“Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyaraktan Klas
1 Makassar”.
IKHSAN ISMAIL, SH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di
dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi
pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, tetapi merupakan
suatu rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi untuk melakukan tindak pidana di masa yang
akan datang. Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan,
menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia
sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam,
dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan.
Sejalan dengan perkembangan
paradigma yang terus berubah di tengah-tengah kehidupan masyarakat serta upaya
penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan
pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung
hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen
internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat.
Perubahan paradigma sosial, budaya,
ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupaakan hasil interaksi sosial pada
tataran internasional yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional. Dampak
tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana
di Indonesia termasuk sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan di mata
sebagian besar masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang
gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara oleh hakim. Oleh karena itu
masyarakat umum lebih mengenal sebagi penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan.
Fungsi pemenjaraan ini lebih
merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi
perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan
adalah strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan
pelanggaran hukum, atau dalam konsep
penologi disebut incapatitation
Pembaharuan sistem pidana penjara
secara lebih manusiawi dengan tidak
melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan
hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan
norma-norma yang ada di masyarakat, merupakan dasar pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk
mempersiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dan bertanggung jawab di masyarakat.
Perlakuan terhadap warga binaan
pemasyarakatan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan disamping untuk mencegah
diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat, juga berupaya
untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah
kehidupan masyarakat yang dinamis.
Pembinaan yang terus menerus
dilakukan terhadap terpidana, diharapkan
dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi
warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem
pembinaan. Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga
Pemasyarakatan itu baik, tetapi kalau narapidana itu sendiri tidak sanggup
ataupun masyarakat itu sendiri tidak mau menerimanya, maka pembinaan tidak akan
mencapai sasarannya.
Dalam rangka mewujudkan sistem
pembinaan pemasyarakatan, salah satu upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan
pemberian izin Cuti Menjelang Bebas, yang merupakan bagian dari hak-hak warga
binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan pemberian hak-hak warga binaan
pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Peraturan Menteri Hukum
dan HAM RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat.
Dasar dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.01.PK.04.10 Tahun
2007 adalah sebagai sarana penunjang pelaksanaan pelaksanaan hak-hak warga
binaan sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Dalam Undang-Undang tersebut hak-hak warga binaan diatur dan
dijamin, mengigat adanya pengakuan
hak-hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan
sebagai subjek, dimana kedudukannya sejajar dengan manusia lain. Pemidanaan
tidak lagi ditujukan sebagai efek penjeraan, melainkan sebagai upaya preventif
atau mencegah terjadinya kejahatan.
Berdasarkan praktek di Lembaga
Pemasyarakatan pada umumnya, ternyata pemberian hak-hak narapidana khususnya
tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
tidak efektif dan optimal, karena beberapa narapidana tidak diberikan hak Cuti
Menjelang Bebas.
Bertitik tolak dari kenyataan di
Lembaga Pemasyarakatan tersebut di atas
dan uaraian penjelasan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan dan
bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini jika dihubungkan dengan Permen
Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat, mendorong niat penulis untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyaraktan Klas
1 Makassar”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maslah tersebut di atas, maka penulis merumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana
pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas
1 Makassar ?
2. Apakah
yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas bagi narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar?
C.
Tujuan
Penelitian
Seiring
dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas bagi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan klas 1 Makassar.
2. Untuk
mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga
Pemasyarakatan klas 1 Makasaar.
D.
Manfaat
Penelitian
Di
dalam suatu penelitian, perumusan terhadap suatu permaslahan selalu dikaitkan
dengan manfaat penelitian baik dalam
praktek maupun dalam teori.
Adapun
manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat
Teoritis
a. Dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya yang berhubungan dengan sistem pembinaan narapidana.
b. Dapat
menambah khasanah kepustakaan di bidang Pemasyarakatan.
2. Manfaat
Praktis
a. Dapat
memberikan penjelasan yang jelas mengenai pelaksanaan Cuti menjelang Bebas bagi
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar.
b. Dapat
mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
1.
Pidana
dan Pemidanaan
Menurut
Van Hamel (P.A.F. Lamintang, 1984:47), mengatakan bahwa:
Arti
dari pidana itu atau straf menurut hukum
positif dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang
telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang
pelanggar,yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan
oleh negara.
Sedangkan
menurut Simons (P.A.F. Lamintang, 1984:48), mengatakan bahwa :
Pidana
adalah suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim yang telah
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
Begitu
pula dengan Algranjanssen (P.A.F. Lamintang, 1984:48), telah merumuskan :
Pidana
atau straf sebagai alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk
memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari
perlindungan yang seharusnya dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan dan
harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana.
Dari
ketiga rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu
sebenarnya hanya merupakan suatu
penderitaan atau suatu alat belaka.
Hal
ini ada kaitannya dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu
:
1. Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di
luar Indonesia melakukan :
a. Salah
satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal 160, 161, 240,
279, 450 dan pasal 451.
b. Salah
satu perundangan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan
Negara dimana perbuatan melakukan diancam dengan pidana.
2. Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara Indonesia sesudah melakukan perbuatan.
Pemidanaan
biasa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana’ pada umumnya diartikan sebagai hukuman,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Doktrin
membedakan hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. J.M. Van Bemmelen (Leden Marpaung, 2005:2) menjelaskan
kedua hal tersebut sebagai berikut :
Hukum
pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,
peraturan umum yang diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur bagaimana acara
pidana seharusnya dilakukan dan menetukan tata tertib yang harus diperhatikan
pada kesempatan itu.
Tirtamidjaja
(Leden Marpaung, 2005:20), menjelaskan tentang hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil sebagai berikut :
Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan
hukum yang menentukan pelanggaran
pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum,
menunjukan orang dapat dihukum dan dapat
menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan
aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang
dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana
hukum pidana materiil diwujudkan
sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan
hakim.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materiil berisi larangan atau perintah
yang jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan yang mengatur
cara menjalankan dan melaksanakan hukum
pidana materiil.
Pidana
dijatuhkan bukan hanya semata-mata karena pelaku telah berbuat jahat tetapi
agar pelaku kejahatan tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain takut untuk
melakukan kejahatan serupa.
Berdasarkan
penyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan di maksudkan
sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang
pelaku kejahatan sekaligus upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan
serupa.
2.
Narapidana
Kamus
besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2002:774)
menyatakan bahwa :
Narapidana
adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak
pidana); terhukum.
Sementara
menurut kamus induk istilah ilmiah (M.Dahlan.Y.Al.Barry et.Al, 2003:537)
menyatakan bahwa :
Narapidana
adalah otang hukuman; orang bauaian.
Berdasarkan
kamus hukum (Sudarsono, 2005:293) menyatakan sebagai berikut :
Narapidana
adalah orang yang menjalani pidana dalam lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan
pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 12 Thaun 1995 tentang Pemasyarakatan,
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Menurut pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari
pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau
terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan
dimana sebagian kemerdekaannya hilang.
B.
Tujuan
Pemidanaan
Pidana berasal dari
kata straf dari bahasa Belanda, yang
biasa diartikan sebagai hal yang dipidanakan atau ada kalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi
baik perdata, administratif, disiplin dan pidana itu sendiri. Pidana di pandang
sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu
tindak pidana.
Menurut Sudarto
(Muladi,1992:21), menyatakan bahwa :
Pidana
adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.
Selanjutnya menurut
Chazawi Adami (2002:23), menyatakan bahwa :
Pidana
adalah lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (strafbarfeit). Tujuan utama hukum pidana adalah
ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari
perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi.
Pada saat ini oleh
masyarakat umum telah diterima pendapat bahwa negaralah yang berhak memidana
dengan perantaraan aparatur hukum pemerintahan. Oleh karena negara mempunyai
kekuasaan, maka pidana yang dijatuhkan hanyalah suatu alat untuk mempertahankan
tata tertib negara. Negara harus mengembalikan ketentraman apabila ketentraman
itu terganggu dan harus mencegah perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Hans Kelsen (2006:78), bahwa :
Sanksi
itu di ancamkan terhadap seorang individu yang perbuatannya dianggap oleh
pembuat Undang-undang mebahayakan masyarakat, dan oleh sebab itu pembuat
Undang-undang bemaksud untuk mencegahnya dengan sanksi tersebut.
Pada zaman Yunani
dahulu oleh Plato (Rusli Effendy, 1986:108), mengemukakan bahwa “tujuan
pemidanaan bukanlah pembalasan, tetapi menakut-nakuti dan memperbaiki orang
serta tercapainya keamanan”. Sedangakan Aristoteles berpendapat bahwa tujuan
pidana adalah “menakut-nakuti serta memperbaiki orang”. Pada abad pertengahan
Thomas Aquino, sebagai seorang ahli filsafat sebenarnya mempertahankan pendapat
Aristoteles yang antara lain berpendapat bahwa tujuan pidana ialah “ bukanlah
pebalasan semata-mata tetapi disesuaikan dengan tujuan negara yaitu
kesejahteraan serta memperbaiki dan menakutkan” sehubungan dengan tujuan
pemidanaan tersebut Sneca (Dwidja Priyanto, 2006:23), seorang filosof Romawi
yang terkenal sudah membuat formulasi yakni nemo
prudens puint quia peccatum est, sed ne peccetur, yang artinya adalah tidak
layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud
agar tidak terjadi lagi perbuatan yang salah.
Begitu pula Jeremy
Benthanm (Dwija Priyanto, 2006:24) dan
sebagian besar penulis modern yang lain selalu menyatakan bahwa tujuan
pemidanaan adalah “untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan
datang”. Di lain pihak Immanuel Kant dan Gereja Katolik sebagai pelopor
menyatakan, bahwa “pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan
terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral”.
Sebagaimana tujuan
pemidanaan tersebut di atas, di dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana
biasa disingkat dengan tiga R (Reformation,
Restrain, dan Retribution) dan satu D (Deterrence
dan general deterrence).
Menurut Andi Hamzah
(1994:28), menyatakan bahwa:
Reformasi
berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna
bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun
yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi itu perlu digabung dengan
tujuan yang lain seperti pencegahan.
Sementara H.R.
Abdussalam (2006:22), menyatakan bahwa :
Tujuan
pemidanaan reformatif adalah memperbaiki kembali para narapidana. Teori ini
mempunyai nama lain antara lain : rehabilitasi, pembenahan, perlakuan
(perawatan). Usaha untuk memberikan program selama pemulihan benar-benar
diarahkan kepada individu narapidana.
Untuk tujuan pidana restraint, Andi Hamzah (1994:28)
menyatakan bahwa :
Restraint
adalah mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar
hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.
Pada tujuan
pemidanaan retribution, Andi Hamzah
(1994:28) menyatakan bahwa :
Retribution
adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
Sehubungan dengan
tujuan pemidanaan retibutif, Hr. Abdussalam (2006:21), mengemukakan bahwa :
Retributif
tidak lain ialah penebusan dosa, penebusan dosa bagi orang yang berbuat
dosa,karena melakukan perbuatan melawan masyarakat dengan penggantian kerugian.
Pidana diberikan kepada pelanggar, karena hal ini merupakan apa yang
sepantasnya dia peroleh sehubungan dengan pelanggarannya terhadap hukum pidana.
Penggantian kerugian merefleksikan kehendak atau keinginan masyarakat akan
balas dendam.
Dalam tujuan
pemidanaan deterrence, Andi Hamzah
(1994:28), menyatakan bahwa :
Deterrence
berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individu maupun
orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahtan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Sedangkan Michael J.
Allen (H.R. Abdussalam, 2006:23), menyatakan bahwa :
Deterrence
terdiri dari particullar deterrence dan general deterrence. Particullar deterrence,
mencegah pelaku tindak pidana kembali di masa mendatang ataupun general
deterrence yakni mencegah para pelaku tindak pidana lain yang mungkin untuk
melakukan tindak pidana melalui contoh yang di buat dari masing-masing pelaku
tindak pidana tertentu.
Berkaitan dengan
dengan tujuan pidana yang garis besarnya disebut di atas, maka muncullah
teori-teori mengenai hal tersebut. Terdapat tiga golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :
a. Teori
absolut atau teori pembalasan (retributif / vergeldings theorien).
b. Teori
relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorien).
c. Teori
gabungan (verinigings theorien).
Teori
pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk menjatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat untuk
mejatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana
kepada pelaku kejahatan. Oleh karena itulah teori ini disebut teori absolut.
Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan
tetapi menjadi keharusan. Hakikat dari suatu pidana adalah pembalasan semata.
Menurut
Muladi dan Barda Nawawi Arif (1984:10) pada teori ini, pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.
Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak
boleh tiidak, tanpa tawar-menawar, seseorang mendapat pidana oleh karena
melakukan kejahatan.
Selanjutnya Adami Chazawi (2002: 53-154) memaparkan bahwa
dasar pijakan dari teori adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana itu kepada penjahat. Alasan negara
sehingga mempunyai hak menjatuhkan pidana ialah karena penjahat tersebut telah
melakukan gangguan dan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Tidak di lihat akibat-akibat apa
yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, dan tidak memperhatikan dampak
yang terjadi kepada penjahat itu ataupun masyarakat dalam penjatuhan pidana
itu. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis,
tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Di dalam buku E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002:59-60).
Teori pembalasan ini terbagi atas lima, yaitu sebagi berikut :
1. Pembalasan
berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica
(moraal philosofie).
Teori ini dikemukakan oleh
Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak
dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. Ahli filsafat ini mengatakan
bahwa dasar pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari kesusilaan kepada seorang
penjahat yang telah merugikan orang lain.
2.
Pembalasan “bersambut” (dialektis).
Teori ini dikemukakan oleh
Hegel, yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan,
sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan.
3.
Pembalasan demi “keindahan” atau kepuasan
(aesthetisch).
Teori ini dikemukakan oleh
Herbart, yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari
perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk
memidana penjahat,, agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan
masyarakat terpulihkan kembali.
4.
Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan(Agama).
Teori ini dikemukakan oleh
Dthal, (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino) yang mengemukakan, bahwa
keajahatan merupakan pelanggaran terhadap pri-keadilan Tuhan dan harus ditiadakan.
Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi
terpeliharanya keadilan Tuhan.
5.
Pembalasan sebagai kehendak manusia.
Para sarjana dari mashab
hukum alam yang memandang negara sebagai
hasil dari kehendak manusia, mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan
dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa
siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat.
Penganut teori ini antara lain adalah Jean Jacques Roesseau, Grotius, Beccaria
dan lain sebagainya.
Teori tentang tujuan pidana yang
kedua adalah teori relatif. Teori mencari dasar hukum pidana dalam
menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi
terjadinya kejahatan. Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memutuskan
tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Muladi dan Barda Nawawi Arif (Dwidja
Priyanto, 2006:25), menyatakan bahwa :
Pidana
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
teory). Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia
peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum ( supaya orang jangan
melakukan kejahatan).
Menurut J. Andenas (Dwidja Priyanto,
2006:25), teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Sedangkan
Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive foint of view) karena
dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan. Oleh karena itu penganutnya dapat disebut golongan Reducers (penganut
teori reduktif).
Menurut Adami Chazawi
(2002:157-158), mengemukakan bahwa :
Teori
relatif atau tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata
tertib masyarakat, dan untuk mengakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara.
Selanjutnya menurut teori ini tujuan
pidana adalah mengamankan masyarakat dengan jalan menjaga serta mempertahankan
tata tertib masyarakat. Dalam menjaga serta mempertahankan tata tertib
masyarakat ini, maka pidana itu adalah bertujuan untuk menghindarkan
pelanggaran norma-norma hukum. Untuk menghindarkan pelanggaran norma-norma hukum
ini, pidana itu dapat bersifat menakuti, memperbaiki dan dapat juga bersifat
membinasakan.
Sehubungan dengan sifat pidana
tersebut Leden Marpaung (2005:4), memaparkan sebagai berikut :
a. Menjerakan
Dengan penjatuhan pidana,
diharapkan sipelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi
perbuatannya (speciale preventive)
serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan pebuatan sebagaimana
dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventive).
b.
Memperbaiki pribadi terpidana
Berdasarkan perlakuan dan
pendidikan yang diberikan selama menjalani pidana, terpidana merasa menyesal
sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat
sebagai orang yang baik dan berguna.
c.
Membinasakan atau membuat terpidana tidak
berdaya.
Membinasakan berarti
menjatuhkan hukuman mati, sedangakan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan
dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Jadi menurut teori relatif pidana
ini sebenarnya bersifat menghindarkan (prevensi) dilakukannya pelanggaran hukum.
Sifat prevensi dari pidana terbagi
atas dua bagian yakni prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus
berkaitan dengan maksud dan tujuan pidana ditinjau dari segi individu, karena
prevensi khusus ini bermaksud juga supaya si tersalah sendiri jangan lagi
melanggar. Menurut prevensi khusus tujuan pidana tidak lain ialah bermaksud
menahan niat buruk pembuat, yang didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu
dimaksudkan supaya orang yang bersalah itu tidak berbuat kesalahan lagi.
Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Van Hammel (H.R. Abdussalam, 2006:31) dari Belanda
bahwa tujuan pemidanaan, selain untuk mempertahankan ketetiban masyarakat, juga
mempunyai tujuan kombinasi untuk melakukan (ofschrikking),
memperbaiki (verbetering) dan untuk
kejahatan tertentu harus membinasakan (onskchadelijkmaking).
Tujuan
pemidaanaan memperbaiki sipenjahat, agar menjadi manusia yang baik. Menjatuhkan
pidana harus disertai pendidikan selama menjalani pidana. Pendidikan yang
diberikan terutama untuk disiplin dan selain itu diberikan pendidikan keahlian
seperti menjahit, bertukang dan lain sebagainya, sebagi bekal setelah selesai
menjalani pemidanaan. Cara perbaikan penjahat dikemukakan ada tiga macam yaitu
perbaikan, intelektual, dan perbaikan moral serta pebaikan yuridis.
Prevensi
umum bertujuan untuk mencegah orang pada umumnya jangan melanggar karena pidana
itu dimaksudkan untuk menghalang-halangi supaya orang jangan berbuat salah.
Teori prevensi umum mengajarkan bahwa untuk mempertahankan ketertiban umum pada
kaum penjahat, maka penjahat yang tertangkap harus dipidana berat supaya orang
laian takut melanggar peraturan-peraturan pidana.
Dalam
teori prevensi umum ini, tujuan pokok yang hendak dicapai adalah pencegahan yag
ditujukan kepada khalayak ramai atau semua orang agar tidak melakukan
pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Menurut H.B. Vos (H.R. Abdussalam,
2006:32), menyatakan bahwa “teori prevensi umum bentuknya berwujud pemidanaan
yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan”.
Dengan
adanya keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, maka lahir aliran
ketiga yang didasarkan pada jalan pemikiran bahwa pemidanaan hendaknya
didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah
satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur yang
ada.
Menurut
Grotius (H.R. Abdussalam, 2006:32), menyatakan bahwa :
Teori
gabungan ini sebagai pemidanaan berdasarkan keadilan absolute, “de absolute gerechtighaeid” yang
berwujud pemabalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat dan
dikenal dengan bahasa latin “piniendus
nemo est iltra meritum, intra meriti vero modum magis out minus peccata
puniuntur pro utilitate”, artinya tidak seorangpun yang dipidana sebagai
ganjaran, yang diberikan tentu tidak melampaui maksud, tidak kurang atau tidak
lebih dari kefaedahan.
Teori
ini adalah kombinasi antara penganut teori pemabalasan dan teori tujuan, yaitu
membalas kejahatan atau kesalahan penjahat
dan melindungi masyarakat; dan kedua tujuan ini disusul dengan memidana.
Ada
yang mengutamakan tujuan membalas, agar kejahatan itu dibalas dengan pidana
yang lebih berat daripada melindungi masyarakat. Yang lain berpendapat bahwa
tujuan pidana yang pertama ialah melindungi masyarakat, akan tetapi untuk
mencapai tujuan itu tidak boleh dijatuhkan pidana lebih berat daripada membalas
kesalahan pembuat atau kesengsaraan yang diadakan olehnya.
Sementara
Van Apeldorn (Rusli Effendy, 1996:116), menyatakan bahwa :
Teori gabungan ini tepat benar karena
mengajarkan bahwa pidana diberikan baik quia
peccatum est (karena orang membuat kejahatan) maupun nepeccatur (supaya orang jangan membuat kejahatan).
Dan
akhirnya dikatakan bahwa asas pembalasan yang kuno tidak berlaku lagi, malah
diantara mereka yang masih menganggapnya penting, ada kesediaan untuk
memperhatikan aspek-aspek social defence
dari pidana.
Berdasarkan
uraian tentang tujuan pemidanaan di atas, maka sesuai dengan WvS Nederland,
Bambang Purnomo (1993:32-33) menulis bahwa tujuan pemidanaan di Indonesia
banyak dipengaruhi oleh aliran prevensi khusus yang bersifat verbetering. Dasar
hukum pemidanaan di Nederland dapat dibaca lebih lanjut dari karangan Pompe
tentang Hanboek v.h. Strafrecht 1959. Sedangakan menurut literatur mengenai
KUHP (UU No. 1 Tahun 1946) dengan menilik sistem dan susunan yang masih belum
berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned) dapat dikatakan mempunayai tujuan
pidana dengan aliran kompromis atau teori gabungan mencakup semua aspek yang
berkembang di dalamnya.
Untuk
membandingkan dengan teori-teori tentang tujuan pemidanaan seperti yang
dikemukakan di atas, sesuai dengan tujuan Djoko Prakoso (1988:10) maka dalam
rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1982 dapat
dijumpai gagasan tentang maksud tujuan pemidanaan dalam rumusan sebagai berikut
:
1.
Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana
demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.
2.
Untuk membimbing agar terpidana insaf dan
menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna, serta mampu untuk
hidup bermasyarakat.
3.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai pada
masyarakat.
4.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenangkan merendahkan martabat manusia melainkan
untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
C.
Cuti
Menjelang Bebas
1.
Pengertian
Cuti Menjelang Bebas
Dalam proses
pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu di dalam dan di luar
lembaga. Bagi narapidana, interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan
oleh karena tahap pembinaan di luar lembaga adalah sebagai kelanjutan pembinaan
yang dilakukan di dalam lembaga, dalam usaha mencapai tujuan pemasyarakatan
yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan sosialnya. Pembinaan
narapidana ketika menjelang bebas ini dimaksud untuk mengurangi efek negatif
sebagai akibat pengasingan selama di dalam lembaga, serta membantu narapidana
dalam menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.
Cuti Menjelang Bebas (CMB)
merupakan bagian dari bentuk pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Dimana
dalam pembinaan narapidana, mereka tetap diperlakukan sebagai anggota
masyarakat juga sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia.
Pengertian pembinaan Cuti
Menjelang Bebas (CMB) menurut Bahrudin Soejobroto (1986:38) diartikan sebagai berikut :
Biasanya yang
diberikan Pre Release Treatment atau Cuti Menjelang Bebas (CMB)
dalam dunia treatment of prisoners ialah pembinaan yang khusus
direncanakan untuk jangka waktu tertentu sebelum periode pembinaan secara
konstitusional berakhir pengembaliannya ke tengah masyarakat (dengan atau tanpa
syarat).
Di
dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang
Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang bebas dan Cuti Bersyarat dijelaskan bahwa Cuti Menjelang Bebas adalah
proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan
setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9
(sembilan) bulan berkelakuan baik.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua narapidana dan
anak pidana berhak mendapatkan Cuti menjelang bebas, melainkan hanya narapidana
dan anak pidana yang telah menjalani 2/3
(dua pertiga) masa hukuman serta narapidana dan anak pidana yang berkelakuan
baik dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan saja yang mempunyai
hak untuk mendapatkan izin Cuti Menjelang Bebas.
2.
Dasar
Hukum Cuti Menjelang Bebas
Dasar hukum dari
pemberian Cuti Menjelang Bebas adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang
RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
2. Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1999 tentang Syarta dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
3. Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.P.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat.
Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan dasar hukum pelaksanaan Cuti
Menjelang Bebas. Ini dapat dilihat dalam pasal 14 huruf l yang berbunyi bahwa
narapidana berhak mendapatkan cuti menjelang bebas.
Dalam
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, ditegaskan bahwa narapidana dan anak didik
pemasyarakatan berhak mendapatkan cuti menjelang bebas. Di dalam ketentuan
ini dinyatakan bahwa cuti menjelang
bebas tidak diberlakukan kepada anak
sipil.
3.
Syarat-Syarat
Cuti Menjelang Bebas
Di
dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, terdapat ketentuan yang mengatur persyaratan cuti
menjelang bebas secara umum yang dapat dilihat dalam pasal 42A yang berbunyi
sebagai berikut :
(1) Setiap
narapidana dan Anak Negara dapat diberikan cuti menjelang bebas apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah
menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan
2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan,
b. Berkelakuan
baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan
terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dan
c. Lamanya
cuti menjelang bebas sebesar remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Bagi
anak Negara yang tidak mendapatkan Pembebasan Bersyarat, diberikan Cuti
Menjelang Bebas apabila sekurang-kurangnya telah mencapai usia 17 (tujuh belas)
tahun 6 (enam) bulan, dan berkelakuan baik selama menjadi masa pembinaan.
(3) Bagi
narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika
dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
diberikan cuti menjelang bebas oleh menteri apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Telah
menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan
2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan,
b. Berkelakuan
baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan
terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dan
c. Lamanya
cuti menjelang bebas sebesar remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.
d. Telah
mendapat pertimbangan dari Dirjen Pemasyarakatan.
(4) Pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, wajib memperhatikan kepentingan
keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.
(5) Pemberian
Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(6) Cuti
menjelang Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dicabut apabila
Narapidana atau anak didik pemasyarakatan melanggar ketentuan cuti menjelang
bebas.
Sedangkan
persyaratan yang lebih jelas mengenai cuti menjelang bebas diatur secara tegas
dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.2.PK.4-10 tahun 2007 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Di dalam pasal 5 dinyatakan bahwa
narapidana dapat diberi cuti menjelang bebas apabila telah memenuhi persyaratan
substantif dan administratif.
Adapun
yang menjadi persyaratan substantif dan administratif yang harus dipenuhi oleh
narapidana yang hendak menjalaknkan Cuti Menjelang Bebas diatur secara tegas di
dalam pasal 6 dan pasal 7 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.2.PK.4-10
tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, adalah sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang harus dipenuhi oleh Narapidana dan Anak Pidana adalah :
a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan
atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. telah menunjukkan perkembangan budi
pekerti dan moral yang positif;
c. berhasil mengikuti program kegiatan
pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d. masyarakat dapat menerima program kegiatan
pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;
e. berkelakuan baik selama menjalani pidana
dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk:
1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6
(enam) bulan terakhir;
2. Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang
Bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; dan
3. Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam
waktu 6 (enam) bulan terakhir;
f. masa pidana yang telah dijalani untuk :
1. Asimilasi, 1/2 (setengah) dari masa
pidananya;
2. Pembebasan Bersyarat, 2/3 (dua pertiga)
dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut
tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
3. Cuti Menjelang Bebas, 2/3 (dua pertiga)
dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling
lama 6 (enam) bulan;
4. Cuti Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari
masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan dengan
ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka
selama di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana;
(2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang harus dipenuhi oleh Anak Negara adalah :
a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan
atas pelanggaran yang dilakukan;
b. telah menunjukkan budi pekerti dan moral
yang positif;
c. berhasil mengikuti program pendidikan dan
pelatihan dengan tekun dan bersemangat;
d. masyarakat dapat menerima program
pembinaan Anak Negara yang bersangkutan;
e. berkelakuan baik;
f. masa pendidikan yang telah dijalani di
LAPAS Anak untuk:
1. Asimilasi, sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan;
2. Pembebasan bersyarat, sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun.
Pasal 7
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang harus dipenuhi oleh Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan
adalah:
a. kutipan putusan hakim (ekstrak vonis);
b. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat
oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana
dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan;
c. surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri
tentang rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
yang bersangkutan;
d. salinan register F (daftar yang memuat
tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala LAPAS atau Kepala
RUTAN;
e. salinan daftar perubahan atau pengurangan
masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala
RUTAN;
f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak
yang akan menerima Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak
keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh
Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
g. bagi Narapidana atau Anak Pidana warga
negara asing diperlukan syarat tambahan :
1. surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat
negara orang asing yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-syarat selama
menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti
Bersyarat;
2. surat
keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian
yang bersangkutan.
4.
Tata
Cara Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
Wewenang pemberian
izin cuti menjelang bebas adalah dimiliki oleh Menteri Hukum dan HAM. Hal ini di atur dalam pasal 10 Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI No. M.2.PK.4-10 tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Adapun prosedur dan
tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas diatur dalam pasal 11 dan pasal 12
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.2.PK.4-10 tahun 2007 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas
dan Cuti Bersyarat sebagaimana ditegaskan sebagai beikut :
Pasal 11
Tata cara untuk pemberian Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 adalah sebagai berikut:
a. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) LAPAS
atau TPP RUTAN setelah mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan
perkembangan pembinaan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan pemberian
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat
kepada Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
b. untuk Asimilasi, apabila Kepala LAPAS
atau Kepala RUTAN menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya
menerbitkan keputusan Asimilasi;
c. untuk Cuti Menjelang Bebas atau Cuti
Bersyarat, apabila Kepala LAPAS menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya
meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia setempat;
d. untuk Pembebasan Bersyarat, apabila
Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN
selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat, dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
Pemasyarakatan;
e. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia dapat menolak atau menyetujui tentang usul Cuti Menjelang
Bebas, Cuti Bersyarat, atau Pembebasan Bersyarat setelah mempertimbangkan hasil
sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat;
f. apabila Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menolak tentang usul Cuti Menjelang
Bebas, Cuti Bersyarat, atau Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut
memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala LAPAS atau Kepala
RUTAN;
g. apabila Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui tentang usul Cuti Menjelang
Bebas atau Cuti Bersyarat maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia menerbitkan keputusan tentang Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat;
h. apabila Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui tentang usul Pembebasan
Bersyarat maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung
sejak diterimanya usul tersebut meneruskan usul kepada Direktur Jenderal
Pemasyarakatan;
i. apabila Direktur Jenderal
Pemasyarakatan menolak tentang usul Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penetapan
memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala LAPAS atau Kepala
RUTAN; dan
j. apabila Direktur Jenderal
Pemasyarakatan menyetujui tentang usul Pembebasan Bersyarat, maka Direktur
Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat.
Pasal 12
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ditandatangani oleh:
a. Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN atas
nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Asimilasi;
b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia setempat atas nama Menteri untuk Cuti Menjelang Bebas atau
Cuti Bersyarat;
c. Direktur
Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri untuk Pembebasan Bersyarat;
Setelah semua prosedur pelaksanaan
tersebut di atas dilalui, maka Kepala Lapas berkewajiban menendatangani surat
Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat berdasarkan keputusan dai Kepala
Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat sebelum narapidana
menjalani cuti menjelang bebas. Kepala Lembaga Pemasyarakatan juga berkewajiban
menyerahkan narapidana kepada Balai Pemasyarakatan (BAPAS) selaku lembaga
pembimbing dan pengawas bagi narapidana yangmenjalani Cuti Menjelang Bebas dan
membuat berita acara penyerahan disertai laporan perkembangan pembinaan dan
catatan penting lainnya.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Lokasi
Penelitian
Dalam rangka
penyusunan skripsi ini, maka penulis melakukan penelitian di Kota Makassar
tepatnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar.
B.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis dadn sumber
data yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi atas dua jenis, yaitu :
1. Data
primer
Data primer adalah data yang
diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait
sehubungan dengan penulisan skripsi ini.
2. Data
sekunder
Data sekunder adalah data
yang diperoleh melalui stuudi kepustakaan sebagai data utama yang terdiri dari
buku-buku, laporan, hasil penelitian, jurnal ilmiah serta informasi dari
berbagai media dan literatur yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
C.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan dengan dua cara
yaitu :
1. Observasi,
yaitu pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan masalah yang di angkat dalam penyusunan skripsi ini.
2. Wawancara,
yaitu kegiatan tanya jawab yang dilakukan secara langsung atau tatap muka
kepada pihak-pihak untuk mendapatkan keterangan kongkrit dan relefan yang
berhubungan dengan masalah yang diangkat dalam penyusunan skripsi ini.
D.
Analisis
Data
Data yang diperoleh
baik data primer maupun data sekunder
dianalisis kemudian disajikan secara kualitatif yaitu mengumpulkan data primer
dan data sekunder yang selanjutnya disajikan secara deskriptif dengan
menjelaskan dan menguraikan data tersebut secara terperinci.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Cuti Menjelang Bebas Di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar.
Sistem pemasyarakatan adalah
pengganti dari sistem kepenjaraan yang dengan demikian istilah penjara juga
diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan tujuannya
bukan lagi untuk sekedar penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan.
Tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan dapat dilihat pula dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Pelaksanaan pidana penjara dengan
sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sekarang ini lebih
disebabkan karena adanya tuntutan agar pelaksanaan pidana penjara itu harus
pula menghargai dan menghormati hak-hak seorang warga binaan pemasyarakatan
sebagai manusia yang merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai hak kemanusiaan.
Hak narapidana yang
dimaksud diatas salah satunya adalah Cuti menjelang bebas merupakan salah satu hak
narapidana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang
diberikan bagi narapidana yang telah memenuhi persyaratan.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar, bahwa jumlah
narapidana yang mendapatkan Cuti Menjelang Bebas sejak tahun 2005 sampai dengan
2009 dapat kita lihat dari tabel di bawah ini:
Tabel
1. Jumlah Narapidana yang mendapat Cuti Menjelang Bebas.
Tahun
|
Jumlah
Narapidana
|
Cuti
Menjelang Bebas
|
Persentase
(%)
|
2005
|
671
|
15
|
2,23
%
|
2006
|
671
|
8
|
1,2
%
|
2007
|
490
|
5
|
1,02
%
|
2008
|
403
|
1
|
0,25
%
|
2009
|
414
|
1
|
0,24
%
|
Sumber
data : Lembaga Pemasyrakatan klas 1 Makassar.
Berdasarkan penelitian selama berada
di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar bahwa dalam proses pemidanaan,
Lembaga Pemasyarakatan yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan,
setelah melalui proses persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan
pemidanaan adalah untuk membuat pelaku tindak pidana menjadi jera, namun tujuan
itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik bagi masyarakat (pihak
yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana tersebut (pihak yang
merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri.
Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam
menjalani masa pidananya juga mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan mendapat
jaminan hukum yang memadai serta mendapatkan hak-haknya sebagai narapidana.
Menurut Drs. Parman S selaku Kepala
Seksi Pembinaan Pemasyarakatan (Kasi Binpas) di Lembaga Pemasyarakatan klas 1
Makassar melalui wawancara, beliau mengungkapkan bahwa narapidana yang diterima
di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar wajib didaftar terlebih dahulu
sebelum mengikuti proses pembinaan. Pendaftaran ini mengubah status Terpidana
menjadi Narapidana. Pendaftaran yang dimaksudkan adalah pendaftaran menurut pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan yang meliputi ;
a. Pencatatan
:
1. Putusan
Pengadilan
2. Jati
diri
3. Barang
atau uang yang di bawa
b. Pemeriksaan
kesehatan
c. Pembuatan
pas foto
d. Pengambilan
sidik jari
e. Pembuatan
berita acara serah terima terpidana
Dalam proses pemasyarakatan di
Lembaga pemasyarakatan klas 1 Makassar dikenal dua periode pembinaan, yaitu
pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di luar lembaga. Pembinaan di luar lembaga merupakan kelanjutan dalam
pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Cuti Menjelang bebas adalah hak dari
narapidana yang merupakan bagian dari pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Selanjutnya Drs. H. Bohari selaku
Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas 1
Makassar mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, narapidana terlebih
dahulu harus melewati beberapa tahapan proses pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan klas 1 Makassar, yaitu :
a. Tahap
pertama atau tahap maximum security, penelitian,
dan pengenalan lingkungan, serta diterimanya narapidana.
Selanjutnya dijelaskan bahwa
pembinaan dalam tahap ini meliputi :
1. Penjelasan
mengenai hak-hak setiap narapidana, tata tertib yang harus ditaati selama
berada di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar.
2. Penyuluhan-penyuluhan
mengenai budi pekerti dan moral, kesehatan serta penyuluhan keagamaan.
b. Tahap
kedua atau tahap medium security atau
tahap asimilasi awal.
Dalam tahap ini narapidana
telah menjalani 1/3 sampai sekurang-kurangnya ½ dari masa
pidana sebenarnya. Dalam tahap ini
narapidana sudah lebih longgar pengawasannya, para narapidana sudah dapat
bekerja dan berolahraga di luar Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar dengan
pengawasan dan pengawalan dari petugas lembaga.
c. Tahap
ketiga atau tahap minimum security atau
tahap asimilasi lanjutan.
Tahap ini dimulai dari ½ sampai dengan 2/3
masa pidana. Dalam tahap ini, narapidana sudah dapat diasimilasikan ke luar Lembaga Pemasyarakatan tanpa
pengawalan. Asimilasi ini misalnya beribadah, olahraga, mengikuti pendidikan,
bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan bersama-sama masyarakat umum tanpa
pengawalan dari petugas lembaga melainkan berupa pengawasan dan bimbingan dari
petugas lembaga.
d. Tahap
keempat atau tahap integrasi atau tahap akhir.
Tahap ini adalah tahap
pembinaan narapidana yang telah melalui 2/3 masa
pidananya. Dalam tahap ini, narapidana yang memenuhi persyaratan akan diberikan
pelepasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Pembinnaan dalam tahap ini
dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar dan pengawasan
sepenuhnya berada di bawah Balai Pemasyarakatan yang kemudian disebut dengan
istilah pembimbingan klien pemasyarakatan.
Cuti Menjelang Bebas yang merupakan
hak dari narapidana yang telah menjalani 2/3 masa
pidananya dan berkelakuan baik selama 9 bulan terakhir merupakan salah satu
wujud dari pembinaan dalam proses pemasyarakatan. Berkelekuan baik merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh narapidana yang ingin mendapatkan Cuti
Menjelang Bebas, namun maksud dari berkelakuan baik tersebut tidak diatur
dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Lembaga
Pemasyarakatan dan tata cara pelaksanaan hak-hak warga binaan.
Berdasarkan
wawancara dengan Suwandi Amd.Ip.,S.H.,M.H. selaku staf di bidang Seksi
Pembinaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar, beliau
mengungkapkan bahwa yang menjadi tolak ukur kelayakan kelakuan baik dari narapidana yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar untuk mendapatkan izin Cuti Menjelang
Bebas adalah narapidana tersebut selama menjalani masa pidana menunjukkan
keinsyafan dengan menyesali perbuatannya, menjadi warga binaan yang yang baik
dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan
keagamaan serta tidak pernah melakukan pelanggaran atau memperoleh tindakan
disiplin.
Perilaku-perilaku kelakuan baik
tersebut harus ditunjukkan oleh
narapidana selama mengikuti tahapan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
klas 1 Makassar.
Selain syarat tersebut di atas yang merupakan syarat
umum untuk mendapatkan Cuti Menjelang Bebas terpenuhi, narapidana juga
harus memenuhi syarat subtantif dan
syarat administratif yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.
M.2.PK.4-10 tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud di atas yang
harus dipenuhi oleh Narapidana dan Anak
Pidana adalah :
a. telah
menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi
pidana;
b. telah
menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
c. berhasil
mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d. masyarakat
dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang
bersangkutan;
e. berkelakuan
baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk:
1. Asimilasi
sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
2. Pembebasan
Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan)
bulan terakhir; dan
3. Cuti
Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
f. masa
pidana yang telah dijalani untuk :
1. Asimilasi,
1/2 (setengah) dari masa pidananya;
2. Pembebasan
Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua
pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
3. Cuti
Menjelang Bebas, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti
sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan;
4. Cuti
Bersyarat, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling
lama 3 (tiga) bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan
tindak pidana baru maka selama di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa
menjalani pidana;
Sedangkan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud di
atas yang harus dipenuhi oleh Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. kutipan
putusan hakim (ekstrak vonis);
b. laporan
penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
laporan perkembangan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang
dibuat oleh Wali Pemasyarakatan;
c. surat
pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan;
d. salinan
register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari
Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
e. salinan
daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan
lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN;
f. surat
pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau
swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya
lurah atau kepala desa;
g. bagi
Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan :
1. surat
jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan bahwa
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati
syarat-syarat selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas, atau Cuti Bersyarat;
2. surat
keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian
yang bersangkutan.
Cuti
Menjelang Bebas bukanlah hadiah cuma-cuma yang diberikan kepada narapidana,
melainkan merupakan suatu perwujudan pembinaan yang memberi kesempatan kepada
narapidana untuk belajar menyesuaikan diri dan bergaul lebih awal dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Selanjutnya
Andi Mohammad Hamka, S.Hi.,M.H. selaku staf di bidang Pembinaan Pemasyarakatan
menambahkan bahwa untuk mendapatkan izin cuti Menjelang Bebas juga harus ada
surat jaminan. Surat Jaminan tersebut dibuat oleh keluarga narapidana yang
diketahui dan ditandatangani oleh pemerintah setempat dalam hal ini kepala
Kelurahan atau Kepala Desa.
Bila
narapidana telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk mendapatkan
Cuti Menjelang Bebas, maka anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang
dibentuk oleh Kepala lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar akan mencatat
narapidana-narapidana tersebut untuk kemudian diusulkan kepada Kepala Lembaga
Pemasyarakatan klas 1 Makassar yang dituangkan dalam formulir yang telah
ditetapkan. Selanjutnya Kepala Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar
meneruskan usulan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan
HAM setempat dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM
provinsi Sulawesi Selatan. Apabila Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan
HAM menolak usulan pemberian cuti menjelang bebas tersebut, maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut memberitahukan penolakan itu
beserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Namun apabila Kepala Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan HAM menerima usulan yang diberikan oleh Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, maka Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM atas nama
Mentri Hukum dan HAM, maka Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM
menerbitkan keputusan tentang Cuti Menjelang Bebas tersebut.
Setelah
semua prosedur di atas dilalui, selanjutnya Kepala Lembaga Pemasyarakatan klas
1 Makassar menandatangani surat izin Cuti Menjelang Bebas berdasarkan keputusan
Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan.
Tembusan
surat keputusan izin Cuti Menjelang Bebas tersebut, selanjutnya disampaikan
kepada :
1. Kepala
Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan
2. Balai
Pemasyarakatan
3. Polres
atau Polsek setempat
4. Pemerintah
Setempat
Setelah
narapidana diberikan petunjuk oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan klas 1
Makassar, maka narapidana kemudian diserahkan kepada Balai Pemasyarakatan
Makassar untuk dibina selama narapidana berada di luar Lembaga Pemasyarakatan
dengan disertai berita acara penyerahannya.
Berdasarkan
penelitian selama di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar, penulis
menyimpulkan bahwa pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan
klas 1 Makassar telah sesuai dengan pertauran perundang-undangan yang berlaku.
B.
Hambatan-hambatan
Dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas Di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1
Makassar
Dalam
mengikuti program pembinaan di lembaga Pemasyarakattan klas 1 Makassar,
kesadaran dan motivasi narapidana dalam mengikuti program pembinaan sangat
diharapkan, karena dalam sistem pemasyarakatan yang dikehendaki adalah
tumbuhnya kesadaran dari narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik
dan taat hokum setelah bebas dari Lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan
penelitian dan data yang diperoleh selama penulis melakukan penelitian di
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar, terlihat bahwa jumlah narapidana yang
mendapatkan Cuti Menjelang Bebas sangat minim jumlahnya. Hal ini semakin jelas apabila
dibandingkan dengan jumlah Narapidana yang memperoleh Pembebesan Bersyarat di
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar selama lima (5) tahun terakhir.
Perbedaan
antara pembebasan bersyarat dengan cuti menjelang bebas adalah :
1. Pembebasan
bersyarat diberikan kepada narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3
dari masa pidananya, minimal 2/3 masa pidananya itu adalah (9) sembilan bulan,
sedangkan cuti menjelang bebas diberikan kepada narapidana setelah
menjalani 2/3 dari
masa pidananya dan tidak ada batas minimal dari
2/3 masa pidana yang dimaksud.
2. Pembebasan
bersyarat dijalani oleh narapidana sampai dengan narapidana tersebut bebas
sesungguhnya, kecuali narapidana tersebut mengulangi tindak pidana, meresahkan
masyarakat dan melanggar ketentuan pembebasan bersyarat maka hak pembebasn
bersyaratnya dicabut. Sedangkan cuti menjelang bebas paling lama dijalani oleh
narapidana sampai dengan remisi terakhir yang didapat, yakni paling lama (6)
enam bulan.
Adapun
jumlah narapidana yang memperoleh Pembebasan Bersyarat sejak tahun 2005 samapai
dengan 2009 dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel
2. Jumlah Narapidana yang mendapat pembebasan bersayarat.
Tahun
|
Jumlah
Narapidana
|
Pembebasan
Bersyarat
|
Persentase
(%)
|
2005
|
671
|
120
|
17,88
%
|
2006
|
671
|
121
|
18,03
%
|
2007
|
490
|
116
|
23,67
%
|
2008
|
403
|
90
|
22,32
%
|
2009
|
414
|
108
|
26,08
%
|
Sumber data : Lembaga Pemasyrakatan klas 1
Makassar.
Minimnya jumlah narapidana yang
mendapatkan Cuti Menjelang Bebas dalam lima (5) tahun terakhir menggambarkan
bahwa terdapat kendala/hambatan dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan Wahyu dan Aswan selaku narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
klas 1 Makassar menyatakan bahwa pada umumnya mereka mengetahui tentang hak-hak
yang mereka miliki selaku narapidana seperti hak untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan hak-hak yang
lainnya. Hak-hak yang dari narapidana diketahui ketika mereka pertama kali
menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar. Namun, mereka kurang
mengetahui tentang syarat-syarat untuk mendapatkan Cuti Menjelang Bebas, yang
mereka ketahui hanyalah tentang syarat berkelakuan baik dan telah menjalani 2/3
masa pidana. Narapidana juga lebih memilih untuk berjuang mendapatkan
pembebasan bersyarat dibandingkaan cuti menjelang bebas, sebab menurut mereka
pembebasan bersyarat lebih menguntungkan daripada cuti menjelang bebas yang
hanya dapat dijalani dengan jangka waktu cuti sama dengaan remisi terakhir
yakni paling lama enam (6) bulan saja.
Selnjutnya
Andi Mohammad Hamka, S.Hi.,M.H selaku staf di bidang seksi Pembinaan
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar mengungkapkan,bahwa
salah satu kendala untuk melaksanakan cuti menjelang bebas adalah jaminan dari
keluarga narapidana. Perlu kiranya diketahui, bahwa yang menjadi narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar bukan hanya para pelaku kejahatan yang
melakuklan tindak pidana di Kota Makassar saja, melainkan juga dari berbagai
daerah lain di sekitar Kota Makassar. Bagi narapidana yang berasal dari luar
kota Makassar biasanya akan terkendala pada surat jaminan dari kelurga yang
disebabkan tempat tinggal keluarga yang jauh dari Lembaga pemasyarakatan klas 1
Makassar. Jaminan dari keluarga narapidana juga harus disertai dengan jaminan
dari Pemerintah setempat dalam hal ini serendah-rendahnya dari Kepala Kelurahan
atau Kepala Desa tempat tinggal narapidana. Beliau mengungkapkan bahwa ada
beberapa keluarga narapidana yang telah membuat surat jaminan untuk narapidana
tetapi mereka tidak mendapat jaminan dari Kepala Kelurahan tempat tinggalnya.
Hal ini merupakan salah satu kendala untuk memberikan izin cuti menjelang bebas
bagi narapidana yang bersangkutan.
Selain
itu Andi Mohammad Hamka, S.Hi.,M.H selaku staf di bidang seksi Pembinaan
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar menambahkan, bahwa
hambatan lainnya adalah keterlambatan surat keterangan dari Kejaksaan yang
menyatakan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak tersangkut perkara lain.
Hal ini di dipandang perlu oleh oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan klas 1
Makassar sebelum meberikan izin Cuti Menjelang Bebas bagi narapidana, karena
narapidana yang tersangkut perkara lain tidak akan diberikan izin Cuti
Menjelang Bebas.
Drs
H. Bohari selaku Kepala Bidang Pembinaan Narapidana Lembaga pemasyarakatan klas
1 Makassar menyatakan, bahwa pihak Lembaga Pemasyarakatan mengutamakan untuk
mengusulkan pembebasan bersyarat dibandingkan cuti menjelang bebas bagi
narapidana dengan tidak mengenyampingkan aturan perundang-undangan yang ada.
Ditambahkan pula, bahwa cuti menjelang bebas biasanya diberikan kepada
narapidana yang mendapatkan vonis ringan dari pengadilan, sementara narapidana
yang ada di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar pada umumnya adalah pelaku
kejahatan yang menjalani hukuman berat dari penggadilan.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan
Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar telah sesuai
dengan peraturan pelaksanaannya sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya dalam hal ini Peraturan Menteri Hukum dan
HAM RI No. M.01.P.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
2. Adapun
yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga
Pemasyarakatan klas 1 Makassar adalah kurangnya pengetahuan dari narapidana
tentang syarat-syarat Cuti Menjelang bebas, keinginan dan motivasi yang kurang
dari narapidana untuk mendapatkan Cuti Menjelang Bebas dan tidak adanya jaminan
dari pihak keluarga narapidana serta kurang optimalnya kerjasama antara
instansi terkait.
B.
SARAN
Setelah melakukan pembahasan dan
analisa terhadap pemasalahan yang ada, maka saran yang dapat dberikan penulis
adalah
1. Agar
kiranya petugas Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar lebih sering memberikan
penerangan/penyuluhan bagi narapidana mengenai hak untuk Cuti Menjelang Bebas
agar terbangun keinginan dan motivasi narapidana untuk mendapatkan izin Cuti
menjelang Bebas.
2. Petugas
Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Makassar lebih meningkatkan koordinasi dengan
instansi-instansi terkait seperti kejaksaan dan instansi pemerintahan seperti kantor-kantor
kelurahan atau kantor-kantor kecamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam,
2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia
(Dalam Mewujudkan Keadilan Masyarakat), Restu Agung, Jakarta.
Chazawi
Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana,
Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum
Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Dahlan,
M. Y. Al-Barry et.al, 2003. Kamus Induk
Istilah Ilmiah Seri Intelectual, Target Pres, Surabaya.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Effendy,
Rusli, 1986. Azas-Azas Hukum Pidana;
Cetakan III, Lembaga Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia
(LEPPEN-UMI), Makassar.
Hamzah,
Andi, 1994, Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia Dari Retribusi di Reformasi, Pradaya Paramita, Jakarta.
Kanter
E.Y & S.R. Sianturi, 2002. Azas-Azas
Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Kelsen,
Hans, 2006. Teori dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang.
Lamintang,
P.A.F, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Marpaung,
Leden, 2005. Azas-Teori-Praktik Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Muladi
dan Barda Nawawi Arif, 1984. Teori-Teori
Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Priyanto,
Dwidja, 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Prokoso, Djoko, 1988. Hukum Penitensier Di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
Purnomo,
Bambang, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana,
Ghalia Indonesia, Jogyakarta.
Saleh,
Ruslan, 1987. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Dengan Penjelasannya, Aksara Baru, Jakarta.
Soerjobroto,
Bahrudin, 1986. Ilmu Pemasyarakatan
(Pandangan Singkat), AKIP, Jakarta
Sudarsono, 2005. Kamus Hukum, Edisi Baru, Rineka Cipta,
Jakarta.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang RI No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Peraturan Menteri Hukum dan
HAM RI Nomor M.2.PK.4-10 tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar