Pengertian perjanjian
bagi hasil menurut seorang penulis bernama Jenny yang dikutip oleh A.M.P.A
Scheltema (1982 : 1) mengemukakan sebagai berikut:
“Bagi hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk
pemanfaatan tanah, di mana pembahagian hasil terhadap dua unsur produksi yaitu
modal kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah
tersebut dan pula dalam bentuk natural dengan perkembangan usaha tani”
Perjanjian bagi hasil
secara umum dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana seseorang pemilik
tanah memperkenankan atau mengizinkan orang lain dalam hal ini penggarap untuk
menggarap tanahnya dengan membuat suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil
dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang telah dibuat.
Perlu
diketahui selain perjanjian bagi hasil untuk tanah pertanian, terdapat pula
perjanjian bagi hasil dalam bentuk lain di mana bukan hasil tanaman yang
menjadi objek perjanjian. Akan tetapi yang dijadikan objek adalah ternak,
seperti kerbau, ayam dan lain sebagainya. Perjanjian bagi hasil semacam ini
terdapat pula di Kabupaten Sinjai tempat penulis mengadakan penelitian.
Adapula
perjanjian bagi hasil Perikanan yang telah diundangkan dengan Undang-Undang
No.16 Tahun 1964 tentang perjanjian bagi hasil Perikanan. Dalam Pasal 1 huruf a
yang berbunyi sebagai berikut :
“Perjanjian bagi hasil perikanan adalah perjanjian yang
diadakan dalam usaha penangkapan ikan antara nelayan, pemilik, dan penggarap
tambak, menurut perjanjian mana masing-masing menerima bagian dari hasil dan
usaha tersebut menurut pertimbangan yang telah disetujui sebelumnya”.
Akan tetapi penulis
tidak akan jauh membahas perjanjian tersebut di atas, sebab dalam penulisan ini
pembahasan hanya berfokus pada perjanjian bagi hasil tentang tanah Akkinanreang
seperti yang terdapat di Kabupaten Sinjai.
Pengertian perjanjian
bagi hasil telah penulis paparkan, dan selanjutnya akan penulis uraikan
mengenai perjanjian bagi hasil menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1960 yang
seperti kita ketahui merupakan satu-satunya produk hukum nasional yang mengatur
cukup detail mengenai masalah perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Perjanjian
bagi hasil tanah pertanian bukanlah suatu masalah yang baru tumbuh tetapi
merupakan suatu lembaga yang telah lama dikenal.
Scheltema (1982 : 2)
melukiskannya, “sebagai salah satu bentuk perjanjian tertua dalam hal
penguasaan tanah yang terdapat diberbagai negara serta dalam masyarakat dengan
derajat perkembangan yang sangat berlainan”.
Di masa kemerdekaan
di mana bangsa Indonesia dalam masa transisi hukum agraria kolonial menuju
hukum agraria nasional yang baru, masalah bagi hasilpun mendapat perhatian dari
pemerintah.
Pegangan kita dalam
membicarakan masalah ini ialah Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960
yang menyatakan secara tegas pengertian perjanjian bagi hasil, sebagai berikut
:
“Perjanjian bagi hasil adalah
perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu
pihak yang dalam Undang-Undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian
mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usha
pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagiannya antara kedua belah pihak”.
Pengertian di atas
ditempatkan sejajar dengan beberapa istilah yang lain, ini termasuk semuanya
dalam suatu perangkat pengertian yang dalam bab ini diberi titel arti beberapa
istilah. Istilah yang sejajar ditulis sebagai berikut :
a.
Tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman
bahan makanan.
b.
Pemilik, adalah orang atau badan Hukum yang berdasarkan
sesuatu hak menguasai tanah.
c.
Perjanjian bagi hasil.
d.
Hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan
oleh penggarap termasuk dalam huruf c pasal ini setelah dikurangi biaya bibit,
pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan biaya panen.
e.
Petani, adalah orang baik yang mempunyai maupun yang tidak
mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk
pertanian.
Dari pengertian di
atas terdapat suatu penembangan dari pengertian-pengertian bagi hasil yang
diuraikan sebelumnya, yang mana ditetapkannya badan Hukum dapat menjadi pihak
dalam suatu perjanjian bagi hasil.
Dapat dilihat bahwa
Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 dalam Pasal 1 tersebut di atas telah menyatakan
bahwa perjanjian dengan nama apapun juga antara pemilik dan penggarap disebut
perjanjian bagi hasil. Menyebut dengan nama apapun juga menandakan bahwa
sesungguhnya sejak awal pembuat Undang-Undang telah menyadari bahwa perjanjian
bagi hasil mempunyai nama yang bermacam-macam ditiap-tiap daerah. Ini sekaligus
menunjukkan bahwa keberadaan Hukum adat khususnya yang menyangkut bagi hasil
terhadap tanah Akkinanreang dihormati oleh pemerintah setempat.
Dalam Pasal 1 huruf c
tersebut, juga ditunjukkan bahwa para pihak yang mengadakan suatu perjanjian
ditegaskan kedudukannya dengan menyimlpulkan bagaimana berlangsungnya hubungan
kedua belah pihak. Perumusan mengenai hubungan kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian bagi hasil niscaya makin memberi kejelasan tentang apa dan bagaimana
hakikat dari perjanjian yang terjadi diantara pihak-pihak tersebut.
Untuk lebih memahami
isi Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 seperti telah dikemukakan
terdahulu, di bawah ini dikemukakan penjelasan Pasal tersebut yang berbunyi :
“……dalam perjanjian itu yang Hukumnya berlaku sebagai
ketentuan-ketentuan Hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas
suatu tanah yang karena suatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri, tetapi
ingin mendapat hasilnya memperkenangkan orang lain untuk menyelenggarakan usaha
pertanian atas tanah tersebut, yang hasilnya dibagi antara mereka berdua
menurut imbangan yang sudah ditentukan sebelumnya”.
Sesuai maksud yang
terkandung dalam penjelasan Pasal 1 ayat c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960
tersebut di atas, jelaslah bahswa bagi hasil tanah itu telah ada dan hidup
dikalangan maysrakat Indonesia sejak dahulu. Walaupun nama dan istilahnya
berbeda-beda pada berbagai daerah, namun tujuannya adalah sama.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, secara otomatis
merupakan suatu pengakuan pemerintah terhadap adanya pelaksanaan perjanjian
bagi hasil yang berlaku dalam maysarakat Hukum adat.
Disamping itu, latar
belakang dikeluarkannya Undang-Undang tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut :
a.
Masih adanya pemilik tanah yang tak sempat atau yang tak
dapat mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga memperkenangkan orang lain untuk
mengerjakan. Pemilik tanah pertanian secara besar-besaran oleh orang-orang yang
tergolong berekonomi kuat terjadi sebelum dan sesudah dilaksanakannya
Undang-Undang Pokok Agraria. Sebaliknya yang berekonomi lemah hanya memiliki
tanah pertanian yang sempit, bahkan biasanya tidak memiliki tanah sebidangpun.
Golongan ini selain jumlahnya banyak, juga hidup dengan berusaha menjadi buruh
tani, menggarap tanah pertanian sambil terikat oleh berbagai persyaratan yang
sangat memberatkan.
Setelah berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria dan Landreform, maka pemilikan tanah secara luas
mulai dibatasi dengan ketentuan batas maksimum dan batas minimum. Tujuannya
adalah untuk mencegah berlarut-larutnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang
telah dikemukakan. Selain itu para pemilik tanah diusahakan dapat mengelolah
dan mengerjakan sendiri tanahnya sehingga memperkenangkan orang lain untuk
mengerjakan sistem perjanjian bagi hasil.
b.
Adanya kebiasaan dalam melaksanakannya perjanjian bagi hasil
secara lisan tanpa disaksikan dan diketahui serta disahkan oleh pihak-pihak
yang berwenang. Hal demikian dapat mengakibatkan ketidakpastian dan keraguan
dalam Hukum sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan antara para pihak.
c.
Untuk mencegah terjadinya hal seperti dikemukakan terutama
cara-cara yang tidak menguntungkan baik dipihak pemilik tanah maupun dikalangan
para penggarap, untuk itu pemerintah berkewajiban mengatur sedemikian rupa
sistem perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang-Undang yang berlaku diseluruh
wilayah Indonesaia. Sebagai pelaksanaannya, diundangkanlah Undang-Undang No.2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Selanjutnya,
sebagaimana tujuan dibuatnya Undang-Undang No.2 Tahun 1960, dalam penjelasannya
dijelaskan sebagai berikut :
“Dalam usaha melindungi golongan yang ekonominya lemah
terhadap praktek-praktek yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan
perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang Agraria
diundangkanlah Undang-Undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil
tersebut dengan maksud :
a)
Agar pembagian hasil tanah antara para pihak didasarkan atas
dasar adil.
b)
Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi
penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam
keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak
banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat
besar, serta
c)
Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di
atas, maka akan bertambah kegembiraan bekerja pada petani. Hal mana akan
berpengaruh baik pula pada caranya memelihara kesuburan, dan mengusahakan
tanahnya. Hal itu tentu saja akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah
yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program
untuk melengkapi sandang pangan rakyat”.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 maka pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara
para pihak, selain senantiasa harus didasarkan pada pembagian yang adil dilain
pihak hak dan kewajiban kedua belah pihak juga telah diperjelas dengan
Undang-Undang tersebut utamanya yang menyangkut terjaminnya kedudukan Hukum
yang layak khususnya bagi para penggarap. Hal demikian tidak saja berpengaruh
terhadap peningkatan hasil produksi akan tetapi pengaruhnya menjangkau jauh
sampai kepada terpenuhinya kebutuhan rakyat terhadap sandang pangan.
Sebenarnya sudah
banyak pembahasan yang dilakukan para ahli dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan sejalan dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil namun penulis masih merasa perlu untuk mengetengahkan kembali
sebagai suatu permasalahan untuk bahan pemikiran dalam pembinaan Hukum di
Negara kita.
Dalam membahas Hukum di Negara kita, khususnya Undang-Undang
No.2 Tahun 1960 yang berlaku sekarang ini, tidaklah cukup hanya membahas
peraturan-peraturan yang termuat didalamnya dan peraturan pelaksanaan dari
peraturan tersebut didalam masyarakat.
B. Dasar Hukum Tentang Perjanjian Bagi Hasil
1.
Ketentuan
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1960
Undang-Undang No.2
Tahun1960 yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil dapat dipandang sebagai
suatu kelompok Hukum yang mengatur hak-hak atas sumber daya alam.
Mempelajari Hukum
dari suatu Negara, kita tifdak terlepas hanya dengan mengamati tata Hukumnya
dalam keadaan diam atau pasif, akan tetapi harus pula melihat bagaimana anggota
masyarakatnya berusaha mewujudkan nilai-nilai yang terkandung pada peraturan
tersebut didalam kenyataan sehari-hari.
Mengingat kondisi
tiap-tiap daerah berlainan mengenai jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan
penduduk dan lain-lain, hal ini berpengaruh kepada penentuan dasar besar
kecilnya bagian. Oleh sebab itu tiap-tiap daerah mempunyai tradisi pembagian
hasil yang berlainan.
Dengan diangkatnya
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil dengan demikian
adalah merupakan suatu pengakuan pemerintah terhadap adanya pelaksanaan
perjanjian bagi hasil yang berlainan dalam setiap masyarakat Hukum adat.
Ketentuan selama ini
pada kenyataannya tidak atau belum menjadi ketentuan yang konkrit dan
diterapkan, karena adanya kecenderungan praktis dalam pandangan dan sikap
masyarakat dipedesaan yang di mana perjanjian bagi hasil ditemukan.
Untuk mengarah kepada
pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu kita kutip ketentuan yang dituangkan
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 1960 sebagai berikut :
1.
Semua perjanjian bagi hasil harus ada pemilik dan penggarap
sendiri dihadapan kepala desa atau kepala daerah yang setingkat dengan itu
tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya Undang-Undang ini
disebut : Kepala desa, dengan
dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
2.
Perjanjian bagi hasil dalam ayat 1 di atas memerlukan
pengesahan dari Camat yang bersangkutan atau dari pejabat lain yang setingkat
dengan itu. Selanjutnya dalam Undang-Undang itu disebut Camat.
3.
Pada tiap musyawarah desa, maka Kepala Desa mengumumkan semua
perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah musyawarah yang terakhir.
4.
Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang
diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di
atas.
Demikian kita kutip
secara lengkap ketentuan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Pasal 3 ayat
(1,2,3 dan 4) secara lebih lengkap agar kiranya menjadi jelas bahwa perjanjian
bagi hasil telah diatur pelaksanaannya, perangkat dan proses bagaimana
melaksanakannya. Walaupun terdapat kesenjangan antara ketentuan yang
diundangkan dengan realita dimasyarakat, namun ketentuan tersebut tetaplah
senantiasa sebagai bahan perbandingan bila mana diingat bahwa Undang-Undang
No.2 Tahun 1960 tersebut adalah suatu ketentuan satu-satunya yang mengatur
masalah perjanjian bagi hasil.
Dari Pasal 3
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut di atas diketahui bahwa suatu perjanjian
bagi hasil atas sebidang tanah yang diperjanjikan antara seorang atau lebih
hanya dapat dianggap sah bilamana dilakukan secara tertentu dengan beberapa
syarat. syarat-syarat tersebut adalah :
1.
Perjanjian harus dibuat oleh para pihak itu sendiri.
2.
Harus dibuat tertulis dihadapan Kepala Desa.
3.
Harus disaksikan 2 orang, masing-masing dari kedua pihak
tersebut.
4.
Harus disaksikan olek Camat setempat.
Berdasarkan keempat
syarat yang disebutkan di atas, maka suatu perjanjian bagi hasil dapat dianggap
sah bilamana telah memenuhi atau menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Oleh karena itu dapat ditarik bahwa kekurangan dari salah satu syarat yang
diakibatkan oleh karena tidak dijalankan dilaksanakannya syarat tersebut, dapat
memberi konsekuensi tidak sah atau tidak diakuinya suatu perjanjian bagi hasil.
Penetapan keempat
syarat tersebut, menurut pemikiran penulis adalah wajar dan memang suatu
keharusan demi mencapai efektifitas ketentuan perundang-undangan yang bertumpuh
pada keadilan sepenuh-penuhnya untuk semua pihak. Ketentuan Pasal 3
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 ini juga amat logis sebagai suatu penetapan
penting bagi terselenggaranya perjanjian bagi hasil dan untuk suatu kepastian
Hukum bagi semua kalangan masyarakat tani pada semua tingkatan sosial dan
lapisan kehidupan.
Khususnya bagi
kalangan masyarakat pemilik tanah dan penggarap maka perlu adanya ketentuan
yang menekankan unsur keadilan dan kepastian Hukum sebagaimana yang telah
digariskan dalam Pasal 3 seperti dikemukakan di atas agar kiranya bertujuan
untuk menjamin terciptanya kehidupan yang berlandaskan pada adanya pemerataan
penikmatan hasil tanah pertanian diantara semua masyarakat tani. Hal ini pada
gilirannya akan menciptakan suatu kehidupan yang lebih sejahtera.
Suatu latar belakang
pemikiran lain, agaknya menjadi bahan pertimbangan dengan ditetapkannya
ketentuan bahwa setiap perjanjian bagi hasil mesti dituangkan secara tertulis
dan lebih menunjukkan adanya sesuatu yang benar-benar nyata. Dengan demikian
dari segi realitanya sebagai sebuah perbuatan Hukum yang dapat dibuktikan dan memperkuat
daya berlakunya.
Oleh karena itu dapat
dikaitkan bahwa dengan suatu bentuk yang tertulis, maka perjanjian bagi hasil
dapat menghindarkan terjadinya keragu-raguan. Hal ini kiranya amat penting
mengingat bahwa kepercayaan hanya dapat diperoleh bilamana ada suatu yang
konkrit dan dijadikan bukti tentang terjadinya suatu perbuatan Hukum.
Dengan adanya
kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis, maka kemungkinan
munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk
tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak, karena dengan cara demikian
telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan jelas adanya kesepakatan
tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan suatu
perjanjian bagi hasil. Demikian pula akan menjadi suatu penegasan kedua pihak
yang menyangkut aspek-aspek dari perjanjian lainnya yang menjadi kesepakatan.
Perjanjian yang
dibuat secara tertulis, dengan penyaksian Kepala Desa pengesahan Camat, juga
bermanfaat bagi suatu bukti penguat kekuatan yuridis suatu perjanjian. Sebab
dengan adanya penyaksian dan pengesahan yang prepentif dalam hal pelaksanaan
perjanjian yang diberlakukan.
Sebelum melangkah lebih jauh kedalam pembahasan selanjutnya ,
maka terlebih dahulu harus disimak kembali maksud perjanjian bagi hasil.
Kemudian juga mengenai batasan dari pengertian pemilik dan penggarap, dengan
penguraian kembali agar supaya dimaksudkan penelaahan selanjutnya akan lebih
jelas, sebagai berikut :
a. Perjanjian Bagi Hasil.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, maksud perjanjian bagi
hasil adalah berdasarkan pengertian yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang
No.2 Tahun 1960, yakni perjanjian dengan nama apapun juga diadakan antara
pemilik pada suatu pihak yang dalam hal ini disebut penggarap berdasarkan
perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah milik, dengan pembagian bagi
hasilnya antara kedua belah pihak (Pasal 1 huruf c Undang-Undang No.2 Tahun 1960
)
b. Pemilik.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1, juga diberikan penjelasan
dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1960.
bahwa, pemilik ialah orang atau badan Hukum yang berdasarkan hak
menguasai tanah ( Pasal 1 huruf b ). Dan sesuai dengan Hukum yang berlaku
sekarang, yang berwenang untuk mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak hanya
terbatas pada para pemilik, tetapi juga para pemegang gadai, penyewa dan
lain-lain orang yang berdasarkan suatu hak menguasai tanah yang bersangkutan.
c. Penggarap
Ditentukan dalam
Pasal 3, namun pengertian subjek yang dimaksudkan dapat ditarik dari pemahaman
berdasarkan Pasal 1 huruf c Undang-Undang No.2 Tahun 1960, yakni penggarap
adalah suatu individu atau badan Hukum disatu pihak yang mengadakan suatu
perjanjian dengan pemilik, dilain pihak diperkenangkan oleh pemilk untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasil
antara kedua pihak.
Sesungguhnya suatu
perbuatan Hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan Hukum yang menyangkut
kebendaan atau suatu bentuk materi yang bertolak dari adanya kepentingan
bersama antara satu sama lain dianggap sebagai suatu yang penting. Seyogyanya
dituangkan dalam bentuk tertulis oleh sebab pertama-tama dilandaskan dari
pengertiannya sendiri bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Hanya bentuk
tertulislah yang dapat menyatakan hak dan kewajiban para pihak dengan jelas dan
hanya berbentuk tertulis pulalah suatu objek yang diperjanjikan dan ditegaskan
dengan nyata.
Bagaimana melihat
hakikat penetapan tentang bentuk perjanjian yang diharuskan sebagai sesuatu
yang semestinya terwujud dalam pelaksanaan perjanjian dalam hubungannya dengan
kenyataan yang ada dalam masyarakat di mana perjanjian bagi hasil itu masih
sering terjadi.
Kenyataan bahwa perjanjian bagi hasil itu yang dilakukan
dimasyarakat tidak dilakukan dalam bentuk tertulis dengan demikian merupakan
petunjuk bahwa sifat formal atau sifat berkesan resmi dengan bentuk tertulis
adalah bukan ciri dari percerminan pemberlakuan hukum adat dalam perjanjian
bagi hasil. Sebagai mana diketahui system hukum adat tidaklah berdasarkan pada
suatu bentuk yang statutoir atau
dalam ketentuan tertulis, tetapi hanya dalam bentuk kesepakatan yang dirumuskan
dengan pengertian. Dan ini semata-mata bersandar pada pola yang telah diberlakukan
sebagai kasepakatan bersama pada warga masyarakat pada tempat di mana sistem
hukum adat itu berlaku.
d. Ketentuan Menurut Hukum Adat
Sebelum membahas
ketentuan tentang tanah Akkinanreang menurut Hukum adat, perlu dikemukakan
terlebih dahulu tentang hak-hak atas tanah setelah Undang-Undang Pokok Agraria.
Hak milik, sebagai landasan idealnya adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, secara struktural antara lain dengan adanya Undang-Undang No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dahulu hak milik
dalam pengertian Hukum barat bersifat mutlak, hal ini sesuai dengan faham yang
mereka anut yaitu individualisme, yang di mana kepentingan individu sangat
menonjol, individu diberi kekuasaan bebas dan penuh terhadap miliknya. Hak
milik atas tanah dalam pengertian sekarang, setelah Undang-Undang Pokok Agraria
, hak milik adalah hak turun-temurun dengan mengingat fungsi sosialnya. Hak
milik mempunyai fungsi sosial yang mempunyai arti bahwa hak milik yang dipunyai
seseorang tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau
perseorangan, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat banyak. Jadi hak milik
mempunyai fungsi kemasyarkatan yang memberi berbagai hak bagi orang lain.
Telah ditegaskan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria bahwa hak ulayat diakui sepanjang hak
tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat Hukum yang
bersangkutan. Tetapi tdak dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu
masyarakat Hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu,
sedangkan pemberian hak tersebut sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih
luas, maka tidak diperbolehkan lagi pemilikan tanah originer tanpa izin dari
pemerintah yang diberikan sebelumnya, seperti halnya dengan pembukaan tanah
menurut Hukum adat atau kepemilikan tanah timbul, akan tetapi semua pemilik
tanah bertsifat sekunder.
Maka wewenang berupa
tanah-tanah oleh masyarakat Hukum mendapat batasan yang sedemikian rupa dari
kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak itu (berlakunya Undang-Undang
No.5 Tahun 1960) segala kewenangan mengenai persoalan tanah berpusat pada
kekuasaan Negara. Kalau demikian sebagaimana kewenangan (ketentuan) masyarakat
Hukum adat atas tanah yang kita sebut dengan hak ulayat, apakah masih diakui
berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan
ketentuan-ketentuan Hukum adat tentang tanah yang sebagaimana telah diuraikan
di atas.
Dalam Pasal 5
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, diuraikan sebagai berikut :
1.
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang brdasarkan peraturan-peraturan dan persatuan bangsa.
2.
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan sosialis
Indonesia.
3.
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria.
4.
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan lainnya.
5.
Hukum adat harus mengindahkan unsur yang bersandar pada Hukum
agama.
Pengertian Hukum adat disini mempunyai arti tersendiri, bukan
lagi sebagi Hukum adat yang selama ini diperkenalkan oleh beberapa ahli Hukum
adat sesekalipun masih adanya kelainan penafsiran tentang pengertian itu. Hukum
adat menurut pengertian Undang-Undang Pokok Agraria adalah Hukum adat baru.
e.
Hak dan
Kewajiban Masing-Masing Pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil Terhadap Tanah Akkinanreang.
Sebagaimana telah
dikemukakan pada bab terdahulu bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan
sepakat oleh para pihak membawa akibat Hukum, tidak saja mengikat para pihak
tetapi juga berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam perjanjian yang
mereka buat itu ditentukan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para
pihak. Hal ini berarti bahwa pihak yang satu untuk menuntut suatu prestasi
kepada pihak lain sebagai yang telah disanggupi dalam perjanjian tersebut.
Apabila terdapat
salah satu pihak meninggal kemudian mengalihkannya kepada ahli warisnya, maka
mengenai hak dan kewajiban masing-masing ahli waris tersebut adalah berhak
memiliki sepenuhnya hasil produksi pada gilirannya dan berkewajiban membayar
jenis pungutan yang sah dari pemerintah. Mengingat bahwa pengaruh sistem hukum
adat setempat masih sangat besar, maka kenyataan yang terjadi bahwa perjanjian
bagi hasil tanah Akkinanreang walaupun diadakannya secara tidak tertulis
namun tetap dapat berlangsung lancar tanpa adanya perbedaan eksteren dengan
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang suatu
perjanjian bagi hasil.
bagus sekali, dimuat UUP Bagi Hasil, karena sedikit sekali pengajar yg membahas undang2 ini,terima kasih
BalasHapuslagunya sangat mengganggu bang...
BalasHapusiya, nanti saya minta tolong ke teman biar dihilangin. soalnya kl masalah design blog saya kurang paham.
BalasHapusCakep
BalasHapusSelamat siang,
BalasHapusApakah Anda dalam masalah pinjaman keuangan? atau apakah Anda memerlukan pinjaman cepat untuk membersihkan debet Anda dan kembali ke bisnis dengan suku bunga 2%. Jika ya, hubungi kami melalui email kami di bawah ini: exxonmobil191@outlook.com
Harap berikan kami hal-hal berikut di bawah ini.
1) Nama Lengkap: ............
2) Jenis Kelamin: .................
3) Umur: ........................
4) Negara: .................
5) Nomor Telepon: ........
6) Pekerjaan: ..............
7) Penghasilan Bulanan: ......
8) Jumlah Pinjaman Yang Dibutuhkan: .....
9) Jangka Waktu Pinjaman: ...............
10) Tujuan Pinjaman: ...........
11) Çurrency: ............
Terima kasih.
lalu secara konkretnya hak dan kewajiban dari kedua belah pihak apa ya?
BalasHapuslalu secara konkretnya hak dan kewajiban dari kedua belah pihak apa ya?
BalasHapusterima kasih. bermanfaat.
BalasHapusMenyediakan Permainan Slot Paling Lengkap Dengan Bonus-Bonus Jackpot Berhadiah Ratusan Juta !
BalasHapusHanya Dengan Nominal Deposit 50 Ribu Saja, Anda sudah bisa menikmati berbagai Bonus Yang Ada Dan Jackpot Yang Tercantum Pada Setiap Slot !
Nikmati Permainan Slot Online Terlengkap Di Agen Linkaja88 Sekarang Juga !
Tersedia :
• Slot Pragmatic Play
• Slot Red Tiger
• Slot Spade Gaming
• Slot JBD
• Slot Joker123
• Slot VivoSlot
• Slot Play1628
Semua Provider Slot Memiliki Progesive Jackpot yang sangat besar ! Anda Hanya Perlu Aktif Bermain untuk Mendapatkannya !
Tersedia Transaksi Deposit & Withdraw Via : OVO, Gopay, Dana, Linkaja, Sakuku, Pulsa Dan Semua Jenis Rekening Bank Di Indonesia !
Promo Spesial :
• Bonus Deposit Pertama 10%
• Bonus Deposit Harian 5%
• Bonus Rollingan 0.8%
• Bonus Referral 7% + 2%
Daftar Sekarang Juga & Nikmati Promo-Promo Terbaru Yang Ada !
Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
» ID Telegram : @bolavitacc
» ID Wechat : Bolavita
» ID Line : cs_bolavita