesan-kesan perseorangan sehingga sulit melakukan pengawas.
- Teori Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie)
Dalam teori undang-undang
menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim dan cara bagai
mana mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu
sedemikian rupa. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai yang sudah ditetapkan oleh
undang-undang maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun
hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Kelemahan pada sistem ini
adalah tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan
hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus
didasarkan atas kebenaran.
- Teori Pembuktian menurut undang-undang secara negatif(negatief wettelijke bewijstheorie) dan teori keyakinan atas alasan negatif(beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee)
Kedua teori ini jika
dikomparasikan, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan Persamaannya
terletak pada hal mana hakim diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa
perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan keyakinan harus disertai
penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaiaan buah pikiran.
Sedangkan perbedaanya terletak pada hal mana dalam teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh
undang-undang sebagai alat bukti.
Pada teori keyakinan atas
alasan negatif, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk
mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alasan-alasan untuk mengambil
putusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dan cara menggunakan
alat-alat bukti dalam undang-undang melainkan hakim bebas untuk memakai
alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut
logika.
4. Teori pembuktian negatif menurut undang-undang
Teori ini dianut oleh KUHAP
sebagaimana yang tertera dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim
tidak boleh menjalankan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya “
Penggunaan kata
“sekurang-kurangnya” dalam pasal ini memberikan limitatif pada alat bukti yang
minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan penggunaan
kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat
bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai
alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pidana pada umumnya ataupun delik
korupsi pada khususnya.
Kemudian dalam pasal 184
KUHAP, yang menyatakan beberapa alat bukti yang dapat digunakan pada proses
pembuktian pidana, yaitu:
a. Keterangan
saksi;
b. keterangan
ahli;
c. surat;
d. petunjuk
e. keterangan
terdakwa.
Ketentuan pasal ini menentukan alat-alat bukti dan dari alat-alat
bukti itu dipakai dua alat bukti minimum.
Pembentukan undang-undang lebih mendasarkan pembuktian tentang
kesalahan terdakwa dengan alat bukti kesaksian (terutama), karena dalam
pemeriksaan baik dimuka penyidik, penuntut umum maupun hakim terdakwa terdapat
kecenderungan untuk mengelak ataupun memungkinkan kejadian perbuatannya masa
lampau.
5. Teori Pembuktian Terbalik
Dalam upaya melakukuan pemberantasan tindak pidana korupsi,
pembentukan undang-undang telah memformulasikan pendekatan baru dengan
menerapkan sistem pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Hal tersebut didasarkan pada suatu asumsi bahwa semakin sulitnya pelaku tindak
pidana korupsi dibuktikan kejahatan yang dilakukan di muka pengadilan, yang
memungkinkan pembentuk undang-undang menerapkan sistem pembuktian terbalik pada
terdakwa. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil
revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mempertegas penerapan sistem
pembuktian terbalik bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, kedua menerapkan sistem pembuktian terbalik yang bersifat “terbatas
dan berimbang”. Sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang adalah
bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikn bahwa ia tidak malakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya, dan
harta benda istrinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya di pengadilan.
Penggunaan kata “terbatas” dalam memori pasal 37 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan bahwa terdakwa dapat mebuktikan dalilnya bahwa
terdakwa tidak terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
melainkan penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Sedangkan penggunaan kata “berimbang” dalam ketentuan tersebut berarti bahwa
antara income (pendapatan) terdakwa
dalam rasio pengeluaran (output)
harus sebanding atau berimbang dengan perolehan harta yang didapatnya.
Proses pemeriksaan delik korupsi terdapat dua Hukum Acara Pidana,
yakni hukum acara yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
sebagai penyimpangan pada KUHAP. Hukum Acara Pidana yang tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menururt penulis dalam pembuktian tindak pidana korupsi terdapat
dua teori pembuktian yang dianut, yakni:
(a) Teori bebas yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas ini secara
eksplisit telah tercermin dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
yakni sebagai berikut:
1. Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi;
2. dalam
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal menguntungkan baginya;
3. Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan;
4. Dalam
hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi;
5. Dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
(b) Teori negatif menurut undang-undang, yang
diturut oleh penuntut umum
Teori negatif menurut undang-undang
ini secara tersirat tercermin dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”
Persyaratan pemberian pidana dalam
sistem KUHAP sangat berat yakni:
1. Minimum
dua alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2. Keyakinan
hakim;
3. Ada
tindak pidana yang benar terjadi;
4. Terdakwa
itu manusianya yang melakukan perbuatan;
5. Adanya
kesalahan pasa terdakwa;
6. Macam
pidana apa yang dijatuhkan hakim;
Kembali pada persoalan pokok,
pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang maka begaimana pelaku menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 danUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap wacana tersebut. Olehnya penulis
dapat menggambarkan tentang proses pidana dalam peradilan sebagai berikut :
a. Sikap
Terdakwa
Bagi terdakwa, wacana ada beberapa
segi yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif; apakah ia menggunakan
hak itu atau tidak, karena menggunakan hak atau tidak masing-masing memiliki
konsekuensi.
Dalam
menggunakan hak terdakwa ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa
yakni :
(1) Untuk
membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan
kepadanya oleh penuntut umum;
(2) Terdakwa
berkewajiban untuk memberikan keterangan terhadap seluru harta bendanya
sendiri, harta benda istri atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang
bersangkutan.
Syarat pertama merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang
menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan dilakukan tindak pidana, bukan
terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktika dalil, bahwa terdakwa
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Syarat kedua ialah terdakwa
berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul/perolehan hak atau asal
usul/pelepasan hak atas harta benda pribadi, anak, istrinya maupun orang lain
atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi. Perolehan/pelepasan
hak itu mengenai kapan, bagaimana, dan siapa saja yang terlibat dalam
perolehan/pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau
peraliahan itu terjadi. Penggunaan hak bagi terdakwa dapat menguntungkan dan
merugikan kedudukan terdakwa dalam pembelaannya.
b. Sikap
penuntut umum
Penuntut umum tidak mepunyai hak atas
hak yang diberikan undang-undang terhadap diri terdakwa, namun tidak berarti
penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum
dalan requisitornya. Apabila terdakwa dapat membuktikan hak
tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia
terbukti atau tidak melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban
untuk membuktikan terbalik terbatas, dan penuntut umum tetap wajib membuktikan
dakwaanya sesuai dengan teori negatif menurut undang-undang adalah pada
terdakwa ada kesalahan atau tidak dan apa terdakwa inilah yang melakukan
perbuatan.
c. Sikap
Hakim
Terhadap keterangan terdakwa itu,
hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap hakim, bebas dalam menentukan
pendapatnya sebagai berikut :
(1) Keterangan
terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja;
(2) Jika
keterangan terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu dipakai
sebagai hal yang menguntungkan pribadinya;
(3) Jika
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang/sebanding
dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan itu dapat
dipergunakan untuk meperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
d. Perhatian
Penegak Hukum
Perlu diperhatikan dalam menerapkan
teori negatif menurut undang-undang terdapat dua hal menjadi syarat, yakni:
1. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti
yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang;
2. Negatief, oleh karena dengan alat-alat
bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup untuk memaksa
hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan akan tetapi masih dibutuhkan
keyakinan hakim.
Antara alat-alat bukti dan keyakinan
hakim diharuskan adanya hubungan sebab akibat (kausal).
Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya
dua alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan keyakina hakim
bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.
Karena itu oleh pembentukan undang-undang diajukan 5 (lima) macam alat bukti
(Pasal 184 KUHAP), akan tetapi hakim tidak yakin bahwa suatu delik korupsi
telah terjadi dan terdakwa bersalah telah melakukannnya, maka hakim pidana akan
melepaskan terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsvervoging).
Asas negatif wettelijk tercermin pula secara nyata pada pasal 189 ayat
(4) KUHAP, bahwa berdasarkan “keterangan terdakwa” saja tidak cukup membuktikan
terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan harus
disertakan dengan alat-alat bukti yang lain. Jadi, hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan pidanakepada terdakwa hanya berdasarkan satu saksi saja (unus testis nullus testis), oleh karena
dianggap sebagai bukti yang tidak cukup (Pasal 185 ayat 2 KUHAP), artinya
kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim.
(onvoldoende bewijs)
Menurur
Wiryono Projodikoro (1967:74), bahwa
teori pembuktian negatif menurut undang-undang sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan:
(1) Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu pidana, jangan
hakim terpaksa memberikan pidana kepada terdakwa sedangkan hakim tidak yakin
atas kesalahan terdakwa;
(2) Berfaedah, jika ada aturan yang mengikat dalam
neyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh
hakim dalam melakukan peradilan.
Sedangkan menurut D. Simons (1910:152), menyatakan bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-undang
ini, pemidanaan didasarkan pada pembuktian yang berganda (dobble grond-slag) yaitu peraturan undang-undang dan keyakinan
hakim dan menurut undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar