Menurut Mudzakkir (Teguh Prasetyo dan Halim Barkatullah, 2005 : 82) mengenai penentuan sanksi pidana :
Pembicaraan masalah penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek : pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.
Bentuk atau jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Selama ini berbagai peraturan perundang-undangan pidana baru menetapkan denda sebagai sanksi pidana pokok bagi korporasi.
Sementara itu bentuk-bentuk sanksi pidana lain oleh undang-undang ditetapkan sebagai sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib. Menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 205), selain pidana denda dapat pula ditentukan bentuk-bentuk lain sebagai sanksi pidana pokok. Beberapa sanksi yang saat ini ditentukan sebagai pidana tambahan seyogianya dapat diangkat sebagai sanksi pidana pokok bagi korporasi. Dibawah ini diuraikan beberapa bentuk sanksi pidana pokok dan pidana tambahan yang mungkin dijatuhkan kepada korporasi, yaitu :
- Pidana Pokok
a. Pidana Denda
Satu-satunya jenis sanksi pidana (criminal penalty) yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi di Inggris adalah pidana denda (fine). Oleh karena itu, suatu perusahaan tidak dapat dituntut karena pembunuhan (murder), karena menurut hukum Inggris hanya satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang pembunuh yaitu pidana penjara seumur hidup.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 206), memang tidak mungkin untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada suatu korporasi berupa pidana penjara atau pidana cambuk seperti yang berlaku di Malaisyia dan Singapura serta negara-negara yang menerapkan hukum pidana Islam.
Oleh karena itu tidak mungkin untuk menuntut suatu korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan pidana apabila dalam peraturan perundang-undangan tersebut ditentukan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pidana adalah kumulasi pidana penjara dan pidana denda (kedua sanksi tersebut bersifat kumulatif, yaitu harus kedua sanksi tersebut dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan), atau dengan kata lain, korporasi hanya mungkin dituntut dan dijatuhi pidana apabila sanksi pidana penjara dan pidana denda di dalam peraturan perundang-undangan itu ditentukan sebagai sanksi pidana yang bersifat alternatif (artinya dapat dipilih oleh hakim).
b. Pengumuman Putusan oleh Hakim
Pengumuman putusan oleh hakim ini dimaksudkan untuk mempermalukan pengurus dan/atau korporasi tersebut karena telah melakukan tindak pidana. Apabila sebelumnya korporasi tersebut memiliki reputasi yang sangat baik, maka akan betuk-betul dipermalukan oleh pengumuman putusan hakim melalui media cetak atau pun melalui media elektronik. Meskipun bentuk sanksi pidana ini hanya merupakan sanksi pidana tambahan, akan tetapi sangat berguna untuk mencapai tujuan pencegahan (deterrence).
c. Pembubaran yang Diikuti dengan Likuidasi Korporasi
Undang-undang yang berlaku belakangan ini seperti yang dicontohkan oleh Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 210), telah mengatur mengenai pembubaran korporasi sebagai bentuk sanksi pidana terhadap korporasi. Beliau memberi contoh, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003. dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan suatu korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa “pencabutan izin usaha dan atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi”. Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang tersebut, pencabutan izin usaha bukan merupakan sanksi administratif, tetapi merupakan sanksi pidana , yaitu merupakan sanksi pidana tambahan.
d. Pencabutan Izin Usaha yang diikuti dengan Likuidasi Korporasi
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 211), memberi usulan bahwa “korporasi hendaknya dapat pula dijatuhkan sanksi pidana berupa pencabutan izin usaha”. Beliau memberi alasan bahwa dengan dicabutnya izin usaha, maka sudah barang tentu selanjutnya korporasi tidak dapat lagi melakukan kegiatan usaha untuk selamanya. Guna memberikan perlindungan kepada kreditor, hendaknya putusan hakim berupa pencabutan izin usaha tersebut dibarengai pula denga perintah kepada pengurus korporasi untuk melakukan likuidasi terhadap aset perusahaan untuk pelunasan utang-utang korporasi kepada para kreditornya.
e. Pembekuan Kegiatan Usaha
Selanjutnya bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 211), adalah pembekuan kegiatan usaha, baik untuk kegiatan tertentu atau semua kegiatan, untuk jangka waktu tertentu merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Misalnya saja, suatu Rumah Sakit dilarang menerima pasien dalam rangka menerima pemeriksaan kandungan dan melakukan partus (melahirkan bayi) karena telah terlibat tindak pidana aborsi ilegal. Pembekuan kegiatan terbut dapat ditentukan oleh hakim untuk jangka waktu tertentu saja atau untuk selamanya.
Apabila pembekuan semua kegiatan dilakukan untuk selamanya maka putusan tersebut bukan merupakan pembekuan semua kegiatan usaha, akan tetapi berupa pembubaran korporasi atau berupa pencabutan izin usaha yang diikuti dengan likuidasi.
f. Perampasan Aset Korporasi oleh Negara
Perampasan aset korporasi oleh negara dilakukan baik terhadap sebagian atau seluruh aset, baik aset tersebut secara langsung digunakan atau tidak digunakan dalam tindak pidana yang dilakukan. Ini merupakan bentuk sanksi pidana lain yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 212), “aset yang dirampas tersebut kemudian dilelang kepada umum, atau diserahkan menjadi milik salah satu BUMN tertentu yang memperlakukan aset tersebut untuk kegiatan usahanya.”
Disamping itu perampasan tersebut dapat dikombinasikan dengan pidana denda dan atau jenis-jenis pidana yang lain sebagaimana telah dijelaskan di atas.
g. Pengambilalihan Korporasi oleh Negara
Sanksi pidana bagi korporasi dapat pula berbentuk perampasan korporasi oleh negara, atau dengan kata lain, korporasi tersebut diambil alih oleh negara. Sanksi ini berbeda dengan sanksi perampasan aset. Pada pidana perampasan aset, korporasi tetap milik pemegang saham, sedangkan perampasan korporasi berakibat saham pemilik beralih menjadi milik negara.
- Pidana Tambahan
Selain bentuk pidana pokok telah disebutkan di atas, korporasi dapat pula dibebani pidana tambahan, dimana pidana tambahan itu dapat berupa melakukan kegiatan sosial tertentu, menurut Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 213) pidana tambahan tersebut dapat berupa:
a. Melakukan pembersihan lingkungan atau clean up dengan biaya sendiri untuk menyerahkan pembersihan kepada negara atas beban biaya korporasi (dalam hal melakukan tindak pidana lingkungan hidup) yang ditentukan oleh hakim minimum biaya yang harus dikeluarkan oleh korporasi berdasarkan penafsiran harga oleh suatu konsutan independen.
b. Membangun atau mebiayai pembangunan proyek yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan, misalnya membangun rumah sakit atau pusat rehabilitasi korban narkoba yang ditentukan oleh hakim minimum biaya yang harus dikeluarkan oleh korporasi berdasarkan penafsiran harga oleh suatu konsutan independen.
c. Melakukan kegiatan sosial lainnya, baik yang ada kaitannya maupun yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang telah dilakukan dengan ditentukan jangka waktu minimumnya dan biaya minimumnya oleh hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar