Pada
dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah bertujuan agar
pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil
putusan. Dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya,
tetapi bagaimana seorang hakim mengetahui secara objektif fakta atau peristiwa
sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a
priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk
perkara yang sebenarnya.
Menyangkut peraturan hukum yang
diterapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa pada dasarnya menunjukkan
bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim melakukan penelitian dalam rangka
penemuan hukum (judge made law/rechtvinding).
Dengan demikian hakim telah berusaha secara maksimal untuk menjatuhkan putusan
yang objektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsur apa pun kecuali sikap
objektivitas dan rasa keadilan itu semata.
Putusan tidak hanya apa yang
diucapkan hakim dalam persidangan, termasuk juga pernyataan yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah
konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebalum
diucapkan di persidangan oleh hakim.
Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak)
tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa di dalam literatur Belanda dikenal istilah vonnis dan gewijsde; yang dimaksud dengan vonnis
adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih
tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde
adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya
tersedia upaya hukum khusus.
Dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Pendilan TUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:
a.
Putusan
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Tata Usaha Negara) yang sudah tidak
dapat dimintakan upaya banding;
b.
Putusan
Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang tidak dimintakan
kasasi;
c.
Putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.
Putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap pada
dasarnya adalah putusan pengadilan yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum
(banding dan kasai), namun sebagaimana disebutkan di atas banding dan kasasi
adalah upaya hukum biasa, di samping itu masih terdapat upaya hukum istimewa
atau upaya hukum luar biasa. Dengan demikian putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut tetap masih bisa dilawan dengan upaya
hukum istimewa itu. Penggunaan upaya hukum istimewa ini hendaknya dikembalikan
kepada latar belakang filosofis yang mendasarinya yakni dalam rangka memberikan
perlindungan hukum secara maksimal kepada rakyat bukan kepada penguasa.
Putusan Pengadilan TUN diatur dalam Pasal
97 UUPTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
(1)
Dalam
hal pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
(2)
Setelah
kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan
kesempatan kepada majelis hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk
mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan tersebut.
(3)
Putusan
dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh hakim ketua majelis merupakan hasil
permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak
dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(4)
Apabila
musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan
putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.
(5)
Apabila
dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka
suara terakhir hakim ketua majelis yang menentukan.
(6)
Putusan
pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk
umum, atau ditunda pada hari yang lain yang harus diberitahukan kepada kedua
belah pihak.
(7)
Putusan
pengadilan dapat berupa:
a.
gugatan
ditolak;
b.
gugatan
dikabulkan;
c.
gugatan
tidak diterima;
d.
gugatan
gugur
(8)
Dalam
hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan KTUN.
(9)
Kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a.
pencabutan
KTUN yang bersangkutan; atau
b.
pencabutan
KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau
c.
penerbitan
KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.
(11)Dalam hal putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud daalm ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping
kewajiban sebagaimana dimaksud daalm ayat (9) dan ayat (10) dapat disertai
pemberian rehabilitasi.
Ketentuan pasal tersebut diatas, dapat
disebutkan memuat prosedur pengambilan putusan yang harus diambil dengan
musyawarah di antara majelis hakim, putusan yang diambil dengan suara terbanyak
baru dapat dikatakan, apabila musyawarah untuk mencapai kesepakatan bulat mengalami
jalan buntu, apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak itu juga
tidak dapat menghasilkan keputusan maka barulah putusan itu dapat diambil oleh
ketua majelis. Pasal tersebut tidak secara transparan menyebutkan kriteria
pengambilan keputusan secara musyawarah, sehingga baru dapat dilakukan
pengambilan putusan dengan suara terbanyak, kemudian oleh ketua majelis hakim.
Dari pasal 97 ayat (7) tersebut
diatas, maka dapat diketahui bahwa isi putusan Pengadilan TUN dapat berupa
gugatan ditolak, gugatan dikabulkan,
gugatan tidak dapat diterima, dan gugatan
gugur.
1.
Gugatan
ditolak
Apabila isi putusan pengadilan TUN
adalah berupa penolakan terhadap gugatan penggugat berarti memperkuat keputusan
TUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan. Pada
umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang
diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat bukti
yang diajukan pihak terguagat lebih kuat.
2.
Gugatan
dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, adakalanya
pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian. Isi putusan pengadilan yang
mengabulkan gugatan pihak tergugat atau tidak membenarkan keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa
yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam
hal pangkal sengketa berangkat dari Pasal 3).
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka
dalam putusan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat,
yang dapat berupa:
a.
Pencabutan
keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan
dan menerbitkan keputusan TUN yang baru; atau
c.
Penerbitan
keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 2.
Disamping kewajiban yang disebutkan
di atas, dalam putusan pengadilan dapat pula menetapkan kewajiban bagi pihak
tergugat untuk membayar ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa
kepegawaian), kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3.
Gugatan
tidak dapat diterima
Putusan pengadilan yang berisi tidak
menerima gugatan pihak penggugat, berarti gugatan itu tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud
dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau tahap
tersebut, ketua pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima,
karena alasan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan
4.
Gugatan
gugur
Putusan pengadilan yang menyatakan
gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang
telah ditentukan dan mereka telah dipanggil secara patut, atau perbaikan
gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang
telah ditentukan (daluwarsa).
Dalam Pasal 109 UUPTUN disebutkan
susunan isi putusan sebagai berikut:
(1)
Putusan
pengadilan harus memuat:
a.
kepala
putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’;
b.
nama,
jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak
yang bersengketa;
c.
ringkasan
gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
pertimbangan
dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan
selama sengketa itu diperiksa;
e.
alasan
hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
amar
putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.
hari,
tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan
tentang hadir atau tidaknya para pihak.Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
(2)
Selambat-lambatnya
tiga puluh hari sesudah putusan pengadilan diucapkan, putusan itu harus
ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang turut bersidang.
(3)
Apabila
hakim ketua majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat hakim ketua
sidang berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangani oleh
ketua pengadilan dengan menyatakan berhalangannya hakim ketua majelis hakim
atau hakim ketua sidang tersebut.
(4)
Apabila
hakim anggota majelis berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan
ditandatangani oleh hakim ketua majelis dengan menyatakan berhalangannya hakim
anggota majelis tersebut.
Dalam hukum acara perdata suatu
putusan hakim terdiri 4 (empat) bagian yaitu; kepala putusan, identitas para
pihak, pertimbangan, dan amar.
a.
Kepala
putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah
mempunyai kepala putusan pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan
eksekutorial pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada
suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
b.
Identitas
para pihak
Suatu putusan atau gugatan
sekurang-kurangnya mempunyai dua pihak (penggugat dan tergugat), maka di dalam
putusan harus dimuat identitas para pihak tersebut.
Dengan
demikian huruf a pada pasal 109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai para
pihak.
c.
Pertimbangan
(considerans)
Dalam hukum acara perdata suatu
putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazim di bagi 2
(dua) bagian; pertimbangan tentang duduknya perkara atau peristiwanya dan
pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan itu tidak lain
dimaksudkan sebagai alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada
masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu, sehingga putusan
dapat berniali objektif.
Dengan demikian huruf c,d, dan e
pada Pasal 109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai pertimbangan.
d.
Amar
(diktum)
Merupakan jawaban atas petitum dari
gugatan, sehingga amar atau diktum juga merupakan tanggapan atas petitum itu
sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak
penggugat dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut
atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
Dengan demikian huruf f dari Pasal
109 ayat (1) di atas dapat disebut sebagai amar.
Mohon maaf sebelumnya .. si penulis sendiri tidak mencantumkan sumbernya darimana. Perlu diketahui para pembaca/ pengunjung blog ini bahwa yang si penulis diatas menrangkum materi yang bersumber dari buku Harahap, Zairin. (i)Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(/i). ... kalau yang saya punya sudah Edisi Revisi Tahun 2014 (Cetakan ke-8). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Terima kasih.
BalasHapusbenar sekali
Hapus