2.1.1. Jus cogen
Prinsip Jus Cogens dalam hukum
internasional adalah serangkaian prinsip/norma hukum internasional yang
berlakunya tidak dapat diubah dan tidak boleh diabaikan, dan karenanya dapat
berlaku untuk membatalkan suatu perjanjian antar Negara-negara dalam hal
perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip/norma tersebut. Dalam
Pasal 64 Konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional ditentukan bahwa, Jus cogens merupakan salah
satu dari kebiasaan Hukum Internasional[1].
Prinsip jus cogens oleh para pakar disebut
sebagai kaidah yang membatasi kehendak negara, seperti yang dikatakan oleh Rozakis :[2].
...Walaupun
negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur
tingkah laku mereka sendiri, kebebasan itu ada batasnya, terdapat kaidah hukum
yang membatasi kehendak negara, Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas
setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh negara-negara yang bertentangan
dengannya. kaidah hukum ini disebut dengan Jus cogens.[3]
Pada awalnya
tujuan Konvensi Wina 1969 mengadakan suatu kodifikasi dari semua masalah-masalah hukum yang
dapat timbul dari diadakannya suatu perjanjian internasional antar negara telah
menghabiskan waktu yang cukup . internasional
Law Commission ( ILC) sebagai suatu badan yang ditunjuk oleh PBB untuk
menyelenggarakan tugas pengkodifikasian hukum perjanjian telah mendapat bantuan
dari pada para ahli hukum terkenal yang ditugaskan sebagai special reporter
dalam penyusunan draft naska perjanjian. Namun ternyata isi dari beberapa ketentuan
konvensi masi menimbulkan pengertian yang samar-samar seperti misalnya
beberapa ketentuan bagian V, khususnya tentang pengertian Jus Cogens. Namun beberapa prinsip atau asas sebagai
suatu dasar permulaan bagi terwujudnya pembentukan suatu perjanjian agar para
pihak terikat olehnya telah diletakkan oleh konvensi , seperti Asas kesepakatan,Itikad baik,dan Pacta
sunt servanda[4], ketiga asas ini
yang telah lama dikenal dan diakui secara umum.
Disamping itu
konvensi menujuk pula beberapa prinsip penting dari piagam PBB sebagai prinsip
yang harus dihormati. Demikian tinggi nilai-nilai dari asas-asas piagam PBB ini
hingga hampir pada setiap perjanjian internasional yang penting dijadikan dasar
pepijakan,bahkan didalam perjanjian militerpun selalu menunjuk pada
piagam
PBB. Sekalipun terdapat asas-asas bahwa perjanjian harus
ditaati namun para pihak dapat melalui cara-cara tertentu untuk menyatakan batal, misalnya karena
bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional (Jus Cogens) disamping
alasan-alasan lainnya seperti yang diatur dalam bagian V konvensi[5].
Hanya sedikit
sekali pasal-pasal dalam konvensi yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
Jus Cogens
konvensi[6] hanya
mencantumkan Pasal 53 (Perjanjian yang batal karena bertentanan jus
cogens dan batasan jus cogen), Pasal 64 (Timbul suatu Jus Cogens baru), Pasal 66 (Prosedur
penyelesaian hukum), Pasal 71 (Akibat-akibat yang timbul karena batalnya
suatu perjanjian yang disebabkan bertentangan dengan Jus Cogens).[7]
2.1.2. Pengertian Umum Jus Cogens
( Peremptory Norm of General Internasional Law)
Pengertiam Jus Cogens dalam sistematika
Konvensi wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional dimuat dalam bagian
ke V yang mengatur hal pembatalan, berhenti berlakunya, dan penundaan
berlakunya. Dalam bagian ke V Konvensi WINA 1969 memiliki beberapa alasan dapat
diajukan, misalnya untuk pembatalan suatu perjanjian dengan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari hukum nasional dengan
peserta yang berkenaan dengan kuasa penuh dari negara pengirim (Pasal 46 dan 47 Konvensi), adanya unsur kesalahan (Pasal 48), adanya unsur penipuan (Pasal 49), dan unsur kelicikan
(Pasal 50 ).
Suatu dasar lain
yang dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian, adalah apabila perjanjian
tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional umum (Peremptory
Norm
of General Internasional Law atau Jus Cogens). Konvensi
menyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada
saat pembentukan perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar
hukum internasional umum (Pasal 53). Di dalam pasal ini pun konvensi memberikan
suatu batasan apa yang dimaksud dengan norma dasar hukum
internasional umum itu, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh
masyarakat internasional secara keseluruhan sebab suatu norma yang tidak boleh
dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional
umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.
Dalam laporannya Waldock ( sebagai seorang special
reporteur dari yhe internasional Law commission ILC) memuat tiga kategori
sebagai unsur yang dapat bertentangan dengan jus cogens yaitu :
1.
The use or threat
of force in contravention of the principle of the UN charter.
2.
International
crimes so characterrized by international Law.
3.
Act or Comissions
whose suppression is regured by internasional law.
ILC sebagai badan
yang ditugaskan untuk mengkodifikasikan hukum perjanjian internasional telah
mendapat kesulitan dalam memberikan formulasi yang tepat apa yang dimaksu dengan Jus Cogens tersebut sehingga
komisi menyatakan bahwa “ Internasional Jus Cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat
ditafsirkan sebagai Public-policy (ketertiban umum) dalam pengertian hukum nasional. Public-policy
(dan yang serupa dengan itu) dapat muncul dari setiap negara, Misalnya terdapat
aturan-aturan yang bersifat melarang (prohibitory
rules). Fungsi setiap aturan yang melarang ini bertujuan untuk menjaga atau
mencegah para pihak mengadakan suatu tindakan karena adanya keinginan untuk berbuat
sesuatu akan tetapi bertentangan dengan aturan-aturan yang mempunyai sifat
melarang tersebut. Mengenai apa yang merupakan ketertiban umum sangat sukar defenisikan, hanya hakim saja
(dalam kasus-kasus tertentu) yang dapat menentukan apa yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau keterlibatan hukum itu. Faktor tempat, waktu,falsafat
kenegaraan (yang dianut oleh masyarakat hukun yang bersangkutan), sistem perekonomian, pola kebudayaan dan politik akan mempengaruhi
pendapat mengenai ketertiban umum.
Sekalipun bahwa
setiap negara pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan membuat suatu hukum atau perjanjian, Namun perjanjian tersebut tidak boleh
bertentangan dengan Jus Cogens. Apabila suatu jus cogens baru timbul, maka perjanjian mana
pun yang bertentangan dengan norma itu menjadi batal dan tidak berlaku lagi.
2.1.3. Beberapa pendapat para ahli hukum
internasional yang memberikan pandangan dan defenisi mengenai jus cogen
J.G Starke berpendapat bahwa Jus cogens merupakan serangkaian
prinsip atau norma yang tidak dapat diubah (Peremptory)
yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan
suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau
perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma. Sesuai
dengan Pasal 53 Konvensi Roma mengenai
Hukum Traktat tanggal 23 Mei 1969, terdapat suatu karakteristik tambahan dari
norma jus cogens bawasanya norma itu
hanya dapat diubah oleh norma hukum internasional yang timbul kemudian yang
juga memiliki karakter yang sama.
Jadi
maksudnya prinsip jus cogens dalam
hukum internasional merupakan sesuatu yang diterima oleh masyarakat
internasional secara keseluruhan, dan hanya dapat diubah oleh suatu
prinsip yang mempunyai karakter yang sejenis yang muncul belakangan, dengan
demikian maka suatu perhimpunan regional tidak dapat mengubah atau mengabaikan
prinsip itu dalam hal tidak adanya suatu keputusan untuk tujuan tersebut oleh
seluruh masyarakat internasional. [8]
Rozakis memberikan arti norma Jus
cogens itu sebagai suatu norma hukum internasional umum yang telah
diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan ,norma
hukum internasional umum disini diartikan sebagai suatu norma yang diterapkan
kepada sebagian besar negar-negara karena telah diterima sebagai suatu yang
mengikat dan terhadap norma tersebut tidak boleh dilanggar.
Arehurs, Berpendapat bahwa suatu perjanjian yang batal akibat bertentanggan
dengan Jus Cogens (pasal 53dan 64) hendaknya dikembalikan kepada praktek negara –
negara berdasarkan kebiasaan setempat ini memang tidak diatur oleh lonvensi
karena konvensi hanya mengkodifikasi hukum perjanjian saja.
Brownlie, Memberikan beberapa
contoh atura-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang
agresi, pelanggaran hukum Genocide, perdagangan dan perbudakan,pembajakan,kejahatan – kejahatan
yang bertentangan dengan kemanusiaan,Pelanggaran terhadap prinsip- prinsip hak menentukan nasip sendiri, UN convention rasial discrimination dan UN
declaration of permanent soverreignty over natiral resources.
Akehurs mengemukakan bahwa suatu aturan hukum internasional tidak
dapat menjadi Jus Cogens apabila tidak diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian praktek negara-negara yang
berdasarkan local costum dalam
hubungnnya dengan jus cogens derajatnya
dapat naik apabila diterima demikian oleh masyarakat internasional.
Dhokalia, memberikan pendapat
tentang arti kalimat kedua dari Pasal 53 di mana terdapat kata-kata “accepted and recognized by international
cummunity of states as a whole” hendak diartikan sebagai apabila mayoritas
besar masyarakat internasional menerima dan mengakui. Dikemukakannya sebagai
contoh adalah praktek majelis Umum PBB dalam mengeluarkan suatu resolusi.hal
ini dapat diartikan, bahwa resolusi tersebut
merupakan suatu pengakuan Eksplisit dari pencerminan pandapat umum suatu asyarakat iinternasional
secar keseluruhan.
Schwarzenberger, Untuk membentuk Jus Cogens Internasional maka
suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau
asas-asas yang fundamental,misalnya asas-asas yang bersangkutan harus mempunyai
arti penting luar biasa (Exeptionally
signicent) dalam hukum internasional disamping arti penting istimewa
dibanding dengan asas-asas yan lainnya. Selain itu asas tersebut
merupakan bagian esensial dari pada
sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan
refleksi dari hukum internasional yan
berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan maka akan timbul tujuan asas fundamental dalam tubuh hukum
internasional, yaitu :
a. Kedaulatan;
b. Pengakuan;
c.Itikat baik;
d. Hak membela diri;
e. Tanggung jawab
internasional, dan
f. Kebebasan dilaut
lepas.
Prinsip kedaulatan
merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut (inalienable) karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh
setiap negara apabila itu berkeinginan untuk exist dalam pergaulan masyarakat
internasional. Kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus melekat pada negara.lain
halnya , apabila negara (sekalipun merdeka dan berdaulat) dapat dituntut
dihadapan pengadilan apabila dalam status “iure-gestionis[9]”.
Dalam hal iure –gestionis ini negara tidak lagi berdaulat
mutlak,kedaulatannya telah dikurangi dan ia dapat dituntut di hadapan
pengadilan asing (terjadi semacam erosi kedaulatan).penakuaan sebagai asas
kedua dinyatakan terhadap pembatasan penggunaan kekerasan senjata dan hak membela
diri dapat diperluas dengan adanya suatu larangan terhadap hek untuk mengakui
perubahan-perubahan wilayah yang bertentangan dengan tujuan diperkenankannya
penggunaan kekerasan senjata. Hak mengakui semacan ini sebagai bertentangan
dengan jus cogens.
Asas permufakatan
dan itikad baik, adalah sesuatu dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) piagam PBB
tidak dapat mengubah suatu resolusi yang telah dicetuskan dengan cara mengambil
suatu tindakan tertentu terhadap resolusi tersebut dengan menggunakan kebebasan
sedemikian rupa, dan karenanya harus menerimanya demikian sebagai suatu
kewajiban yang telah dimufakatinya, yang tidak dapat dilanggar dengan kehendak
sendiri.
Hak membela diri
sebagai asas fundamental dalam hukum internasional telah mendapat pengaturan
yang kuat pada piagam PBB sebagai suatu hak yang dipunyai negara untuk membela
diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadapnya. Hak membeladiri ini
dapat silakukan secara perseorangan ataupun secara bersama-sama.
Tanggung jawab
internasional dapat dilukiskan sebagai adanya penerimaan oleh majelis Umum PBB
pada yahun 1946 terhadap prinsip-prinsip yang merupakan tanggung jawab
masyarakat internasional, misalnya penerimaan prinsip-prinsip nurenberg (affirmation of the
principle of internasional Law Recognizes by the carter of the Nurenberg
Tribunal) dan prinsip-prinsip dari genocide convention
(Resolution on the crime of genocide) dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa:
. . . taht members of the UN subsequently admitted
are simillarly bound by theses consensual rules of the international public
order.
Verdross Apabila schwarzenberger mengemukakan tiga sifat
universal dan tujuh asa fundamental dalam tubuh hukum internasional sebagai
unsur-unsur dari norma Jus Cogens, maka Verdross mengemukakan
tiga ciri aturan yan dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul karena adanya
kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk
tujuan-tujuan kemanusian dan harus sesuai atau selaras dengan piagam PBB.
Mac Nair berpendapat sekalipun
tidak mengunakan kata- kata jus
cogens, menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional
yang berada dalam suatu kateori hukum yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan
yang mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh negara-negara yang
membuat perjanjian. Dari penjelasan Mac Nair tersebut kiranya dapat diartikan, bahwa Jus
cogens dapat lahir dari hukum kebiasaan internasional yang mempunyai
derajat lebih tinggi dari hukum
kebiasaan internasional biasa, dan yang dimadsu melindungi kepentingan umum
masyarakat inetrnasional. Contoh-contoh yang dikemukakan adalah sejalan dengan
yag dikemukakan Brownlie. Mac Nair memberikan beberapa kriteria dimana suatu
perjanjian tidak berlaku karena bertentangan dengan suatu aturan hukum
kebiasaan inetrnasional atau bertentangan dengan Piagam PBB, misalnya
bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 dan 4 . disamping itu, juga yang
bertentangan dengan “rule of general
convention law” dan bertentangan dengan “specific obligations created by other
treties”. Kriteria dari Mac Nair ini lebih-lebih dimaksudkan kepada
syarat-syarat umum tidak berlakunya suatu perjanjian dan tidak secara khusus
berlaku untuk pengertian jus cogens
saja.
[1] Yudha
bhakti. Pengertian jus congens dalam konvensi WINA 1969 tentang hukum perjanjian internasional
[2] ibid
[3] ibid
[4] Asas
pacta sunt servanda adalah Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak,
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan
[5] Konvensi
WINA 1969 tentang hukum perjanjian
[6] ibid
[7]
Pasal 53Perjanjian yang bertentangan dengan norma peremptory umum hukum
internasional (jus cogens)Sebuah
perjanjian menjadi batal jika, pada saat kesimpulan, hal itu bertentangan
dengan norma peremptory umum hukum internasional. Untuk tujuan Konvensi ini,
peremptory norma umum hukum internasional adalah suatu norma yang diterima dan
diakui oleh komunitas internasional Serikat secara keseluruhan sebagai suatu
norma dari penghinaan yang tidak diperbolehkan dan yang hanya dapat
dimodifikasi oleh norma berikutnya umum hukum internasional yang memiliki
karakter yang sama..
[9] “iure-gestionis” yaitu negara bertindak selaku pedagang
mantaf k'ray.. sangat membantu
BalasHapus