1. Ruang Lingkup PTUN
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut
juga pengadilan administrasi negara. PTUN lahir dan mulai bekerja melayani
masyarakat pencari keadilan sejak 14 Januari Tahun 1991. Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) adalah pengadilan yang termuda di antara 4 (empat) lingkungan
peradilan (Pengadilan Negeri; Pengadilan Militer; Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tata Usaha Negara). Indonesia sebagai negara hukum sudah lama
mencita-citakan untuk membentuk pengadilan administrasi negara atau Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Sebagai suatu pengadilan khusus (lihat Pasal
1 ayat (5) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009), kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara dibatasi hanya memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha
Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pembagian kompetensi antara empat lingkungan
peradilan, menurut Philipus M. Hadjon berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah
digariskan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009) tentang Kekuasaan Kehakiman.[1]
Prinsip-prinsip pembagian kompetensi tersebut
dijabarkan secara jelas dalam undang-undang yang mengatur empat lingkungan
peradilan. Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 4 berbunyi:
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 5 ayat (1) berbunyi:
Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
a.
Pengadilan Tata Usaha Negara,
b.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 47 berbunyi:
Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara bersifat membela
kepentingan umum, kepentingan Negara, atau kepentingan pemerintahan. Dengan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara, makin lama makin aktif bekerja, maka sudah
banyak ketimpangan dalam administratif yang digugat oleh warga masyarakat dan mendapat
tindakan korektif sebagaimana diharapkan.[2] Beberapa
asas-asas hukum administrasi yang menjadi karakteristik hukum acara Peradilan
Tata Usaha Negara di antaranya sebagai berikut:
a. Asas
Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae
causa).
b.
Asas Pembuktian Bebas;
c.
Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis);
d. Asas
Putusan Peradilan mempunyai kekuatan mengikat Erga Omnes.
Dengan berlandaskan pada fungsi asas-asas
hukum tersebut, terhadap asas-asas hukum administrasi yang merupakan tempat
bertumpunya norma-norma hukum administrasi, dapatlah dikatakan bahwa:
a. Asas-asas hukum administrasi akan memberikan arah dalam “positiveringsarbeid”
oleh pembentukan undang-undang (wetgever) maupun organ pemerintahan (bestuursorganen).
b. Asas hukum administrasi akan memberikan pedoman bagi “administrastrative
rechter” dalam melakukan interprestasi hukum guna menjamin ketepatan
menentukan putusan hakim.
c. Asas hukum administrasi memberikan tuntutan pada warga masyarakat
khususnya akademisi hukum administrasi melalui pemikiran-pemikiran dan
pembuatan peraturan perundang-undangan maupun hakim administrasi dalam
melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan.
Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)
adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat
menurut hukum (rechtmatig).[3] Tujuan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan
kepastian hukum, baik bagi masyarakat maupun bagi administrasi negara dalam
arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan
individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketenteraman dan
keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, demi mewujudkannya pemerintahan
yang bersih dan beribawa dalam kaitan Negara berdasarkan Pancasila khususnya di
peradilan.[4]
2. Kewenangan PTUN Dalam
Penyelesaian Sengketa Pemilu
Dengan
asas langsung, rakyat
sebagai Pemilih mempunyai
hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai
dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara. Pemilihan yang
bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua
warga negara, tanpa diskriminasi
berdasarkan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan
status sosial. Setiap warga negara yang berhak
memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan
dan paksaan dari siapa pun.
Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga
negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui
oleh pihak mana
pun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara
dengan tidak dapat
diketahui oleh orang
lain. Dalam penyelenggaraan Pemilu,
penyelenggara Pemilu, aparat
pemerintah, Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau
Pemilu, Pemilih, serta
semua pihak yang terkait
harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap
Pemilih dan Peserta Pemilu mendapat
perlakuan yang sama,
serta bebas dari
kecurangan pihak mana pun.
Untuk dapat
menjamin terwujudnya penyelenggaraan Pemilu sebagai pesta demokrasi masyarakat
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 mengatur terkait dengan
penyelesaian sengketa tata usaha Negara Pemilu. Kewenangan PTUN dalam
penyelesaian sengketa pemilu secara khusus di atur Bagian Kelima Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu.
Sengketa tata usaha negara
Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha
negara Pemilu antara
calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota, atau
partai politik calon
Peserta Pemilu dengan
KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sengketa
tata usaha negara
Pemilu merupakan sengketa
yang timbul antara:
a. KPU dan
Partai Politik calon
Peserta Pemilu yang
tidak lolos verifikasi
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
KPU tentang penetapan
Partai Politik Peserta
Pemilu
b. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan
calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota yang
dicoret dari daftar
calon tetap sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan
KPU tentang penetapan
daftar calon tetap.
Pengajuan
gugatan atas sengketa
tata usaha negara
Pemilu ke pengadilan
tinggi tata usaha
negara dilakukan setelah
seluruh upaya administratif
di Bawaslu telah digunakan. Pengajuan
gugatan atas sengketa
tata usaha negara Pemilu
dilakukan paling lama 3 (tiga)
hari kerja setelah
dikeluarkannya Keputusan
Bawaslu. Dalam hal
pengajuan gugatan kurang
lengkap, penggugat dapat
memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak diterimanya
gugatan oleh pengadilan
tinggi tata usaha negara. Apabila dalam jangka waktu tersebut, penggugat
belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan
putusan bahwa gugatan
tidak dapat diterima. Terhadap putusan
ini tidak dapat dilakukan upaya
hukum.[5]
Pengadilan
tinggi tata usaha
negara memeriksa dan
memutus gugatan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak gugatan dinyatakan lengkap.
Terhadap putusan pengadilan
tinggi tata usaha
negara hanya dapat dilakukan permohonan
kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Permohonan
kasasi diajukan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan
pengadilan tinggi tata
usaha Negara. Mahkamah Agung
Republik Indonesia wajib
memberikan putusan atas permohonan kasasi paling
lama 30 (tiga
puluh) hari kerja
sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia bersifat terakhir
dan mengikat serta
tidak dapat dilakukan
upaya hukum lain. KPU wajib
menindaklanjuti putusan pengadilan
tinggi tata usaha
negara atau putusan
Mahkamah Agung Republik
Indonesia tersebut paling lama 7
(tujuh) hari kerja.
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
tata usaha negara
Pemilu dibentuk majelis
khusus yang terdiri
dari hakim khusus
yang merupakan hakim
karier di lingkungan
pengadilan tinggi tata
usaha negara dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Hakim khusus tersebut ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim khusus
adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal
3 (tiga) tahun,
kecuali apabila dalam suatu
pengadilan tidak terdapat
hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga)
tahun. Hakim khusus
selama menangani sengketa
tata usaha negara
Pemilu dibebaskan dari tugasnya
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Hakim khusus
harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu.[6]
[1] Philippus M. Hadjon. Op.Cit. Hal. 116.
[2] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi
Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. Hal. 144.
[3] Ibid. Hal. 74.
[4] Sjachran Basah, Menelaah Liku-liku Rancangan Undang-undang
No. -Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, 1992.
Hal. 154.
[5] Pasal 269 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
[6] Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Mau tanya, apa ya dasar pemikiran PTUN menangani sengketa PHPU?
BalasHapusTerimakasih
Borgata Hotel Casino & Spa Map & Floor Plans - Mapyro
BalasHapusCompare room types at Borgata 의정부 출장샵 Hotel Casino & Spa in Atlantic City. View floor plans, photos, amenities and features 화성 출장안마 of 춘천 출장샵 Borgata 경산 출장샵 Hotel Casino & Spa. 제주 출장마사지