D
Berbicara mengenai dasar hukum pembuktian, maka konteks pembicaraan kita adalah apa yang menjadi landasan yuridis dari pembuktian tersebut. Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang tertulis bahwa :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tertulis :
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Kedua Pasal inilah yang menjadi dasar hukum dari pembuktian tersebut.
Selain Pasal 183 dan Pasal 185, maka dapat juga dilihat mengenai dasar hukum pembuktian yaitu pada Pasal 184 tentang alat bukti dan Pasal 186-189 tentang pengertian dari masing-masing alat bukti.
Jenis-jenis Alat Bukti
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, yang mengatur tentang alat bukti yang sah, di dalam Pasal tersebut tertulis bahwa ada 5 (lima) macam alat bukti yang sah, yaitu :
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa.
Dari kelima alat bukti yang dikenal dalam KUHAP, maka selanjutnya penulis akan memberikan penjelasan dari masing-masing alat bukti tersebut, baik dari pengertian KUHAP itu sendiri maupun pendapat dari beberapa pakar.
Keterangan Saksi (Verklaringen van getuige) pengertian umum dari keterangan saksi dicantumkan dalam Pasal 1 butir 27, yang menyatakan keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan keterangan saksi yang bernilai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Jika diteliti KUHAP, maka mengenai keterangan saksi ini diatur oleh beberapa pasal diantaranya, Pasal 108, 116, 160 sampai dengan 165, Pasal 167, 168, 169, 170, 173, 174 dan Pasal 185, dari pasal-pasal tersebut di atas yang terutama di ketahui adalah orang yang dapat menjadi saksi. Harus diingat bahwa keterangan saksi ini harus memenuhi 2 syarat yaitu syarat formil dan materiil. Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) bahwa “keterangan seorang saksi dianggap sah jika diberikan di bawah sumpah dan mengenai saksi yang tidak disumpah berdasarkan Pasal 185 ayat (7), maka tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, maka dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Keterangan Ahli (Verklaringen van een Deskundige), ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, keterangan ahli ini merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus atau tertentu tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana guna kepentingan pemeriksaan atau keterangan yang berdasarkan keahlian dan pendidikan yang diperlukan untuk itu dan sangat relevan dengan perkara yang akan diterangkannya. Disamping keterangan saksi seperti telah diuraikan pada poin sebelumnya, maka dalam rangka pembuktian ini ada saksi yang mempunyai kedudukan khusus yaitu para ahli. Menurut Ansori Sabuan (1990:193-194) mereka ini dapat bertindak sebagai :
a. Seorang ahli yang ditanya pendapatnya mengenai sesuatu soal. Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan kepadanya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan yang diminta pendapatnya tentang obat A yang dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidak.
b. Seorang saksi ahli (getuige deskundige), yang ditanya pengetahuannya mengenai sesuatu perkara. Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya, misalnya seorang dokter yang melakukan pemeriksaan mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan barang bukti itu dan kemudian menjadi ahli karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian korban.
Menurut Yahya Harahap (2002:146-147), bahwa ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan dalam meminta keterangan ahli tersebut yaitu :
2.5.2.1. keterangan langsung di hadapan penyidik, dalam hal ini ahli dipanggil menghadap penyidik untuk memberi keterangan langsung di hadapan pemeriksaan penyidik, sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya. Keterangan langsung di hadapan penyidik ini juga mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu :
a.Sifat keterangan yang diberikan menurut pengetahuan. Jadi berbeda dengan keterangan saksi. Keterangan saksi berupa apa yang ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya. Sedang sifat keterangan ahli semata-mata didasarkan pada pengetahuan yang khusus dimiliki sesuai dengan bidang keahliannya.
b.Sebelum dilakukan pemeriksaan mengucap sumpah atau janji mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, yang berisi bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal 120 ayat (2) KUHAP). Sumpah atau janji merupakan perbedaan antara ahli dengan saksi. Jika ahli harus bersumpah atau mengucapkan janji sebelum memberi keterangan, sebaliknya prinsip pemeriksaan saksi si muka penyidik tidak disumpah.
c.Ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta apabila harkat martabat, pekerjaan atau jabatannya mewajibkannya menyimpan rahasia. Yang agak sulit untuk dipahami dalam Pasal 120 ayat (2) ini, ialah mengenai arti harkat martabatnya tidak dijelaskan apa dan siapa orang yang memiliki harkat dan martabat yang dapat menolak untuk memberi keterangan sebagai ahli. Barangkali orang yang dapat dikelompokkan ke dalamnya seperti ulama, pendeta, para guru, dan sebagainya.
2.5.2.2. Keterangan dalam bentuk keterangan tertulis, jika pada bentuk pertama seperti yang diatur dalam Pasal 120, pendapat ahli yang diperlukan penyidik langsung diberi dalam pemeriksaan di hadapan penyidik. Pada bentuk kedua diatur dalam Pasal 133, pendapat ahli yang dimintakan penyidik dituangkan dalam bentuk tertulis. Keterangan bentuk tertulis dari seorang ahli inilah yang lazim disebut dalam praktek hukum sebagai Visum et Repertum. Adapun tata cara yang ditempuh penyidik untuk mendapat keterangan tertulis seorang ahli seperti yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP adalah :
a.Dalam hal penyidikan mengenai seorang korban luka, keracunan, ataupun kematian yang diduga sebagai akibat dari suatu peristiwa pidana maka demi untuk kepentingan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan tertulis kepada ahli.
b.Pengajuan permintaan dimaksud diajukan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Memperhatikan dengan saksama ketentuan di atas, pembuat Undang-Undang sangat cenderung untuk menetapkan suatu ketentuan, agar semua keterangan yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan, yang boleh diminta keterangannya adalah ahli kedokteran kehakiman namun barangkali pembuat Undang-Undang sendiri menyadari, bagaimana langkanya ahli kedokteran kehakiman di Indonesia. Terpaksa di ujung kalimat Pasal 133 ditambah dengan atau dokter dan atau ahli lainnya, sehingga dengan demikian langkahnya ahli kedokteran kehakiman dapat diatasi dengan cara memberi kemungkinan bagi aparat penyidik untuk meminta keterangan dari dokter umum ataupun ahli lainnya. Siapa yang dimaksud dengan ahli lainnya, pembuat Undang-Undang tidak menjelaskan kalau dokter, semua orang tahu tetapi siapakah ahli lainnya jika masalahnya dihubungkan dengan kepentingan peradilan dalam menangani korban luka, keracunan, atau kematian. Siapa orangnya yang dianggap sejajar keahliannya dengan seorang ahli kedokteran kehakiman atau dokter. Apakah seorang mantri kesehatan dapat digolongkan ke dalam pengertian ahli lainnya yang disebut Pasal 133 tersebut. Dalam keadaan yang darurat sekali, mantri kesehatan dapat disejajarkan dalam pengertian ahli lainnya. Terutama di daerah yang sangat terpencil, di mana Puskesmas dan dokter tidak ada, sedang yang ada hanya mantri kesehatan, penyidik dapat mengajukan permintaan keterangan kepadanya.
c.Cara meminta keterangan kepada ahli dengan tertulis. Dalam surat permintaan keterangan, penyidik menyebut dengan tegas pemeriksaan apa yang dikehendaki penyidik kepada ahli. Dari permintaan itu ahli melakukan pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat, ataupun pemeriksaan bedah mayat. Adapun kualitas surat keterangan yang dikeluarkan berdasar ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2), dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal tersebut, yang menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan saja. Memang hal ini sangat perlu untuk dibedakan, guna kepentingan pemeriksaan di depan persidangan. Sebab menurut ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf b, keterangan ahli termasuk salah satu alat bukti yang sah menurut hukum dengan demikian keterangan ahli kedokteran kehakiman termasuk kategori alat bukti yang sah, sedang keterangan dokter bukan alat bukti yang sah, tetapi dapat dimasukkan kepada klasifikasi alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c)
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Tetapi harus diingat bahwa petunjuk tidak berdiri sendiri sebagai pembuktian, tetapi mengarah kepada pembuktian atau pelaku perbuatan (materiil). Petunjuk ini dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah diadakan pemeriksaan.
Menurut Kuffal (2004:24), bahwa kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sangat ditentukan oleh unsur-unsur subjektif (arif bijaksana, kecermatan, keseksamaan dalam hati nurani) dari hakim. Berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dan menurut pengalaman dalam pelaksanaan penegakan hukum dapat diketahui atau dirasakan bahwa unsur-unsur subjektif antara hakim yang satu dengan yang lain pada umumnya tidak sama atau berbeda.
Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, keterangan terdakwalah yang sangat menentukan suatu perkara karena dialah sebagai atau merupakan pelaku perbuatan (materiil).Tetapi harus diingat menurut (Kuffal, 2004:26) bahwa :
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar