Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Yudisial
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihadirkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagai mana mestinya dengan memberlakukan kaedah-kaedah hukum. Metode Penyelesaian sengketa internasionaal adalah melalului pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh pengadilan internasional adalah mahkamah internasional( internasional court of justice/ ICJ) dan mahkamahpidan internasional ( internasional criminal court / ICC). Contoh pngadilan ad hoc atau pengadilan khusus adalah mahkamahinternasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda (Internasional Criminal Tribunal For The Farmer Yugoslavia / ICTY) dan ( Internasional Criminal Tribuna for Rwanda / ICTR). Pengadilan ad-hoc ini mempunya mandat terbatas pada waktu dan wilayahnya.
2.3.2. Penyelesaian Melalui Badan Peradilan Internasional
Salah satu alternative penyelesaian sengketa internasional secara hukum atau judicial settlement seperti yang telah diuraikan diatas adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau internasional court)[1].
2.3.2.1. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tidakk terpisahkan dengan Piagam PBB.[2]
Mahkamah internasional adalah organ utama lembaga kehakiman PBB, yang kedudukan di Den Haag, Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti MIP (mahkamahinternasional permanen)[3]. Fungsi utama MI adalah untuk menjelaskan kasus-kasus persengkataan intersional yang subjeknya adalah negara. Statuta adalah hukum-hukum yang terkandung.
Pasal 9 Statuta Mahkamahinternasional menjelaskan, komposisi ICJ terdiri dari 15 hakim. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap dibidang hukum internasional, untuk memilih anggota mahkamah dilakukan pemungutan suara secara independen oleh majelis umum dan Dewan Keamanan (DK). Biasanya 5 hakim Mahkamah berasal dari anggota tetap DK PBB, tugasnya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan baik yang bersifat sengketa maupun yang bersifat nasihat.
Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
Mengenai penanganan Perkara di mahkamahinternasional,Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto [4] adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka. Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1. Perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah.
2. Pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. Adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
4. Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.
Masalah yuridiksi atau kewenangan suatu pengadilan dakam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar.kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan pada kesepakatan dari negara- negara yang mendirikannya, berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional.
Biasanya perjanjian internasional ini menentukan pula siapa saja yang berhak menyerahkan sengketanya kepada pengadilan (ratione personae)[5] dan sengketa-sengketa apa saja yang biasa diserahkan dan diadili oleh pengadilan. Contohnya pertikaian antara indonesia- Australia mengenai landas kontinen kedua negara, tidak begitu saja diserahkan kepada The Eropean Court Of Human Right, yang khusus mengadili sengketa-sengketa pelanggaran hak asasi manusia diantara negara-negara the European Community. Yurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal :
1. Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkanny (contentious jurisdiction).
2. Noncontentious jurisdiction atau yurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction).
a. Contentious Jurisdiction
Yurisdiksi mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa atara dua Negara atau lebih, sengketa hukum yang memungkinkan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum internasional terhadapnya. Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa Negara sejalah yang bias menyerahkan sengketanya ke Mahkama. Dengan kata lain subyek-subyek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional,perusahaan multinasional,orang perorangan,pihak yang bersengketa, dan lain-lain tidak bias meminta mahkamahuntuk menyelesaikan sengketanya.
Jika individu atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanya tindakan Negara lain maka agar sengketa tersebut dapat diserahkan dan tangani oleh Mahkamah, negara individu atau negara tempat perusahaan didaftarkan dapat mengambil alih sengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah.
Meskipun suatu negara adalah pihak atau peserta pada statute dan berhak untuk memanfaatkan proses persidangan hukum persidangan mahkamah. Namun tidak ada suatu negara pun dapat dipaksakan untuk menyelesaikan sengketanya kepada mahkamah tanpa kesepakatan negara itu sendiri[6].
Menurut Pasal 4 ayat 3 statuta , Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepada mahkamah, namun anjuran tersebut tidak dapat memaksa negara-negara agar sengketa mereka diselesaikan oleh mahkamah, kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi mahkamah.
Rekomendasi Dewan Keamanan sempat menarik perhatian ketika inggris dan Albania bersengketa[7]. Dalam sengketa ini Dewan Keamanan memberikan rekomendasi agar inggris dan Albania menyerahkan sengketanya kepada ICJ (internasional court of justice). Inggris berpendapat bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan alasan yang cukup untuk memberi yurisdiksi kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus sengketa.
Namun ICJ berpandangan lain.ICJ melihat kehadiran Albania di sidan ICJ sudah menunjukkan bahwa negara tersebut telah menyepakati (secaradiam-diam) yurisdiksi ICj. Mayoritas hakim ICJ pada waktu itu tidak begitu memperdulikan argumentasi inggris tentang Statute Rekomendasi Dewan keamanan, namun demikian terdapat 7 hakim yang menyatakan bahwa pendapat inggris diatas keliru, alasan mereka rekomendasi Dewan Keamanan tersebut tidak mengikat.
b. Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
Noncontentious (Advisory) jurisdiction ialah dasar hokum yurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan (Advisory) hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 (lima) badan atau hukum utama dan 16 (enam belas) badan khusus PBB. Mahkamah dapat memberikan pendapat atau nasehatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badan-badan mana pun yang diberi wewenan sesuai dengan piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.
Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 93 ayat (2) piagam menyatakan bahwa negara-negara non-angota PBB dapat pula menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas rekomendasi dari dewan Keamanan[8].
Swis misalnya bukan anggota PBB, pada tanggal 11 desember 1946 majelis umum mengesahkan, atas rekomendasi Dewan Keamanan, suatu resolusi 91 (1) 1946. Resolusi ini menyatakan bahwa swis dapat menjadi peserta pada statute ICJ dengan syarat-syarat berikut:
1. Menerima ketentuan – ketentua statute ICJ.
2. Menerima semua kewajiban sebagai anggota PBB berdasarkan pasal 94 pigam[9]
3. Bersedia membayar ongkos-ongkos Mahkamahyang jumlahnya akan ditentukan oleh Majelis Umum dari waktu ke waktu setelah berkonsultasi dengan pemerintah Swis.
Swis menerima persyaratan-persyaratan tersebut yang menyatakan dalam suatu dokumen yang diserahkan kepada secretariat PBB pada tanggal 28 juli 1948. Negara Liechtenstein dan San Marino menjadi peserta statute ICJ dengan persyaratan-persyaratan yang sama dengan menyerahkan pernyataan (deklarasi) penerimaan kepada secretariat PBB pada tanggal 29 maret 1950 dan 18 februari 1954.
c. Sumber Hukum Mahkamah Internasional
Statuta mahkamah internasional dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum internasional yang akan mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diserahkan kepadanya, sumber hukum tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) statuta mahkamah internasional, yaitu :
a) Konvensi atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hokum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
b) Kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai mana telah dibuktikan sebagai suatu praktik umum yang diterima ssebagai hokum.
c) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beragam.
d) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum subside (tambahan) untuk menetapkan kaida-kaidah hukum.
Menurut Moctar Kusuma Admaja, penyebutan sumber-sumber hukum tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertaama tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer, dua lainnya adalah sumber hukum tambahan atau subside.[10].
Adanya dua penggolongan tersebut secara teori menunjukkan bahwa Mahkamahpertama-tama akan menggunakan sumber hokum utama terlebih dahulu (perjanjian internasional) baru manakalah memeriksa sengketa dengan mengguanakan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya jika sumber hukum tersebut kurang memberi gambaran maka sumber hukum subside akan berfungsi, yaitu prinsip-prinsip hukum umum dan putusan pengadilan terdahulu serta pendapat para ahli (doktrin).
Menurut piagam PBB asas-asas hukum umum tidak mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam lingkup internasional. Tetapi ia mengacu kepada prinsip-prinsip hukum umum yang terdapat dalam hukum nasional atau terefleksikan dalam konsep-konsep dasar dari negara-negara beradap.
Moctar kusuma Atmadja menggungkapkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang mendasari system hukum modern. Yang dimadsud system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Negara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum romawi. Mahkamah akan menggunakan norma-norma hukum ini untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Adapun kasus-kasus yang perna disidangkan didepan mahkamah internasional :
1. Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro);
2. Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia);
3. Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo);
4. Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro);
5. Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras);
6. Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia);
7. Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France);
8. Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore);
9. Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine);
10. Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua);
2.3.2.2 International Criminal Court (ICC)
Statuta Roma atau the Rome Statute adalah constituent instrument bagi berlakunya International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Juli 2002 setelah Senegal meratifikasinya pada tanggal 1 Juli 2001. Jenis kejahatan yang yang diatur dan menjadi yurisdiksi ICC adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta. Keempat jenis kejahatan tersebut pada saat sekarang telah menjadi jenis-jenis atau Prototipe dari kejahatan internasional yang paling serius di muka bumi .
Jenis kejahatan dalam ICC yaitu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan agresi memiliki dasar pembenar (opinion jurist) yang memiliki akuntabilitas hukum yang diterima secara umum. Kriminalisasi ketiga jenis kejahatan tersebut berasal dari konsensus masyarakat internasional ataupun dari kebiasaan internasional yang menempatkan individu sebagai pelaku utama sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam kapasitas aktif maupun pasif mereka. Akuntabilitas pertanggung jawaban pidana bagi individu yang telah melakukan kejahatan internasional di dalam ICC tersebut ditujukan tidak hanya kepada korban, keadilan, tetapi juga untuk dan atas nama masyarakat internasional secara keseluruhan.
Dengan demikian, asumsi pembenaran (opinio juris necesitatis) dan praktek internasional (practice) menjadikan pengaturan jenis kejahatan dalam ICC memiliki akuntabilitas hukum yang sangat tinggi karena didasari pada prinsip-prinsip tersebut di bawah ini :
1. Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang;
2. Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional;
3. Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang;
4. Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang;
5. Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair;
6. Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasional.
2.3.2.3. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY))
Berbeda dari Mahakamah Internasional yang merupakan suatu peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICTY adalah mahkamah yang didirikan oleh suatu keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam berkenan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Demikianlah melalui resolusi dewan keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993, PBB membentuk The International Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah bekas Yugoslavia. Sesuai mandatnya, yurisdiksi Mahkamah terbatas baik dari segi waktu maupun gografis. Mahkamah tidak dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1991 atau kejahatan-kejahatan yang telah terjai atau terjadi di luar wilayah negara bekas Yugoslavia. Yurisdiksi mahkamah meliputi komponen-komponen dasar hukum humaniter internasional, yaitu pelanggaran-pelanggaran berat terhnadap konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap kemanusiaan, dan tindakan-tindakan genosida.
Mahkamah mempunyai 16 hakim tetap yang dipilih oleh majelis umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun. Dua dari hakim-hakim tersebut dipilih oleh Sekertaris Jenderal PBB.mahkamah diketuai oleh Mr. Theodor Meron asal Amerika Serikat yang dipilih pada tanggal 14 Maret 2000 bersama dengan hakim-hakim lainnya. Di samping itu, melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1329 dibentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 27 orang oleh majelis umum untuk masa jabatan 4 tahun mengingat beratnya tugas yang dilaksanakan oleh mahkamah.
Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in absensia. Jika pengadilan tidak mampu menghadirkan terdakwa, maka penuntut dapat mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan bukti yang ada, selanjutnya majelis akan menentukan ada atau tidaknya dasar yang rasional untuk mempercayai bahwa terdakwa melakukan kejahatan dan dapat mengeluarkan jaminan penahanan internasional yang diberikan kepada semua negara. Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi-in absensia. Sampai sekarang ini, jumlah terdakwa yang telah diperiksa adalah sebanyak 35 orang dengan 32 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana, sedangkan tiga lainnya dibebaskan[11].
Demikianlah pembentukan mahkamah ini telah merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan aka nada mahkamah pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.
2.3.2.4. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR))
Kekerasan yang membinasakan Rwanda sejak awal 1994 menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sejumlah resolusi yang memberi peringatan telah terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional dan menentukan bahwa konflik tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 995 tanggal 8 November 1994 dibentuklah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berlokasi di Arusha, Tanzania[12]. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang-orang Rwanda di negara-negara tetangga, khususnya yang dilakukan oleh ekstrimis Suku Hutu sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994.
Mahkamah pada mulanya mempunyai 6 hakim tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB pada bulan Mei 1995. Selanjutnya melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1165 (1998) memutuskan untuk membentuk Trial Chamber ke-3 dengan menambah 3 hakim lagi sehingga 9. Kemudian melalui resolusi Dewan Kemanan No. 1329 (2000) ditambah lagi 2 hakim sehingga menjadi 11. Mahkamah diketuai oleh Mr. Eric Mose asal Norwegia. Disamping hakim-hakim tetap ini Dewan Keamanan melalui resolusi No. 1431 (2002) membentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 18 orang yang dipilih oleh Majelis Umum.
Melalui Statuta ICTR inilah secara tegas-tegas dirumuskan bahwa crimes against humanity tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi bisa terjadi di masa perang atau masa damai (no nexus with and armed conflict). Adapun persamaan dan perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: Pertama, baik ICTY maupun ICTR keduanya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Kedua, ICTR maupun ICTY merupakan subsidiary organs Dewan Keamanan. Ketiga, baik ICTY maupun ICTR memiliki struktur yang sama[13].
Sementara perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: pertama, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international armed conflict maupun internal armed conflict, sedangkan ICTR memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflict. Kedua, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan on national, political, athnics, racial, or other religion ground. Dengan demikian hal ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. Ketiga, ICTY mempunyai yurisdkisi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah “bekas Yugoslavia” sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki Yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda. Keempat, prosedur beracara ICTY mengikuti common law system, sedangkan ICTR mengikuti campuran antara common law dan civil law system[14]. Jumlah terdakwa yang diperiksa dalam ICTR sebanyak 16 orang dan 1 orang di antaranya diputus bebas sedang yang lain dijatuhi pidana dengan jumlah pidana terbanyak yang dijatuhkan adalah pidana penjara seumur hidup[15].
[1] Huala Adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,Jakarta:sinar grafika,2004. Hal 58
[2] http://bennysetianto.blogspot.com/2006/05/mahkamah-internasional.html akses pada tanggal 24 Mei, 2010, pukul 20.15 WIB
[3] PCIJ (permanent court of internasional of justice)pendahulu dari ICJ, yang dibentuk berdasarkan pasal 14 konvenan liga bangsa bangsa pada tahun 1922.
[4] ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 91 konvensi WINA 1969 tentang konvensi internasional.
[6]Huala adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,bandung,2004. Hal 69
[7] Dalam the corfu chanel case,1948
[8] Dimungkinkannya Negara-negara yang bukan menjadi anggota PBB untuk menjadi anggota ICJ merupakan pengecualian terhadap prinsip hukum perjanjian internasional pacta tertis nec nocent nec prosunt,yang berarti bahwa perjanjian mengikat hanya terhadap para pihak yang membuat dan mengikatkan dirinya . ia tidak mengikat pihak ketiga yang berada diluar kesepakatan para pihak yang membuatnya.
[9] Pasal 94 piagam mensyaratkan smua anggota PBB untuk menaati putusan yang dikeluarkan oleh MahkamahInternasional.
[10] Moctar Kusuma Admadja.op.cit., hlm 108
[11] Ibid,hal. 81.
[12] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalamm Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, hal.285.
[13] Mappasessu, 2005, Perbandingan Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),skripsi, sarjana hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hal. 62-65.
[14] Ibid,
[15] Dian Primayadi,2005, Pelaksanaan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) Serta Manfaatnya Terhadap Perkembangan Hukum di Bidang Kejahatan Internasional, skripsi, sarjana hukum, Fakultas \Hukum Universitass Hasanuddin, hal. 83.