A.
Ruang
Lingkup Perjanjian
1.
Pengertian
Perjanjian
Pengertian perjanjian adalah kata yang berasal dari kata
dasar “janji” yaitu suatu persetujuan atau kesepakatan dari pernyataan kehendak
antara kedua belah pihak. Perihal perjanjian pada umumnya dan hubungannya
dengan perikatan, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
khususnya terhadap buku II bab III, maupun pengertian yang dirumuskan oleh
beberapa sarjana dikemukakan di bawah ini :
Pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh Subekti adalah
sebagai berikut : [1]
“Dikatakan dengan perikatan oleh
buku III itu adalah suatu hubungan hukum Mengenai kekayaan harta benda, antara
dua orang yang memberi kapada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya ini hanya diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.
Selanjutnya pengertian hukum perjanjian di dalam Pasal 1313
Kitab Undang-Undang hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap orang
lain atau lebih.
Dalam Ketentuan di atas agaknya kurang memuaskan, karena
terdapat beberapa kelemahan di dalamnya. Menurut Abdul Kadir Muhammad kelemahan
itu antara lain :[2]
1.
Dalam kalimat tersebut
dikatakan….satu orang atau lebih mengikatkan dirinya….Hal ini menunjukkan suatu
perbuatan yang sepihak saja, bukan dari dua pihak ( timbal balik ).
2.
Pada kata ‘perbuatan’
seolah-olah mencakup semua perbuatan, termasuk tindakan melaksanakan tugas
tanpa kuasa tindakan melanggar Hukum (onrecht
matigedaad ) yang tidak mengandung suatu konsensus. Jadi seharusnya ditulis
kata persetujuan yang berarti kata perbuatan Hukum yang mengandung adanya
konsensus.
3.
Pengertian itu terlalu luas
karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam
Hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4.
Dalam perumusan Pasal
tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak
yang mengikatkan diri tidak jelas maksudnya.
Seiring dengan tidak adanya istilah yang disepakati arti/
maksud dan tujuannya, menimbulkan perbedaan persepsi yang saling memperdebatkan
dan mempertahankan pendirian masing-masing.
Untuk menghindari kesalahpahaman, maka menurut Wirjono
Prodjodokoro bahwa “ Perlu adanya kata sepakat diantara para ahli hukum tentang
arti dari kata-kata yang dipergunakan”.[3]
Dari pendapat tersebut di atas, menurut hemat penulis
ditujukan pada suatu pengertian yang telah mempunyai ketentuan yuridis dalam
arti bahwa pengertian tentang hak itu telah diatur secara tersendiri dalam
bentuk Undang-Undang. Namun bila hal tersebut belum mempunyai pengertian secara
yuridis, maka perbedaan itu masih tetap akan ada.
Dari uraian yang memberi batasan tentang pengertian
perjanjian seperti dikemukakan di atas, maka jelaslah bahwa kesepakatan yang
dikaitkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama merupakan unsur yang sifatnya
mendasar atau esensial dari suatu perjanjian. Suatu persetujuan bermakna
sebagai suatu perjanjian. Suatu persetujuan bermakna sebagai sebuah perjanjian
bilamana ada kesepakatan yang telah tertentu atau telah ditentukan oleh kedua
belah pihak, yakni mereka yang menetapkan dalam bentuk perjanjian.
Adanya
kesepakatan atau persetujuan yang diambil itu berarti telah terjalin suatu
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, atau sesuatu perjanjian telah
disepakati akan melahirkan suatu perikatan yang di mana perjanjian tersebut
merupakan salah satu perikatan disamping Undang-Undang.
Adapun
asas-asas perjanjian yang dimaksud KUHPerdata adalah sebagai berikut : [4]
a. Asas Personalitas;
b. Asas Konsensualitas;
c. Asas Pacta
Sunt Servanda;
d. Asas Kebebasan Berkontrak;
e. Asas Itikad Baik
Membahas
mengenai asas personalitas, Subekti
menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya
tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Namun terdapat
pengecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan “janji untuk pihak ketiga”.
Dalam janji untuk pihak ketiga tersebut, seseorang membuat suatu perjanjian,
dalam perjanjian mana ia memperjanjikan hak-hak bagi seorang lain. Dalam
hubungan ini, pihak yang meminta ditetapkannya suatu hak bagi pihak ketiga
disebut stipulator dan pihak yang
akan memenuhinya disebut promissory. [5]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata mengenai pihak ketiga dinyatakan bahwa,
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak dapat merugikan pihak ketiga,
kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 tentang perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga. Subekti menjelaskan mengenai asas konsensualitas bahwa, saat lahirnya perjanjian
adalah ketika terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai objek
perjanjian.[6]
Sementara menurut ajaran yang paling tua, bahwa sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjanjian dianggap telah terjadi, apabila pernyataan yang
dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Kemudian menurut ajaran
yang lazim dianut sekarang, bahwa perjanjian harus dianggap lahir pada saat
pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban terhadap penerimaan tersebut.
Menurut
Munir Fuady mengenai asas-asas perjanjian dalam KUHPerdata yakni : [7]
a. Hukum perjanjian bersifat mengatur, artinya
hukum tersebut berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain.
b. Asas kebebasan berkontrak, artinya para pihak
bebas membuat perjanjian apa saja dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut
sepanjang memenuhi syarat-syarat sah sebuah perjanjian,
c. Asas pacta
sun servanda, artinya suatu perjanjian yang dibuat secara sah memiliki
ikatan hukum yang penuh bagi para pihak.
d. Asas
konsensual, artinya
suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapainya kesepakatan para
pihak. Dengan adanya pernyataan sepakat, maka kontrak tersebut pada prinsipnya
sudah memiliki akibat hukum.
e. Asas obligatoir,
artinya suatu perjanjian yang sah dan mengikat, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban
di antara para pihak.
Hukum
perjanjian yang bersifat mengatur merupakan sistem terbuka yang dimiliki Hukum
Perjanjian. Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian-perjanjian yang mereka adakan.[8]
Sistem terbuka yang juga mengandung suatu asas kebebasan berkontrak, dalam
KUHPerdata disimpulkan melalui interprestasi terhadap Pasal 1338 ayat (1)
menentukan bahwa “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian
memberikan keleluasaan timbulnya perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan
suatu campuran antara perjanjian khusus yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya, perjanjian sewa beli. [9]
2. Syarat
Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat
sah suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata yakni sebagai
berikut: [10]
a. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdata,yaitu:
1) Kesepakatan kehendak;
2) Wewenang berbuat;
3) Perihal tertentu;
4) Kausa yang legal.
b. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal
1339 KUHPerdata, yaitu:
1) Itikad baik;
2) Sesuai dengan kebiasaan;
3) Sesuai dengan kepatutan;
4) Sesuai dengan kepentingan umum.
c. Syarat sah yang khusus, yaitu:
1) Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian
tertentu;
2) Syarat akta notaris untuk
perjanjian-perjanjian tertentu;
3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan
notaris) untuk perjanjian-perjanjian tertentu;
4) Syarat izin dari yang berwenang.
Adapun
Subekti menyatakan bahwa menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yakni
sebagai berikut : [11]
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
c. Mengenai suatu hal tertentu,
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat
tersebut di atas dibagi dalam dua kategori yakni syarat subjektif yang
merupakan hal-hal mengenai subjek yang melakukan perjanjian dan syarat objektif
yang merupakan persyaratan bagi objek perjanjian.
Syarat-syarat
tersebut di atas apabila tidak terpenuhi, maka memiliki konsekuensi hukum
masing-masing sesuai dengan syarat mana yang dilanggar. Adapun konsekuensi
hukum tersebut antara lain: [12]
a. Batal demi hukum adalah konsekuensi terhadap
kontrak ataupun perjanjian bila syarat objektif tidak terpenuhi, yakni :
1) Perihal tertentu, yang dimaksudkan perihal
tertentu adalah objek dari suatu kontrak ataupun perjanjian. Perjanjian yang
tidak memiliki objek, maka perjanjian tersebut demi hukum dianggap tidak pernah
ada.
2) Kausa yang legal artinya suatu perjanjian
harus memiliki kausa, dan kausa tersebut tidak palsu, tidak melanggar
prinsip-prinsip kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Contoh perjanjian dengan kausa illegal adalah perjanjian antara
klien dengan seorang pengacara yang berpraktik tanpa izin, maka setiap perjanjian
yang dibuatnya sebagai seorang pengacara adalah batal demi hukum.
b. Dapat dibatalkan adalah konsekuensi hukum
terhadap perjanjian ataupun perjanjian yang tidak terpenuhi syarat
subjektifnya, yakni :
1) Kesepakatan, dimaksudkan bahwa kedua subjek
yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai segala hal yang ada
dalam perjanjian secara sadar, tanpa paksaan dari pihak manapun, tanpa unsur
penipuan dan unsur kekhilafan. Apabila salah satu pihak merasa tertipu sehingga
menandatangani perjanjian, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat
meminta pembatalan pada pengadilan negeri setempat untuk membatalkan perjanjian
yang telah ditandatanganinya di mana penipuan harus terbukti telah terjadi.
2) Kecakapan dalam berbuat dimaksudkan bahwa
kedua subjek yang melakukan perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat mentalnya, adalah cakap
menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian (1) orang-orang yang belum dewasa,
(2) mereka yang berada dalam pengampuan, (3) orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Perjanjian tidak dapat dilaksanakan adalah
perjanjian yang masih memungkinkan dikonversi menjadi perjanjian yang sah.
Contohnya adalah perjanjian yang disyaratkan oleh undang-undang dibuat secara
tertulis, tetapi dibuat secara lisan, kemudian perjanjian tersebut ditulis oleh
para pihak.
d. Sanksi administratif dikenakan terhadap salah
satu pihak atau kedua belah pihak apabila tidak terpenuhi suatu syarat.
Misalnya perjanjian kerja yang dibuat harus dilaporkan ke kantor Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi setempat.
3.
Peralihan Hak dan Hapusnya Perikatan
Hak milik pada dasarnya dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui suatu peristiwa hukum. Kata
beralih mempunyai arti bahwa hak milik dapat beralih kepada pihak lain karena terjadi
peristiwa hukum yakni meninggalnya pemegang hak maka hak milik beralih dari
pemegang hak ke ahli warisnya, sehingga ahli waris wajib melakukan pendaftaran
peralihan hak karena pewarisan. Adapun kata dialihkan mempunyai arti bahwa hak
milik dapat dialihkan karena adanya perbuatan hukum, misalnya jual-beli,
tukar-menukar, hibah, inbreng, kepada pihak lain.
Dalam praktiknya peralihan
hak dapat dilakukan oleh 2 orang atau lebih. Dalam hal peralihan hak dilakukan
oleh 2 orang, maka salah satu pihak akan kehilangan haknya, dan pihak lainnya
akan menerima hak. Dalam hal perikatan peralihan hak dilakukan oleh lebih dari
2 orang, maka selain terjadinya peralihan hak, maka terjadi pula hapusnya
perikatan antara para pihak yang melakukan perikatan.
Hapusnya suatu persetujuan
harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya suatu perikatan, karena suatu
perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih
tetap ada. Misalnya pada persetujuan jual beli, dengan dibayarnya harga maka
perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum,
karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Hanya jika semua
perikatan-perikatan daripada persetujuan telah hapus seluruhnya, maka
persetujuannyapun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya persetujuan sebagai akibat
daripada hapusnya perikatan-perikatannya[13].
Sebaliknya hapusnya suatu
persetujuan dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya, yaitu
apabila suatu persetujuan hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat
daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi yaitu Pasal 1266 KUH Perdata, maka
semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan tersebut
tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan.
Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa persetujuan berakhir atau hapus untuk waktu
selanjutnya, jadi kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan
pernyataan mengakhiri persetujuan, persetujuan sewa menyewa dapat diakhiri,
akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa atas sewa yang dinikmati tidak
menjadi hapus karenanya[14].
Jadi suatu persetujuan dapat
hapus atau berakhir, karena :[15]
a. Ditentukan
dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan akan berlaku untuk
waktu tertentu.
b. Undang-undang
menentukan batas berlakunya suatu persetujuan.
c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan
bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus.
Misalnya salah satu pihak meninggal, maka persetujuan menjadi hapus:
-
persetujuan kerja (Pasal 1603
j JUH Perdata)
-
persetujuan pemberian kuasa
(Pasal 1813 KUH Perdata)
d. Suatu
pernyataan penghentian perjanjian atau opzegging. Pernyataan ini dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak ataupun oleh salah satu pihak. Pernyataan ini
hanya ada dalam perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya
perjanjian kerja.
e. Perjanjian
atau persetujuan hapus karena adanya keputusan hakim.
f. Apabila
tujuan perjanjian telah tercapai, yaitu semua kembali pada keadaan semula
seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.
Hal-hal yang mengakibatkan
hapusnya perikatan dalam KUH Perdata disebutkan dalam Pasal 1381, adalah :
1. Karena
pembayaran;
2. Karena
penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Karena
pembaharuan utang;
4. Karena
perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena
percampuran utang;
6. Karena
pembebasan utang;
7. Karena
musnahnya barang yang terutang;
8. Karena
kebatalan dan pembatalan;
9. Karena
berlakunya syarat batal; dan
10. Karena
lewat waktu (daluwarsa).
Berikut ini penulis
paparkan terkait mengenai bentuk hapusnya perikatan yang relevan dengan
penulisan tesis ini, yakni hapusnya perikatan karena pembaharuan utang.
Pembaharuan
hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat persetujuan
dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Dalam
Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah satu cara
penghapusan perjanjian. Berdasarkan Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam
jalan untuk melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:
1. Apabila
seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna orang menghutangkan
kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya disebut
novasi objelctif.
2. Apabila
seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berutang lama,
yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan dengan novasi
subjektif
3. Apabila
sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditor baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditor yang lama, terhadap siapa is berutang dibebaskan dari
perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.
Dalam
Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang hanya dapat
terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan dalam Pasal
1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang dipersangkakan
kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas ternyata dalam
perbuatannya.
4.
Pengertian Perjanjian Kredit
Pada dasarnya, perkataan
kredit kampir dikenal oleh seluruh masyarakat. Kata kredit sudah bukan lagi
menjadi kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian kehidupan
masyarakat, kata kredit sering dipersamakan dengan pengertian pinjaman atau
utang. Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu : “Credere”
yang berarti “kepercayaan”. Seorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh
suatu kepercayaan.[16]
Haymind P. Kent mengemukakan definisi kredit sebagai berikut :[17]
Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau
kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang
akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.
Lebih Lanjut, Pengertian kredit dikemukakan pula oleh J.A. Levy, yakni:[18]
Menyerahkan
secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima
kredit. Penerima kredit berhak untuk mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang
hari.
Selain batas pengertian kredit yang dikemukakan oleh para
ahli tersebut di atas, pengertian kredit secara yuridis pun ditemukan dalam Pasal
1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut sebagai UU Perbankan) yang
merumuskan pengertian kata kredit sebagai berikut :
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain. Yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sejalan dengan pengertian di atas Munir Fuady mengemukakan bahwa kata “kredit” berarti kepercayaan,
karena itu memberi mestilah disertai unsur saling percaya, yakni rasa saling
percaya antara kreditor sebagai pemberi kredit dan debitor sebagai penerima kredit. Akan tetapi dalam dunia
bisnis, kepercayaan itu hanya semu belaka karena kenyatannya masih banyak
pemberian kredit yang didasarkan kepercayaan itu menjadi macet.[19]
Menurut
Sutan Remy Sjahdeini dikemukakan bahwa
yang dimaksud perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang antara bank dan
nasabah debitor yang mewajibkan pihak nasabah (debitor) untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga dan pemberian hasil
keuntungan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam praktek sehari-hari
persetujuan pemberian kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik
dibawah tangan maupun di hadapan notaris
dan sebagai pengamanan bahwa pihak peminjam akan memenuhi kewajibannya, maka
debitor akan menyerahkan jaminan/agunan.[20]
Sedangkan O.P Simorangkir mengemukakan bahwa :[21]
“Kredit adalah pemberian
prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang
akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah
prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai
alat kredit. Kredit berfungsi koperatis antara si pemberi kredit dan sipenerima
kredit atau antara kreditor dan debitor. Mereka menarik keuntungan dan saling
menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen
kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi di masa mendatang”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menanggapi ketentuan pasal tersebut, Abdulkadir Muhammad mengemukakan unsur-unsur
esensial dalam konsep kredit yakni sebagai berikut :[22]
a. Kepercayaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap
kredit bank, yaitu kredit yang diberikan itu dapat dikembalikan sesuai dengan
persyaratan yang disepakati bersama;
b. Agunan. Setiap kredit yang akan diberikan selalu disertai
barang yang berfungsi sebagai jaminan bahwa kredit yang diterima oleh calon
debitor pasti akan dilunasi dan ini akan meningkatkan kepercayaan pihak bank;
c. Jangka waktu. Pengembalian kredit didasarkan pada jangka
waktu tertentu yang layak, jangka waktu berakhir jika kredit dilunasi;
d. Risiko. Jangka waktu pengembalian kredit mengandung
risiko terhalang atau terlambat, atau macetnya pelunasan kredit;
e. Bunga bank. Setiap pemberian kredit selalu disertai
imbalan berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitor dan ini merupakan
keuntungan yang diterima oleh bank;
f. Kesepakatan. Semua persyaratan pemberian kredit dan
prosedur pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah hasil kesepakatan dan
dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut kontrak kredit.
Berkaitan dengan hal di atas berarti bahwa kredit hanya
dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit di
kemudian hari. Jika dijabarkan lebih lanjut lagi bahwa pemenuhan kewajiban
mengembalikan pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi
suatu perikatan. Dari beberapa pengertian di atas, ter-dapat
beberapa unsur yang terkandung dalam kredit tersebut antara lain:
a. Kepercayaan,
yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan baik dalam
bentuk uang, barang, jasa, akan benar-benar diterimanya setelah jangka waktu
yang tertentu di masa akan datang.
b. Penyerahan
secara sukarela, yaitu pemberi kredit menyerahkan sejumlah uang kepada penerima
kredit untuk digunakan sebaik-baiknya agar memperoleh keuntungan.
c. Kemampuan,
yaitu kemampuan ekonomi debitor untuk menepati janjinya, di mana kemampuan itu
bernilai ekonomis.
d. Perikatan,
yaitu kepastian mengenai hubungan hukum yang terjadi antara debitor dan kreditor
tentang hak dan kewajiban.
e. Bunga,
yaitu jumlah yang dibayarkan diperhitungkan dari kredit (modal) yang diberikan
guna keuntungan pihak kreditor agar usahanya (bank) tetap berjalan.
f. Jaminan,
yaitu sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor
akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan.
Menurut M. Djumhana bahwa
berdasarkan jaminannya, kredit dapat dibedakan antara lain :[23]
a.
Kredit
tanpa jaminan,
Di
Indonesia pemberian kredit tanpa jaminan diberikan karena nasabah tersebut
telah teruji, kejujuran dan ketaatannya dalam kegiatan usaha yang dijalankan
atau usaha itu sendiri sebagai jaminannya
b.
Kredit
dengan jaminan
Kredit
ini diberikan kepada kreditor yang didasarkan pada adanya keyakinan bank atas
kemampuan debitor berupa fisik (collateral),
di mana jaminan dimaksudkan untuk memudahkan bank apabila debitor wanprestasi maka bank segera dapat menerima pelunasan utangnya melalui cara
pelelangan atas jaminan tersebut.
Kredit dapat
digolongkan menurut jangka waktunya, tujuannya, dan jenis kredit yang
disalurkan oleh lembaga perbankan, yakni:
[24]
1.
Kredit menurut jangka waktunya
Kredit menurut jangka waktunya merupakan penggolongan kredit
yang didasarkan pada lamanya waktu kredit yang dibayar atau diangsur oleh debitor.
Kredit menurut jangka waktunya dibagi tiga macam, sebagaimana disajikan
berikut ini:
a. Kredit jangka
pendek (short term loan)
Kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu
maksimum satu tahun. Termasuk dalam kredit jangka pendek adalah kredit untuk
tanaman musiman yang berjangka waktu lebih dari satu tahun.
b. Kredit jangka
menengah (medium term loan)
Kredit jangka menengah, yakni kredit yang berjangka waktu
satu sampai tiga tahun, kecuali untuk kredit tanaman musiman sebagaimana
disebutkan di atas.
c. Kredit jangka
panjang (long term loan)
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu
lebih dari tiga tahun. Kredit yang berjangka panjang ini pada umumnya adalah
kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk
melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan) dan pendirian proyek-proyek baru.
2. Kredit menurut
tujuannya
Kredit menurut tujuannya merupakan penggolongan kredit yang
didasarkan pada maksud dan tujuan penggunaan kredit tersebut. Kredit
berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana disajikan berikut
ini:[25]
a. Kredit konsumtif
Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan
untuk memperlancar jalannya konsumtif.
b. Kredit produktif
Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan
untuk memperlancar jalannya proses produksi.
c. Kredit perdagangan
Kredit perdagangan, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan
untuk membeli barang-barang untuk dijual lagi. Kredit perdagangan terdiri atas:
1)
kredit perdagangan dalam negeri;
2)
kredit perdagangan luar negeri.
Pasal 8 ayat (1),
ayat (2) Undang-Undang Perbankan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang
berupa pemberian kredit, bank antara lain:
a. wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta
kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;
b. memiliki dan
menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas
permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitor, dan memiliki serta
menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya.[26]
5.
Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Kredit
Dalam melakukan
pemberian kredit, pihak bank tidak serta merta menerima permohonan kredit yang
dijaukan oleh kreditor. Bayak hal yang harus diperhatikan dalam pemberian
kredit. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak dari kemungkinan
wanprestasi di kemudian hari. Olrh karena itu, dalam pelaksanaan pemberian
kredit dikenal adanya prinsip-prinsip pemberian kredit yang berpedoman pada
Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana yang diamanatkan oleh Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/Dir.31 Maret 1995 tentang Pedoman
Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (selanjutnya disebut PPKPB). PPKPB
tersebut mengatur mengenai bagaimana cara memberikan kredit (prosedur),
bagaimana memonitori kredit dan bagaimana menyelematkan kredit bermasalah. Suatu
kebijakan perkreditan bank minimal memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :[27]
a. Portofolio kredit yang sehat;
b. Organisasi dan manajemen perkreditan;
c. Kebijakan persetujuan kredit;
d. Administrasi dan dokumentasi kredit;
e. Monitoring dan pengawasan kredit; dan
f. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari dampak dari
risiko kredit yang mungkin terjadi. Dengan memperhatikan prinsip dan pedoman
kebijakan dalam perkreditan bank di atas, tiap-tiap bank mempunyai kebebasan
untuk mekanisme penyaluran kredit. Mekanisme pemberian kredit adalah
tahap-tahap yang harus dilalui sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan.
Mekanisme pemberian kredit tersebut meliputi persiapan kredit, analisis atau
penilaian kredit, keputusan kredit, pelaksanaan dan administrasi kredit,
supervisi kredit dan pembinaan debitor.[28]
Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan pada siapa
saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara
pemberi utang (kreditor) di satu pihak dan penerima utang (debitor) di lain
pihak. Setelah perjanjian disepakati dan debitor telah menyerahkan sejumlah
jaminan bagi kredit yang diperolehnya, maka lahirlah kewajiban pada diri kreditor,
yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitor, dengan hak
untuk menerima kembali uang itu dari debitor pada waktunya, disertai dengan
bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian kredit tersebut
disetujui oleh para pihak.[29]
Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan
prinsip kehati-hatian (prudent principle).Hal
tersebut tidak terkecuali dalam usaha penyaluran kredit. Bank Indonesia
menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh bank sebagai upaya
untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan berkenaan dengan prinsip
kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain penentuan Batas
Minimum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan batas
minimum perolehan bank.[30]
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang
disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitor tepat pada
waktunya. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian
kredit, bank akan mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP) yang berlaku di internal bank untuk
melakukan penilaian yang seksama atas kemampuan debitor yang lazim menggunakan
ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character),
Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan prospek usaha (Condition
of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa usaha proyek yang
dibiayainya layak (feasible) dan bankable.[31]
1. Character (watak)
Tujuan bank
melakukan penilaian terhadap watak debitor adalah untuk mengetahui apakah
pemohon kredit mempunyai kemauan untuk membayar utangnya apabila permohonannya
dikabulkan oleh bank. Dalam hal ini yang diperhatikan oleh bank adalah sikap
atau perilaku debitor, baik yang berhubungan dengan bank maupun terhadap pihak
lainnya.
Perhatian bank
lebih diutamakan pada masalah kejujuran dan itikad baik debitor dalam
penggunaan kredit dan pengembalian kredit. Untuk itu dari data-data yang
disampaikan para nasabah dapat diketahui oleh pihak bank apakah nasabah dapat melunasi
utangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Kemudian, pribadi
nasabah menjadi pusat perhatian, apakah orang yang bersangkutan pemboros, pemabuk,
suka mengelak dari tanggung jawab, dan sebagainya. Semua perilaku nasabah dimasa
lalu dijadikan sebagai bahan masukan bagi bank dalam mempertimbangkan kemampuan
nasabah untuk melunasi kredit.
2.
Capacity (kemampuan)
Usaha yang
dibiayai dengan kredit pada prinsipnya merupakan usaha yang dikelola dengan
baik oleh nasabah. Hal ini dimaksudkan agar usaha tersebut dapat berkembang
dengan baik sehingga terhindar dari kemacetan dalam pengembalian kredit kepada
bank.
Sebelum bank
mengabulkan pemohonan kreditnya, bank menilai kemampuan debitor untuk mengelola
usahanya yang akan dibiayai dengan kredit. Bank perlu mengetahui, apakah
nasabah mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang usaha tersebut, apakah
nasabah cukup berpengalaman mengelola usaha itu, dan sebagainya. Hal yang
diperhatikan bank dalam hal ini terutama pimpinan perusahaan sebagai nasabah,
selain mempunyai kemampuan memimpin perusahaan, juga menguasai bidang usaha
serta kesungguhan mengelola usaha dengan baik dan menguntungkan.
3. Capital (modal)
Dalam praktik
selama ini jarang sekali bank memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana
yang diperlukan oleh nasabah. Nasabah wajib menyediakan dana sendiri, sedangkan
kekurangannya itu yang dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya
hanya menyediakan tambahan modal. Pada umumnya komposisi penyediaan modal usaha
nasabah, sebagian besar modalnya dibiayai dengan kredit bank dan sebagian kecil
dibiayai nasabah. Untuk dapat menilai sejauh mana kemampuan nasabah dapat
menyediakan modal sendiri dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan
(neraca dan daftar laba/rugi).
4.
Condition of Economy (prospek
usaha/kondisi ekonomi)
Hal yang
dibicarakan di sini menyangkut objek yang akan dibiayai dengan kredit dan
mempunyai masa depan yang baik. Agar dapat dikatakan demikian, objek kredit
tersebut perlu diteliti manfaatnya bagi orang banyak, keuntungan yang diperoleh
debitor dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
5.
Collateral (jaminan)
Untuk keamanan
pelunasan kredit, nasabah diharuskan menyediakan harta kekayaan untuk
dijadikan jaminan. Jaminan kredit adalah jaminan yang bersifat materiil maupun
inmateriil untuk mendukung keyakinan kreditor atas kemampuan dan kesanggupan debitor
untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Jaminan kredit dibagi
menjadi dua macam, yaitu jaminan materiil dan jaminan inmateriil. Jaminan
materiil adalah benda tertentu baik yang berwujud maupun tidak berwujud milik debitor
atau milik pihak ketiga secara sah yang telah dijaminkan kepada kreditor untuk
memenuhi kewajiban debitor. Jaminan inmateriil adalah jaminan perseorangan (personal guarantee) dan/atau jaminan
korporasi (corporate guarantee) dari
debitor dan/atau pihak ketiga untuk menanggung dipenuhinya kewajiban debitor.[32]
Pasal 11 UU
Perbankan menentukan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara
lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam
atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau
kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari
modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan bagi pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank.
Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005
dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.
Menurut M. Bahsan
bahwa dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang BMPK tersebut dapat
disimpulkan antara lain sebagai berikut:[33]
1)
Pemberian kredit mengandung risiko kegagalan atau kemacetan
dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko
yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang
disimpan di bank.
2)
Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan
daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit
sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitor atau kelompok debitor
tertentu.
Terhadap
pelanggaran ketentuan BMPK dikenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI
No. 8/13/PBI/2006. Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan menentukan bahwa dalam pemberian kredit, bank
wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
memercayakan dananya kepada bank. Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berikut.
1) Bank wajib
memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin
terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.
2) Mengingat bank terutama
bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar
kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan
masyarakat padanya.
Dengan
memerhatikan ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan
Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit harus
mendapat pengawasan berdasarkan sistem pengawasan intern yang berlaku pada
masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan
masyarakat kepadanya.
6.
Kredit Bermasalah
Bank
dalam setiap perjanjian kredit selaku kreditor percaya bahwa setiap debitor
memiliki kemampuan memenuhi kewajibannya untuk melunasi segala utang yang telah
disepakati antara bank dengan debitor. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak seperti
yang diharapkan sebelumnya. Berbagai macam faktor di luar perhitungan atau
jangkauan perkiraan dapat terjadi, sekalipun telah dilakukan analisis mendalam
dan penuh kehati-hatian melalui verifikasi dan analisis kredit yang baik.
Timbulnya
risiko yang tidak diharapkan ini menandakan bahwa kredit bermasalah tersebut
adalah bagian dari kehidupan bisnis perbankan. Kredit bermasalah seringkali
dipersamakan dengan kredit macet, padahal keduanya memiliki pengertian yang
berbeda. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah
dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai
potensi menjadi macet. Sedangkan kredit macet adalah kredit yang angsuran pokok
dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 (dua) masa angsuran.
Penyelesaian kredit macet kemudian
diserahkan kepada Pengadilan/KP2LN (Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara)
atau diajukan tuntutan kepada Perusahaan Asuransi Kredit.
Dengan demikian, kredit macet merupakan kredit
bermasalah, tetapi kredit bermasalah belum tentu atau tidak seluruhnya
merupakan kredit macet. Dalam pada itu,
penyebab timbulnya kredit bermasalah sendiri menurut Soedrajad Djiwandono dapat
disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor Internal antara lain disebabkan oleh kebijakan
perkreditan yang kurang menunjang, kelemahan sistem dan prosedur penilaian
kredit, pemberian dan pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur, itikad
yang kurang baik dari pemilik, pengurus, dan pegawai bank. Sedangkan faktor
eksternal antara lain disebabkan oleh lingkungan usaha debitor, musibah atau
kegagalan usaha, persaingan antar bank yang tidak sehat. [34]
Sehubungan dengan upaya penyelesaian kredit yang
bermasalah sebagaimana dimaksudkan terdahulu, Retnowulan Sutantio mengemukakan bahwa baik kredit bermasalah
maupun kredit macet tersebut diukur dari kolektibilitas kredit yang
bersangkutan artinya kapan suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet dapat
dilihat dari kolektibilitasnya.[35]
Kedudukan bank sebagai lembaga keuangan yang bergerak di
bidang kredit berpengaruh besar terhadap lancar tidaknya arus lalu lintas
pembayaran yang diperlukan dalam peningkatan pembangunan bidang ekonomi
Indonesia. Sebagai lembaga keuangan yang melepaskan uangnya kepada masyarakat
tentu bank berharap untuk dapat memperoleh keuntungan berupa bunga yang
dibebankan pada saat perjanjian kredit terjadi. Harapan itu baru akan terwujud
dan menjadi kenyataan, apabila bank bertindak hati-hati, terutama dalam
menentukan siapa yang patut diberi kredit dan berapa besar kredit yang
diberikan, setelah mengetahui jaminannya.
Bank senantiasa menjaga bahwa perjanjian yang dibuat
dengan debitor itu tidak cacat menurut hukum serta memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian. Apabila bank sejak dini sudah bertindak hati-hati, dapatlah
diharapkan bahwa kredit yang diberikan oleh pihak kreditor kepada debitor
terjamin pengembaliannya dalam jangka waktu yang ditentukan. Bila hal ini
terjadi maka tujuan memperoleh profit akan tercapai sehingga segala sesuatu
terlaksana sesuai yang diharapkan.
Tipologi kredit bermasalah sebagaimana
tergambar dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/147/Kep/Dir tanggal 12
November 1998, tentang Kualitas Kredit,
yang menunjukkan unsur-unsur kredit bermasalah sebagai berikut :[36]
1. Kurang Lancar
a.
terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari;
b.
terdapat
ceruka/overdraft yang berulang kali
khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
c.hubungan debitor dengan
bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat dipercaya;
d.
dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan
yang lemah;
e.
pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit;
f.
perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan
keuangan.
2. Diragukan
a.
terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 180
hari sampai dengan 270 hari;
b.
terjadi overdraft
yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan
kekurangan arus kas;
c.
hubungan
debitor dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat
dipercaya;
d.
dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan
yang lemah;
e.
pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok
dalam perjanjian pokok;
3. Macet
a.
terdapat
tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 270
hari;
b.
dokumentasi kredit kurang lengkap dan/atau pengikatan
agunan tidak ada;
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 26/4/BPP tanggal 29 Mei 1993 secara operasional penanganan penyelamatan
kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu :
1.
Penjadwalan kembali (rescheduling)
yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka
waktunya;
2.
Persyaratan kembali
(reconditioning) yaitu perubahan sebagian atau seluruh
syarat-syarat kredit yang tidk terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan
maksimum saldo kredit;
3.
penataan kembali (restructuring)
yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank dan/atau
konvensi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru
dan/.atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan yang disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan
kembali.
B.
Pengertian Jual Beli
Pasal
1457 KUHP menyatakan jual beli adalah suatu persetujuan yang mana apabila
dikaitkan dengan Pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana salah satu (satu orang) atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Dengan mana pihak yang satu mengaitkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Menurut
M.Yahya Harahap terhadap perjanjian atau verbintenis mengandung
pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang/lebih
yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pihak lain menunaikan prestasi. [37]
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian
konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak
tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.
Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena
walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain
yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual
beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika
para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut,
yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak
tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam
perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada
dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[38]
Menurut Salim H.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu
Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.[39]
Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual
beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[40]
Unsur yang terkandung dalam definisi tersebut adalah :
a.
Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
c.
Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang
barang dan harga
d.
Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual
dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan
harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga
dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah
lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat
konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang menentukan
“jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah
mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini
belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.[41]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang
namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual
beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan.
Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian
jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya,
klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan
ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW)
atau biasa disebut unsur naturalia.[42]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan
pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus
diikuti proses penyerahan (levering)
benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :[43]
1.
Benda Bergerak
penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan
nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.
Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh
lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.
Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan
dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
Dalam hubungan perjanjian jual beli juga dikenal istilah
produsen selaku penjual dan konsumen dan selaku pembeli. Ahmadi Miru dalam
bukunya mengemukakan bahwa dalam hal terjadi pengalihan barang dari dari satu
pihak ke pihak lain, maka secara garis besar pihak-pihka yang terlibat dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:[44]
Pada kelompok pertama, kelompok penyedia barang atau
penyelenggara jasa, pada umumnya pihak ini berlaku sebagai :
1.
Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau
jasa (investor);
2.
Penghasil atau pembuat barang/jasa (Produsen);
3.
Penyalur barang atau jasa;
Sedang dalam kelompok kedua terdapat:
1.
Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan
tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain; atau mendapatkan bawang
atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan
2.
Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri. Keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan
nonkomersial).
C.
Akta
Otentik
Akta adalah surat yang
diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadidasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk
dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus dibubuhkan tanda tangan dari
pihak yang membuatnya, seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 KUHPerdata
bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai
dimaksud di atas (Pasal 1868 KUH Perdata) atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh
para pihak. Ini berarti bahwa surat tanpa tanda tangan seperti karcis parkir
tidak termasuk akta.
Beberapa catatan mengenai definisi
berdasarkan pengetian BW di atas yakni:[45]
(a) Perbedaan
antara tulisan dan akta terletak pada tanda tangan yang tertera dibawah
tulisan.
(b) Pasal
1874 ayat (1) menyebut bahwa yang termasuk sebagai tulisandi bawahtangan adalah
akta dibawah tangan, surat, register atau daftar, surat rumah tangga, dan
tulisan lain yang dibuat tanpa perantara pejabat umum;
(c) Pasal
1867 selanjutnya menentukan bahwa akta autentik dan tulisan di bawah tangan
dianggap sebagai bukti tertulis;
(d) Ada
baiknya kalau ditinjau lebih mendalam akta autentik. Menurut definisinya,
syarat pertama yang harus terpenuhi ialah bahwa akta autentik harus dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Kata “bentuk” disini adalah
terjemahan kata Belanda “vorm” dan
tidak diartikan bentuk bulat. Lonjong, panjang, dan sebagainya. Tetapi
pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang, khususnya PJN.
Akta yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan Undang Undang Jabatan Notaris, hal ini sesuai dengan
pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu:[46]
a. Di
dalam bentukyang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku);
b. Dibuat
oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
Dikemukakan pula oleh Irawan
Surodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal
suatu akta otentik, yaitu:[47]
a. Di
dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang;
b. Dibuat
oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
c. Akta
yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan
ditempat di mana akta itu dibuat.
Keharusan adanya tanda
tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain
atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain
adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi
dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Yang
dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si
penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja
dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan
sendiri atas kehendaknya sendiri. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu
akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan
dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang
yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa
isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu
dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini
lebih dikenal dengan waarmerking.[48]
Menurut bentuknya akta dapat
dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik
dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yaitu akta yang di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan
kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang
mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.[49]
Dari beberapa pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pembuatan suatu akta otentik, yakni:
1)
Bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang.
Dalam pengertian ini, Ketika kepada para Notaris masih
diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang
dibuat sudah sesuai dengan undang-undang. Pengaturan pertama kali profesi
Notaris di Indonesia didasarkan pada Instruktie
voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Staatsblad No. 11, tanggal 7 Maret 1822,
kemudian dengan Reglement op Het Notaris
Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842),
kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.
Meskipun peraturan Notaris di Indonesia diatur dalam
bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris
lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara
kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur
mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat
pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh oleh Undang-Undang, dalam hal ini
ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.
Kata ”bentuk” disini adalah terjemahan bahasa Belanda
vorm dan tidak diartikan bentuk bulat, lonjong, panjang dan sebagainya, tapi
pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang.
2)
Bahwa akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenoverstaan)
seorang Pejabat Umum.
Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN ditentukan bahwa akta Notaris merupakan
akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2)
UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat Daftar Akta dan mencatat semua akta
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris
disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris
yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar
tindakan dan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk
akta Notaris. Akta yang dibuat dihadapan (ten
overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak (Akta Partij),
yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau
yang diceritakan dihadapan Notaris. Para Pihak berkeinginan agar uraian atau
keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.
Pembuatan akta Notaris baik Akta Relaas maupun Akta Pihak
(Akta Partij), yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris,
yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para
pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak
akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak,
Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika
saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun
demikian hal itu tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan
saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan pebuatan para pihak bukan
perbuatan atau tindakan Notaris.
Pengertian seperti di atas merupakan salah satu karakter
yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta
tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta
tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, maka jika suatu akta Notaris
dipermasalahkan, maka kedudukan Notaris tetap bukan sebagai pihak atau yang
turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana
atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan
Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan
kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik
atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang
dibuat oleh atau dihadapan Notaris, maka hal ini terjadi karena
kekurang-pahaman aparat hukum mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di
Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris
atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.
3)
Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Terkait mengena hal ini, telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, bahwa tidak semua pejabat berwenang untuk membuat akta notaris.
Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya
dengan kewenangan pembuatan akta otentik, yakni sebagai berikut:
1.
Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta
yang harus dibuatnya.
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan
kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya
disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa
wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum,
sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah
menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa
Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut. Sebagai
contoh, apakah Notaris dapat memberikan Legal Opini secara tertulis atas
permintaan para pihak. Jika dilihat dari wewenang tersebut dalam Pasal 15 UUJN,
pembuatan Legal Opinion ini tidak termasuk wewenang Notaris. Pemberian Legal
Opinion merupakan pendapat pribadi Notaris yang mempunyai kapasitas keilmuan
dibidang hukum dan kenotarisan, bukan dalam kedudukannya menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris. Sehingga jika dari Legal Opinion tersebut menimbulkan
permasalahan hukum, harus dilihat dan diselesaikan tidak berdasarkan kepada
tatacara yang dilakukan oleh Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang
dibentuk oleh Majelis Pengawas, tapi diserahkan kepada prosedur biasa, yaitu
jika menimbulkan kerugian dapat digugat secara perdata. Hal ini harus dibedakan
dengan kewajiban Notaris memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan akta
yang akan dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bersangkutan.
2.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang,
tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan menurut Pasal
52 UUJN bahwa notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri
sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam
garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang
jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan
akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang
untuk menjual kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu,
sudah tentu Notaris akan melihat (asli surat) dan meminta fotocopi atas
identitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta
oleh Notaris dalam pembuatan akta Notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang
yang namanya tersebut dalam KTP dan sertipikat bukan orang yang sama, artinya pemilik
sertipikat bukan pemilik orang yang sesuai dengan KTP. Hal ini bisa terjadi (di
Indonesia), karena banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam
sertipikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas
lain. Dalam kejadian seperti ini bagi notaris tidak menimbulkan permasalahan
apapun, tapi dari segi yang lain Notaris oleh pihak yang berwajib
(kepolisian/penyidik) dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu
tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri penghadap dan bukti
kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, maka hal
ini bukan tanggungjawab Notaris, tanggung jawabnya diserahkan kepada para pihak
yang menghadap.
3.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana
akta itu dibuat.
Notaris
harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta tersebut dibuat. Pasal 18
ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten
atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan
dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasl 19 ayat (1) UUJN). Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat
kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa
Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak hanya berada di tempat
kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan di seluruh propinsi.
D. Surat Kuasa
1. Pengertian Surat Kuasa
Semakin
maju dan berkembangnya kehidupan masyarakat, kecenderungan untuk melakukan
sesuatu diluar pekerjaan rutinnya, semakin kurang mendapat perhatian. Apabila
menyangkut masalah yang memang benar-benar bukan bidang keahliannya. Oleh
karena itu tidak jarang untuk mengurus dan menyelesaikan hal-hal tersebut
dengan menggunakan jasa pihak lain, yaitu dengan memberi kuasa kepada pihak
yang akan mewakilinya menyelesaikan urusan tersebut atas nama yang memberi
kuasa. Hal tersebut memungkinkan, karena hukum telah memberikan peluang untuk
melakukannya.
Kuasa
adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada bahwa yang
diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan
pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima
kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi
kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa dapat berwenang bertindak
dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang memberikan kuasa itu. Pasal
1792 KUHPerdata memberikan batasan (definisi) Mengenai “lastgeving”, dimana dikatakan, bahwa “lastgeving” adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan (macth) kepada
orang lain yang menerimanya untuk atas namanya melakukan suatu urusan”.
Perkataan-perkataan “suatu urusan” (een
zaak) pada umumnya diartikan sebagai suatu perbuatan hukum, sedang
perkataan-perkataan “atas namanya” mengandung arti bahwa penerima kuasa
bertindak mewakili pemberi kuasa.[50]
Pemberian
kuasa tidak terikat terhadap formalitas tertentu (baik cara pemberian kuasa
maupun bentuknya), sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1793 KUH
Perdata, yaitu :
Kuasa
dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di
bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu
kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh si kuasa.
Pemberian
kuasa tersebut merupakan pemberian kuasa yang bersifat umum, sehingga tidak
memerlukan formalitas khusus, lain halnya dengan pemberian kuasa yang bersifat
khusus seperti yang di atur pada Pasal 1795 KUH Perdata bahwa pemberian kuasa
dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu
atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi
kuasa. Yang mana perbuatan ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Terdapat
beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai
berikut:[51]
1.
Penerima
Kuasa langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat
mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan
tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta
kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa,
yaitu:
a)
Memberi
hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
b)
Tindakan
kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan
yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi
kuasa kepadanya;
c) Dalam
ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa
berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan
penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian
segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya
sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak
materiil).
2. Pemberi Kuasa bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau
persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale overeenkomst) yaitu
perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:
a) Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari
pemberi dan penerima kuasa;
b) Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa,
berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
c) Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan
pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal
1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di
bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di
atas, berdasarkan Pasal 1793 a (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi
secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh
pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam
pemberian kuasa khusus.
3. Berkarakter
Garansi Kontrak
Ukuran
untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi
kuasa), hanya terbatas:
a)
Sepanjang
kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
b)
Apabila
kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya
sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan
itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang
digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat
diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya
sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di
luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum: atas
tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi
bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.
Ada
beberapa macam pemberian kuasa yang umum dikenal oleh masyarakat karena
seringkali dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Macam pemberian kuasa itu
dapat ditinjau dari berbagai sebab yaitu:[52]
1. Dari
sifat perjanjiannya, maka pemberian kuasa dapat merupakan pemberian kuasa umum
maupun pemberian kuasa khusus. Yang dimaksud dengan pemberian kuasa umum adalah
pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan
pengurusan. Misalnya untuk memindah tangankan benda atau untuk sesuatu
perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik harus
dilakukan dengan kata-kata yang tegas. Demikian bunyi Pasal 1795 sampai 1796
KUH- Perdata. Sedangkan pemberian kuasa khusus adalah pemberian kuasa mengenai
hanya satu kepentingan tertentu atau lebih. Untuk melakukan pemberian kuasa
khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan, yaitu misalnya untuk
menjual rumah.
2. Dari
cara pemberian kuasa itu dapat diberikan, yaitu dengan memakai:
a. Akta
Resmi
Pemberian kuasa yang
diberikan dengan akta resmi adalah dinyatakan dalam Pasal 1171 ayat (2)
KUHPerdata yaitu pemberian kuasa untuk memasang hipotik harus dinyatakan
dilakukan dengan akta resmi yaitu dengan akta otentik di depan pejabat umum.
Dalam hal pemberian kuasa dengan akta resmi ini juga disebut dalam Pasal 1683
ayat (1) yaitu mengenai penerimaan suatu hibah harus dilakukan dengan akta
otentik.
b. Surat
Di Bawah Tangan
Pemberian kuasa yang
diberikan dengan cara surat dibawah tangan adalah merupakan suatu persetujuan
Si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa agar ia (penerima kuasa) melakukan
suatu perbuatan hukum, sedang perintah tersebut diterima dengan baik oleh pihak
ketiga yang terkait atas perbuatan hukum tersebut, dan persetujuan itu
diletakkan didalam suatu surat atas segel dibuatnya sendiri di luar pejabat resmi.
c. Surat
Biasa
Pemberian kuasa yang
diberikan dengan cara surat biasa adalah surat tidak atas segel yang juga
memuat persetujuan yang dinyatakan si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa
untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
d. Secara
Lisan
Pemberian kuasa yang
diberikan secara lisan ini telah disebutkan dalam Pasal 1793 KUH-Perdata bahwa
persetujuan pemberian kuasa dapat dilakukan secara apapun juga, jadi juga
secara lisan.
e. Secara
Diam-Diam
Pemberian kuasa yang diberikan secara
diam-diam menurut banyak para ahli hukum juga diperbolehkan. Cara pemberian
kuasa dengan diam-diam inipun telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 1793 ayat
(2) KUHPerdata. Cara pemberian kuasa yang dilakukan dengan surat dibawah
tangan, surat biasa, secara lisan, dan secara diam-diam dalam hal perbuatan
hukum pengalihan hak atas tanah tidak dapat diberlakukan.
3. Dari
cara bertindaknya sipenerima kuasa:
b. Sipenerima
kuasa bertindak atas namanya sendiri. Hal itu dapat kita lihat pada seorang
komisioner yang bertindak seolah-olah perbuatan hukum yang dibuatnya itu adalah
untuk kepentingannya sendiri.
c. Sipenerima
kuasa bertindak atas nama orang lain. Contohnya makelar, dimana perbuatannya
dilakukan untuk kepentingannya orang lain dan disaat melakukan tugasnya itu
terhadap pihak ketiga ia menyebutkan bahwa ia bertindak atas perintah tuan X
misalnya.
2. Jenis-Jenis Surat Kuasa
Dalam
literatur ilmu hukum, dikenal terdapat beberapa jenis surat kuasa, yakni
sebagai berikut:[53]
1. Kuasa
Umum
Kuasa
umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum
bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi
kuasa, yaitu:
1)
Melakukan
tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
2)
Pengurusan
itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa
atas harta kekayaannya;
3) Dengan
demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum
adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau
manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau
dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan
untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR,
untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima
Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT
Bandung No. 149/1972 (2-8-1972), bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan
atas nama Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak
dapat mengajukan gugatan di Pengadilan karena surat kuasa itu hanya bersifat
umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat
Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.
2. Kuasa
Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk
bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak
principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai
surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan
terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan
kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan
pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan
yang digariskan Pasal 1795 KUH. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan
rumah. Kuasa itu merupakan kuasa yang bersifat khusus, terbatas hanya untuk
menjual rumah.. Akan tetapi, meskipun bersifat khusus kuasa itu tidak dapat
dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi
kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di
pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah.
3. Kuasa
Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa
istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal
ini dirangkai, diper1ukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa
tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Kuasa istimewa memenuhi
sifat sebagai berikut:
1) Bersifat
limitatif
Kebolehan memberi
kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada
prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh
pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, perbuatan tersebut tidak dapat
dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan
ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat
diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan
berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas:
a) Untuk
memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan
hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut
b) Untuk
membuat perdamaian dengan pihak ketiga
c) Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir
eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan
Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.
Menurut
pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti, hanya pihak yang
beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa. Akan tetapi,
dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara sakit sehingga
tidak dapat hadir:
a) Hakim
dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,
b) Untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal,
dan principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan
kuasa.
2) Harus
berbentuk Akta otentik
Menurut Pasal 123
HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R.
Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris). Pendapat
ini diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian
kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam
akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang
hendak dilakukan kuasa.
4. Kuasa
Perantara
Kuasa
perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi berdasarkan
Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan
(commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker, tetapi
lazim disebut “perwakilan dagang”.55
Dalam
hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction)
kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan
agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak
bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.
3. Berakhirnya Surat Kuasa
Berakhirnya
pemberian kuasa diatur didalam Pasal 1813 sampai dengan Pasal 1819 KUH-Perdata.
Pasal 1813 KUHPerdata menentukan 4 cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu:[54]
5. Dengan
ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa.
6. Dengan
pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa.
7. Dengan
meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa.
8. Dengan
perkawinannya si perempuan yang memberi kuasa atau yang menerima kuasa.
Berakhirnya
pemberian kuasa karena ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa, mengandung
prinsip bahwa kuasa dapat ditarik setiap saat bila dikehendaki. Bahkan Pasal
1814 KUH-Perdata memberikan kemungkinan penarikan atau pencabutan kembali kuasa
secara paksa, asalkan ada alasan untuk itu. Bila ternyata penerima kuasa tidak
mau mengembalikan secara sukarela maka dapat dipaksa dengan peran hakim. Dalam
hal meninggalnya pemberi kuasa dan si penerima kuasa tidak tahu akan hal itu,
dan terus melakukan tugasnya selaku kuasa, maka perbuatannya itu tetap sah (Pasal
1818 ayat (1) KUH-Perdata). Tetapi jika yang meninggal dunia adalah si penerima
kuasa mulak maka, ahli waris dan si penerima kuasa harus memberitahukannya
kepada pemberi kuasa dan sedapat mungkin melakukan tindakan-tindakan seperlunya
untuk kepentingan pemberi kuasa.
Selain
cara-cara berakhirnya pemberian kuasa seperti dalam Pasal 1813 KUHPerdata, ternyata
diluar cara tersebut masih terdapat cara lain, yaitu jika pemberian kuasa
diadakan dengan jangka waktu tertentu, maka pemberian kuasa berakhir dengan lewatnya
tenggang waktu tersebut. Cara lain yang mungkin terjadi adalah jika terpenuhinya
syarat untuk itu.
[1] Subekti. 2001 .Hukum
Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Hal. 1.
[2] Abdul Kadir Muhammad.
1982. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. Hal. 77.
[3] Wirjono Prodjodikoro.
1981. Asas-Asas Hukum Perjanjian.
Bandung: Sumur. Hal. 9.
[4] Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal.14.
[5] Subekti op. Cit. Hal. 29.
[6] Ibid, hlm.26.
[7] Munir Fuady,Op. Cit. Hal.29.
[8] Subekti,op.cit.,Hal.13.
[9] Ibid,Hal.14.
[10] Munir Fuady. op.cit.,Hal.33.
[11] Subekti. Op. Cit. Hal. 17.
[12] Munir Fuady,2001. Hukum Kontrak (Dalam Sudut Pandang Hukum Bisnis).
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung. hlm.34.
[13] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung
1987, hlm. 68.
[14] Ibid
[15] Ibid, hlm. 69.
[16] Muhammad Djumhana.
2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. Hal. 365.
[17] Thomas Suyatno. 1997.
Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum. Hal. 11.
[18] Badrulzaman. Marjan
Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung:
Alumni. Hal. 21.
[19] Munir Fuady. 1996. Hukum Bisnis
Dalam Teori dan Praktek Buku Ketiga. Bandung: PT. Citra. Aditya Bakti. Hal. 2.
[20] Sutan Remy Sjahdeini.
1993. Kebebasan Berkontrak dan perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit KPN di Indonesia. Bandung: Institut KPN Subur. Hal. 158.
[21] Budi Untung, H. 2000.
Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta : Andi Offset. Hal. 1.
[22] Abdulkadir Muhammad.
2000. Hukum Acara Perdata Indonesia (edisi Ketujuh). Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. Hal. 58
[23]Muhammad Djumhana.
2003. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 381.
[24] H.Salim H.S.
Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada. Hal.86.
[26] M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada. Hal. 79.
[27] Rachmat Firdaus dan
Maya Ariyani. 2004. Manajemen
Perkreditan Bank Umum, Bandung: Alfabeta. Hal. 41.
[28] Ibid., Hal. 91.
[29] Gunawan Widjaja &
Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001. Hal.1.
[30] Op. cit. Rachmat
Firdaus. Hal. 41.
[31] Agus Santoso. 2010.
Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi. Jakarta. Hal.1.
[32] Mariam Darus
Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Alumni Bandung. Hal.22.
[33] M. Bahsan. 2007.
Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. Hal. 82.
[34] Mudrajad Kuncoro.
2000. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. BPFE Universitas Gajah Mada:
Yogyakarta. Hal. 470.
[35] Retnowulan Sutantio.
1996. Beberapa Masalah Tentang Hak Tanggungan Dalam Praktek Hukum (Eksekusi Hak
Tanggungan). Jakarta : Departemen Keuangan. Hal. 245.
[36] Mudrajad Kuncoro, Op.
Cit. Hal. 460.
[37] M.Yahya Harahap, Sesi – Sesi Perjanjian, Alumni :
Bandung, 1986. hal.6.
[38] Ahmadi Miru. 2008.
Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hal. 126-127.
[39] Salim H.S.,Hukum
Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003,
hlm. 49
[40] Ibid.
[41] Prof.R.Subekti. 1995.
Aneka Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bakti. hlm. 2.
[42] Op. CIt. Ahmadi Miru.
Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak. Hal. 127.
[43] Op. Cit. Salim. H.S.
Hal. 9.
[44] Ahmadi Miru. 2013.
Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. Hal. 33.
[45] Tan Thong Kie. 2007.
Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Hal. 441.
[46] Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 56.
[47] Ibid.,
[48] Sudikno Mertokusumo.
1993. Hukum Acara Perdata
Indonesia-Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty. Hal.121.
[49] Ibid. Hal. 121.
[51] Yahya Harahap. M. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika. Hal. 2-3.
[53] Yahya Harahap. Op. Cit.
Hukum Acara Perdata. Hal. 6-7.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^
Negara: Indonesia
BalasHapusWhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Hindi ko lubos na pasasalamatan si Dr EKPEN TEMPLE sa pagtulong sa akin na ibalik ang Kaligayahan at kapayapaan ng pag-iisip sa aking pag-aasawa matapos ang maraming mga isyu na halos humantong sa diborsyo, salamat sa Diyos na ang ibig kong sabihin ay si Dr EKPEN TEMPLE sa tamang oras. Ngayon masasabi ko sa iyo na ang Dr EKPEN TEMPLE ay ang solusyon sa problemang iyon sa iyong kasal at relasyon. Makipag-ugnay sa kanya sa (ekpentemple@gmail.com)
BalasHapus