Dalam
KUH perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai Istilah ‘pembubaran perkawinan’
(ontbindinng des huwelijks) yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang ‘pembubaran perkawinan pada
umumnya’ (Pasal 199), tentang
‘pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan pisah ranjang, (Pasal 200-206b), tentang ‘perceraian perkawinan’ (Pasal
207-232a), dan yang tidak dalam hukum
adat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi ialah Bab XI
tentang ‘ pisah meja dan pisah ranjang’ (Pasal 233-249).
Menurut
KUH Perdata perkawinan itu bubar dikarenakan ‘kemtian’, ‘tidak hadirnya suami atauisteri dalam 10
tahun yang diiringi perkawinan baru isteri atau suami’, ‘keputusan hakim setelah pisah meja dan pisah
ranjang dean pendaftaran pernyataan pemutusan perkawinan dalam daftar-daftar
catatan sipil’, dan karena ‘perceraian’
(Pasal 199).
Selanjutnya
dikatakan ‘ jika suami isteri pisah meja dan ranjang, baik karena salah satu alas an dari
alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 233, maupun atas permohonan kedua pihak, dan perpisahan itu tetap berlangsung selama
lima tahun tanpa ada perdamaian antara kedua pihak, maka mereka masing-masing bebas menghadapkan
pihak lain kepengadilan dan menunutut perkawinan mereka dibatalkan (Pasal 200).
Tuntutan itu harus segera ditolak
apabila pihak tergugat, setelah tiga
kali dari bulan ke bulan dipanggil kepengadilan tidak muncul-muncul atau datang
dengan mengadakan perlawanan terhadap
tuntutan itu atau menyatakan bersedia berdamai dengan pihak lawan (201).
Gugatan
perceraian harus diajukan ke pengadilan negeri yang didaerah hukumnya si suami memiliki
tempat tinggal pokok pada saat mengajukan permohonan termasuk dalam 831 reglemen acara perdata ataau tempat
tinggal sebenarnya bila tidak memiliki tempat tinggal pokok. Jika pada saat mmengajukan surat permohonan
permohonan tersebut di atas si suami
tdak memiliki tempat tinggal pokok atau sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada
pengadilan negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207), perceraian perceraian sekali-kali tidak dapat
terjadi atas persetujuan bersama (Pasal 208).
Dasar-dasar
yang dapat berakibat perceraian
perkawinan hanya sebagai berikut :
1.
Zina;
2.
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikat tidak
baik;
3.
dikenakan
hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan;
4.
pencederaan
berat atau penganiayaan, yang dilakukan
yang dilakukan salah seorang dari
suami atau isteri atau lainnya sedenikian rupa, sehingga membahayakan keselamata jiwa atau
mendatangkan kuka-luka yang membahayakan;
Jika
ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian , si suami atau si isteri berhak untuk menuntut
pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk
itu dapat juga diajukan atas dasar
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan atau penghinaan kasar yang
dilakukan oleh salah satu dari suami isteri atau yang lainnya (Pasal 233). Gugatan
itu diajukan, diperiksa dan diselesaikan dengan cara yang sama seperti gugatan
perceraian perkawinan (Pasal 234).
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
dikatakan bahwa perkawinan dapat putus akibat kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan (Pasal
38). Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelahpengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan prcerain harus ada cukup
alasan bahwa suami isteri tersebut tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
Tata cara perceraian di depan siding
pengadilan diaur dalam peraturan perundangan tersendiri. (Pasal 29 ayat (1)
sampai ayat (3)). Gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan. Tata cara
mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundanga tersendiri (Pasal
40 ayat 1 dan 2).
Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, ditentukan bahwa:
Peeceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.
Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
2.
7. Perceraian dalam hukum agama
Dari
semua Agama yang terdapat di Indonesia, hanya Agama Islam yang banyak mengatur tentang
perceraian, menurut hukum Islam istilah
perceraian disebut dalam bahasa Arab yaitu “Talak” yang artinya ‘melepaskan
ikatan’ (Sulaiman Rasjid, 1989: 371). Hukum asal dari talak adalah ‘Makruh’
(tercela). Sebagaimana hadist riwayat
Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar bertanya kepada Rasulullah SAW
mengatakan ‘sesuatu yang halal (Boleh) yang sangat dibenci Allah adalah Talak’.
Menurut
Hukum Islam Perkawinan itu putus karena kematian, dan kareana perceraian (Thalak, Khuluk, Fasakh, Akibat Syqaq dan pelanggaran Ta’lik Talak). Talak dapat dijatuhkan kepada isteri ialah
Talak Satu, Talak Dua, Talak Tiga. Cara menjatuhkan Talak ialahdengan lisan, dengan isyarat bagi orang bisu atau dengan
tulisan. Baik Talak dengan lisan maupun
yang tertulis jangan dibuat main-main, oleh karena jika terucap kata talak atau cerai,
walaupun dengan main-main (olok-olok)
atau keseleo lidah karena marah, bisa
berarti jatuh Talak Satu pada isteri, demikian pendapat para ulama. Walaupun pendapat Mazhab Maliki dan Hambali
Talak dengan main-main (olok-olok) itu tidak sah. Jadi kata talak itu jangan dijadikan buah
bibir kepada isteri. Kalau juga suami
terlalu jengkel ayau benci perbuatan isteri, nasehatilah dengan baik, siapa tahu kejengkelan itu menimbulkan
kebaikan. Sebagaimana Firman Allah SWT:
‘dan bergaullah kepada mereka (isterimu) secara patut. Jiak kamu tidak senang pada mereka (sabarlah)
karena mungkin sesuatu yang kamu tidak sukai itu, padaha Allah menjadikan kebaikan padanyayang
banyak (QS IV: 19). ‘Wanita-wanita yang
kamu khawatir nusyuznya (meninggalkan kewajiban suami isteri), nasehatilah mereka dan (bila perlu) pukullah
mereka (yang tidak meninggalkan bekas). Kemudian jika mereka (telah berubah) dengan
mentaati kamu, janganlah kamu mencari
–cari jalan untuk menyusahkannya (QS IV: 35).
Jadi
isteri yang nyeleweng semau dia hendaknya diberi nasehat degan baik terlebih
dahulu, jika tidak berubah juga
berpisalah dari tempat tidurnya, jika
tidak berubah juga kalau perlu dipukul
asal tidak meninggalkan bekas, dan kalau masih tidak berubah juga mengucapkan
Talak sebagai usaha terakhir dengan melepaskan perkawinan.
Alasan-alasan bagi suami untuk sampai pada
ucapan Talak adalh jika isteri berbuat zina, nusyuz (suka keluar rumah yang mencurigakan), suka mabuk, berjudi dan atau berbuat sesuatu yang
mengganggu ketentraman dalam rumah tangga, atau sebab-sebab lain yang tidak memungkinkan
pembinaan rumah tangga yang rukun dan damai.
Jika
dijatuhkan talak, mulailah dengan talak
satu, kemudian talak dua dan terakhir
talak tiga. Janganlah sekaligus
dijatuhkan tiga. Talak satu dan dua
berarti isteri dapat rujuk kembali dengan suami tanpa melakukan akad nikah baru,
sedangkan talak tiga isteri tidak dapat
dirujuk kembali apabila belum menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercampur
(bersetubuh) kemudian bercerai dan sudah habis masa Iddah-nya. Dasar hukum talak ada pada Firman Allah SWT
yang artinya:
Talak
(yang dapat rujuk kembali) dua kali, setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara
yang Ma’ruf atau mencerainya dengan tata cara yang baik’ (QS 2:229).
Kemudian
jiak si suami mentalak (sesudah talak kedua), maka wanita itu tidak halal lagi baginya
hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jiak keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah’ (QS 2:230).
2.7.1. Talak Raj’i
Talak terbagi menjadi
dua: Talak raj’ dan talak ba’i.
para ulama
mashab sepakat bahwa
yang dinamakan talak raj’i
ialah talak yang
suaminya masih memiliki hak
untuk kembali kepada
isterinya (rujuk) sepanjang isterinya
tersebut masih dalam
masa iddah, baik isteri
tersebut bersedia dirujuk
atau tidak. Salah
satu diantara syaratnya
adalah si isteri sudah
dicampuri, sebab isteri yang
bercerai sebelum dicampuri, tidak mempunyai
masa iddah, berdasarkan firman
Allah yang artinya:
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu
mencampuri mereka, maka sekali-laki
tidak wajib atas
mereka’iddah bagimu yang
kamu perhitungkan atas
mereka
(QS. Al-Ahzab:49)
Yang juga
termasuksyarat talak raj’I adalah
bahwa talak tersebut
tidak dengan menggunankan
uang (pengganti) dan tidak
pula dimaksudkan untuk
melengkapi talak tiga.
Wanita yang ditalak
raj’I hukumnya seperti
isteri. mereka masih mempunyai
hak-hak suami-isteri, seperti hak
waris mewarisi antara
keduanya (suami-isteri) manakala
salah satu diantara
keduanya ada yang
meninggal sebelum selesai
masa iddah. Sementara itu, mahar
yang dijanjikan untuk
dibayar, kecuali sesudah habis
masa iddahnya dan
sisuami tidak menambil
si isteri kembali kepangkuanya. singkatnya , talak
raj’I tidak menimbulkan
ketentuan-ketentuan apapun kecuali
sekedar ‘idddah dalam
tiga talak.
2.7.2.
Talak
Ba’in
Sedangkan talak
ba’in adalah talak
yang suami tidak
memiliki hak untuk
rujuk kepada isteri
yang ditalaknya yang
mencakup beberapa jenis:
1.
Wanita yang
ditalak sebelum dicampuri (jenis ini
disepakati oleh semua
pihak)
2.
Wanita yang
dicerai tiga (juga ada
kesepakatan pendapat)
3.
Talak khulu;Sebagian ulama
mazhab mengatakan bahwa
khulu’adalah faskh nikah, bukan talak.
4.
Wanita yang
telah memasuki masa
menaupause khususnya pendapat
imammiayah karena wanita
menaupause yang ditalaknya
tidak mempunyai idda. hukumannya sama
dengan wanita yang
belum dicampuri.
Adapun surat
AL-THALAQ ayat 4 berbunyi “dan
perempuan-perempuan yang putus
haidh diantara perempuan-perempuanmu, jika kamu
ragu-ragu (tentang hal itu), maka’iddah mereka
adalah tiga bulan, dan
begitu(pula)
perempuan-perempuan yang belum
haidh, ”tdaklah dimaksudkkan
sebagai wanita yang-wanita
yang betul-betul tidak
diketahui keterputusan haidh nya,
tetapi dimaksudkan untuk
menunjukkan wanita-wanita yang
telah berhenti masa
haidhnya tanpa diketahui
apakah berhenti karena
penyakit atau usia
tua. wanita-wanita seperti ini
iddahnya adalah tiga
bulan. Keragu-raguan yang ada
diatas bukan mengenai
hukum tentang orang-orang
yang telah diketahui
keterputusan haidhnya berdasarkan
kalimat ”jika kamu ragu-ragu”,
yang tidak diketemukan
dalam keputusan syari’
apabila ingin memutuskan
suatu hukum, ia
berkata. ”kalau kamu ragu-ragu
tentang hukum, maka hukumannya
seperti ini”maka dapat dipastikan
bahwa yang dimaksudkan ayat
diatas adalah”apabila kamu
ragu-ragu tentang diri
seorang wanita, apakah terputus
haidhnya atau belum, . maka
hukumnya dia harus
beriddah selama tiga
bulan” sedangkan yang dimaksud
kalimat “dan begitu pula
perempuan-perempuan yang belum
haidh” yang dimaksud
adalah gadis gadis
yang sudah masuk
masa iddahnya tapi
haidhnya terhenti karena
sesuatu dan lain
sebab. Terdapat banyak
riwayat yang diterima
dari para imam
ahlul-bait yang menafsirkan
ayat dengan arti
seperti diatas.
Hanafi
mengatakan:
khalawat
dengan isteri tanpa
melakukan percampuran, menyebabkan adanya
kewajiban ‘iddah. akan tetapi laki-lakiyang menceraikannya tidak
boleh rujuk kepadanya
pada saat wanita
tersebut pada masa
iddah, sebab talaknya adalah
talak ba’in.
Hambali
mengataklan :
khalawat
itu sama seperti
mencampuri dalam kaitannya
dengan kewajiban ‘iddh
bagi siwanita, dan kebolehan
rujuk bagi laki-laki.
Pada bagian lainnya
saya telah jelaskan
bahwa khalawat, bagi imammiya
dan syafi’I, tidak melahirkan
akibat hukum apapun.
Hanafi mengatakan:
Apabila seorang
suami mengatakan kepada
isterinya “engkau kutalak
dengan talak ba’in
atau talak berat
atau talak segunung, talak yang
paling buruk atau
talak yang paling
hebat”dan ungkapan-ungkapan lain
sejenis, maka yang jatuh
adalah talak ba’in
yang tidak memungkinkan
bagi si suami untuk
rujuk ketika isterinya
masih dalam masa
iddah-ny. begitu pula ketika
suami menjatuhkan talak
dengan perkataan-perkataan kiasan
yang mengandung arti perpisahan semisal”engkau kulepaskan
selepas-lepasnya” atau ”engkau
putus hubungan denganku. ”
Para ulama mazhab
sepakat bahwa seorang
laki-laki yang mencerai
tiga isterinya, maka isterinya
itu tidak halal
baginya sampai ia
menikah terlebih dahuludengan
cara yang benar, lalu
dicampuri dalam arti
sesungguhnya. ini
berdasarkan firman yang
berbunyi:
“kemudian
jika si suami menalaknya (sesudah talak
yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal
baginya hingga dia
kawin dengan suami
yang lain. (QS. Al-Baqarah:230)
Imamiyah dan maliki
mensyaratkan bahwa, laki-laki yang
menjadi muhallil(penyelang) itu
haruslah balgh, sedangkan syafi’I
dan hanafi memandang
cukup bila dia
(muhallil) mampu melakukan hubungan
seksual, sekalipun dia belum
baligh.
Imamiyah dan
hanafi mengatakan:
apabila penyelang
diberi syart yang
diucapkan dalam akad, misalnya muhallil
mengatakan “saya mengawini engkau
dengan syarat penjadi
penghalal bagisuami lamamu” maka
syarat seperti ini
batal dan akad
nikahnya sah. akan tetapi
hanafi mengatakan bahwa
apabila si wanita
taut tidak ditalak
oleh si muhallil, maka ia
boleh mengatakan kepada
simuhallil tadi “saya
kawinkan diri saya
dengan syarat masalah
talaknya ada ditangan
saya” lalu simuhallil
menjawab:”saya terima nikahnya
dengan syarat tersebut”delam kasus
ini akad tersebut
dinyatakan sah dengan
si wanita sebagi
pemegang hak untuk
menalak diri-nyakapan saja
ia mau. akan tetapi
bila si muhallil
yang mengatakan”hendaknya engkau
menikahkan dirimu kepadaku
dengan syarat bahwa
urusan dirimu (talak)berada ditanganmu”
maka akadnya sah
dan syaratnya tidak
berlaku.
Maliki, syafii
dan hambali mengatakan :
Akad tersebut
batal sama sekali
manakala ada syarat
tahlil(perpisahan) didalamnya. bahkan
maliki dan hambali
mengatakan bahwa:Apabila ada kehendak
tahlil walaupun tidak
diucapkan dalam akad
tersebut batal. maliki dan
sebagian para ulama
mazhab imammiah mensyaratkan
agar suami kedua
mensyaratkan agar suami
kedua tersebut mencampuri
isterinya itu secara
halal misalnya si isteri harus
tidak dalam keadaan
haidh atau nifas
ketika dicampuri, dan keduanya
tidak sedang berpuasa
dibulan ramadhan. Akan tetapi
sebagian mazhab imamiyah
tidak menganggapo perlu
syrat tersebut, sebab mencampuri
dalam keadaan seperti
di atas sekalipun
hukumnya haram dipandang
cukup bagi tahlil.
Betapapun, kapanpun wanita tersebut
ketika dicerai oleh
suami kedua, baik cerai
mati, ataupun talak biasa, kemudian habis
masa iddahnya, maka bekas
suami pertama boleh melakukan akad
nikah dengannya. jika peristiwa
terulang dan dia
ditalak tiga kembali, maka
haram dikawini poleh
suami pertamanya tersebut
hingga dia dikawini
oleh laki-laki lainnya. (muhallil), biarpun seratus kali
berulang -ulang tetap saja
harus diselingi oleh
muhallil baru bisa
di nikahi oleh suami pertama.
Akan tetapi
imamiyah mengatakan :
apabila wanita
tersebut ditalak sesudah
itu maka dia haram
selama-lamanya(bagi laki-laki
tersebut). yang dimaksud talak
iddah para ulama
mazhab imamiyah tersebut adalah
bahwa , laki-laki tersebut menalak
isterinya, kemudian merujuk kembali
dan mencampurinya. lalu menalaknya lagi ketika isteri
dalam keadaan suci, kemudian dirujuknya
kembali lalu dicampuri, lalu ditalaknya kembalidan
diselingi oleh muhallil. seterusnya (sesudah wanita
tersebut diceraikan oleh
muhallil) dia dikawini oleh
suami pertama dengan
akad yang baru, tapi
ditalaknya lagi dengan
tiga talak ‘iddah. lalu diselingi
oleh muhallil, dan sesudah
itu ia dikawini
lagi oleh suami
pertama lagi, maka kemudian
ia diutalak lagi, sehingga iddahnya
sembilanmaka wanita tersebut
haram untuk selama-lamanya bagi
laki-laki yang telah
menalaknya Sembilan kali
itu. Akan tetapi
jika bukan talak
iddah, misalnya habis ditalak, dirujuk lagi
talak, rujuk lagi tanpa
dicampuri oleh muhallil
maka tidak haram
selamanya, meskipun talaknya tidak
terhitung banyaknya.
Para ulama mazhab
sepakat bahwa manakala
terjadi keraguan dalam
jumlah talak, apakah baru
satu kali atau
lebih, maka yang ditetapkan
adalah yang sedikit, kecuali maliki
yang mengatakan bahwa
yang diambil adalah
jumlah terbanyak dari
jumlah yang diragukan.
imamiyah, syafii dan hanafi
mengatakan:
kalau seorang
wanita telah dicerai
tiga kali lalu
bekas suaminya tersebut
meninggalkanya atau siwanita
yang meninggalkan bekas
suaminya itu dalam
beberapa waktu yang
lama, kemudian si wanita
mengatakan bahwa ia telah kawin (dengan
laki-laki lain)dan ditalak
oleh suaminya yang
kedua itu, serta masa
iddahnya telah habis, sementara waktu
yang dilewatinya memang
memungkinkan untuk terjadi
semua itu, maka pernyataan
itu harus diterima
tanpa dia harus
disumpah. sedangkan bekas suaminnya
yang pertama boleh
menikahinya manakala ia
yakin atas kebenaran itu(pernyataan wanita itu)
tanpa dia harus
mencari bukti-bukti lebih
dulu. (lihat Al-jawahir dan ibn ‘abidin, serta Maqshad Al-nabiy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar