Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Konflik Antar Kelompok

Pengertian Konflik Antar Kelompok
A. F.Saifuddin (1986:14) memberikan pengertian menyangkut konflik antar kelompok sebagai berikut:
”Pengertian konflik didefenisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Hal ini disebabkan pihak lawan dianggap sangat penting dalam mencapai tujuan. Hal ini disebabkan karena dalam konflik orientasi ke arah pihak lebih penting daripada objek, yang hendak dicapai dalam kenyataan, karena berkembangnya rasa kebencian yang makin mendalam, maka pencapai tujuan seringkali menjadi sekunder sedangkan pihak lawan yang dihadapi jauh lebih penting”.

Pendapat lain menyatakan konflik adalah suatu gejala wajar dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan kebudayaan (Lewis Coser, 1956:6). Menurut Lewis Coser (1956:13) bahwa teori dasar yang digunakan dalam menganalisa gejala konflik integrasi di daerah penelitian, antara lain:
(1)      Konflik berfungsi menegakkan dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial dan masyarakat. Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain  memungkinkan ditegaskannya kembali identitas kelompok satu sama lain dan memperhatikan batas-batasnya terhadap lingkungan sosial lainnya.
(2)      Konflik tidak selalu bersifat disfungsional dalam konteks hubungan di mana konflik tersebut terjadi. Sebaliknya konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tanpa cara-cara menyalurkan kebencian terhadap pihak lain, anggota kelompok cenderung untuk menarik diri. Oleh karena itu konflik dapat berfungsi sebagai katup pengamanan, sehingga sistem sosial dapat dipertahankan dalam batas-batas tertentu.
(3)      Konflik dari konflik sebagai sarana dan konflik sebagai tujuan, maka terdapat dua macam konflik, yaitu konflik realistik dan non realistik. Konflik yang timbul karena tuntutan-tuntutan tertentu dan diarahkan kepada objek tertentu disebut konflik realistik, dalam hal ini konflik merupakan sarana mencapai tujuan. Sebaliknya dalam konflik non realistik, konflik itu sendiri adalah tujuan, tidak dikondisikan oleh objek tertentu, dan berfungsi memenuhi kebutuhan untuk meredakan ketegangan dari sekurang-kurangnya salah satu pihak yang bertentangan.  Sikap benci dan agresif tidak mutlak bagi terjadinya konflik sosial. Konflik hanya  terjadi jika terdapat interaksi antara subjek dan objek.
(4)      Konflik yang lebih radikal dapat terjadi dalam hubungan yang dekat, terbentuknya perkumpulan dan kelompok hubungan tersebut dapat mempertajam konflik secara khas. Semakin besar keikutsertaan dalam kelompok dan keterlibatan pribadi anggota-anggotanya maka semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Dalam hal ini identitas konflik dan pada kelompok juga semakin besar. Dalam hal ini identitas konflik dan kesetiaan pada kelompok adalah dua aspek dalam hubungan yang sama.
(5)      Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali persatuan. Sebegitu jauh, konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan, sehingga dengan demikian dapat pula dikatakan  bahwa konflik berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial.
(6)      Konflik suatu kelompok dengan kelompok  lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota kelompok yang bersangkutan, sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan. Apakah meningkatkannya kohesi setiap kelompok  diikuti oleh meningkatnya sentralisasi kelompok, tentulah bergantung ciri dan sifat konflik dan jenis kelompok yang ada.
(7)      Ada tiga aspek kelompok yang harus diperhatikan, ukuran relatif kelompok, tingkat keterlibatan anggota-anggotanya, dan situasi sosial. Dimaksud dengan situasi sosial tersebut adalah, apakah pertentangan tersebut bersifat terus menerus atau kadang kala. Aspek-aspek di atas tidak bisa berdiri sendiri, karena yang satu terkait dengan yang lainnya.
(8)      Suatu konflik di mana pelakunya merasa bahwa mereka semata-mata wakil kolektif atau kelompok cenderung lebih radikal, karena kesadaran bahwa perjuangan mereka dilandaskan pada ideologi tertentu yang tidak semata-mata pribadi sifatnya, keyakinan agama dapat dimasukkan dalam kategori ini.
(9)      Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru di antara pihak-pihak yang bertentangan yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaklu sebagai rangsangan untuk menciptakan aturan-aturan atau sistem norma yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang bertentangan tadi sehingga keteraturan kembali terwujud.


(10)   Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan, koalisi dan organisasi dapat timbul di mana kepentingan pragmatik utama pada pelakunya terlibat.

C.   Konflik Antar Kelompok Sebagai Tindak Kriminal
1.    Sebab-Sebab Terjadinya Konflik Antar Kelompok
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang cukup tinggi, yang salah satu faktor penyebabnya adalah urbanisasi, menimbulkan  banyak problema sosial, khususnya masalah pemukiman penduduk.
Menurut (Ali, 1998:223), antara lain bahwa:

”Pengaruh urbanisasi yang melahirkan pemukiman kumuh serta masalah  ketenagakerjaan yang berdampak kepada pengangguran, secara tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya perilaku tindak kekerasan khususnya masalah konflik antar kelompok”.

Banyak ahli sosiologi yang mempersoalkan adanya kemungkinan pengaruh pemukiman terhadap berbagai bentuk perilaku tindak kekerasan di dalam masyarakat perkotaan, sebagai sisi lain dari proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat perkotaan.
Pentingnya pengkajian dampak pemukiman terhadap perilaku individu karena masalah pemukiman berhubungan dengan kondisi rumah. Ervin Rossow (Daldjuni, 1978:147) mengemukakan bahwa
”ada korelasi antara kondisi  rumah, jumlah penghuni rumah dengan berbagai bentuk masalah seperti kesehatan, pendidikan, perkelahian kelompok, dan lain-lain”.

Berkaitan dengan hal tersebut, Gunarsi (1989:2) menyatakan bahwa:
”Bertambahnya penduduk yang demikian besar di kota-kota, akan       menyebabkan dinamika hubungan menjadi lebih besar, tetapi sekaligus menjadi bisa longgar dan kurang akbar yang pada akhirnya akan muncul suatu sikap individualistis, kompetitif dan materialistis”.

Kartono (1992:113)  mengemukakan pendapatnya bahwa:

”Kehidupan di kota yang individualistis, materialistis dengan kontak-kontak sosial yang sangat longgar dan mengakibatkan disintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat, juga menyebabkan disintegrasi pada pribadi anak remaja/pemuda, karena mereka tidak mampu mencerna  segala hiruk pikuk kejadian tadi, sehingga muncullah ketegangan dan kecemasan batin yang berkembang pada pola tingkah laku agresif dan eksplosif, kemudian terjadilah aksi-aksi bersama dalam kelompok-kelompok, yang melahirkan konflik antar kelompok”.

Ali (1998:77) mengemukakan bahwa:

”yang dapat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan termasuk konflik antar kelompok pada umumnya disebabkan oleh dua faktor: (a) faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri pelakunya seperti pelaku yang menderita kelainan jiwa atau sifat khas tertentu dalam diri pribadinya, misalnya emosional dan mudah tersinggung akibat rendah diri, (b) faktor-faktor yang bersumber dari luar pelakunya, seperti faktor-faktor keluarga yaitu hubungan dengan orang tua, faktor urbanisasi dan lingkungan kumuh, serta faktor media elektronik”.

Menurut Hamijoyo (2001:21) bahwa:
”Perkelahian antar kelompok seperti perkelahian antar remaja/pemuda dan perkelahian antar warga kelompok-kelompok kepentingan, biasanya juga timbul secara spontan, dipicu oleh dorongan-dorongan sesaat, dan dilandasi oleh sebab musabab yang kurang rasional. Namun akibat yang ditimbulkannya cukup meresahkan masyarakat, bahkan sering terjadi korban dan meninggal dunia”.

2.    Perkelahian Antar Kelompok Sebagai Suatu Kejahatan
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai segi yang berbeda. Menyangkut kejahatan yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari terdapat berbagai komentar berbeda satu dengan yang lain.
Kartono (1992:25) membedakan pengertian kejahatan dari dua segi,  yaitu:
a.    Yuridis formal, yaitu kejahatan yang berbentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, dan melanggar hukum,
b.    Sosiologis, yaitu kejahatan  merupakan semua bentuk perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercantum maupun yang belum tercantum dalam Undang-Undang Pidana).

Dalam pengertian yuridis, kejahatan dibatasi dengan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan para pelaku pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya itu.
Selanjutnya B. Simanjuntak (1977:48) mengatakan bahwa:
“kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan   merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga  masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas keputusan itu”.

Sahetapy Reksodipuro (Abdulsyani, 1987:13) menyatakan bahwa:
”kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik guna melindungi masyarakat dan diberi sangsi berupa pidana oleh negara. Perbuatan tersebut diberi hukuman pidana karena melanggar norma-norma sosial masyarakat, yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku yang patut dari seorang warga negaranya”.

Kejahatan adalah rumusan kriminologi yang diperluas menyangkut kejahatan-kejahatan secara politis, ekonomis, dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban, bukan hanya korban individual melainkan juga golongan-golongan dalam masyarakat (Santoso dan Zulfa, 2001:5).
Pernyataan-pernyataan di atas, memberikan pemahaman bahwa perkelahian antar kelompok merupakan tindak kriminal atau perilaku kejahatan. Hal ini diperkuat oleh penemuan Muslimin (2001:89-104) bahwa ada beberapa dampak sosial yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari perkelahian kelompok di antaranya:
a.    Berakibat pada pelaku perkelahian itu sendiri, yaitu mengalami luka-luka bahkan ada yang meninggal dunia. Di samping itu banyak remaja/pemuda yang terlibat aksi perkelahian antar kelompok mengalami trauma dan tekanan batin yang berkepanjangan baik yang sempat tertangkap maupun yang sempat meloloskan diri dari pihak keamanan.
b.    Mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti terjadinya pengrusakan fasilitas lampu-lampu jalan, menghancurkan dan membakar rumah serta kendaraan.
c.    Terjadinya pungutan dana secara paksa oleh pelaku perkelahian dengan alasan untuk biaya pengobatan anggota kelompok mereka yang terluka di saat terjadinya perkelahian.
d.    Timbulnya disintegrasi sosial.

Dampak yang ditimbulkan oleh perkelahian antar kelompok di atas, cukup memberi alasan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan  kejahatan atau tindak kriminal yang melanggar norma-norma susila dan norma-norma hukum yang berlaku.
Pada dasarnya terhadap pelaku kejahatan, baik pelaku perkelahian yang melibatkan antar kelompok warga yang dibentuk dengan geng-geng ataukah kelompok-kelompok remaja/pemuda lainnya, harus dikenakan suatu akibat hukum karena pada perkelahian tersebut terdapat beberapa tindak pidana yang dapat diancam dengan undang-undang. Akibat hukum itu pada umumnnya berupa hukuman pidana. Akan tetapi adakalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenarnya tidak merupakan pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukum perdata. Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang perkelahian kelompok sebagai suatu kejahatan ada baiknya penulis membahas terlebih dahulu apa itu perkelahian kelompok.





Penulis akan menjelaskan beberapa perbedaan antara kelompok yang umum yang mempumyai tujuan dalam hal kebaikan dengan kelompok yang mempunyai tujuan untuk kejahatan.
Perbedaan tersebut antara lain:
1.    Kelompok dengan tujuan kebaikan mempunyai anggaran dasar/anggaran rumah tangga sebagai landasan operasional, sementara pada kelompok kejahatan landasan operasional sifatnya spontanitas (tanpa perencanaan)
2.    Kelompok dengan tujuan kebaikan merupakan gabungan dari orang-orang yang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang baik, sementara pada kelompok kejahatan pada umumnya terdiri dari orang-orang yang tidak peduli akan institusi pendidikan (putus sekolah).
3.    Kelompok kebaikan dengan tujuan dalam pencapaian tujuan menggunakan cara yang sah atau legal sementara pada kelompok kejahatan semua cara dihalalkan (dibenarkan) daam upaya pencapaian tujuannya.
Ketiga bentuk perbedaan yang penulis kemukakan tersebut di atas hanyalah perbedaan terkecil di antara banyaknya perbedaan antara kedua kelompok tersebut.
Secara yuridis berdasarkan pasal 26 ayat 3  Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa hukum pidana  dapat dikenakan pada pelaku perkelahian antar remaja/pemuda tersebut yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun apabila  melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak remaja/pemuda yang belum dewasa tersebut hanya dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) huruf b, yaitu menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Akan tetapi apabila sudah mencapai 18 tahun dapat juga dikenakan hukuman yang sesuai dengan perkembangan jiwa pelaku tersebut, berupa pemidanaan dengan penanganan khusus dalam bentuk yang lain
Maksud dari hukuman ini adalah apabila pelaku perkelahian nanti terbukti bersalah di muka pengadilan, tetap dikenai hukuman sesuai dengan yang diancamkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akan tetapi dalam pelaksanaan hukumannya ditempatkan terpisah di dalam sel yang hanya dihuni oleh pelaku perkelahian antar pemuda tersebut. Dengan demikian tidak terjadi “kaderisasi” dalam bidang kejahatan. Oleh karena itu pemidanaan terhadap pelaku perkelahian massal antara remaja/pemuda diharapkan dapat dicapai tiga tujuan untuk orang yang belum dewasa menurut hukum pidana berupa:
1.    Pemidanaan dan penanganan  yang terlibat perkelahian massal tersebut lebih ditujukan pada perbaikan individu
2.    Pemidanaan dan penanganan tersebut sedapat mungkin harus disesuaikan dengan pandangan hidup yang terbatas dari yang bersangkutan
3.    Bahwa dengan pemidanaan tersebut akan dicegah pengulangan kejahatan dan jumlah residivis akan berkurang.
Untuk menetapkan  berapa lama pelaku perkelahian kelompok antar remaja/pemuda tersebut dapat  dipidana tentunya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukannya. Pada perkelahian antar remaja/pemuda biasanya terjadi perbarengan tindak pidana maka pemidanaannya disesuaikan dengan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 63, 64, 65, 66 dan Pasal 70. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sistem perkara tersebut diputus oleh pengadilan hendaknya juga diumumkan di sekolah yang terlibat perkelahian massal antara pemuda sehingga akan menimbulkan rasa jera bagi pemuda yang lainnya untuk mengulangi  perkelahian tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena dilihat dari bentuk perkelahiannya, maka perkelahian ini tidak merupakan tindak perkelahian kelompok/pemuda, tetapi sudah menjurus kepada  perbuatan kriminal yang meresahkan masyarakat, dengan menggunakan senjata tajam dan benda-benda keras lainnya dan ini semua merupakan suatu rangkaian dari suatu kejahatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter