Apabila
berbicara mengenai peranan korban akan mempengaruhi penilaian dan penentuan hak
dan kewajiban pihak korban dalam suatu tindak pidana dan penyelesaiannya. Pihak
korban mempunyai peranan dan tanggung jawab yang fungsional dalam pembuatan
dirinya sebagai korban.
Situasi
dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban.Pihak
korban sendiri dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela
menjadi korban. Situasi atau kondisi yang ada pada dirinyalah yang merangsang,
mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan karena kerapkali antara pihak
pelaku dan pihak korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan
kondisi tersebut antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik, dan cacat mental
pihak korban, yaitu mereka yang berusia tua atau kanak-kanak, yang cacat tubuh
atau jiwa, serta pria atau wanita dan lain-lainnya yang dapat dimanfaatkan
karena ketidak berdayaan yang ada pada mereka.Juga berkaitan dengan situasi
sosial pihak korban, seperti mereka yang tidak berpendidikan, bodoh, golongan
lemah, politis, ekonomis hukum mereka yang terasing dan yang berkedudukan lemah
serta tidak mempunyai pelindung dalam masyarakat, mereka yang dianggap sebagai
musuh, pengacau dan sampah masyarakat, yang perlu dihapuskan atau dihilangkan
karena tidak bermanfaat.
Dengan
kata lain tanpa korban tidak akan terjadi suatu kejahatan. Jadi jelaslah bahwa
pihak korban adalah sebagai partisipan utama yang memainkan peranan penting.
Bahkan setelah kejahatan dilaksanakan dalam masalah penyelesaian konflik dan
penentuan hukuman para pelaku dapat juga
terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh
pihak korban apabila dirasakan ada tindak lanjut yang tidak adil dan
merugikan pihak korban. Yang menjadi pertimbangan-pertimbangan penentuan hak
dan kewajiban pihak korban adalah taraf keterlibatan dan tanggung jawab
fungsional pihak korban dalam tindak pidana itu. Demi keadilan dan kepastian
hukum, perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan atau
undang-undang harus dipertanggungjawabkan secara yuridis ilmiah. Hak dan
kewajiban korban (Arif Gosita,2004:52) adalah sebagai berikut:
1.
Hak
korban
Hak-hak
anak yang menjadi korban kejahatan adalah:
a.
Mendapat
bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian, naungan dan sebagainya).
b.
Mendapat
bantuan penyelesaian permasalahan (melapor, nasihat hukum, pembela).
c.
Mendapat
kembali hak miliknya .
d.
Mendapat
pembinaan dan rehabilitasi .
e.
Menolak
menjadi saksi, bila hal ini membahayakan dirinya.
f.
Memperoleh
perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor atau menjadi saksi .
g.
Memperoleh
ganti rugi kerugian (restitusi, kompensasi) dari pihak pelaku atau pihak lain
yang bersangkutan demi keadilan dan kesejahtraan yang bersangkutan.
h.
Menolak
ganti kerugian demi kepentingan korban.
i.
Menggunakan
upaya hukum (Rechmiddelen).
2.
Kewajiban
Korban
Kewajiban
korban adalah :
a.
Tidak
sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri) .
b.
Berpartisipasi
dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi.
c.
Mencegah
kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri maupun orang lain.
d.
Ikut
serta membina pembuat korban.
e.
Bersedia
dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
f.
Tidak
menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku.
g.
Memberi
kesempatan kepada pelaku untuk memberi restitusi kepada pihak korban sesuai
dengan kemampuannya
h.
Menjadi
saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanannya.
A. Peranan
Korban Terhadap Terjadinya Kejahatan
Masalah korban
sebenarnya bukanlah hal yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang
diperhatikan, bahkan nyaris diabaikan. Apabila kita mengamati masalah kejahatan
menurut proporsi yang sama sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita
harus memperhitungkan peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban
mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada
kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau
tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dalam terjadinya suatu
kejahatan dan dalam hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat pada
penderitaan si korban.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam
terjadinya kejahatan. Pengetahuan mengenai korban merupakan salah satu
persyaratan utama dalam usaha mengerti lebih baik mengenai hubungan antara
penjahat dengan korbannya. Contohnya pada kejahatan yang berhubungan rasa
dendam, korban mempunyai peranan dalam timbulnya kejahatan.
Perhatian
terhadap korban diwujudkan dalam symposium internasional mengenai vitimologi di
Yerrusalem pada Tahun 1973. Simposium yang kedua diadakan di Boston pada tahun
1976. Viktimilogi dianggap penting karena dapat membantu menambah kacerahan
dalam menghadapi penjahat dan korbannya. Viktimologi boleh dikatakan bahwa
suatu pengetahuan yang tugasnya adalah meneliti si korban secara biologis,
sosiologis dan sosial dengan cara meneliti seorang petindak/pelaku.
Jika ingin
mengerti masalahnya menurut proporsi yang sebenarnya, maka harus diperhatikan
semua hubungan yang ada yaitu antara para peserta dan hal-hal lain dalam
timbulnya suatu tindak pidana. Para penjahat dan para korban adalah hasil
interaksi satu sama lain. Jadi jelaslah bahwa jika ingin memahami para pembuat
korban/penjahat dengan baik menurut proporsi yang sebenarnya harus juga
memahami sikorban begitu pula sebaliknya. Antara korban dan pembuat korban
masing-masing tanggung jawab secara fungsional terhadap terjadinya suatu
kejahatan yang dihasilkan bersama baik aktif atau secara pasif.
Kerap kali
dapat juga dikatakan bahwa masyarakat sendiri yang salah dalam hal ini, karena
bersikap memberikan kesempatan atau membiarkan negara menyalahgunakan kekuasaan
karena keadaan keadaan tertentu misalnya karena ketakutan, keganasan, malas.
Hampir setiap negara dan masyarakat, sedikit banyak adalah kriminogen dan dapat
menimbulkan korban bahkan masyarakat baru dan negara-negara yang baru berdiri
yang didirikan unuk menggantikan yang lama dapat menjadi krominogen.
Pembiaran
dalam arti membiarkan berlangsungnya perbuatan yang menyimpang yang dilakukan
oleh penguasa atau golongan masyarakat atau orang perorangan untuk kepentingan
sendiri atau orang lain, menimbulkan korban pada anggota masyarakat tertentu
dalam masyarakat tersebut.
Pembiaran,
tersebut antara lain oleh Arif Gosita (1993;71) disebabkan karena :
1. Masyarakat tidak mampu bereaksi
terhadap penyimpangan tersebut.
2. Korban tersebut mungkin takut akan
kemungkinan adanya akibat yang bertentangan.
3. Sikap tidak peduli/pembiaran ini
adalah suatu iklim sosial yang ditimbulkan oleh tidak adanya reaksi yang luas
terhadap tingkah laku yang tidak sesuai atau menyimpang.
Dari sudut
pandang si penyimpang hal ini sering dapat diterima dan ditafsirkan sebagai
suatu toleransi yang disengaja, atau paling sedikit sebagai suatu pemberian
karena kelalaian. Dalam keadaan ini si korban sedikit banyak ikut serta
menciptakan iklim yang memudahkan dirinya menjadi korban. Jadi korban tidak
dapat menyalahkan sepenuhnya kepada orang lain dalam hal ia menjadi korban.
Yang mejadi masalah adalah pembiaran itu dibiarkan berlarut-larut sehingga
kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau lalu melembaga, hingga
kemudian mempengaruhi secara negatif perkembangan mental anggota masyarakat.
Partisipasi
atau ikut sertanya si korban dalam suatu penyimpangan dengan tujuan untuk
mencapai sesuatu dei kepentingan diri sendiri atau orang lain dapat menyebabkan
diri sendiri menjadi korban misalnya :
a.
Ingin
mendapatkan barang yang baik dengan harga yang sangat rendah, ternyata barang
yang dibeli adalah barang palsu. Jadi korban penipuan.
b.
Ikut
dalam penyelundupan karena ingin cepat berhasil mendapatkan uang, kemudian
tidak berhasil dan mejadi obyek pemerasan petugas. Jadi obyek pemerasan.
c.
Mengadakan
perkenalan dengan orang yang tidak jelas, akibatnya menjadi korban pemerkosaan.
d.
Menjadi
korban karena memberikan kesan tertentu sebagai orang berada, berkedudukan,
berkuasa, tidak mampu fisik, tidak tahu jalan bodoh dan lain-lain sebagainya
sehingga mendorong orang menjadikan sebagai korban.
Dengan
demikian jelaslah bahwa korban juga mempunyai peranan penting dalam timbulnya
suatu kejahatan. Korban ikut berrtanggung jawab atas terjadinya seorang pembuat
korban. Korban mempunyai tanggung jawab fungsional.
Pihak lain
yang berpengaruh terhadap lahirnya si korban dan pembuat korban, yang perlu
juga mendapat perhatian adalah pihak yang menyaksikan timbulnya atau labhirnya
si korban dan si pembuat korban adalah saksi, penonton/penggemar. Saksi yang
mengetahui terjadinya, atau melihat berlangsungnya perbuatan pembuat korban,
sikap dan tindakannya dapat mencegah terjadinya korban. Sikap yang mengetahui
terjadinya atau melihat berlangsungnya perbuatan pembuat korban, sikap dan
tindakannya dapat mencegah terjadinya korban. Sikap dan tindakannya yanga
berdiam diri sebetulnya sudah dapat dituntut berdasarkan lembaga ommisi delik
pada peristiwa tersebut.
Perlu
diketahui bahwa ada kalanya dalam hal tertentu yang membuat saksi tidak
bertindak mencegah terjadinya korban, antara lain saksi takut adanya akibat
yang akan merugikan dirinya atau pelaporannya tidak mendapat perhatian bahkan
ada kemungkinan ia dapat disangka dirinya terlibat dan mendapat kesulitan dalam
proses peradilan. Yang menjadi masalah disini adalah menciptakan suasana agar
para saksi mau berpartisipasi dalam kegiatan penanggulangan terjadinya korban
dengan adanya jaminan terhadap keamanan dirinya baik pihak pembuat korban
maupun dari penguasa.
Dengan
demikian jelaslah bahwa demi kerukunan, perdamaian dan ketertiban dalam
masyarakat dan dunia internasional, perhatian terhadap peran serta dalam
terjadinya korban adalah sangat penting. Usaha-usaha pencegahan pembuat korban
harus ditingkatkan dengan mengadakan antara lain menciptakan suasana iklim yang
dapat mencegah dan mengurangi orang membuat korban dan menjadi korban dengan
menyebarluaskan informasi tentang cara mencegah terjadi korban, menunjukkan
daerah-daerah korban/ daerah kejahatan (victim area), mengembangkan rasa
kewaspadaan dan bertanggung jawab, pengadaa peraturan perundang-undangan yang
mengatur dan menjamin hak dan kewajiba korban.
Dalam sistem
pengawasan dan pengamanan yang lemah ditambah lagi karena korban memancing
terjadinya kejahatan dengan cara memamerkan kekayaan dan tidak menjaga harta
miliknya dengan baik dapat mendorong atau memancing pelaku untuk melakukan
kejahatan seperti penodongan, penjabretan dan pencurian. Pada kasus pencurin
kendaraan bermotor dikarenakan sikorban tidak mengunci atau memarkir ditempat
yang kurang/tidak aman. Keadaan ini juga sesuai dengan analisis pihak
kepolisian tentang timbulnya kejahatan yakni Kejahatan = Niat + Kesempatan.
Peran korban
dalam mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat berupa partisipasi aktif maupun
pasif, dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung
atau tidak langsung. Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat
kejahatan tersebut berlangsung.
Situasi dan
kondisi pihak korban dapat mendorong pelaku untuk melakukan suatu kejahatan
terhadap korban . pihak korban sendiri tidak rela untuk menjadi korban, tetapi
situasi dan kondisi yang ada pada dirinyalah yang mendorong orang lain untuk
melakukan kejahatan. Situasi tersebut dapat berupa :
1.
Kelemahan
fisik dan mental pihak korban yakni mereka yang berusia tua atau kanak-kanak,
cacat tubuh atau jiwa atau wanita dapat dimanfaatkan karena tidak berdaya.
2.
Situasi
sosial pihak korban seperti mereka yang tidak berpendidikan, bodoh, golongan
lemah ekonomi, politik hukum serta tidak mempunyai perlindungan dalam
masyarakat.
Korban yang
dioketahui lemah fisik, mental dan sosial sering dimanfaatkan sesukanya oleh
pelaku yang merasa dirinya lebih kuat dan lebih berkuasa dari pihak korban. Hal
ini kadang-kadang terjadi pada kejahatan-kejahatan domestic violence. Seorang anak atau istri kerap kali menjadi
korban kejahatan dari ayah atau suami karena anak atau istri sangat bergantung
secara sosial pada ayah/suami. Akibatnya mereka menerima saja kejahatan yang
berlangsung.
Berkaitan
dengan hal tersebut maka Stephen Schafer (Ade Darma Weda, 1996 : 90)
mengemukakan beberapa tipe korban kejahatan dan megkaji tingkat kesalahan
korban yang pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban yakni :
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan
apapun tetapi tetap menjadi korban. Dalam hal ini kesalahan ada pada pihak
pelaku.
2. Korban secara sadar atau tidak sadar
melakukan suatu perbuatan yang mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan,
sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3. Mereka secara biologis, potensial
menjadi korban seperti anak, orang tua, cacat fisik/mental, orang miskin,
golongan minoritas dan sebagainya. Korban dalam hal ini tidak dapat
dipersalahkan. Pelaku dan masyarakatlah yang bertanggung jawab.
4. Korban karena dia sendiri adalah
pelaku. Hal ini dapat terjadi pada kejahatan tanpa korban seperti seperti
pelacuran, zinah, judi,narkoba dan sebagainya. Yang bersalah dalam hal ini
adalah si korban.
kok ndk bisa di copy ya..?
BalasHapus