Menurut
Fockema Andrea istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu sendiri berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih
tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping itu dipakai pula untuk
menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk (Hamzah, 1984:9). Dari bahasa
latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda, yaitu
corruptie dan dari bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” (Hamzah, 2006:4).
Disamping
itu istilah korupsi di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan
dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran
seseorang di bidang keuangan, ini dilihat dari istilah dibeberapa negara yakni Gin Moung (Muangthai), yang berarti
“makan bangsa”; tanwu (Cina), yang
berarti “keserahan bernoda”; Oshoku
(Jepang) yang berarti “kerja kotor” (Prajohamidjojo, 2001:8). Kemudian arti
korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu
disimpulkan oleh Poerwadarwinta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa
“korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya” (Poerwadarwinta, 1990:514).
Marmosudjono
mengemukakan bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung dari mana
kita menyorotinya, apakah ditinjau dari segi asal kata, hukum, sosiologis,
ekonomi, dan lain-lain (Marmosudjono, 1989:68). Arti harfiah dari istilah itu
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah seperti dapat dibaca dalam The
Lexicon Webster Dictionary:
Corruption {L,
corruption (n-)} the act
of corrupting, or the state of being corrupt, putrefactive de composition,
putrid matter: moral perversion ; depravity; perversion of integrity; corrupt
or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity ;
debasement, as of a language ; a debased form of a word (Hamzah, 2006:5).
Dengan
pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
sesungguhnya korupsi itu merupakan suatu istilah yang sangat luas artinya,
seperti disimpulkan dalam Encyclopedia
Americana, korupsi itu adalah hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya,
bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Lopa
mengemukakan dan memandang korupsi dalam bidang materil, bidang politik dan
bidang ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Korupsi
adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan
perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau
kepentingan rakyat/umum.
Lebih
lanjut dijelaskan :
Perbuatan
yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang
materil sedangkan korupsi di bidang politik dapat berwujud berupa manipulasi
pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan atau campur tangan
yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan
dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si murid
(siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang seharusnya atau
menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ciptaan ilmu pengetahuan atas
namanya adalah ciptaan orang lain (Lopa
1987:6).
J.S. Nye
dalam artikelnya corruption and political
Development; a cost benefit analysis mendeskripsikan pelaku korupsi sebagai
berikut :
Pelaku
korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari tugas yang normal dalam
pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat),
kebutuhan uang atau pencapaian status; atau melanggar peraturan dengan
melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi. Tindakan ini termasuk
perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk penyimpangan keputusan seseorang
dalam posisi mengemban amanah); nepotisme (menggunakan perlindungan oleh
seseorang yang punya hubungan darah atau keturunan dari pada berdasarkan
kinerja); dan penyalahgunaan (penggunaan secara tidak sah sumber daya milik
untuk manfaat pribadi (Hamid, 1999:23).
Menurut Syeh Hussain Alatas makna korupsi dari sisi pandang sosioligis
adalah sebagai berikut:
Terjadinya
korupsi apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan
oleh seseorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa
kepada kepentingan-kepentingan si pemberi.
Selanjutnya
Alatas menambahkan bahwa:
Yang
termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman
atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur
pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui
adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni
penyuapan, pemeresan, nepotisme dan penggelapan (Alatas, 1980:11).
Pengertian korupsi dari sisi pandang politik
dapat dikemukakan oleh Theodore M. Smith dalam tulisannya Corruption Tradition and Change Indonesia mengatakan sebagai berikut:
Secara
keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik
daripada masalah ekonomi ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata
generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya …, korupsi
mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan
kabupaten (Mubyarto, 1980:60).
Mulan mengemukakan pendapatnya tentang pengertian
korupsi yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan sebagai berikut :
Seorang
pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan
sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas
jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh
berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah
untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan (Pradjohamidjojo, 2001:8).
Di
samping itu terdapat pula pengertian tentang korupsi yang tidak bertolak dari
ukuran jabatan dalam pemerintahan atau pelayanan umum, melainkan dari sudut
kepentingan umum (publik interest) .Carl J Fredrich dalam artikelnya political pathologi melukiskan korupsi
sebagai berikut:
Pola
korupsi dapat disebut terjadi apabila seseorang pemegang kekuasaan yang
ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu: yaitu seorang petugas (fungsionaris) dan
penguasa kantor telah diberi hadiah uang atau yang lain secara melanggar hukum
guna mengambil tindakan yang menguntungkan pemberi hadiah dan dengan demikian
merugikan kepentingan umum (Rahardjo, 1998:6).
Intisari
dari pengertian yang dikemukakan oleh Carl Friedrich adalah tindakan terrsebut
merusak kepentingan masyarakat luas, hanya karena pemberian secara tidak sah
yang hanya menguntungkan seseorang secara pribadi saja.
B. Korupsi
Menurut Hukum Positif
1. Peraturan Penguasa Militer No: Prt/PM-06/1957
tanggal 9 April 1957
Rumusan Korupsi menurut perundang-undangan di
atas, dikelompokkan menjadi dua, yakni :
(1)
Tiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri,
untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
(2)
Tiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan
atau material baginya.
2.
Peraturan
Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/013/Peperpu/013/1958, tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan
Harta Benda (BN No. 40 tahun 1958).
Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang
Pusat Angkatan Darat tersebut di atas, dikelompokkan menjadi dua kelompok besar
dan tiap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima kelompok jenis
korupsi, yakni:
1)
Pada
kelompok besar pertama
Yang
disebut korupsi pidana, adalah:
a.
Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau
merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang
mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b.
Perbuatan
yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
c.
Kejahatan-kejahatan
yang tercantum dalam pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP.
2)
Pada
kelompok besar kedua
Perbuatan
korupsi lainnya
Yang
dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya, adalah:
a.
Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu
badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b.
Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 72 tahun 1960). Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 (Prp) tahun 1960, atau juga disebut
sebagai Undang-undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai
peraturan. Sifat Undang-undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut
pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.
Undang-undang Anti Korupsi tahun 1960,
mengandung hal-hal baru yang belum ada dalam undang-undang korupsi yang
sebelumnya, yakni:
(a) delik percobaan dan delik pemufakatan;
(b) kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara;
(c) ada delik pemberian hadiah atau janji kepada
pegawai negeri;
(d) kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang
menerima hadiah atau janji;
(e) rumusan pegawai negeri diperluas.
Rumusan
delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar,
sebagai berikut:
Kelompok
besar pertama, terdiri dari:
a.
Barang
siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.
Barang
siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara.
c.
Barang
siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
d.
Barang
siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal
2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada
jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat jabatan atau kedudukan itu.
e.
Barang
siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah
menerima pemberi atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut
dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji
tersebut kepada yang berwajib.
Kelompok
besar kedua ada satu ketentuan, yakni:
Barang siapa melakukan percobaan atau
permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat
(1) a, b, c, d, e, pasal ini.
4.
Undang-undang
No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun
1971).
Rumusan delik korupsi pada Undang-undang No. 3
tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari UU No. 24 (Prp) tahun 1960
baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga
karena itu ada dua kelompok delik korupsi, yaitu delik korupsi yang selesai (voltooid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan (convenant).
Delik korupsi ini dirumuskan dalam UU No. 3
tahun 1971 ada enam kelompok, yaitu:
(1)
Tindak
pidana korupsi dirumuskan normatif (pasal 1, sub (1) a dan sub (1) b).
(2)
Tindak pidana
korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik korupsi (sub (1) c).
(3)
Tindak
pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri (sub (1) d).
(4)
Tindak
pidana korupsi karena tidak melapor (sub (1) d).
(5)
Tindak
pidana korupsi percobaan (sub (2)).
(6)
Tindak
pidana korupsi permufakatan (sub (2)).
Pengelompokan sifat korupsi tersebut
diasumsikan demikian, berdasarkan sifat korupsi saja, tidak berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
Delik
korupsi dirumuskan sebagai berikut:
Kelompok
kesatu Rumusan pasal 1 sub 1 a.
Barang
siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau
patut disangka oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Rumusan
pasal 1 sub 1 b
Barang
siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
negara atau perekonomian negara.
Rumusan
pasal 1 sub c
Barang
siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal 209, 210, 388, 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
Rumusan
pasal 1 sub 1 d
Barang
siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam
pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang yang melekat pada
jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
Rumusan
pasal 1 sub 1 e
Barang
siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah
menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut
dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian itu atau
janji tersebut kepada yang berwajib.
Kelompok
kedua
Rumusan
delik korupsi yang berupa percobaan atau permufakatan untuk kelima rumusan di
atas, tersebut dalam pasal 1 sub 2. ketentuan ini merupakan ketentuan baru,
yang tidak ada pada undang-undang korupsi sebelumnya.
5.
Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rumusan
delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi undang-undang
no. 3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai hal yang menarik untuk diperhatikan,
sebagai berikut:
Memperluas
subjek delik korupsi. Memperluas pengertian pegawai negeri. Memperluas
pengertian delik korupsi. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan
negara. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil. Subjek
korporasi dikenakan sanksi. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk
mencegah dan memberantas delik korupsi sanksi pidana berbeda dengan sanksi
pidana undang-undang sebelumnya. Akan dibentuk tim gabungan yang
dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi
tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi. Penyidik, penuntut,
dan hakim dapat langsung meminta keterangan keuangan tersangka/terdakwa pada
Gubernur Bank Indonesia
diterapkan pembuktian terbalik terbatas. Partisipasi masyarakat berperan dalam
pemberantasan delik korupsi. Akan dibentuk Komisi Pemberantasan Delik Korupsi,
dua tahun mendatang.
Delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi
dalam dua kelompok besar, yakni kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana
korupsi terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab
III tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,
terdiri dari pasal 21 sampai dengan pasal 24. Defenisi umum tentang korupsi
tidak diberikan oleh undang-undang.
Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
(1)
Delik
korupsi dirumuskan normatif dalam pasal 2 (1) dan pasal 3.
(2)
Delik
dalam KUHP pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435,
yang diangkat menjadi delik korupsi masing-masing dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12.
(3)
Delik
penyuapan aktif, dalam pasal 13
(4)
Delik
korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi
sebagai delik korupsi dalam pasal 14.
(5)
Delik
korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan dalam pasal 15.
(6)
Delik
korupsi dilakukan di luar teritori negara Republik Indonesia dalam pasal 16.
(7)
Delik
korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam pasal 20.
6.
Undang-undang
No. 20 tahun 2001 (LNRI No. 134 tahun 2001 Jo TLNRI No. 4159) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini
sebagai perubahan dan menyempurnakan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang perumusan deliknya sebagai berikut:
(1)
Tetap
memperlakukan semua ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang No. 31 tahun 1999
dengan perubahan-perubahannya.
(2)
Perumusan
Tindak Pidana korupsi diatur dalam Bab II mulai pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20. undang-undang No. 20 tahun 2001.
(3)
Perumusan
tindak pidana lain yang diatur berkaitan dengan tindakan pidana korupsi diatur
dalam Bab III mulai pasal 21, 22, 23, 24, UU No. 20 tahun 2001 (Saleh, tanpa
tahun : 6).
terimakasih artikelnya. Sangat bermanfaat untuk makalah kami
BalasHapus