Secara umum
peraturan perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia
tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka Suryana
Hamid (2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak delapan sampai
delapan belas tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8 tahun
dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun dan maksimal 16
tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila umur antara 12
sampai 18 tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea, Filipina, Malaysia
dan Singapura.
Selanjutnya Task Force on
Juvenile Delinquency Prevention menentukan bahwa batas umur anak yang bisa
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana adalah berumur 10 sampai 18 tahun.
Resolusi PBB Nomor 40/33 tentang Standard Minimum Rule for the
Administration of Juvenile Justice, menentukan batas umur anak 7 sampai 18
tahun.
Sedangkan bila bertitik tolak dari
laporan penelitian Katayen H Cama (Lilik Mulyadi, 2005:16-17) batas umur minimal
bervariasi dari umur 7 – 15 tahun. Hal ini dipertegas dengan redaksional
sebagai berikut:
Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan Katayen H. Cama, Hakim Pengadilan Anak
Bombay, India yang mengadakan research untuk Departemen Sosial dari
Perserikatan Bangsa-bangsa atas permintaan Social Commison dari Economic
and Social Council menyatakan, bahwa:
- Di
Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di bawah usia 7 tahun dianggap tidak
melakukan kejahatan;
- Di
Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak kurang dari 14
tahun tidak dapat dihukum;
- Di
Filipina, anak-anak di bawah 9 tahun, dan di Muangthai anak-anak di bawah 7
tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kriminal;
- Di
Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di antara umur 7 tahun dan di bawah 12
tahun dan Filipina seorang anak di antara umur 9 tahun dan di bawah 15 tahun
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila
ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya
adalah salah.
Sedangkan untuk batasan umur
maksimum 18 tahun dirasakan cukup representatif dengan kebanyakan hukum positif
Indonesia (UU 1/1974, UU 12/1995, UU 3/1997) serta juga identik pada ketentuan
umur di 27 Negara Bagian Amerika Serikat, kemudian Negara Kamboja, Taiwan, Iran
serta sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Convention on the Rights of the Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak) dari Sidang Majelis Umum PBB yang diterima
tanggal 20 November 1989 dan di Indonesia disahkan dengan Keputusan Presiden RI
Nomor: 36 Tahun 1990 (LNRI Tahun 1990 Nomor 57) tanggal 25 Agustus 1990.
Berbagai batas umur seperti
diuraikan di atas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak
apabila batas minimal berumur 7 tahun dan batas maksimal 18 tahun, walaupun
demikian ada juga negara yang mematok usia anak terendah 6 tahun dan tertinggi
20 tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena
adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya
masyarakat dari negara tersebut.
Di Indonesia ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.
Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan
tindak pidana, b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Pasal 1 butir 5
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai
berikut:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai
berikut: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan”.
Dengan demikian apabila ditinjau
dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa,
orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah termasuk yang masih dalam
kandungan.
B.
Hak Asasi Anak
Gagasan mengenai hak anak bermula
setelah berakhirnya Perang Dunia I.
Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan
terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktifis perempuan
dalam pawai protes mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik
atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang (Unicef, 2003:12). Pada tahun
1942 untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional
oleh Liga Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini dikenal juga sebagai “Deklarasi Jenewa”.
Pada tanggal 20 November 1989 Majelis Umum PBB mensahkan Konvensi Hak Anak dan
pada tanggal 2 September 1990 mulai diberlakukan sebagai hukum internasional,
sesuai ketentuan Pasal 49 ayat 1, “ Konvensi hak anak ini akan diberlakukan
pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa instrumen ratifikasi atau keikutsertaan yang
keduapuluh.”
Gagasan mengenai hak anak ini juga
tercantum dalam Declaration Universal of
Human Rights (DUHAM) yang bersifat universal, dalam arti setiap hak-hak
yang diatur didalamnya berlaku untuk semua umat manusia di dunia tanpa
terkecuali serta pemenuhannya tidak ditentukan oleh batas usia. DUHAM merupakan
suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan negara, dengan
tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat deklarasi ini akan
berusaha dengan cara mengajarkan dan mendidik untuk memajukan penghormatan
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut dengan melakukan
tindakan-tindakan yang progresif baik secara nasional maupun internasional,
menjamin pengakuan dan pematuhannya secara universal dan efektif, baik diantara
bangsa-bangsa negara anggota maupun bangsa-bangsa dari wilayah-wilayahnya yang
berada dibawah kekuasaan hukum mereka.
DUHAM merumuskan pengakuan atas
martabat kodrati dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua
anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan
perdamaian manusia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Hak Anak pada tahun 1990. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus memajukan
serta melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia, seperti tercantum dalam
konvensi tersebut. Dimulai dengan mendiseminasikan definisi anak sebagai:
“…setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan
undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal”. Kecenderungan timbulnya kebingungan akan masa pemberlakuan definisi
tersebut membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Dalam mukadimah konvensi tersebut
dijelaskan bahwa “Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan
pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak
sebelum dan sesudah kelahiran”. Definisi tersebut berlaku semenjak anak masih
dalam kandungan hingga mereka mampu mencapai kematangan mental, sosial, dan
fisiknya. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 52 ayat 1 dan 2 :
“Hak anak adalah hak asasi manusia dan
untuk kepentingannya hak anak itu diakui
dan dilindungi oleh hukum sejak anak dalam kandungan.”
Sejak ditetapkannya
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, perlindungan anak Indonesia
telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap
dan cukup banyak dicantumkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal-pasal
yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut antara lain adalah:
Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
Pasal
6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua.
Pasal
8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal
10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari
dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal
13 : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan:
a.
Diskriminasi
b.
Eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual
c.
Penelantaran
d.
Kekejaman,
kekerasan dan penganiayaan
e.
Ketidakadilan
f.
Perlakuan
salah lainnya.
Perlindungan khusus bagi anak
yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam pasal 64 ayat (3) :
a.
Upaya
rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
b.
Upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
c.
Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun
sosial.
d. Pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
terima kasih, ini sangat membantu untuk tambahan bacaan saya.
BalasHapus