Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pengertian Dan Dasar Hukum Korupsi



Menurut Fockema Andrea istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu sendiri berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping itu dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk (Hamzah, 1984:9). Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” (Hamzah, 2006:4).
Disamping itu istilah korupsi di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan, ini dilihat dari istilah dibeberapa negara yakni Gin Moung (Muangthai), yang berarti “makan bangsa”; tanwu (Cina), yang berarti “keserahan bernoda”; Oshoku (Jepang) yang berarti “kerja kotor” (Prajohamidjojo, 2001:8). Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarwinta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (Poerwadarwinta, 1990:514).
Marmosudjono mengemukakan bahwa istilah korupsi mempunyai banyak arti tergantung dari mana kita menyorotinya, apakah ditinjau dari segi asal kata, hukum, sosiologis, ekonomi, dan lain-lain (Marmosudjono, 1989:68). Arti harfiah dari istilah itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary:
Corruption {L, corruption (n-)} the act of corrupting, or the state of being corrupt, putrefactive de composition, putrid matter: moral perversion ; depravity; perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity ; debasement, as of a language ; a debased form of a word (Hamzah, 2006:5).

Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu merupakan suatu istilah yang sangat luas artinya, seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Lopa mengemukakan dan memandang korupsi dalam bidang materil, bidang politik dan bidang ilmu pengetahuan sebagai berikut :
Korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum.

Lebih lanjut dijelaskan :

Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang materil sedangkan korupsi di bidang politik dapat berwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si murid (siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang seharusnya atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ciptaan ilmu pengetahuan atas namanya adalah ciptaan orang lain  (Lopa 1987:6).

J.S. Nye dalam artikelnya corruption and political Development; a cost benefit analysis mendeskripsikan pelaku korupsi sebagai berikut :
Pelaku korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian status; atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi. Tindakan ini termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk penyimpangan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah); nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang yang punya hubungan darah atau keturunan dari pada berdasarkan kinerja); dan penyalahgunaan (penggunaan secara tidak sah sumber daya milik untuk manfaat pribadi  (Hamid, 1999:23).

Menurut Syeh Hussain Alatas  makna korupsi dari sisi pandang sosioligis adalah sebagai berikut:
Terjadinya korupsi apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-kepentingan si pemberi.

Selanjutnya Alatas menambahkan bahwa:
Yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan, pemeresan, nepotisme dan penggelapan (Alatas, 1980:11).
Pengertian korupsi dari sisi pandang politik dapat dikemukakan oleh Theodore M. Smith dalam tulisannya Corruption Tradition and Change Indonesia  mengatakan sebagai berikut:
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya …, korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten  (Mubyarto, 1980:60).

Mulan  mengemukakan pendapatnya tentang pengertian korupsi yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan sebagai berikut :
Seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan (Pradjohamidjojo, 2001:8).

Di samping itu terdapat pula pengertian tentang korupsi yang tidak bertolak dari ukuran jabatan dalam pemerintahan atau pelayanan umum, melainkan dari sudut kepentingan umum (publik interest) .Carl J Fredrich dalam artikelnya political pathologi melukiskan korupsi sebagai berikut:
Pola korupsi dapat disebut terjadi apabila seseorang pemegang kekuasaan yang ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu: yaitu seorang petugas (fungsionaris) dan penguasa kantor telah diberi hadiah uang atau yang lain secara melanggar hukum guna mengambil tindakan yang menguntungkan pemberi hadiah dan dengan demikian merugikan kepentingan umum (Rahardjo, 1998:6).

Intisari dari pengertian yang dikemukakan oleh Carl Friedrich adalah tindakan terrsebut merusak kepentingan masyarakat luas, hanya karena pemberian secara tidak sah yang hanya menguntungkan seseorang secara pribadi saja.
B.   Korupsi Menurut Hukum Positif
1.   Peraturan Penguasa Militer No: Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957
Rumusan Korupsi menurut perundang-undangan di atas, dikelompokkan menjadi dua, yakni :
(1)       Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
(2)       Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.
2.    Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/013/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda (BN No. 40 tahun 1958).
Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut di atas, dikelompokkan menjadi dua kelompok besar dan tiap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima kelompok jenis korupsi, yakni:
1)    Pada kelompok besar pertama
Yang disebut korupsi pidana, adalah:
a.    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b.    Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
c.    Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP.




2)    Pada kelompok besar kedua
Perbuatan korupsi lainnya
Yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya, adalah:
a.    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b.    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 72 tahun 1960). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 (Prp) tahun 1960, atau juga disebut sebagai Undang-undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang-undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.
Undang-undang Anti Korupsi tahun 1960, mengandung hal-hal baru yang belum ada dalam undang-undang korupsi yang sebelumnya, yakni:
(a)  delik percobaan dan delik pemufakatan;
(b)  kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
(c)  ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri;
(d)  kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji;
(e)  rumusan pegawai negeri diperluas.
Rumusan delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, sebagai berikut:
Kelompok besar pertama, terdiri dari:
a.    Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.    Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
c.    Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
d.    Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat jabatan atau kedudukan itu.
e.    Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberi atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
Kelompok besar kedua ada satu ketentuan, yakni:
Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e, pasal ini.
4.    Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971).
Rumusan delik korupsi pada Undang-undang No. 3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari UU No. 24 (Prp) tahun 1960 baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi, yaitu delik korupsi yang selesai (voltooid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan (convenant).
Delik korupsi ini dirumuskan dalam UU No. 3 tahun 1971 ada enam kelompok, yaitu:
(1)       Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif (pasal 1, sub (1) a dan  sub (1) b).
(2)       Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik korupsi (sub (1) c).
(3)       Tindak pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri (sub (1) d).
(4)       Tindak pidana korupsi karena tidak melapor (sub (1) d).
(5)       Tindak pidana korupsi percobaan (sub (2)).
(6)       Tindak pidana korupsi permufakatan (sub (2)).
Pengelompokan sifat korupsi tersebut diasumsikan demikian, berdasarkan sifat korupsi saja, tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Delik korupsi dirumuskan sebagai berikut:
Kelompok kesatu Rumusan pasal 1 sub 1 a.
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.




Rumusan pasal 1 sub 1 b
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Rumusan pasal 1 sub c
Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal 209, 210, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425  dan  435 KUHP.
Rumusan pasal 1 sub 1 d
Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

Rumusan pasal 1 sub 1 e
Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian itu atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Kelompok kedua
Rumusan delik korupsi yang berupa percobaan atau permufakatan untuk kelima rumusan di atas, tersebut dalam pasal 1 sub 2. ketentuan ini merupakan ketentuan baru, yang tidak ada pada undang-undang korupsi sebelumnya.


5.    Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi undang-undang no. 3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai hal yang menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut:
Memperluas subjek delik korupsi. Memperluas pengertian pegawai negeri. Memperluas pengertian delik korupsi. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil. Subjek korporasi dikenakan sanksi. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas delik korupsi sanksi pidana berbeda dengan sanksi pidana undang-undang sebelumnya. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi. Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan pembuktian terbalik terbatas. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. Akan dibentuk Komisi Pemberantasan Delik Korupsi, dua tahun mendatang.
Delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, yakni kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, terdiri dari pasal 21 sampai dengan pasal 24. Defenisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undang-undang.
Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(1)       Delik korupsi dirumuskan normatif dalam pasal 2 (1) dan pasal 3.
(2)       Delik dalam KUHP pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi delik korupsi masing-masing dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
(3)       Delik penyuapan aktif, dalam pasal 13
(4)       Delik korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi dalam pasal 14.
(5)       Delik korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan dalam pasal 15.
(6)       Delik korupsi dilakukan di luar teritori negara Republik Indonesia dalam pasal 16.
(7)       Delik korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam pasal 20.
6.    Undang-undang No. 20 tahun 2001 (LNRI No. 134 tahun 2001 Jo TLNRI No. 4159) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini sebagai perubahan dan menyempurnakan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang perumusan deliknya sebagai berikut:
(1)       Tetap memperlakukan semua ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 dengan perubahan-perubahannya.
(2)       Perumusan Tindak Pidana korupsi diatur dalam Bab II mulai pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20. undang-undang No. 20 tahun 2001.
(3)       Perumusan tindak pidana lain yang diatur berkaitan dengan tindakan pidana korupsi diatur dalam Bab III mulai pasal 21, 22, 23, 24, UU No. 20 tahun 2001 (Saleh, tanpa tahun : 6).

1 komentar:

  1. terimakasih artikelnya. Sangat bermanfaat untuk makalah kami

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter