Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Minggu, 12 Februari 2012

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

1.    Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Menurut ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa hukum acara yang berlaku bagi tindak pidana korupsi adalah hukum acara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, kecuali diatur tersendiri dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Dengan demikian penulis akan menguraikan Bab ini berdasarkan pada ketentuan dari hukum acara pidana yang berlaku sekarang yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981  tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan tersendiri menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
A.    Prinsip Pemeriksaan dalam Persidangan
Sebelum lebih lanjut memasuki seluk beluk pemeriksaan dalam persidangan Pengadilan Negeri, ada baiknya dipahami terlebih dahulu beberapa prinsip yang harus ditegakkan dan dipedomani dalam setiap persidangan. Prinsip-prinsip pemeriksaan persidangan, bukan hanya ditujukan dan dijadikan landasan bagi peradilan, tetapi juga penting diketahui dan disadari oleh seorang terdakwa. Adapun prinsip-prinsip persidangan yang dimaksudkan adalah :
1.    Pemeriksaan Terbuka Untuk Umum
Pada prinsipnya, semua persidangan terbuka untuk umum setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan dapat hadir memasuki ruangan sidang kecuali ketentuan yang termuat dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa dalam perkara kesusilaan dan atau perkara yang terdakwanya anak-anak sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, apabila ketentuan ini dilanggar sesuai dengan Pasal 153 ayat (4) KUHAP mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
Sanksi ini bertujuan agar semua persidangan jelas dan terang dilihat dan diketahui oleh masyarakat, sehingga dengan diperbolehkannya masyarakat mengikuti persidangan, masyarakat juga dapat menilai persidangan tersebut karena putusan tersebut bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada hukum akan tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.    Hadirnya Terdakwa Dalam Persidangan
Di dalam ketentuan KUHAP, tidak dibenarkan proses pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) itu sebabnya Pasal 154 KUHAP mengatur bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan, tata cara tersebut memperlihatkan pada kita bahwa tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilaksanakan. Adapun tata cara tersebut dimulai dari : Hakim Ketua sidang memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa masuk ke dalam persidangan, jika terdakwa tidak hadir, Ketua Majelis akan meneliti apakah terdakwa telah dipanggil dengan sah, kalau pemanggilan tidak sah, Ketua Majelis memerintahkan kembali Penuntut Umum untuk memanggil kembali terdakwa sekali lagi, kalau pemanggilan sah sementara terdakwa tidak hadir, maka Ketua Majelis akan memerintahkan penuntut umum untuk memanggil kembali, jika pemanggilan telah dilakukan secara sah, akan tetapi terdakwa juga tidak hadir, maka hakim dapat memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa secara paksa terhadap seseorang terdakwa yang tidak mau datang menghadiri persidangan, baru dapat dilakukan apabila terdakwa telah dua kali dipanggil secara sah, dan walaupun kedua panggilan itu telah dilakukan secara sah, terdakwa tetap tak hadir tanpa alasan yang sah.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menentukan lain yang berbeda dengan ketentuan KUHAP di mana dalam Pasal 38 menyebutkan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1) undang-undang dimaksud, bahwa pelaksanaan peradilan inabsentia (tanpa kehadiran terdakwa) dimaksudkan adalah untuk menyelamatkan keuangan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun perkara dapat diperiksa dan diputus.
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.   
3.    Hakim Ketua Majelis Memimpin Persidangan
Prinsip ini diatur dalam Pasal 217 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim Ketua sidang bertindak memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan. Kedudukan Ketua Majelis Hakim sebagai pimpinan sidang menempatkan dia sebagai orang yang berwenang menentukan jalannya pemeriksaan terdakwa, semua tanya jawab harus melalui dia, dan semua keterangan dan jawaban ditujukan kepadanya.
4.    Pemeriksaan Secara langsung dengan lisan
Prinsip ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP, yang menegaskan bahwa Hakim Ketua sidang di dalam memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dengan lisan, tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi-saksi, kecuali bagi mereka yang tuli atau bisu. Pemeriksaan atas mereka dilakukan secara tertulis, tujuan hal ini dilakukan adalah untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebab dari pemeriksaan secara langsung dengan lisan tidak hanya keterangan terdakwa dan saksi-saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, akan tetapi sikap dan tata cara mereka memberikan keterangan itu sendiri, dapat menentukan isi dan nilai keterangan mereka.  
5.    Wajib menjaga pemeriksaan secara bebas
Sesuai dengan penegasan Pasal 152 ayat (2) huruf b KUHAP, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi dilakukan dengan bebas, dalam arti terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas, baik kepada terdakwa maupun saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang dapat menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan, malah bukan hanya penekanan atau ancaman bahkan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Pasal 166 KUHAP.
B.    Proses Pemeriksaan Persidangan
Sebelum penulis memaparkan proses pemeriksaan persidangan, perlu penulis jelaskan mengenai pasal-pasal yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyangkut tentang proses pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan 54 undang-undang tersebut, menyebutkan bahwa dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Pengadilan Tipikor berada di lingkungan Peradilan Umum yang untuk pertama sekali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang nantinya akan dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.  
Berikut ini penulis akan menguraikan proses pemeriksaan perkara pidana sampai pada pembacaan putusan yang dilakukan dalam beberapa tahap :
1.    Pemeriksaan Identitas Terdakwa
Setelah hakim ketua majelis membuka persidangan dan dinyatakan terbuka untuk umum, hakim ketua majelis memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa selanjutnya hakim ketua majelis memeriksa identitas terdakwa, mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
Pemeriksaan identitas ini dicocokkan hakim ketua majelis dengan identitas terdakwa yang terdapat pada surat dakwaan dalam berkas perkara, pemeriksaan identitas ini dimaksudkan untuk memastikan dan meyakinkan persidangan bahwa memang terdakwalah yang dimaksudkan dalam surat dakwaan sebagai pelaku tindak pidana yang didakwakan kepadanya.   
2.    Memperingatkan Terdakwa
Setelah hakim ketua majelis selesai menanyakan identitas terdakwa, kewajiban selanjutnya ialah memperingatkan terdakwa berupa nasihat dan anjuran kepada terdakwa, memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di dalam persidangan hal ini bertujuan untuk kepentingan terdakwa dalam hal pembelaan atas dirinya.
3.    Pembacaan Surat Dakwaan
Selanjutnya hakim ketua majelis, memerintahkan Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaannya. Pembacaan surat dakwaan dilakukan Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua majelis. Fungsi pembacaan surat dakwaan sesuai dengan kedudukan jaksa sebagai penuntut umum.
4.    Menanyakan tentang isi surat dakwaan
Acara selanjutnya adalah hakim menanyakan kepada terdakwa apakah dia telah benar-benar mengerti dan memahami apa yang didakwakan penuntut umum kepadanya, kalau terdakwa belum mengerti, maka menurut ketentuan Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP, hakim dapat memerintahkan penuntut umum untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal yang belum jelas dipahami terdakwa.   
5.    Hak mengajukan eksepsi
Berdasarkan Pasal 156 KUHAP, undang-undang memberi hak kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengajukan keberatan yang dalam prakteknya sering disebut Eksepsi yaitu keberatan atas hal-hal yang formil bukan menyangkut pokok perkara, sehingga harus diajukan sebelum pokok perkara diperiksa yang dapat diajukan setelah pembacaan surat dakwaan. Menurut undang-undang keberatan yang dimaksud di sini ada 2 jenis yaitu : 1. Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili baik secara absolut maupun relatif, 2. Keberatan dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.  
6.    Tanggapan Penuntut Umum atas eksepsi terdakwa
Setelah eksepsi dibacakan oleh terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, hakim ketua majelis memberi kesempatan kepada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi.
7.    Putusan sela
Setelah tanggapan penuntut umum atas eksepsi terdakwa di kemukakan, maka majelis hakim akan mempertimbangkan keberatan tersebut dan untuk selanjutnya mengambil putusan, jika putusan sela atas eksepsi tak berwenang mengadili diterima, maka berkas perkara akan dikembalikan kepada penuntut umum, jika putusan sela atas eksepsi dapat diterima. Maka kelanjutan pemeriksaan perkara sudah selesai, akan tetapi jika putusan sela baik dalam eksepsi tidak berwenang mengadili maupun eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi. 
8.    Pemeriksaan Saksi
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan saksi, yang sebelum memberikan keterangan saksi ditanyakan identitasnya dan hubungannya dengan terdakwa, kemudian saksi wajib berjanji/ bersumpah menurut tata cara agamanya, dan sebelum saksi memberikan keterangan ketua majelis akan menasihati terdakwa supaya terdakwa memperhatikan segala keterangan saksi yang diberikan dipersidangkan, kemudian setelah saksi memberikan keterangan kepada terdakwa ditanyakan apakah keterangan saksi tersebut, terdakwa merasa keberatan atau tidak.
9.    Pemeriksaan Terdakwa
Setelah saksi memberikan keterangannya, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan terdakwa.
10.    Penuntutan dan Pembelaan
Setelah keterangan terdakwa didengar dipersidangkan, proses selanjutnya adalah penuntut umum membacakan tuntutannya, setelah pembacaan tuntutan, dilanjutkan dengan pembacaan pembelaan dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa.
11.    Musyawarah Majelis Hakim
Setelah penuntutan dan pembelaan dilakukan, maka selanjutnya adalah musyawarah majelis hakim untuk mengambil putusan.
Dalam musyawarah tersebut, ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan hakim yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
12.    Putusan
Terakhir dari proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi adalah pembacaan putusan akhir, bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan pengadilan, menurut ketentuan undang-undang ada beberapa jenis putusan akhir, yaitu : 1. Putusan bebas dari segala tuntutan yaitu apabila kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, 2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum yaitu apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, dan 3. Putusan Pemidanaan yaitu jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.  

2 komentar:

  1. mohon ijin minta download postingan anda....

    BalasHapus
  2. Mohon izin untuk menyalin postingan anda buat belajar persiapan seleksi.

    BalasHapus

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter