Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 02 September 2019

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA TERKAIT PIDANA TAMBAHAN DALAM RUU KUH-PIDANA


      PENGANTAR

Pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri Belanda, namun demikian negeri Belanda masih mempertahankan Code Penal tersebut sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, Undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942 baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut, maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Saat ini, KUHP telah berlaku kurang lebih selama 72 Tahun. Banyak undang-undang khusus yang telah dibuat dalam rangka mengcover kekurangan yang ada pada KUHP, bahkan sampai upaya untuk melakukan pembharuan KUHP.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.
Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
a.    Alasan yang bersifat politik, yakni bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b.    alasan yang bersifat sosiologis bahwa pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
c.    Alasan yang bersifat praktis, yakni bahwa  teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka telah dilakukan perumusan rancangan Pembharuan KUHP yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2017. Namun demikian, dalam beberapa diskusi baik pada media televise maupun diskusi ilmiah, masih terdapat perdebatan diantara kalangan praktisi dan akademisi. Dalam penullisan makalah ini penulis mencoba mengkaji ketentuan Pasal 91, 92, 93, 94, 95, 96 dan 97 dalam rancangan KUHP yang juga masih menuai perdebatan. 

Analisis Pasal 91 dan Pasal 92 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Pencabutan Kekuasaan Terhadap Anak)

Dalam ketentuan rancangan KUHP edisi tahun 2017, disebutkan bahwa:
Kekuasaan bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anaknya sendiri maupun atas anak orang lain, dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena:
a.    dengan sengaja melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya; atau
b.    melakukan tindak pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.
Selanjutnya, Rancangan Pasal 92 menentukan bahwa:
(1)  Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
a.    dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup, pencabutan hak untuk selamanya;
b.    Dalam hal dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan; atau
c.    Dalam hal pidana denda, pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2)  Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
Pengaturan pasal ini, bukan merupakan hal yang baru. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa:
Pasal 26
(3)  Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a.    mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b.    menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c.    mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(4)  Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 30 menentukan bahwa:
Pasal 30
(1)    Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2)    Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Perihal kekuasaan orang tua terhadap anak, juga dibahas lebih mendalam dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:
(1)  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2)  Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam hal demikian, kekuasaan tersebut dapat dicabut apabila ada alasan-alasan yang kuat akan pencabutan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang Perkawinan:
(1)     Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a.    Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b.    Ia berkelakuan buruk sekali
(2)     Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Dengan adanya pengaturan pada Undang-Undang Perlindungan anak dan Undang-Undang Perkawinan, penulis berpendapat bahwa, pengaturan tentang pencabutan kekuasaan orang tua pada Pasal 91, tidak perlu lagi dimasukkan ke dalan KUHP. Hal ini dikarenakan, pengaturan yang sudah ada tersebut merupakan pengaturan yang bersifat khusus, sehingga meskipun KUHP yang baru nantinya mengatur hal yang sama, maka yang akan digunakan tetap pengaturan yang diatur pada undang-undag Khusus. Hal ini didasarkan pada asas hukum pidana yakni Lex specialis derogat legi generali yang merupakan asas penafsiran hukum bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Pasal 93, 94, dan 95 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Perampasan Barang) 
Pasal 93 R-KUHP mennjelaskan bahwa:
(1)  Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
(2)  Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
(3)  Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Pasal 94 R-KUHP menjelaskan bahwa:
Barang yang dapat dirampas adalah:
a.    barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
b.    barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana;
c.    barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
d.    barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
e.    keuntungan ekonomi apapun yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana; dan/atau
f.     barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
Pasal 95 R-KUHP menjelaskan bahwa:
(1)  Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita, dengan menentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim.
(2)  Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.
(3)  Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pidana tambahan menurut Andi Hamzah, adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif namun menjatuhkan pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok, sehingga harus bersama-sama. Pidana tambahan menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam Bahasa Belanda disebut dengan bijkomende staf adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. [1]
Jenis pidana tambahan yaitu terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim (lihat ketentuan dalam Pasal 10 KUHP).[2]
1)    Pidana pencabutan hak-hak tertentu menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, adalah pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperkenankan. Hak-hak yang dicabut  adalah sebagai berikut:
(1)     hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
(2)     hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
(3)     hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
(4)     hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
(5)     hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
(6)     hak menjalankan mata pencaharian.
2)    Pidana perampasan barang tertentu menurut Adami chazawi, adalah hukuman perampasan barang sebagai satu  pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak untuk semua barang. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana, yaitu:
a)    barang-barang yang berasal /diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam bahasa Belanda adalah corpora delictie yang berarti barang bukti, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat cek palsu dari kejahatan pemalsuan surat;
b)    barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, menurut Marjane Termorshuizen dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia, dalam bahasa Belanda adalah instrumental delictie, yang berarti sarana dengan mana kejahatan dilakukan, sarana terlaksananya kejahatan, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian dan sebagainya.
Melihat ketentuan tersebut di atas, maka penulis penyimpulkan bahwa pengaturan pada Pasal 93, 94, dan 95 R-KUHP memuat pengaturan yang lebih luas dan eksplisit dalam menentukan kategori barang yang dapat dirampas. Hal ini merupakan pengaturan yang baik, mengingat bahwa perkembangan tentang kejahatan semakin canggih, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan barang yang berkaitan dengan perwujudan suatu kejahatan. Oleh karena itu, penulis memandang pengaturan tersebut penting untuk tetap dipertahankan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan.

Pasal 96 dan 97 R-KUHP (Pidana Tambahan berupa Pengumuman Putusan Hakim)

Pasal 96 R-KUHP menegaskan bahwa:
(1)  Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
(2)  Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pasal 97 R-KUHP menegaskan bahwa:
(1)  Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(2)  Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pidana pengumuman putusan hakim menurut Adamichazawi, adalah pidana pengumuman putusan hakim yang hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang, misalnya terdapat dalam Pasal 128 ayat (3) KUHP, Pasal 206 ayat (2) KUHP, Pasal 361 KUHP, Pasal 377 ayat (1) KUHP, Pasal 395 ayat (1) KUHP, Pasal 405 ayat (2) KUHP. Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum bila tidak putusan batal demi hukum, sesuai ketentuan Pasal 195 KUHAP yang tertulis bahwa “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suat putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif mencegah bagi orang-orang tertentu, agar tidak melakukan tindakan pidana yang sering dilakukan orang. Maksud lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur, sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan.
Pengaturan tentang pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim pada Rancangan KUHP merupakan suatu hal yang positif. Hal ini dikarenakan pada pengaturan tersebut, diatur mengenai tata cara pengumuman dan penanggung biaya pengumuman putusan yang disertai dengan pidana pengganti. Hal ini sangat mendukung proses penjeraan bagi seorang terpidana, serta  pengumuman putusan hakim juga seyogyanya dapat mencegah terjadinya tidak pidana di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi , Adami, 2002 Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), P.T.Radja Grafindo Persada Makassar.  
Dirjosisworo Soedjono, 1994, Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana Tarsito, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984. Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Sholehuddin, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya). P.T.Radja Grafindo Persada,Jakarta





[1] A. Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 121.
[2] Chazawi , Adami, 2002 Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), P.T.Radja Grafindo Persada Makassar. Hal. 44-45.

FUNGSI BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016


PENGANTAR
 Dunia teknologi informasi atau IT sebagai dampak nyata kemajuan di era globalisasi sudah menjadi bagian penting bagi kehidupan Manusia. Perkembangan IT salah satunya membawa pengaruh terhadap semakin konvergennya sistem komputasi (Computing System) dan sistem komunikasi yang mendorong terintegrasi kedua sistem tersebut pada jarak jauh (Telecommuni-cation System). Sistem komunikasi jarak jauh ini menciptakan globalisasi teknologi informasi yang pada gilirannya menghadirkan masyarakat informasi. Di Indonesia, integrasi fungsi teknologi, media dan komunikasi dikenal dengan istilah telematika (Ramli, 2009:1).Kemajuan teknologi IT membuat hukum pidana dan hukum acara pidana dituntut untuk menyesuaikan kondisi sosiologis di masyarakat mengingat dilema yang dihadapi adalah terkadang suatu aturan jauh tertinggal dan tidak lagi relevan menyikapi pola kejahatan di era modern seperti saat ini.
Penggunaan teknologi seperti CCTV, Teleconfrence, Surat Elektonik lazim digunakan sebagai alat bukti dipersidangan untuk mengungkap kebenaran suatu perkara pidana. Proses pembuktian memegang peranan penting dalam hukum acara pidana karena menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa terhadap suatu kejahatan yang didakwakan. Guna mewujudkan kebenaran materiil (materieele waarheid),maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai “kebenaran hakiki” sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa (Mulyadi, 2014:74).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai undang-undang induk hukum pidana formil sejatinya belum mengakui keabsahan alat bukti berbentuk elektronik atau bukti elektronik sebagai alat bukti. Adapun alat bukti secara terbatas oleh KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pengakuan keabsahan bukti elektronik diatur dan tersebar di undang-undang di luar KUHAP seperti di Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 26AUndang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Penjelasan Pasal 26A tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM)(Wiyono, 2009:183).
Maksud”alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (elec-tronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Kemudian diatur pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang merubah Undang-Undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Merespon kemajuan IT dan dampaknya terhadap penegakan hukum pidana maka dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meletigimasi Alat Bukti Elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana. Hal ini termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi: “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan Pasal 5 ayat (2) berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum Acara yang berlaku di In-donesia. Perluasan dari alat bukti disini adalah adanya alat bukti yang berdiri sendiri sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian suatu perkara pidana selain yang diatur dalam KUHAP.
Eksistensi alat bukti elektronik yang selama ini berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia mulai digoyang keberadaannya, yakni dengan adanya permohonan uji materiil Setya Novanto ke Mahkamah Konstitusi (MK). Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A Undang-Undangtentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
 Dalam putusannya MK kemudian memberikan putusan yang pada pokoknya adalah bahwa Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Putusan MK ini berimplikasi terhadap keabsahan bukti elektronik dalam hukum acara pidana mengingat bukti elektronik hanya diakui sebagai alat bukti bilamana ada pemintaan dari penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dirumuskan beberapa isu hukum yang menjadi permasalahan yang dibahas dalamtulisanini, yaituurgensi alat bukti elektronikuntuk mencari kebenaran materiil dalam hukum acara pidana, implikasi yuridis keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 terhadap sistem pembuktian, danpengaturan keabsahan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana dalam ius constituendum.

Kasus Prita Mulyasari (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 822K/Pid.Sus/ 2010

Dalam Amar putusan ini disebutkan bahwa
Prita dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan yang menjadi barang bukti adalah print out website/email dari Prita Mulyasari yang berisi muatan pencemaran terhadap Rumah Sakit Omni Internasional. Adapun bunyi Pasal 27 Ayat (3) adalah “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.” Sedangkan bunyi Pasal 45 ayat (1):”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sebagai alat bukti elektronik sebenarnya menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Kedua, hasil cetak dari informasi dan/atau dokumen elektronik. Jadi informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik. Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik menjadi alat bukti surat (Suhendi, 2016).
Dalam kasus ini, Hakim telah memper-timbangkan print out atau hasil cetak website/ e-mail dan eksemplar email yang dikirimkan oleh Prita Mulyasari kepada pihak Rumah Sakit Omni Internasional sebagai alat bukti surat. Berkaca pada Pasal 187 KUHAP menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a.    Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.    Surat yang dibuat menurut ketentuan peratuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.     Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d.    Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat elektronik ini pada hakikatnya merupakan tulisan yang dituangkan dalam sebuah bentuk elektronik (Hamzah, 2012:69). Sudikno Mertokusumo (Hiariej, 2012) memberi pengertian terkait surat yakni sebagai segala sesuatu yang membuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Kasus Romli Bin Nawawi (Putusan Nomor: 11/Pid/B/2015/PN.SKY)
Dalam kasus ini, sebagaimana dalam amar:
Putusan hakim menyatakan bahwaROMLI BIN NAWAWI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan. Dasar hukumnya adalah Pasal 363 Ayat (1) Ke-4 dan Ke-5 KUHP. Alat bukti dalam persidangan adalah rekaman CCTV yang terpasang di gudang perusahaan milik korban, PT. Medco Energi Dusun Bonot, Dusun Lais Utara Kecamatan Lais, Kabupaten Muba.
Dari pemeriksaan di persidangan telah ditemukan alat-alat bukti berupa keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa. Hakim dalam pertimbangannya memperluas keterangan saksi karena saksi tidak melihat sendiri, melainkan melihat dari rekaman CCTV. Saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana (Harahap, 2012:286). boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan keterangan alat bukti saksi.

Sejatinya, syarat materiil untuk sebagai saksi dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:oleh karena itu Saksi seharusnya adalah dia yang melihat langsung kejadian pencurian pada saat terjadinya bukan dari perantara rekaman CCTV (Mulyadi, 2007:223). Semua orang pun berarti bisa menjadi saksi ketika sudah menyaksikan rekaman CCTV. Sehingga hakikat saksi yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri tidak terpenuhi.
Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian (Harahap, 2012:287).
Namun dalam kasus ini Hakim memper-timbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tetanggal 8 Agustus 2011 yang memperluas pengertian keterangan saksi, sehingga walaupun saksi tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri secara langsung terjadinya tindak pidana keterangan saksi tetap sah dan dapat diterima. Sehingga keterangan saksi atas nama Andhi Fitra Kurniawan Bin Yunus, Riadi Sarjono Bin Sarjono dan Makmum Bin Usman yang ketiganya tidak melihat langsung dan hanya melihat kejadian melalui rekaman CCTV memiliki kekuatan pembuktian.
Analisis Implikasi Yuridis Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Acara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 Terhadap Sistem Pembuktian
Beberapa hal tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Salah satu kewenangan MK adalah menguji bilamana ada materi undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila sebagai sumber hukum untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang digunakan sebagai dasar hukum berkehidupan berbangsa dan bernegara (PermadidanDwiYono, 2016:310).
Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigheit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan (Tanya, 2013:74). Oleh karena itu, MK dalam mengambil suatu keputusan tidak boleh keluar dari idee des rechtatau cita hukum mengingat sifat dari Putusan MK adalah final, yakni sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.
Jika dilihat dengan seksama pertimbangan hakim dan amar putusanMKNo. 20/PUU-XIV/ 2016tidak mempunyai terdapat kesinambungan karena penyadapanlah yang menjadi pokok permasalahan bukanlah jenis dari informasi dan dokumen elektronik secara keseluruhan misalnya adalah CCTV, Elektronic Mail (E-Mail), Elektronik Chatting, dll. Dalam Putusan ini, MK mempersempit jenis informasi dan dokumen elektronik terbatas pada aktivitas penyadapan. Padahal ruang lingkup yang termasuk dalam jenis informasi dan dokumen elektronik sangat luas.
Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa permohonan Pemohon seharusnya Mahkamah menolak permohonan Pemohon, karena apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sudah dipenuhi oleh UU ITE, khususnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo, sehingga tidak ada pertentangan norma antara Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 44 Huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945. Maka harus dibedakan antara proses pengambilan suatu informasi dan substansi dari informasi dalam bentuk elektronik tersebut. bilamana proses yang dipermasalahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka dapat dijerat dengan
UU ITE. Sementara substansi dari informasi tersebut jika benar dan terbukti kebenarannya maka pihak yang menjadi objek dalam informasi seharusnya diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atas Putusan tindakan MK tersebut menyebabkan suatu implikasi dalam penegakkan hukum acara pidana di Indonesia, khususnya dalam hal pembuktian. Penulis menganalisa terkait implikasi tersebut mencakup beberapa segi yakni:

Timbulnya ketidakpastian hukum terhadap keabsahan alat bukti elektronik
Adanya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya” maka bukti elektronik agar sah sebagai alat bukti harus ada permintaan dari penegak hukum. Hal ini menimbulkan ketidak-jelasan permintaan penegak hukum ini pada tahap mana. Apakah pada pemasangan atau penggunaan pertama kali oleh pengguna atau pada tahap penyelidikan dan penyidikan atau di persidangan.
Bukti elektronik yang tidak ada permintaan penegak hukum sudah tentu tidak memiliki kekuatan hukum. Sebagai contoh adalah di ruang publik sering dipasang CCTV sebagai alat pantau seperti di Rumah Sakit, Hotel, Cafe, Bandara dan tempat umum lainnya. Dalam pemasangannya terkadang inisiatif dari si pemilik tempat tanpa ada permintaan atau izin dari penegak hukum. CCTV ini pula sering menjadi petunjuk baik bagi pihak pemilik tempat maupun penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana. Kemudian adanya video amatir memakai kamer Handphone atau kamera lainnya yang memiliki kemampuan untuk merekam suatu kejadian terkait dengan misalnya terjadinya pemboman, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya yang sengaja direkam karena tidak memungkinkan masyarakat sipil berdaya untuk menangkap si Pelaku dan perlu bantuan aparat kepolisian, maka rekaman video tersebutlah yang dijadikan bukti bahwa telah terjadi kejahatan dan terlihat siapa yang menjadi pelaku dari kejahatan melalui video hasil rekaman tersebut.

Menyebabkan multitafsir bagi penegak hukum
Dalam Amar  putusan  MK  tersebut menyebutkan bahwa “Informasi dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya”. Memaknai frasa ini maka untuk menjadikan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti di persidangan maka harus ada permintaan dari penegak hukum, maka implikasinya adalah bila tidak ada permintaan dari penegak hukum maka alat bukti dalam bentuk elektronik tersebut tidak memiliki keabsahan.
Putusan MK merupakan putusan yang bersifat normatif legislatif, berdasarkan kewenangannya MK tidak berwenang mencip-takan norma baru dalam suatu Undang-Undang yang diujikan. Dalam setiap Keputusan MK yang berkaitan pembatalan suatu Norma dalam Undang-Undang atau Perubahan Undang-Undang maka ada tindak lanjut dari lembaga legislatif untuk menambah norma dan menghapus norma. Pasal 10 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Revisi UU ITE, Pasal 5 Ayat (1), ayat (2) dan Pasal 44 huruf b yang menjadi Pasal yang dipermasalahkan dalam Putusan MK tersebut “tidak ada perubahan”. Namun dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) terdapat penambahan penjelasan. Adapun bunyi penjelasan adalah sebagai berikut:
(1)  Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yangdilakukan melalui Sistem Elektronik.
(2)  Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Revisi substansi penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan (2) tersebut lebih mempertegas keabsahan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sebagai alat bukti tanpa ada menyebutkan bahwa dalam penegakan hukum wajib adanya permintaan dari penegak hukum. posisi penyadapanlah yang lebih diperkuat untuk adanya permintaan dari penegak hukum. perubahan penjelasan ini menurut penulis bertentangan dengan amar putusan MK. Alat bukti elektronik berdasarkan amar putusan MK tentu bukan hanya hasil dari penyadapan saja tetapi juga alat bukti elektronik yang lain seharusnya juga harus adanya permintaan dari penegak hukum seperti apa yang telah diputuskan oleh MK.
Perbedaan pengaturan yang ada dalam Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 dengan revisi UU ITE akan mengakibatkan perbedaan penafisran pula oleh penegak hukum dalam menegakan hukum acara pidana, terutama aspek pembuktian. Pada satu kasus tertentu menggunakan alat bukti elektronik untuk membuktikan suatu perkara pidana, pada kasus lainnya bisa jadi penegak hukum tidak mengindahkan adanya alat bukti elektronik.

DAFTAR PUSTAKA
Hiariej, Eddy O.STeori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta:Erlangga, 2012)
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalah-an dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:Alumni, 2007)
Mulyadi, Lilik Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indone-sia, (Bandung: Citra Adity Bakti, 2014)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Kencana, 2010)
Permadi, Iwan dan Dwi Yono, Keadilan Sosial Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Prosiding Seminar Nasional Fakultas Hukum Unnes ke-9 Tahun 2016 dengan judul : Revitalisasi Ideologi Pancasila dalam Aras Global Perspektif Negara Hukum.
Ramli, Ahmad M, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi Dan Komunikasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009)

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter