Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 11 Februari 2012

Kedudukan Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaran RI


1.    Kedudukan Kejaksaan RI
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas kejakaksaan tetap sama yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara­-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata (Marwan Efendi, 2005:120).
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal  41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan  badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya, Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa:
1.    Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2.    Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3.    Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Mencermati isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan;
2.    Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang;
3.    Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka;
4.    Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.



Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik  Indonesia, Pasal 2, menegaskan bahwa:
1.Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
2.Kejaksaan adalah salah satu dan tidak  terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
Dari pengaturan Pasal 2 ayat 1  dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tersebut  dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan;
2.    Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di bidang penuntutan;
3.    Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan  di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah landasan pelaksaan  tugas dan wewenangnya di bidang  penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan  ciri khas  yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti.
Kemudian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Dalam ayat 2 menyebutkan bahwa Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara. Pasal 3 menetapkan bahwa bahwa Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.
Menilik pengaturan Pasal 1 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu:
1.    Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum
2.    Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum
3.    Kejaksaan harus menjujung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara
4.    Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan
Dalam Penjelasan Umum undang-undang tersebut, diuraikan bahwa Kejaksaan RI, seperti halnya dengan alat-alat negara lainnya adalah alat revolusi untuk melaksanakan pembangunan nasional semesta yang berencana menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau masyarakat Sosialis Indonesia yang memenuhi amanat penderitaan rakyat, karena negara Republik Indonesia adalah negara Hukum, segala tindakan yang dilakukan oleh  Kejaksaan untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Penjelasan  Pasal ayat 2 dinyatakan  bahwa istilah “menjunjung tinggi” adalah termaksud pengertian “memberi perlindungan”. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam menjalankan  tugasnya, pejabat-pejabat Kejaksaan  harus mengindahkan
hubungan hierarki di lingkungan pekerjaannya.
Bila ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia di atas dikomparasi, tampak ada beberapa persamaan namun ada pula perbedaan, yaitu:
1.    Kesamaan ketiga Undang-Undang Kejaksaan  (Undang-Undang No. 16 Tahun  2004,  Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Undang-Undang No.15 Tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan Kejaksaan adalah pertama, Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di bidang penuntutan.
2.    Kesamaaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan  adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berbeda  dari pengaturan Undang-Undang  No. 15  Tahun 1961 yang menegaskan bahwa Kejaksaan  adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut  umum.
3.    Perbedaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No.15  Tahun 1961 terletak pada unsur bahwa “kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka”. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tidak mengatur hal ini.
4.    Perbedaan lainnya adalah Undang-Undang No. 15 tahun 1961 menegaskan secara eksplisit bahwa kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, sementara Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut.
Mencermati pengaturan di atas dapat dijelaskan  bahwa kedudukan kejaksaan sebagai suatu Lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan, mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada disuatu kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan  kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia.
Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi  Jaksa seperti yang seperti yang digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors”.
Lebih jauh, dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-Undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (Dual Obligation). Dikaitkan demikian, adalah mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengatur kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan kedudukan Jaksa Agung, sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan (Marwan Efendi, 2005:125), Jaksa Agung, sebagai bawahan Presiden, harus mampu melakukan tiga hal, yaitu:
1.    Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum;
2.    Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut; dan
3.    Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah dilaksanakan.

Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut, yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu untuk menunjukkan dedikasi, loyalitas, dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Di sinilah letak kecenderungan ketidakmerdekaan Kejaksaan melakukan fungsinya, tugas, dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan (kemamfaatan) hukum yang menjadi Cita Hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain, Kejaksaan dipasung karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Disinilah antara lain letak kelemahan pengaturan Undang-Undang ini. Apabila pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan tetap berada dalam lingkungan eksekutif, asalkan Kejaksaan diberdayakan dengan diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun profesional. Apabila Pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu instistusi penegak hukum, didudukkan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen bukan menjadi lembaga pemerintahan yang tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan bersifat independen dan merdeka, dalam arti tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.



2.    Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI
Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan Undang-Undang mengenai Kejaksaan, sebagaimana yang hendak diketengahkan di bawah ini. Ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 30 yaitu:
1.    Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.    Melakukan penuntutan;
b.    Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.    Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;
e.    Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.    Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah


3.    Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman  umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a.    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.    Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.    Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.    Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e.    Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.     Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal.
Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Kemudian, Pasal 32 Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Seteleh mencermati isi beberapa pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1.    Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.    Melakukan penuntutan;
b.    Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.    Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;
e.    Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.    Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.


3.    Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a.    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.    Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.    Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.    Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e.    Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; dan
f.     Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
4.    Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak;
5.    Membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan badan Negara lainnya;
6.    Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan RI di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yaitu;
a.    Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan
b.    Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang
c.    Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
d.    Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada kepala Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara
e.    Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara-perkara
f.     Mencegah atau menangkal oaring tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara-perkara pidana sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.
Selanjutnya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa:
(1)   Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam
(2)   Keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri
(3)   Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung
(4)   Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut didalam negeri.
Kemudian Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa:
(1)   Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakn secara independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani
(2)   Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presieden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI. Pasal 27 menegaskan bahwa:
(1)  Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.    Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
b.    Melaksanakan penetaan hakim dan putusan pengadilan;
c.    Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat;
d.    Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)  Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah;
(3)  Dalam bidang ketertiban dan ketentuan umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a.    Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.    Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.    Pengamanan peredaran barang tertentu;
d.    Pengawasan alliran kepercayaaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.    Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama;
f.     Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Pasal 28 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersaangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Sementara itu, Pasal 29 Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Selenjutnya Pasl 30 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan kedilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 31 mengatur bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya
Mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam beberapa Pasal di bawah ini. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 mengatur bahwa jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a.    Menetapkan serta mengendalikan kebiujakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
b.    Mengkordinasikan penanganan perkara pidana tentu dengan institusi terkait berdasarkan Undang-Undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden;
c.    Menyampingkan perkara demi kepentingan umum;
d.    Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara;
e.    Mengajukan pertimbangan tekhnis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f.     Menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati;
g.    Mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk kedalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana;



Mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam beberapa Pasal di bawah ini. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 mengatur bahwa jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
1.    Jaksa Agung memberikan izin kepada seseorang tersangka atau terdakwa dalam hal tertentu untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit, baik di dalam maupun di luar negeri;
2.    Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepada Kepala Kejakssan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan kepada Jaksa Agung;
3.    Izin, sebagaimana yang dimaksud dengan ayat (1) dan (2), hanya di berikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.
Kemudian tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia.


Dalam Pasal 2 Undang-Undang itu ditegaskan bahwa dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas:
(1)   a.  Mengadakan penuntutan perkara-perkara pidana pada pengadilan
            yang berwenang.
b.  Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.
(2)   Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
(3)   Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara.
(4)   Melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu Negara.
Di samping pengaturan tugas Kejaksaan di atas, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 mengatur wewenang dan kewajiban Jaksa Agung. Pasla 7 ayat 2 menegaskan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara, Jaksa Agung dan Jaksa-Jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya memberikan petunjuk-petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan hierarki. Ayat 3 mengatur bahwa Jaksa Agung memimpin dan mengawasi para Jaksa melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang itu ditegaskan bahwa Jaksa Agung dapat mengenyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Kemudian Pasal 9 mengatur bahwa Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya menjaga agar penahanan dan perlakuan terhadap orang yang di tahan oleh pejabat-pejabat lain dilakukan berdasarkan hukum.
Mencermati peraturan beberapa ketentuan pasal dari ketiga Undang-Undang Kejaksaan RI di atas, persamaan dan perbedaan pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI dalam ketiga Undang-Undang tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Persamaan pengaturan dari ketiga Undang-Undang tersebut (Undang-Undang NO.16/2004, Undang-Undang No.5/1991, Undang-Undang No.15/1961) adalah dimana pertama, dalam bidang pidana, Kejaksaan melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan. Sementara itu, kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan lepas bersyarat di tegaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. dalam melakukan putusan pidana bersyarat dan putusan pidana. Pengawasan, dan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang, hanya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.
Selanjutnya, ketiga Undang-Undang kejaksaan di atas mengatur tugas Kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum melimpahkan perkara itu ke pengadilan dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan penjelasan 27 ayat 1 huruf d dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.    Tidak dilakukan terhadap tersangka;
b.    Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan atau dapat meresahkan masyarakat, dan atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;
c.    Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat 2 Undang-Undang 8 Tahun 1981 tantang hukum Acara Pidana;
d.    Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
Suatu hal yang hanya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 (Pasal 30 ayat 1 huruf d), yaitu bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Ketiga, dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengaman kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran cetakan, pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Beberapa kegiatan ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undamg Nomor 5 Tahun 1991. sedangkan mengenai pengawasan mengenai pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara ditegaskan dalam ketiga Undang-Undang Kejaksaan tersebut.
Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat yang lain yang layak jika yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 31 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Pasal 28, sementara itu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tidak menegaskan hal ini. Selain tugas dan wewenang tersebut, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 32 dan Undang-Undang Nomor 1991 Pasal 29, sementara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tidak menegaskan hal ini.
Selanjutnya, ketiga Undang-Undang Kejaksaan itu menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 ditegaskan bahwa Kejaksaan dapat memberan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung, yaitu:
a.    Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
b.    Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang;
c.    Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan Undang-Undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden;
d.    Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
e.    Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara;
f.     Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
g.    Menyampapikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan garasi dalam hal pidana mati;
h.    Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Psal 33 ayat 1, 2, dan 3 sama-sama menegaskan bahwa Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. Izin dimaksud hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu, yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud di atas, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Izin seperti itu diperlukan karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada. Perbedaan pengaturan kedua undang-undang tersebut, terletak pada persyaratan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka dan terdakwa, dan apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter