Sebelum membahas mengenai bagaimana cara menanggulangi kejahatan, ada baiknya terlebih dahulu kita ketahui terkait teori penyebab terjadinya kejahatan. penanggulangan kejahatan yang baik, selalu berorientasi pada bagaimana meminimalisir hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan.
selamat membaca...
Teori
Penyebab Terjadinya Kejahatan
Di
dalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori
tersebut pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan penjahat dengan kejahatan. Namun dalam menjelaskan hal
tersebut sudah tentu terdapat hal-hal yang berbeda antara satu teori dengan
teori lainnya.
Made Darma Weda
(1996 : 15-20) mengemukakan teori-teori kriminologi tentang kejahatan, sebagai
berikut :
1.
Teori Klasik
Teori ini mulai muncul di Inggris pada
pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini berdasarkan
psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan manusia
berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit). Setiap
manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang
mendatangkan kesenangan dan yang mana yang tidak.
Menurut Beccaria (Made
Darma Weda, 1996:15) bahwa:
“Setiap
orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang
diperoleh dan perbuatan tersebut. That
the act which I do is the act which I think will give me most pleasure.”
Lebih
lanjut Beccaria (Purnianti dkk.,
1994:21) menyatakan bahwa:
“Semua
orang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa
mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan
keadaan-keadan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya,
sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran undang-undang tersebut.”
Berdasarkan
pendapat Beccaria tersebut setiap
hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah diperhitungkan
sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi
kesewenangan dan kekuasaan hukuman.
Pendapat
ekstrim tersebut (Purniati dkk., 1994:21) dipermak menjadi dua hal:
1.
Anak-anak
dan orang-orang gila mendapat pengecualian atas dasar pertimbangan bahwa mereka
tidak mampu untuk memperhitungkan secara intelegen suka dan duka.
2.
Hukuman
ditetapkan dalam batas-batas tertentu, tidak lagi secara absolut, untuk
memungkinkan sedikit kebijaksanaan.
Konsep
keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk
perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat
dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa- peristiwa tertentu
yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut.
2. Teori
Neo Klasik.
Menurut
Made Darma Weda (1996:15) bahwa:
“Teori neo klasik ini sebenarnya merupakan
revisi atau pembaharuan teori klasik, dengan demikian teori neo klasik ini
tidak menyimpang dari konsepsi-konsepsi umum tenteng sifat-sifat manusia yang
berlaku pada waktu itu. Doktrin dasarnya tetap yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio yang berkehendak bebas dan
karenanya bertanggung jawab atas perbuatan-parbuatannya dan dapat dikontrol
oleh rasa katakutannya terhadap hukum.”
Ciri
khas teori neo klasik (Made Darma Weda,1996:15) adalah sebagai berikut :
a. Adanya
perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak bebas. Kebebasan kehendak
untuk memilih dapat dipengaruhi oleh:
i. Patologi, ketidakmampuan
untuk bertindak, sakit
jiwa, atau
lain-lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak
bebasnya.
ii. Premeditasi niat, yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak, tetapi hal
ini menyangkut terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar, maka pelaku pidana
untuk pertama kali harus dianggap lebih bebas untuk memilih dari pada residivis
yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaannya, dan oleh karenanya harus dihukum
dengan berat.
b. Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang berubah ini dapat berupa fisik
(cuaca, mekanis, dan sebagainya) keadaan-keadaan lingkungannya atau keadaan
mental dari individu.
c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perubahan
hukuman menjadi tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab utama untuk
mempertanggung jawabkan seseorang untuk sebagian saja adalah kegilaan,
kedunguan, usia dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat
seseorang pada waktu melakukan kejahatan.
d.
Dimasukkan
persaksian/ keterangan
ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab, untuk
menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan salah.
Berdasarkan ciri khas teori neo klasik, tampak bahwa
teori neo-klasik menggambarkan ditinggalkannya kekuatan yang supra natural,
yang ajaib (gaib), sebagai
prinsip untuk menjelaskan dan membimbing terbentuknya pelaksanaan hukum pidana. Dengan demikian teori-teori neo-klasik
menunjukkan permulaan pendekatan yang naturalistik terhadap perilaku/ tingkah
laku manusia.
Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang dikuasai
oleh kekuatan gaib digantinya dengan gambaran manusia sebagai makhluk yang
berkehendak sendiri, yang bertindak atas dasar rasio dan intelegensia dan
karena itu bertanggungjawab atas kelakuannya.
Menurut
A.S.Alam (Kuliah Kriminologi,
13-11-1999) bahwa :
“Teori-teori klasik melihat bahwa orang yang
tidak mampu menentukan perbuatan nikmat atau tidaknya tidak dapat melakukan
kejahatan. Olehnya itu menurut ajaran teori neo-klasik, anak-anak dan orang
yang lemah ingatan dibebaskan dari tanggungjawab atas perbuatannya.”
- Teori Kartografi/Geografi
Teori kartografi
yang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman. Teori ini mulai berkembang
pada tahun 1830 - 1880 M. Teori ini sering pula disebut sebagai ajaran ekologis.
Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam
daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial.
Menurut
Made Darma Weda (1996:16) bahwa :
“Teori
ini kejahatan merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan kata
lain bahwa kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar manusia itu
sendiri.”
- Teori Sosialis
Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para
tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan dari Marx dan Engels, yang
lebih menekankan pada determinasi ekonomi.
Menurut para tokoh ajaran ini (Made Darma Weda 1996:16)
bahwa :
“Kejahatan timbul disebabkan oleh adanya
tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat.”
Satjipto Rahardjo
(A.S. Alam, Kuliah Kriminologi, 13-11-1999) berpendapat bahwa :
“Kejahatan itu merupakan bayang-bayang
manusia maka dari itu makin tinggi peradaban manusia makin tinggi pula cara
melakukan kejahatan.”
Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, maka untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan peningkatan
di bidang ekonomi. Dengan kata lain kemakmuran, keseimbangan dan keadilan
sosial akan mengurangi terjadinya kejahatan.
- Teori Tipologis
Di
dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut dengan teori
tipologis atau bio-typologis. Keempat aliran tersebut mempunyai kesamaan
pemikiran dan metodologi. Mereka mempunyai asumsi bahwa terdapat perbedaan
antara orang jahat dengan orang yang tidak jahat. Keempat teori tipologis
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Teori Lombroso/Mazhab Antropologis
Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut Lombroso (Made Darma Weda 1996:16-17)
bahwa :
“Kejahatan
merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir (criminal is born). Selanjutnya
ia mengatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan
fisiknya yang mana sangat berbeda dengan manusia lainnya.”
Adapun beberapa
proposisi yang dikemukakan oleh Lombroso
(Made Darma Weda, 1996:16) yaitu :
1)
Penjahat
dilahirkan dan mempunyai tipe-tipe yang berbeda;
2)
Tipe
ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris,
rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan
tahan terhadap rasa sakit;
3)
Tanda-tanda
lahiriah ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal
kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal;
4)
Karena
adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat terhindar dari melakukan kejahatan
kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan;
5)
Penganut
aliran ini mengemukakan bahwa penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar
seks dapat dibedakan oleh ciri-ciri tertentu.
Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah
aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan kebebasan kemauan dan
kemudian membantah teori Tarde
tentang theory of imitation (Le lois
de'l imitation).
Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan membuat penelitian
perbandingan. Hasil penelitiannya tersebut, Goring (Made Darma Weda, 1996:18) menarik kesimpulan bahwa :
“Tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk
disebut sebagai tipe penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah
untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe.”
Menurut Goring (Made Darma Weda, 1996:18) bahwa
:
“Kuasa kejahatan itu timbul karena setiap
manusia mempunyai kelemahan/cacat yang dibawa sejak lahir, kelemahan/cacat
inilah yang menyebabkan orang yersebut melakukan
kejahatan.”
Dengan demikian Goring
dalam
mencari kausa kejahatan kembali pada faktor psikologis, sedangkan faktor
lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap seseorang.
b.
Teori Mental Tester
Teori mental Tester
ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso.
Teori ini dalam metodologinya menggunakan tes mental untuk membedakan penjahat
dan bukan pejahat.
Menurut
Goddard (Made Darma Weda, 1996:18)
bahwa :
“Setiap
penjahat adalah orang yang otaknya lemah, karena orang yang otaknya lemah tidak
dapat menilai perbuatannya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat
dari perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum.”
Berdasarkan pendapat
tersebut, teori ini memandang kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir
dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan.
c.
Teori Psikiatrik
Teori psikiatrik
merupakan lanjutan teori-teori Lombroso
dengan melihat tanpa adanya perubahan pada ciri-ciri morfologi (Made Darma
Weda, 1996:19) bahwa:
“Teori
ini Iebih menekankan pada unsur psikologis, epilepsi dan moral insanity sebagai
sebab-sebab kejahatan.Teori psikiatrik ini, memberikan arti penting kepada
kekacauan kekacauan emosional, yang dianggap timbul dalam interaksi sosial dan
bukan karena pewarisan. Pokok teori ini adalah organisasi tertentu dari pada
kepribadian orang, yang berkembang jauh terpisah dari pengaruh jahat, tetapi
tetap akan menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi situasi
sosial.”
d.
Teori Sosiologis
Dalam memberi kausa
kejahatan, teori sosiologis merupakan aliran yang sangat bervariasi. Analisis
sebab-sebab kejahatan secara sosiologis banyak dipengaruhi oleh teori
kartografik dan sosialis.
Teori ini menafsirkan
kejahatan (Made Darma Weda, 1996:19) sebagai :
“Fungsi
lingkungan sosial (crime as a function of social environment). Pokok
pangkal dengan ajaran ini adalah, bahwa kelakuan jahat dihasilkan oleh
proses-proses yang sama seperti kelakuan sosial. Dengan demikian proses
terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya
termasuk tingkah laku yang baik. Orang melakukan kejahatan disebabkan karena
orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya.”
- Teori Lingkungan
Teori ini biasa juga
disebut sebagai mazhab Perancis. Menurut
Tarde (Made Darma Weda,
1996:20) bahwa :
“Teori
ini seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor di
sekitarnya/lingkungan, baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan termasuk dengan pertahanan dengan dunia luar, serta penemuan
teknologi.”
Masuknya
barang-barang dari luar negeri seperti televisi, buku-buku serta film dengan
berbagai macam reklame sebagai promosinya ikut pula menentukan tinggi rendahnya
tingkat kejahatan.
Menurut
Tarde (Made Darma Weda, 1996:20)
bahwa :
“Orang menjadi jahat
disebabkan karena pengaruh imitation. Berdasarkan pendapat Tarde tersebut,
seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut meniru keadaan
sekelilingnya.”
- Teori Biososiologi
Tokoh dari aliran ini
adalah A. D. Prins, van Humel, D. Simons dan lain-lain.
Aliran biososilogi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aIiran antropologi
dan aliran sosiologis, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap
kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik
dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan.
Menurut Made
Darma Weda, (1996:20) bahwa:
“Faktor
individu itu dapat meliputi sifat individu yang diperoleh sebagai warisan dari
orang tuanya, keadaan badaniah, kelamin, umur, intelek, temperamen, kesehatan,
dan minuman keras. Keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan
kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis), keadaan
ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu negara misalnya
meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum dan menghadapi sidang MPR.”
- Teori NKK
Teori
NKK ini merupakan teori terbaru yang rnencoba menjelaskan sebab terjadinya
kejahatan di dalam masyarakat. Teori ini sering dipergunakan oleh aparat
kepolisian di dalam menanggulangi kejahatan di masyarakat.
Menurut A S. Alam (Kuliah Kriminologi,
13-11-1999) bahwa rumus teori ini adalah:
N + K1 = K2
Keterangan:
N =
Niat
K1 =
Kesempatan
K2 = Kejahatan
“Menurut
teori ini, sebab terjadinya kejahatan adalah karena adanya niat dan kesempatan
yang dipadukan. Jadi meskipun ada niat tetapi tidak ada kesempatan, mustahil
akan terjadi kejahatan, begitu pula sebaliknya meskipun ada kesempatan tetapi
tidak ada niat maka tidak mungkin pula akan terjadi kejahatan.”
Upaya Penanggulangan Kejahatan
Masalah kejahatan bukanlah hal yang
baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai
sama .Semakin lama kejahatan di ibu kota
dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat bahkan dibeberapa daerah dan
sampai kekota-kota kecil.
Upaya penanggulangan kejahatan telah
dilakukan oleh semua pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara
yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh
E.H.Sutherland dan Cressey (Ramli Atmasasmita 1983:66) yang mengemukakan bahwa
dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai
untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu :
- Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan
Merupakan
suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan
kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual.
- Metode untuk mencegah the first crime
Merupakan
satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali
(the first crime) yang akan dilakukan
oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).
Berdasarkan uraian di atas dapat
dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan
sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan
bersalah (sebagai seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata
lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan
represif.
a. Upaya
preventif
Penanggulangan kejahatan secara
preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang
pertama kali . Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik
penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi
yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar
tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.
Sangat beralasan bila upaya preventif
diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu
keahlian khusus dan ekonomis.
Barnest dan Teeters (Ramli
Atmasasmita,1983:79) menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan
yaitu:
1)
Menyadari
bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan
sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi
tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
2)
Memusatkan
perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau
sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis
dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik
sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis .
Dari pendapat Barnest dan Teeters
tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi apabila
keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke
arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata
lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor
biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja.
Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu
usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti
keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya
dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan
ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga
disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi masyarakat bahwa
keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama .
b.Upaya
represif
Upaya represif adalah suatu upaya
penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya
kejahatan . Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak
para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali
agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang
melanggar hukum dan merugikan masyarakat , sehingga tidak akan mengulanginya
dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan
ditanggungnya sangat berat .
Dalam membahas sistem represif,
tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana kita, dimana dalam sistem
peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-sistem yaitu sub-sistem
kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang
merupakan suatu keseluruhan yang terangkai
dan berhubungan secara fungsional.
Upaya represif dalam pelaksanaannya
dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment)
dan penghukuman (punishment). Lebih
jelasnya uraiannya sebagai berikut ini :
1)
Perlakuan
( treatment )
Dalam
penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan perlakuan yang pasti
terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada berbagai
kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai
dengan akibat yang ditimbulkannya.
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum,
menurut Abdul Syani (1987:139) yang membedakan dari segi jenjang berat dan
ringannya suatu perlakuan,yaitu :
a)
Perlakuan
yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling
ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam
perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha
pencegahan.
b)
Perlakuan
dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan
putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan.
Adapun yang diharapkan dari penerapan
perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap
perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku
kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat
kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala .
Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan
ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran
terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan
agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran
hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan
masyarakat dan pemerintah.
2)
Penghukuman
(punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan
untuk diberikan perlakuan (treatment),
mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan,
maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam
hukum pidana.
Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem
pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan,
maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum
adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi
pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.
Seiring dengan tujuan dari pidana
penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani
(1987:141) sebagai berikut :
Menyatakan
bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat
yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga
orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin
dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam
masyarakat Indonesia
.
Jadi dengan sistem pemasyarakatan,
disamping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan,
mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak
setelah keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi
menjadi seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan
jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga
kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik
karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun
bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia bertempat tinggal.
A. Upaya
Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan adalah masalah sosial yang
dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya
merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut
pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma
agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam
undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya,
terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak
baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan
kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan,
maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari
pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya
berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan
tersebut.
Menurut Hoefnagels (Arif, 1991:2)
upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara :
a)
Criminal application : (penerapan hukum pidana)
Contohnya
: penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal yaitu 8 tahun baik dalam
tuntutan maupun putusannya.
b)
Preventif without punishment : (pencegahan tanpa pidana)
Contohnya
: dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak
langsung memberikan prevensi
(pencegahan) kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat.
c)
Influencing views of society
on crime and punishment (mas
media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
mas media).
Contohnya
: mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang
bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.
Upaya pencegahan kejahatan dapat
berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Kaiser
(Darmawan, 1994:4) memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai
suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus
untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk
memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui
pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang
yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.
Penanggulangan kejahatan dapat
diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah
beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat (Sudarto,
1981:114).
Peran pemerintah yang begitu luas,
maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi (Arief,
1991:4), ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah,
pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya
penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi
pencegahan kejahatan yang mendasar.
Secara sempit lembaga yang bertanggung
jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya
sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak
efektifnya tugas mereka. Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap
ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan
kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan
kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.
A. Upaya
Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan merupakan
gejala sosial
yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan
sangat meresahkan,
disamping itu juga
mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
Upaya penanggulangan
kejahatan telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan
sambil terus menerus mecari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi
masalah tersebut.
Menurut
Barda Nawawi Arief (2007:77) bahwa:
Upaya atau kebijakan
untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang
kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak
terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri
dari kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan
kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.
Lanjut
menurat Barda Nawawi Arief (2007:77) ,bahwa:
Kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan
menggunakan sarana ”penal” (hukum
pidana), maka
kebijakan hukum pidana khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social itu
berupa ”social
welfare” dan “social defence”.
Lain halnya menurut
Baharuddin Lopa (2001:16)
bahwa “upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa
langkah-langkah terpadu, meliputi
langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif).”
Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin
Lopa,( 2001:16-17) itu meliputi :
a)
Peningkatan
kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan
mengurangi kejahatan.
b)
Memperbaiki
sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan.
c)
Peningkatan
penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.
d)
Menambah
personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan
tindakan represif maupun preventif.
e)
Meningkatan
ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum.
Solusi preventif
adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan. Solusi supresif adalah cara-cara yang
cenderung menghentikan kejahatan sudah mulai, kejahatan
sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga kejahatan dapat dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan
atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan. Sedangkan solusi pidana atau hukuman juga berguna, sebab
setelah kejahatan dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat ganti rugi,
kejahatan serupa masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau pelaku
lainnya. Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan
adalah suatu reformasi. Solusi
yang berlangsung kerena rasa takut disebut hukuman. Entah mengakibatkan ketidakmampuan fisik atau
tidak, itu tergantung pada bentuk hukumannya.
Hal tersebut terkait
dengan pandangan Jeremy Bentham(2006:307) bahwa yang mengemukakan bahwa “Tujuan
hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk berbuat kejahatan.”
ijin....tulisannya lebih bagus lagi kalau pakai daftar pustaka om...:)
BalasHapuskok ndk bisa di copy ya ...?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusgimana cara penangulangan kejahatan yang semakin marak ini mengunakan teori "utilitariaisme"......???
BalasHapusizin untuk copy paste yah untuk tugas nih makasih
BalasHapusSiang Pak, maaf menggangu.
BalasHapusmohon ijin untuk di copy paste (untuk tugas kuliah)
terima kasih.
Agen Slot
BalasHapusAgen Slot Terbaru
LK21
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....