Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian, Syarat, Berakhirnya Perjanjian


A.   Ruang Lingkup Perjanjian
1.    Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian adalah kata yang berasal dari kata dasar “janji” yaitu suatu persetujuan atau kesepakatan dari pernyataan kehendak antara kedua belah pihak. Perihal perjanjian pada umumnya dan hubungannya dengan perikatan, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya terhadap buku II bab III, maupun pengertian yang dirumuskan oleh beberapa sarjana dikemukakan di bawah ini :
Pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh Subekti adalah sebagai berikut : [1]
“Dikatakan dengan perikatan oleh buku III itu adalah suatu hubungan hukum Mengenai kekayaan harta benda, antara dua orang yang memberi kapada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya ini hanya diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.
Selanjutnya pengertian hukum perjanjian di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.
Dalam Ketentuan di atas agaknya kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan di dalamnya. Menurut Abdul Kadir Muhammad kelemahan itu antara lain :[2]
1.    Dalam kalimat tersebut dikatakan….satu orang atau lebih mengikatkan dirinya….Hal ini menunjukkan suatu perbuatan yang sepihak saja, bukan dari dua pihak ( timbal balik ).
2.    Pada kata ‘perbuatan’ seolah-olah mencakup semua perbuatan, termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa tindakan melanggar Hukum (onrecht matigedaad ) yang tidak mengandung suatu konsensus. Jadi seharusnya ditulis kata persetujuan yang berarti kata perbuatan Hukum yang mengandung adanya konsensus.
3.    Pengertian itu terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam Hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4.    Dalam perumusan Pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas maksudnya.

Seiring dengan tidak adanya istilah yang disepakati arti/ maksud dan tujuannya, menimbulkan perbedaan persepsi yang saling memperdebatkan dan mempertahankan pendirian masing-masing.
Untuk menghindari kesalahpahaman, maka menurut Wirjono Prodjodokoro bahwa “ Perlu adanya kata sepakat diantara para ahli hukum tentang arti dari kata-kata yang dipergunakan”.[3]
Dari pendapat tersebut di atas, menurut hemat penulis ditujukan pada suatu pengertian yang telah mempunyai ketentuan yuridis dalam arti bahwa pengertian tentang hak itu telah diatur secara tersendiri dalam bentuk Undang-Undang. Namun bila hal tersebut belum mempunyai pengertian secara yuridis, maka perbedaan itu masih tetap akan ada.
Dari uraian yang memberi batasan tentang pengertian perjanjian seperti dikemukakan di atas, maka jelaslah bahwa kesepakatan yang dikaitkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama merupakan unsur yang sifatnya mendasar atau esensial dari suatu perjanjian. Suatu persetujuan bermakna sebagai suatu perjanjian. Suatu persetujuan bermakna sebagai sebuah perjanjian bilamana ada kesepakatan yang telah tertentu atau telah ditentukan oleh kedua belah pihak, yakni mereka yang menetapkan dalam bentuk perjanjian.
Adanya kesepakatan atau persetujuan yang diambil itu berarti telah terjalin suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, atau sesuatu perjanjian telah disepakati akan melahirkan suatu perikatan yang di mana perjanjian tersebut merupakan salah satu perikatan disamping Undang-Undang.
Adapun asas-asas perjanjian yang dimaksud KUHPerdata adalah sebagai berikut : [4]
a.    Asas Personalitas;
b.    Asas Konsensualitas;
c.    Asas Pacta Sunt Servanda;
d.    Asas Kebebasan Berkontrak;
e.    Asas Itikad Baik
Membahas mengenai asas personalitas, Subekti menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Namun terdapat pengecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan “janji untuk pihak ketiga”. Dalam janji untuk pihak ketiga tersebut, seseorang membuat suatu perjanjian, dalam perjanjian mana ia memperjanjikan hak-hak bagi seorang lain. Dalam hubungan ini, pihak yang meminta ditetapkannya suatu hak bagi pihak ketiga disebut stipulator dan pihak yang akan memenuhinya disebut promissory. [5]
Berdasarkan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata mengenai pihak ketiga dinyatakan bahwa, perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak dapat merugikan pihak ketiga, kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 tentang perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Subekti menjelaskan mengenai asas konsensualitas bahwa, saat lahirnya perjanjian adalah ketika terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai objek perjanjian.[6] Sementara menurut ajaran yang paling tua, bahwa sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah terjadi, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Kemudian menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, bahwa perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban terhadap penerimaan tersebut.
Menurut Munir Fuady mengenai asas-asas perjanjian dalam KUHPerdata yakni : [7]
a.    Hukum perjanjian bersifat mengatur, artinya hukum tersebut berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain.
b.    Asas kebebasan berkontrak, artinya para pihak bebas membuat perjanjian apa saja dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut sepanjang memenuhi syarat-syarat sah sebuah perjanjian,
c.    Asas pacta sun servanda, artinya suatu perjanjian yang dibuat secara sah memiliki ikatan hukum yang penuh bagi para pihak.
d.    Asas konsensual, artinya suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika tercapainya kesepakatan para pihak. Dengan adanya pernyataan sepakat, maka kontrak tersebut pada prinsipnya sudah memiliki akibat hukum.
e.    Asas obligatoir, artinya suatu perjanjian yang sah dan mengikat, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak.
Hukum perjanjian yang bersifat mengatur merupakan sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian. Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan.[8] Sistem terbuka yang juga mengandung suatu asas kebebasan berkontrak, dalam KUHPerdata disimpulkan melalui interprestasi terhadap Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa  “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian memberikan keleluasaan timbulnya perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan suatu campuran antara perjanjian khusus yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, perjanjian sewa beli. [9]


2.    Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat sah suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata yakni sebagai berikut: [10]
a.    Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata,yaitu:
1)    Kesepakatan kehendak;
2)    Wewenang berbuat;
3)    Perihal tertentu;
4)    Kausa yang legal.
b.    Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu:
1)    Itikad baik;
2)    Sesuai dengan kebiasaan;
3)    Sesuai dengan kepatutan;
4)    Sesuai dengan kepentingan umum.
c.    Syarat sah yang khusus, yaitu:
1)    Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu;
2)    Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu;
3)    Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk perjanjian-perjanjian tertentu;
4)    Syarat izin dari yang berwenang.
Adapun Subekti menyatakan bahwa menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu  perjanjian diperlukan empat syarat, yakni sebagai berikut : [11]
a.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b.    Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
c.    Mengenai suatu hal tertentu,
d.    Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat tersebut di atas dibagi dalam dua kategori yakni syarat subjektif yang merupakan hal-hal mengenai subjek yang melakukan perjanjian dan syarat objektif yang merupakan persyaratan bagi objek perjanjian.
Syarat-syarat tersebut di atas apabila tidak terpenuhi, maka memiliki konsekuensi hukum masing-masing sesuai dengan syarat mana yang dilanggar. Adapun konsekuensi hukum tersebut antara lain: [12]
a.    Batal demi hukum adalah konsekuensi terhadap kontrak ataupun perjanjian bila syarat objektif tidak terpenuhi, yakni :
1)    Perihal tertentu, yang dimaksudkan perihal tertentu adalah objek dari suatu kontrak ataupun perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki objek, maka perjanjian tersebut demi hukum dianggap tidak pernah ada.
2)    Kausa yang legal artinya suatu perjanjian harus memiliki kausa, dan kausa tersebut tidak palsu, tidak melanggar prinsip-prinsip kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh perjanjian dengan kausa illegal adalah perjanjian antara klien dengan seorang pengacara yang berpraktik tanpa izin, maka setiap perjanjian yang dibuatnya sebagai seorang pengacara adalah batal demi hukum.
b.    Dapat dibatalkan adalah konsekuensi hukum terhadap perjanjian ataupun perjanjian yang tidak terpenuhi syarat subjektifnya, yakni :
1)    Kesepakatan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai segala hal yang ada dalam perjanjian secara sadar, tanpa paksaan dari pihak manapun, tanpa unsur penipuan dan unsur kekhilafan. Apabila salah satu pihak merasa tertipu sehingga menandatangani perjanjian, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat meminta pembatalan pada pengadilan negeri setempat untuk membatalkan perjanjian yang telah ditandatanganinya di mana penipuan harus terbukti telah terjadi.
2)    Kecakapan dalam berbuat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang melakukan perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat mentalnya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian (1) orang-orang yang belum dewasa, (2) mereka yang berada dalam pengampuan, (3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.  
c.    Perjanjian tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang masih memungkinkan dikonversi menjadi perjanjian yang sah. Contohnya adalah perjanjian yang disyaratkan oleh undang-undang dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, kemudian perjanjian tersebut ditulis oleh para pihak.
d.    Sanksi administratif dikenakan terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak apabila tidak terpenuhi suatu syarat. Misalnya perjanjian kerja yang dibuat harus dilaporkan ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat.

3.    Peralihan Hak dan Hapusnya Perikatan
Hak milik pada dasarnya dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui suatu peristiwa hukum. Kata beralih mempunyai arti bahwa hak milik dapat beralih kepada pihak lain karena terjadi peristiwa hukum yakni meninggalnya pemegang hak maka hak milik beralih dari pemegang hak ke ahli warisnya, sehingga ahli waris wajib melakukan pendaftaran peralihan hak karena pewarisan. Adapun kata dialihkan mempunyai arti bahwa hak milik dapat dialihkan karena adanya perbuatan hukum, misalnya jual-beli, tukar-menukar, hibah, inbreng, kepada pihak lain.   
Dalam praktiknya peralihan hak dapat dilakukan oleh 2 orang atau lebih. Dalam hal peralihan hak dilakukan oleh 2 orang, maka salah satu pihak akan kehilangan haknya, dan pihak lainnya akan menerima hak. Dalam hal perikatan peralihan hak dilakukan oleh lebih dari 2 orang, maka selain terjadinya peralihan hak, maka terjadi pula hapusnya perikatan antara para pihak yang melakukan perikatan. 
Hapusnya suatu persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya suatu perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya pada persetujuan jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Hanya jika semua perikatan-perikatan daripada persetujuan telah hapus seluruhnya, maka persetujuannyapun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya persetujuan sebagai akibat daripada hapusnya perikatan-perikatannya[13].
Sebaliknya hapusnya suatu persetujuan dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya, yaitu apabila suatu persetujuan hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi yaitu Pasal 1266 KUH Perdata, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa persetujuan berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri persetujuan, persetujuan sewa menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa atas sewa yang dinikmati tidak menjadi hapus karenanya[14].
Jadi suatu persetujuan dapat hapus atau berakhir, karena :[15]
a.    Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.
b.    Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan.
c.     Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus. Misalnya salah satu pihak meninggal, maka persetujuan menjadi hapus:
-          persetujuan kerja (Pasal 1603 j JUH Perdata)
-          persetujuan pemberian kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
d.    Suatu pernyataan penghentian perjanjian atau opzegging. Pernyataan ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak ataupun oleh salah satu pihak. Pernyataan ini hanya ada dalam perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja.
e.    Perjanjian atau persetujuan hapus karena adanya keputusan hakim.
f.     Apabila tujuan perjanjian telah tercapai, yaitu semua kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.
Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam KUH Perdata disebutkan dalam Pasal 1381, adalah :
1.    Karena pembayaran;
2.    Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3.    Karena pembaharuan utang;
4.    Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5.    Karena percampuran utang;
6.    Karena pembebasan utang;
7.    Karena musnahnya barang yang terutang;
8.    Karena kebatalan dan pembatalan;
9.    Karena berlakunya syarat batal; dan
10. Karena lewat waktu (daluwarsa).
Berikut ini penulis paparkan terkait mengenai bentuk hapusnya perikatan yang relevan dengan penulisan tesis ini, yakni hapusnya perikatan karena pembaharuan utang.
Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian. Berdasarkan Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:
1.    Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya disebut novasi objelctif.
2.    Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan dengan novasi subjektif
3.    Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditor baru ditunjuk untuk menggantikan kreditor yang lama, terhadap siapa is berutang dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan dalam Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas ternyata dalam perbuatannya.
4.    Pengertian Perjanjian Kredit

Pada dasarnya, perkataan kredit kampir dikenal oleh seluruh masyarakat. Kata kredit sudah bukan lagi menjadi kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian kehidupan masyarakat, kata kredit sering dipersamakan dengan pengertian pinjaman atau utang. Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu : “Credere” yang berarti “kepercayaan”. Seorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh suatu kepercayaan.[16]
Haymind P. Kent mengemukakan definisi kredit sebagai berikut :[17]
Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.
Lebih Lanjut, Pengertian kredit dikemukakan pula oleh J.A. Levy, yakni:[18]
Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak untuk mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.
Selain batas pengertian kredit yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, pengertian kredit secara yuridis pun ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut sebagai UU Perbankan) yang merumuskan pengertian kata kredit sebagai berikut :
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sejalan dengan pengertian di atas Munir Fuady mengemukakan bahwa kata “kredit” berarti kepercayaan, karena itu memberi mestilah disertai unsur saling percaya, yakni rasa saling percaya antara kreditor sebagai pemberi kredit dan debitor sebagai  penerima kredit. Akan tetapi dalam dunia bisnis, kepercayaan itu hanya semu belaka karena kenyatannya masih banyak pemberian kredit yang didasarkan kepercayaan itu menjadi macet.[19]
Menurut Sutan Remy Sjahdeini dikemukakan bahwa yang dimaksud perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang antara bank dan nasabah debitor yang mewajibkan pihak nasabah (debitor) untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga dan pemberian hasil keuntungan.  Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam praktek sehari-hari persetujuan pemberian kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik dibawah tangan  maupun di hadapan notaris dan sebagai pengamanan bahwa pihak peminjam akan memenuhi kewajibannya, maka debitor akan menyerahkan jaminan/agunan.[20]
Sedangkan O.P Simorangkir  mengemukakan bahwa :[21]
“Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi koperatis antara si pemberi kredit dan sipenerima kredit atau antara kreditor dan debitor. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi di masa mendatang”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menanggapi ketentuan pasal tersebut, Abdulkadir Muhammad mengemukakan unsur-unsur esensial dalam konsep kredit yakni sebagai berikut :[22]
a.     Kepercayaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap kredit bank, yaitu kredit yang diberikan itu dapat dikembalikan sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama;
b.     Agunan. Setiap kredit yang akan diberikan selalu disertai barang yang berfungsi sebagai jaminan bahwa kredit yang diterima oleh calon debitor pasti akan dilunasi dan ini akan meningkatkan kepercayaan pihak bank;
c.     Jangka waktu. Pengembalian kredit didasarkan pada jangka waktu tertentu yang layak, jangka waktu berakhir jika kredit dilunasi;
d.     Risiko. Jangka waktu pengembalian kredit mengandung risiko terhalang atau terlambat, atau macetnya pelunasan kredit;
e.     Bunga bank. Setiap pemberian kredit selalu disertai imbalan berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitor dan ini merupakan keuntungan yang diterima oleh bank;
f.      Kesepakatan. Semua persyaratan pemberian kredit dan prosedur pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah hasil kesepakatan dan dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut kontrak kredit.
Berkaitan dengan hal di atas berarti bahwa kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit di kemudian hari. Jika dijabarkan lebih lanjut lagi bahwa pemenuhan kewajiban mengembalikan pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan. Dari beberapa pengertian di atas, ter-dapat beberapa unsur yang terkandung dalam kredit tersebut antara lain:
a.    Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan baik dalam bentuk uang, barang, jasa, akan benar-benar diterimanya setelah jangka waktu yang tertentu di masa akan datang.
b.    Penyerahan secara sukarela, yaitu pemberi kredit menyerahkan sejumlah uang kepada penerima kredit untuk digunakan sebaik-baiknya agar memperoleh keuntungan.
c.    Kemampuan, yaitu kemampuan ekonomi debitor untuk menepati janjinya, di mana kemampuan itu bernilai ekonomis.
d.    Perikatan, yaitu kepastian mengenai hubungan hukum yang terjadi antara debitor dan kreditor tentang hak dan kewajiban.
e.    Bunga, yaitu jumlah yang dibayarkan diperhitungkan dari kredit (modal) yang diberikan guna keuntungan pihak kreditor agar usahanya (bank) tetap berjalan.
f.     Jaminan, yaitu sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 
Menurut M. Djumhana bahwa berdasarkan jaminannya, kredit dapat dibedakan antara lain :[23]
a.    Kredit tanpa jaminan,
Di Indonesia pemberian kredit tanpa jaminan diberikan karena nasabah tersebut telah teruji, kejujuran dan ketaatannya dalam kegiatan usaha yang dijalankan atau usaha itu sendiri sebagai jaminannya
b.    Kredit dengan jaminan
Kredit ini diberikan kepada kreditor yang didasarkan pada adanya keyakinan bank atas kemampuan debitor berupa fisik (collateral), di mana jaminan dimaksudkan untuk memudahkan bank apabila debitor wanprestasi maka bank segera dapat menerima pelunasan utangnya melalui cara pelelangan atas jaminan tersebut.
Kredit dapat digolongkan menurut jangka wak­tunya, tujuannya, dan jenis kredit yang disalurkan oleh lembaga perbankan, yakni: [24]
1.    Kredit menurut jangka waktunya
Kredit menurut jangka waktunya merupakan penggolongan kredit yang didasarkan pada lamanya waktu kredit yang di­bayar atau diangsur oleh debitor. Kredit menurut jangka wak­tunya dibagi tiga macam, sebagaimana disajikan berikut ini:

a.    Kredit jangka pendek (short term loan)
Kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Termasuk dalam kredit jangka pendek adalah kredit untuk tanaman musiman yang ber­jangka waktu lebih dari satu tahun.
b.    Kredit jangka menengah (medium term loan)
Kredit jangka menengah, yakni kredit yang berjangka waktu satu sampai tiga tahun, kecuali untuk kredit tanaman musiman sebagaimana disebutkan di atas.
c.    Kredit jangka panjang (long term loan)
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun. Kredit yang berjangka panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk mela­kukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan) dan pendirian proyek-proyek baru.
2.    Kredit menurut tujuannya
Kredit menurut tujuannya merupakan penggolongan kredit yang didasarkan pada maksud dan tujuan penggunaan kredit tersebut. Kredit berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana disajikan berikut ini:[25]

a.    Kredit konsumtif
Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya konsumtif.
b.    Kredit produktif
Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi.
c.    Kredit perdagangan
Kredit perdagangan, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membeli barang-barang untuk dijual lagi. Kredit perdagangan terdiri atas:
1)    kredit perdagangan dalam negeri;
2)    kredit perdagangan luar negeri.
Pasal 8 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Perbankan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:
a.    wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diper­janjikan;
b.    memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
 Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang meng­atur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitor, dan memiliki serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya.[26]
5.    Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Kredit

Dalam melakukan pemberian kredit, pihak bank tidak serta merta menerima permohonan kredit yang dijaukan oleh kreditor. Bayak hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak dari kemungkinan wanprestasi di kemudian hari. Olrh karena itu, dalam pelaksanaan pemberian kredit dikenal adanya prinsip-prinsip pemberian kredit yang berpedoman pada Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana yang diamanatkan oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/Dir.31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (selanjutnya disebut PPKPB). PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara memberikan kredit (prosedur), bagaimana memonitori kredit dan bagaimana menyelematkan kredit bermasalah. Suatu kebijakan perkreditan bank minimal memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :[27]
a.    Portofolio kredit yang sehat;
b.    Organisasi dan manajemen perkreditan;
c.    Kebijakan persetujuan kredit;
d.    Administrasi dan dokumentasi kredit;
e.    Monitoring dan pengawasan kredit; dan
f.     Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari dampak dari risiko kredit yang mungkin terjadi. Dengan memperhatikan prinsip dan pedoman kebijakan dalam perkreditan bank di atas, tiap-tiap bank mempunyai kebebasan untuk mekanisme penyaluran kredit. Mekanisme pemberian kredit adalah tahap-tahap yang harus dilalui sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan. Mekanisme pemberian kredit tersebut meliputi persiapan kredit, analisis atau penilaian kredit, keputusan kredit, pelaksanaan dan administrasi kredit, supervisi kredit dan pembinaan debitor.[28]
Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan pada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi utang (kreditor) di satu pihak dan penerima utang (debitor) di lain pihak. Setelah perjanjian disepakati dan debitor telah menyerahkan sejumlah jaminan bagi kredit yang diperolehnya, maka lahirlah kewajiban pada diri kreditor, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitor, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari debitor pada waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian kredit tersebut disetujui oleh para pihak.[29]
Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent principle).Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha penyaluran kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh bank sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain penentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan batas minimum perolehan bank.[30]
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitor tepat pada waktunya. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP) yang berlaku di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama atas kemampuan debitor yang lazim menggunakan ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan prospek usaha (Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan bankable.[31]
1.    Character (watak)
Tujuan bank melakukan penilaian terhadap watak debitor adalah untuk mengetahui apakah pemohon kredit mempunyai kemauan untuk membayar utangnya apabila permohonannya dikabulkan oleh bank. Dalam hal ini yang diperhatikan oleh bank adalah sikap atau perilaku debitor, baik yang berhubungan dengan bank maupun terhadap pihak lainnya.
Perhatian bank lebih diutamakan pada masalah kejujuran dan itikad baik debitor dalam penggunaan kredit dan pengembalian kredit. Untuk itu dari data-data yang disampaikan para nasabah dapat diketahui oleh pihak bank apakah nasabah dapat melunasi utangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Kemudian, pribadi nasabah menjadi pusat perhatian, apakah orang yang bersang­kutan pemboros, pemabuk, suka mengelak dari tanggung jawab, dan sebagainya. Semua perilaku nasabah dimasa lalu dijadikan sebagai bahan masukan bagi bank dalam mempertimbangkan kemampuan nasabah untuk melunasi kredit.
2.        Capacity (kemampuan)
Usaha yang dibiayai dengan kredit pada prinsipnya merupa­kan usaha yang dikelola dengan baik oleh nasabah. Hal ini dimaksudkan agar usaha tersebut dapat berkembang dengan baik sehingga terhindar dari kemacetan dalam pengembalian kredit kepada bank.
Sebelum bank mengabulkan pemohonan kreditnya, bank menilai kemampuan debitor untuk mengelola usahanya yang akan dibiayai dengan kredit. Bank perlu mengetahui, apakah nasabah mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang usaha tersebut, apakah nasabah cukup berpengalaman mengelola usaha itu, dan sebagainya. Hal yang diperhatikan bank dalam hal ini terutama pimpinan perusahaan sebagai nasabah, selain mempunyai kemampuan memimpin perusahaan, juga menguasai bidang usaha serta kesungguhan mengelola usaha dengan baik dan menguntungkan.
3.    Capital (modal)
Dalam praktik selama ini jarang sekali bank memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan oleh nasabah. Nasabah wajib menyediakan dana sendiri, sedangkan kekurangannya itu yang dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya hanya menyediakan tambahan modal. Pada umumnya komposisi penyediaan modal usaha nasabah, sebagian besar modalnya dibiayai dengan kredit bank dan sebagian kecil dibiayai nasabah. Untuk dapat menilai sejauh mana kemampuan nasabah dapat menyediakan modal sendiri dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan (neraca dan daftar laba/rugi).
4.        Condition of Economy (prospek usaha/kondisi ekonomi)
Hal yang dibicarakan di sini menyangkut objek yang akan dibiayai dengan kredit dan mempunyai masa depan yang baik. Agar dapat dikatakan demikian, objek kredit tersebut perlu diteliti manfaatnya bagi orang banyak, keuntungan yang diperoleh debitor dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
5.        Collateral (jaminan)
Untuk keamanan pelunasan kredit, nasabah diharuskan me­nyediakan harta kekayaan untuk dijadikan jaminan. Jaminan kredit adalah jaminan yang bersifat materiil maupun inma­teriil untuk mendukung keyakinan kreditor atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Jaminan kredit dibagi menjadi dua macam, yaitu jaminan materiil dan jaminan inmateriil. Jaminan materiil adalah benda tertentu baik yang berwujud maupun tidak berwujud milik debitor atau milik pihak ketiga secara sah yang telah dijaminkan kepada kreditor untuk memenuhi kewajiban debitor. Jaminan inmateriil adalah jaminan perseorangan (personal guarantee) dan/atau jaminan korpo­rasi (corporate guarantee) dari debitor dan/atau pihak ketiga untuk menanggung dipenuhinya kewajiban debitor.[32]
Pasal 11 UU Perbankan menentukan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetap­kan oleh Bank Indonesia dan bagi pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.
Menurut M. Bahsan bahwa dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang BMPK tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:[33]
1)    Pemberian kredit mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank.
2)    Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkat­kan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitor atau kelompok debitor tertentu.
Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK dikenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006. Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan  menentukan bahwa dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercaya­kan dananya kepada bank. Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berikut.
1)    Bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses peng­ambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
2)    Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dan pen­jelasannya tersebut, pemberian kredit harus mendapat pengawasan berdasarkan sistem pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya.
6.    Kredit Bermasalah

Bank dalam setiap perjanjian kredit selaku kreditor percaya bahwa setiap debitor memiliki kemampuan memenuhi kewajibannya untuk melunasi segala utang yang telah disepakati antara bank dengan debitor. Akan  tetapi, dalam kenyataannya tidak seperti yang diharapkan sebelumnya. Berbagai macam faktor di luar perhitungan atau jangkauan perkiraan dapat terjadi, sekalipun telah dilakukan analisis mendalam dan penuh kehati-hatian melalui verifikasi dan analisis kredit yang baik.
Timbulnya risiko yang tidak diharapkan ini menandakan bahwa kredit bermasalah tersebut adalah bagian dari kehidupan bisnis perbankan. Kredit bermasalah seringkali dipersamakan dengan kredit macet, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. Sedangkan kredit macet adalah kredit yang angsuran pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 (dua) masa angsuran. Penyelesaian kredit  macet kemudian diserahkan kepada Pengadilan/KP2LN (Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara) atau diajukan tuntutan kepada Perusahaan Asuransi Kredit.
Dengan demikian, kredit macet merupakan kredit bermasalah, tetapi kredit bermasalah belum tentu atau tidak seluruhnya merupakan kredit macet. Dalam pada  itu, penyebab timbulnya kredit bermasalah sendiri menurut Soedrajad Djiwandono dapat disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor Internal antara lain disebabkan oleh kebijakan perkreditan yang kurang menunjang, kelemahan sistem dan prosedur penilaian kredit, pemberian dan pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur, itikad yang kurang baik dari pemilik, pengurus, dan pegawai bank. Sedangkan faktor eksternal antara lain disebabkan oleh lingkungan usaha debitor, musibah atau kegagalan usaha, persaingan antar bank yang tidak sehat. [34]
Sehubungan dengan upaya penyelesaian kredit yang bermasalah sebagaimana dimaksudkan terdahulu, Retnowulan Sutantio   mengemukakan bahwa baik kredit bermasalah maupun kredit macet tersebut diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan artinya kapan suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet dapat dilihat dari kolektibilitasnya.[35]
Kedudukan bank sebagai lembaga keuangan yang bergerak di bidang kredit berpengaruh besar terhadap lancar tidaknya arus lalu lintas pembayaran yang diperlukan dalam peningkatan pembangunan bidang ekonomi Indonesia. Sebagai lembaga keuangan yang melepaskan uangnya kepada masyarakat tentu bank berharap untuk dapat memperoleh keuntungan berupa bunga yang dibebankan pada saat perjanjian kredit terjadi. Harapan itu baru akan terwujud dan menjadi kenyataan, apabila bank bertindak hati-hati, terutama dalam menentukan siapa yang patut diberi kredit dan berapa besar kredit yang diberikan, setelah mengetahui jaminannya.
Bank senantiasa menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan debitor itu tidak cacat menurut hukum serta memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Apabila bank sejak dini sudah bertindak hati-hati, dapatlah diharapkan bahwa kredit yang diberikan oleh pihak kreditor kepada debitor terjamin pengembaliannya dalam jangka waktu yang ditentukan. Bila hal ini terjadi maka tujuan memperoleh profit akan tercapai sehingga segala sesuatu terlaksana sesuai yang diharapkan.
Tipologi kredit bermasalah sebagaimana tergambar dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/147/Kep/Dir tanggal 12 November 1998, tentang Kualitas Kredit, yang menunjukkan unsur-unsur kredit bermasalah sebagai berikut :[36]


1.     Kurang Lancar
a.    terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari;
b.    terdapat ceruka/overdraft yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
c.hubungan debitor dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat dipercaya;
d.    dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah;
e.    pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit;
f. perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan.
2.    Diragukan
a.    terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau  bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari;
b.     terjadi overdraft yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
c.    hubungan debitor dengan bank memburuk dan informasi keuangan debitor tidak dapat dipercaya;
d.    dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah;
e.    pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian pokok;
3.    Macet
a.  terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau  bunga yang telah melampaui 270 hari;
b.  dokumentasi kredit kurang lengkap dan/atau pengikatan agunan tidak ada;
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPP tanggal 29 Mei 1993 secara operasional penanganan penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu :
1.    Penjadwalan kembali (rescheduling) yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya;
2.    Persyaratan kembali  (reconditioning)  yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidk terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit;
3.    penataan kembali (restructuring) yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank dan/atau konvensi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/.atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan yang disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.
B.   Pengertian Jual Beli
Pasal 1457 KUHP menyatakan jual beli adalah suatu persetujuan yang mana apabila dikaitkan dengan Pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana salah satu (satu orang) atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dengan mana pihak yang satu mengaitkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Menurut M.Yahya Harahap terhadap perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang/lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain menunaikan prestasi. [37]
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[38]
Menurut Salim H.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.[39] Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.[40] Unsur yang terkandung dalam definisi tersebut adalah :
a.    Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
c.    Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga
d.    Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang menentukan “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.[41]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[42]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :[43]
1.    Benda Bergerak
penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.    Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.    Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
Dalam hubungan perjanjian jual beli juga dikenal istilah produsen selaku penjual dan konsumen dan selaku pembeli. Ahmadi Miru dalam bukunya mengemukakan bahwa dalam hal terjadi pengalihan barang dari dari satu pihak ke pihak lain, maka secara garis besar pihak-pihka yang terlibat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:[44]
Pada kelompok pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa, pada umumnya pihak ini berlaku sebagai :
1.    Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor);
2.    Penghasil atau pembuat barang/jasa (Produsen);
3.    Penyalur barang atau jasa;
Sedang dalam kelompok kedua terdapat:
1.    Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain; atau mendapatkan bawang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan
2.    Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan nonkomersial).
C.   Akta Otentik
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadidasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus dibubuhkan tanda tangan dari pihak yang membuatnya, seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 KUHPerdata bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas (Pasal 1868 KUH Perdata) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak. Ini berarti bahwa surat tanpa tanda tangan seperti karcis parkir tidak termasuk akta.
Beberapa catatan mengenai definisi berdasarkan pengetian BW di atas yakni:[45]
(a)  Perbedaan antara tulisan dan akta terletak pada tanda tangan yang tertera dibawah tulisan.
(b)  Pasal 1874 ayat (1) menyebut bahwa yang termasuk sebagai tulisandi bawahtangan adalah akta dibawah tangan, surat, register atau daftar, surat rumah tangga, dan tulisan lain yang dibuat tanpa perantara pejabat umum;
(c)  Pasal 1867 selanjutnya menentukan bahwa akta autentik dan tulisan di bawah tangan dianggap sebagai bukti tertulis;
(d)  Ada baiknya kalau ditinjau lebih mendalam akta autentik. Menurut definisinya, syarat pertama yang harus terpenuhi ialah bahwa akta autentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Kata “bentuk” disini adalah terjemahan kata Belanda “vorm” dan tidak diartikan bentuk bulat. Lonjong, panjang, dan sebagainya. Tetapi pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang, khususnya PJN.
Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang Undang Jabatan Notaris, hal ini sesuai dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu:[46]
a.  Di dalam bentukyang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku);
b.  Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
Dikemukakan pula oleh Irawan Surodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:[47]
a.    Di dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang;
b.    Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
c.    Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan ditempat di mana akta itu dibuat.
Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.[48]
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.[49]
Dari beberapa pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu akta otentik, yakni:
1)    Bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.

Dalam pengertian ini, Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sudah sesuai dengan undang-undang. Pengaturan pertama kali profesi Notaris di Indonesia didasarkan pada Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Staatsblad No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.
Meskipun peraturan Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh oleh Undang-Undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.
Kata ”bentuk” disini adalah terjemahan bahasa Belanda vorm dan tidak diartikan bentuk bulat, lonjong, panjang dan sebagainya, tapi pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang.
2)    Bahwa akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenoverstaan) seorang Pejabat Umum.

Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN ditentukan bahwa akta Notaris merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat Daftar Akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan dan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak (Akta Partij), yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan Notaris. Para Pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.
Pembuatan akta Notaris baik Akta Relaas maupun Akta Pihak (Akta Partij), yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian hal itu tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan pebuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.
Pengertian seperti di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, maka jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka kedudukan Notaris tetap bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, maka hal ini terjadi karena kekurang-pahaman aparat hukum mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.
3)    Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Terkait mengena hal ini, telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, bahwa tidak semua pejabat berwenang untuk membuat akta notaris. Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan akta otentik, yakni sebagai berikut:
1.    Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuatnya.
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut. Sebagai contoh, apakah Notaris dapat memberikan Legal Opini secara tertulis atas permintaan para pihak. Jika dilihat dari wewenang tersebut dalam Pasal 15 UUJN, pembuatan Legal Opinion ini tidak termasuk wewenang Notaris. Pemberian Legal Opinion merupakan pendapat pribadi Notaris yang mempunyai kapasitas keilmuan dibidang hukum dan kenotarisan, bukan dalam kedudukannya menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Sehingga jika dari Legal Opinion tersebut menimbulkan permasalahan hukum, harus dilihat dan diselesaikan tidak berdasarkan kepada tatacara yang dilakukan oleh Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis Pengawas, tapi diserahkan kepada prosedur biasa, yaitu jika menimbulkan kerugian dapat digugat secara perdata. Hal ini harus dibedakan dengan kewajiban Notaris memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan akta yang akan dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bersangkutan.


2.    Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan menurut Pasal 52 UUJN bahwa notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjual kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu Notaris akan melihat (asli surat) dan meminta fotocopi atas identitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh Notaris dalam pembuatan akta Notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya tersebut dalam KTP dan sertipikat bukan orang yang sama, artinya pemilik sertipikat bukan pemilik orang yang sesuai dengan KTP. Hal ini bisa terjadi (di Indonesia), karena banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam sertipikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain. Dalam kejadian seperti ini bagi notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain Notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri penghadap dan bukti kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab Notaris, tanggung jawabnya diserahkan kepada para pihak yang menghadap.

3.    Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta tersebut dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasl 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak hanya berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan di seluruh propinsi.


D.   Surat Kuasa
1.    Pengertian Surat Kuasa
Semakin maju dan berkembangnya kehidupan masyarakat, kecenderungan untuk melakukan sesuatu diluar pekerjaan rutinnya, semakin kurang mendapat perhatian. Apabila menyangkut masalah yang memang benar-benar bukan bidang keahliannya. Oleh karena itu tidak jarang untuk mengurus dan menyelesaikan hal-hal tersebut dengan menggunakan jasa pihak lain, yaitu dengan memberi kuasa kepada pihak yang akan mewakilinya menyelesaikan urusan tersebut atas nama yang memberi kuasa. Hal tersebut memungkinkan, karena hukum telah memberikan peluang untuk melakukannya.
Kuasa adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa dapat berwenang bertindak dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang memberikan kuasa itu. Pasal 1792 KUHPerdata memberikan batasan (definisi) Mengenai “lastgeving”, dimana dikatakan, bahwa “lastgeving” adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan (macth) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya melakukan suatu urusan”. Perkataan-perkataan “suatu urusan” (een zaak) pada umumnya diartikan sebagai suatu perbuatan hukum, sedang perkataan-perkataan “atas namanya” mengandung arti bahwa penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa.[50]
Pemberian kuasa tidak terikat terhadap formalitas tertentu (baik cara pemberian kuasa maupun bentuknya), sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1793 KUH Perdata, yaitu :
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.

Pemberian kuasa tersebut merupakan pemberian kuasa yang bersifat umum, sehingga tidak memerlukan formalitas khusus, lain halnya dengan pemberian kuasa yang bersifat khusus seperti yang di atur pada Pasal 1795 KUH Perdata bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Yang mana perbuatan ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut:[51]
1.    Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
a)    Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
b)    Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
c)    Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).
2.    Pemberi Kuasa bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale overeenkomst) yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:
a)    Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
b)    Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
c)    Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 a (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus.
3.     Berkarakter Garansi Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
a)    Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
b)    Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.
Ada beberapa macam pemberian kuasa yang umum dikenal oleh masyarakat karena seringkali dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Macam pemberian kuasa itu dapat ditinjau dari berbagai sebab yaitu:[52]
1.    Dari sifat perjanjiannya, maka pemberian kuasa dapat merupakan pemberian kuasa umum maupun pemberian kuasa khusus. Yang dimaksud dengan pemberian kuasa umum adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan pengurusan. Misalnya untuk memindah tangankan benda atau untuk sesuatu perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik harus dilakukan dengan kata-kata yang tegas. Demikian bunyi Pasal 1795 sampai 1796 KUH- Perdata. Sedangkan pemberian kuasa khusus adalah pemberian kuasa mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih. Untuk melakukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan, yaitu misalnya untuk menjual rumah.
2.    Dari cara pemberian kuasa itu dapat diberikan, yaitu dengan memakai:
a.    Akta Resmi
Pemberian kuasa yang diberikan dengan akta resmi adalah dinyatakan dalam Pasal 1171 ayat (2) KUHPerdata yaitu pemberian kuasa untuk memasang hipotik harus dinyatakan dilakukan dengan akta resmi yaitu dengan akta otentik di depan pejabat umum. Dalam hal pemberian kuasa dengan akta resmi ini juga disebut dalam Pasal 1683 ayat (1) yaitu mengenai penerimaan suatu hibah harus dilakukan dengan akta otentik.

b.    Surat Di Bawah Tangan
Pemberian kuasa yang diberikan dengan cara surat dibawah tangan adalah merupakan suatu persetujuan Si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa agar ia (penerima kuasa) melakukan suatu perbuatan hukum, sedang perintah tersebut diterima dengan baik oleh pihak ketiga yang terkait atas perbuatan hukum tersebut, dan persetujuan itu diletakkan didalam suatu surat atas segel dibuatnya sendiri di luar pejabat resmi.
c.    Surat Biasa
Pemberian kuasa yang diberikan dengan cara surat biasa adalah surat tidak atas segel yang juga memuat persetujuan yang dinyatakan si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
d.    Secara Lisan
Pemberian kuasa yang diberikan secara lisan ini telah disebutkan dalam Pasal 1793 KUH-Perdata bahwa persetujuan pemberian kuasa dapat dilakukan secara apapun juga, jadi juga secara lisan.
e.    Secara Diam-Diam
Pemberian kuasa yang diberikan secara diam-diam menurut banyak para ahli hukum juga diperbolehkan. Cara pemberian kuasa dengan diam-diam inipun telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 1793 ayat (2) KUHPerdata. Cara pemberian kuasa yang dilakukan dengan surat dibawah tangan, surat biasa, secara lisan, dan secara diam-diam dalam hal perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah tidak dapat diberlakukan.
3.    Dari cara bertindaknya sipenerima kuasa:
b.    Sipenerima kuasa bertindak atas namanya sendiri. Hal itu dapat kita lihat pada seorang komisioner yang bertindak seolah-olah perbuatan hukum yang dibuatnya itu adalah untuk kepentingannya sendiri.
c.    Sipenerima kuasa bertindak atas nama orang lain. Contohnya makelar, dimana perbuatannya dilakukan untuk kepentingannya orang lain dan disaat melakukan tugasnya itu terhadap pihak ketiga ia menyebutkan bahwa ia bertindak atas perintah tuan X misalnya.
2.    Jenis-Jenis Surat Kuasa
Dalam literatur ilmu hukum, dikenal terdapat beberapa jenis surat kuasa, yakni sebagai berikut:[53]
1.    Kuasa Umum
Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:
1)    Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
2)    Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
3)    Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8-1972), bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.
2.    Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa yang bersifat khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah.. Akan tetapi, meskipun bersifat khusus kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah.
3.    Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diper1ukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Kuasa istimewa memenuhi sifat sebagai berikut:
1)    Bersifat limitatif
Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, perbuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas:
a)    Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut
b)    Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga
c)    Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.
Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti, hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara sakit sehingga tidak dapat hadir:
a)    Hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,
b)    Untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.
2)    Harus berbentuk Akta otentik
Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris). Pendapat ini diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.
4.    Kuasa Perantara
Kuasa perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker, tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”.55
Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.

3.    Berakhirnya Surat Kuasa
Berakhirnya pemberian kuasa diatur didalam Pasal 1813 sampai dengan Pasal 1819 KUH-Perdata. Pasal 1813 KUHPerdata menentukan 4 cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu:[54]
5.    Dengan ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa.
6.    Dengan pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa.
7.    Dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa.
8.    Dengan perkawinannya si perempuan yang memberi kuasa atau yang menerima kuasa.
Berakhirnya pemberian kuasa karena ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa, mengandung prinsip bahwa kuasa dapat ditarik setiap saat bila dikehendaki. Bahkan Pasal 1814 KUH-Perdata memberikan kemungkinan penarikan atau pencabutan kembali kuasa secara paksa, asalkan ada alasan untuk itu. Bila ternyata penerima kuasa tidak mau mengembalikan secara sukarela maka dapat dipaksa dengan peran hakim. Dalam hal meninggalnya pemberi kuasa dan si penerima kuasa tidak tahu akan hal itu, dan terus melakukan tugasnya selaku kuasa, maka perbuatannya itu tetap sah (Pasal 1818 ayat (1) KUH-Perdata). Tetapi jika yang meninggal dunia adalah si penerima kuasa mulak maka, ahli waris dan si penerima kuasa harus memberitahukannya kepada pemberi kuasa dan sedapat mungkin melakukan tindakan-tindakan seperlunya untuk kepentingan pemberi kuasa.
Selain cara-cara berakhirnya pemberian kuasa seperti dalam Pasal 1813 KUHPerdata, ternyata diluar cara tersebut masih terdapat cara lain, yaitu jika pemberian kuasa diadakan dengan jangka waktu tertentu, maka pemberian kuasa berakhir dengan lewatnya tenggang waktu tersebut. Cara lain yang mungkin terjadi adalah jika terpenuhinya syarat untuk itu.


[1] Subekti. 2001 .Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Hal. 1.
[2] Abdul Kadir Muhammad. 1982. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. Hal. 77.
[3] Wirjono Prodjodikoro. 1981.  Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur. Hal. 9.
[4] Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal.14.
[5] Subekti op. Cit.  Hal. 29.
[6] Ibid, hlm.26.
[7] Munir Fuady,Op. Cit.  Hal.29.
[8] Subekti,op.cit.,Hal.13.
[9] Ibid,Hal.14.
[10] Munir Fuady. op.cit.,Hal.33.
[11] Subekti. Op. Cit. Hal. 17.
[12] Munir Fuady,2001. Hukum Kontrak (Dalam Sudut Pandang Hukum Bisnis). PT.Citra Aditya Bakti,Bandung. hlm.34.
[13] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung 1987, hlm. 68.
[14] Ibid
[15] Ibid, hlm. 69.
[16] Muhammad Djumhana. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. Hal.  365.
[17] Thomas Suyatno. 1997. Dasar-Dasar Perkreditan.  Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Hal. 11.
[18] Badrulzaman. Marjan Darus. 1994.  Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. Hal. 21.
[19] Munir Fuady. 1996. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Ketiga. Bandung: PT. Citra. Aditya Bakti. Hal. 2.
[20] Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit KPN di Indonesia. Bandung: Institut KPN Subur. Hal. 158.
[21] Budi Untung, H. 2000. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta : Andi Offset. Hal. 1.
[22] Abdulkadir Muhammad. 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia (edisi Ketujuh). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 58
[23]Muhammad Djumhana. 2003. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 381.
[24] H.Salim H.S. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal.86.
[25] Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Hal 104.
[26] M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada. Hal. 79.
[27] Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani. 2004.  Manajemen Perkreditan Bank Umum, Bandung: Alfabeta. Hal. 41.
[28] Ibid., Hal. 91.
[29] Gunawan Widjaja & Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Hal.1.
[30] Op. cit. Rachmat Firdaus. Hal. 41.
[31] Agus Santoso. 2010. Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi.  Jakarta. Hal.1.
[32] Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Alumni  Bandung. Hal.22.
[33] M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 82.
[34] Mudrajad Kuncoro. 2000. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. BPFE Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. Hal. 470.
[35] Retnowulan Sutantio. 1996. Beberapa Masalah Tentang Hak Tanggungan Dalam Praktek Hukum (Eksekusi Hak Tanggungan). Jakarta : Departemen Keuangan. Hal. 245.
[36] Mudrajad Kuncoro, Op. Cit. Hal. 460.
[37] M.Yahya Harahap, Sesi – Sesi Perjanjian, Alumni : Bandung, 1986. hal.6. 
[38] Ahmadi Miru. 2008. Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Hal. 126-127.
[39] Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49
[40] Ibid.
[41] Prof.R.Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bakti. hlm. 2.
[42] Op. CIt. Ahmadi Miru. Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak. Hal. 127.
[43] Op. Cit. Salim. H.S. Hal. 9.
[44] Ahmadi Miru. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 33.
[45] Tan Thong Kie. 2007. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Hal. 441.
[46] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 56.
[47] Ibid.,
[48] Sudikno Mertokusumo. 1993.  Hukum Acara Perdata Indonesia-Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty. Hal.121.
[49] Ibid. Hal. 121.
[50] Herlien Budiono, Op.Cit, Hal. 69.
[51] Yahya Harahap. M. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 2-3.
[52] R.Subekti. Op.Cit, Hal. 143.

[53] Yahya Harahap. Op. Cit. Hukum Acara Perdata. Hal. 6-7.
[54] Wirjono Prodjodikoro. Op.Cit, Hal. 153.

3 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.net
    arena-domino.org
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus
  2. Negara: Indonesia
    WhatsApp: +62 838-3669-4853
    Alamat: Surabaya
    email saya: nurbrayani750@gmail.com
    nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.

    Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)

    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
    Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
    jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu

    BalasHapus
  3. Hindi ko lubos na pasasalamatan si Dr EKPEN TEMPLE sa pagtulong sa akin na ibalik ang Kaligayahan at kapayapaan ng pag-iisip sa aking pag-aasawa matapos ang maraming mga isyu na halos humantong sa diborsyo, salamat sa Diyos na ang ibig kong sabihin ay si Dr EKPEN TEMPLE sa tamang oras. Ngayon masasabi ko sa iyo na ang Dr EKPEN TEMPLE ay ang solusyon sa problemang iyon sa iyong kasal at relasyon. Makipag-ugnay sa kanya sa (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter