Pengertian Gadai tanah adalah
merupakan hubungan antara seseorang dengan tanah milik orang lain yang telah
menerima uang gadai dari padanya dan selama gadai masih berlangsung, maka tanah
yang bersangkutan dikuasai oleh pihak pemberi uang (pemegang gadai).
Dalam hukum adat dikenal istilah gadai
tanah yang berbeda-beda di Indonesia, misalnya di Jawa Barat dikenal dengan
istilah “Adol Sende”, di Minangkabau disebut “Menggadai” , di Gorontalo disebut
“Monohuloo” dan di Sulawesi Selatan orang menyebutnya “Batu Ta’gala”. Menurut
hukum adat, gadai adalah lembaga yang telah lama hidup dalam masyarakat
Indonesia, seperti yang di kemukakan oleh Ter Haar BZN (Van Vollenhoven 1985:112),
bahwa gadai tanah dalam pengertian hukum adat yaitu :
Gadai
tanah sawah adalah perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk
menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak
mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah
uang yang sama.
Berdasarkan definisi tersebut di atas,
bahwa selama uang gadai belum dilunasi maka tanah yang digadaikan tetap dalam
penguasaan si penegang gadai dan selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
si pemegang gadai.
Menurut Eddy Ruchiat (1983:55) yang
dimaksud dengan gadai tanah adalah :
Penyerahan
tanah atau empang oleh pihak pertama (pemilik tanah yang memberi gadai) kepada
pihak kedua (yang menerima gadai) atas pembayaran sejumlah uang tunai dengan
perjanjian yang menyerahkan tanah dapat menerima kembali tanah itu atas
pembayaran kembali sejumlah uang yang sama, sehingga merupakan pemindahan hak
sementara.
Dari hal tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa pihak penggadai berhak untuk menebus kembali tanahnya yang
digadaikan itu dan tergantung dari waktu, kemampuan dari penggadai untuk
menebus tanahnya kembali. Pemegang gadai tidak berhak untuk memaksakan kehendak
kepada penggadai agar tanah gadainya ditebus, bahkan hak untuk menebus ini pun
dapat ditebus oleh ahli warisnya. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya tanah
pertanian yang digadaikan oleh pemiliknya yang sudah berlangsung selama
bertahun-tahun karena pihak penggadai tidak mampu menebus kembali tanahnya.
Pengertian gadai tanah menurut Subekti
dan Tjitro Soediro (1973:95) menyatakan bahwa gadai berkaitan dengan status
dalam arti pengertian dan kedudukan yang mempunyai makna :
“Menggadaikan sudah tersirat suatu
maksud persyaratan hukum antara kedua belah pihak yang terlibat dalam gadai
menggadai yang diikuti oleh perjanjian atau kesepakatan bersama”.
Gadai tanah menurut hukum adat tidak
mengenal batas waktu kapan berakhirnya gadai tanah tersebut kecuali apabila
antara kedua belah pihak telah membuat perjanjian mengenai batas waktu gadai
tersebut berakhir. Sedangkan pengertian gadai menurut hukum agraria nasional
adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960 angka 9a yang berbunyi sebagai berikut :
Yang
dimaksud dengan hak gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang kepadanya, selama utang tersebut
belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (pemegang gadai) selama itu pula hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan bunga dari utang uang
tersebut.
Sedangkan menurut pendapat Effendi
Parangin (1986:307) bahwa pengertian gadai menggadai tanah yaitu :
Gadai
menggadai tanah biasanya dilakukan di muka kepala desa atau kepala adat.
Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat bagi sahnya gadai
menggadai itu, melainkan dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan, dan demikian
mengurangi risiko pemegang gadai jika kemudian hari ada sanggahan. Dari gadai menggadai
itu biasanya juga dibuatkan akta atau bukti yang tertulis.
Jika memperhatikan hal tersebut di
atas, pengertian menurut hukum adat di mana hak menebus gadai tidak disebutkan
secara tegas tentang batas waktu berakhirnya hak gadai, sedangkan menurut UUPA
tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, bahwa setiap hak
gadai yang telah berlangsung tujuh tahun dinyatakan hapus dan pemberi gadai
atau pemilik dapat mengambil tanahnya kembali tanpa mengembalikan uang gadai.
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
tersebut cukup jelas bahwa ketentuan gadai tanah menurut hukum adat berbeda
dengan ketentuan gadai tanah menurut hukum nasional.
Terdapat tiga hal yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang merupakan Undang-Undang Landeform
Indonesia menurut Budi Harsono (1995:293) yaitu :
1.
Penetapan
luas maksimum pemelikan dan penguasaan tanah pertanian
2.
penetapan
luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu
menjadi bagian yang terlampau kecil.
3.
Masalah
pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Menurut ketentuan hukum adat
bahwa selama belum dilakukan penebusan oleh pemilik tanah, maka hak gadai dapat
berlangsung terus, sedangkan menurut Hukum Agraria Nasional perjanjian gadai
tersebut telah berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanah dapat mengambil
tanahnya kembali dari pihak pemegang gadai tanpa membayar uang tebusan sehingga
dengan demikian dapat diketahui bahwa hak gadai atas tanah pertanian bukanlah
hak jaminan.
Bagamana jika gadai tanah tersebut tidak menghasilkan bagi sipemengang gadai??? Jika harus dikembalikan jika lebih tujuh tahun itu tidak adil bagi sipemengang gadai apalagi tanah itu tidak menghasilkan sebagai bunga gadainya...
BalasHapusmengapa gadai tanah ini dilarang sebagaimana yang tercantum dalam uu ini?
BalasHapusApabila seseorang menggadaikan tanah milik orang lain dan yang tertulis dalam materai yaitu penggarap dan pengadai bukan dengan pemilik tanahnya hukum dalam undang-undang seperti apa. Siapa yang berhak mengembalikan tanah gadai tersebut. Apakah seorang pengadai atau pemilik tanah?
BalasHapus