Kekuatan pembuktian atau biasa disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat bergantung dati beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum, hubungan dengan masyarakat). Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindakan atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Dalam menilai suatu kekuatan pembuktian mengenai adanya keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Singkronisasi antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain;
b. Singkronisasi antara keterangan saksi satu dengan alat bukti yang lain;
c. Alasan yang digunakan oleh saksi dalam memberi keterangan tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi/tindakannya keterangan saksi dipercaya.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, mengatakan saksi yang dinyatakan dimuka sidang harus mengenai apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, ia rasakan dengan perasaannya sendiri, ia alami dengan panca indranya sendiri. Namun keterangan saksi yang didapat dari pihak ketiga hanya berdasarkan informasi, maka kesaksian tersebut disebut disebut dengan testimonium de auditu (kesaksian yang tidak dapat diartikan sebagai saksi), namun bersifat tambahan alat bukti. Suatu keterangan saksi tanpa disertai alasan sebab musababnya harus dianggap alat bukti kurang sempurna. (Pasal 185 ayat (6) huruf (c) KUHAP. Kemudian dalam Pasal 185 ayat (5) bahwa pendapt atau rekayasa dari hasil pemikiran saja bukan keterangan saksi. Kemudian hakim tidak boleh menjatuhkan putusannya jika hanya didasarkan pada satu pembuktian dengan satu saksi tidak dianggap sempurna oleh hakim.
Keterangan pihak ketiga dalam memperoleh kebenaran sejati, hakim dapat meminta bantuan seorang ahli yang disebut sebagai saksi ahli (expertis). Keterangan ahli adalah keterangan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara dengan menambah pengetahuan hakim, dengan asumsi bahwa hakim tidak boleh tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun hukum dan undang-undang tidak mengaturnya. Mengenai saksi ahli telah diatur dalam pasal 160 ayat (4) yang menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan keterangan.
Surat sebagai salah satu alat pembukti memiliki kekuatan pembuktian yang kuat sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 187 ayat (1) hurup c KUHP yang menyebutkan bahwa surat harus dibuat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut keterangan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya.
Jadi kekuatan pembuktian yang didasarkan pada surat harus jelas dan tegas dibuat oleh pejabat yang berwenang dan surat yang dibuat dibawah tangan dianggap tidak sempurna untuk dijadikan sebagai alat pembuktian.
Lebih lanjut petunjuk sebagai salah satu alat pembuktian disebutkan dalam pasal 188 ayat (1) KUHP bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Mengenai kekuatan pembuktian petunjuk sebagai alat bukti dalam keadaan tertentu diserahkan diserahkan kepada pertimbangan hakim dengan kearifan dan kebijaksanaan setelah hakim melakukan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Mengenai keterangan terdakwa sebagai alat pembuktian tidak dapat dilepaskan dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), baik dalam pemeriksaan, penyidikan maupun dalam pemriksaan sidang pengadilan. Olehnya keterangan terdakwa dimuka penyidik dan hakim harus dilandasi oleh kebebasan memberi keterangan. Dalam pasal 117 KUHP disebutkan bahwa “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau bentuk apapun”. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa terhadap suatu tindak pidana di muka persidangan tidak cukup sempurna untuk menjatuhkan hukum pidana, tetapi harus didukung oleh keterangan dari luar terdakwa yang menguatkan terdakwa. Jadi keterangan terdakwa di muka persidangan dianggap sempurna jika didukung oleh keterangan dari luar terdakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar