Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Senin, 06 April 2015

Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

      a. Definisi Putusan Hakim
            Definisi putusan hakim menurut Andi Hamzah adalah:[1] Hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah:[2]
      Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

      Bukan hanya yang di ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.[3] Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak yang berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
b. Jenis-Jenis Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
      Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam :
1)    Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak).
Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.[4]
Dengan demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan hukum.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum secara pidana ini.
2)    Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Rechtsvervolging)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).[5] Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria :
a)    Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan.
b)    Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.
Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila :
a)    Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
b)    Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
c)    Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
d)    Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-undang (Pasal 50 Kitab Undang undang Hukum Pidana)
e)    Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
3)     Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordeling).
Kemungkinan ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang mengandung penghukuman terdakwa. Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.[6] Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu :[7]
1.    Sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
2.    Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa pernah dihukum, dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih muda mengakui terus terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum menikmati hasil kejahatannya tersebut.
c.   Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Pada prinsipnya peran hakim merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dengan fungsi dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan, oleh karena itu berbicara mengenai peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan kewenangan. Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang disebutkan Undang-Undang.
1.    Peran Hakim Dari Segi Tujuan Melaksanakan Fungsi Dan Kewenangan Peradilan.

Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa:[8]
a.    Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.    Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c.    Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
d.    Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
e.    Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
f.     Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
g.    Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang hukum.
h.    Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara perdamaian.
Bertitik tolak dari segi tujuan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran hakim secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :[9]
a.    Menegakkan Kebenaran dan Keadilan
Menegakkan kebenaran dan keadilan bukan menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang dan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan. Dalam hal inilah dituntut peran hakim.

1) Harus mampu menafsir Undang-undang secara aktual.
Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
2) Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum.
Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan hukum baru disesuaikan dengan kesadaran perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal itu dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.


1) Harus berani berperan melakukan contra legem
Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis, tapi hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie.
2) Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik.
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case, tidak dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular reason) yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan dan menerapkannya secara kasuistik sesuai dengan keadaan konkreto perkara yang diperiksa.
a.    Memberi Edukasi, Koreksi, Prepensi dan Represif
Memberi Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan pengalaman bahwa berbuat seperti itu adalah salah dan keliru. Memberi Koreksi, bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan seseorang.
Memberi prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah. Pengertian yang demikian akan menanamkan kesadaran bagi mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti itu.
Memberi represif, bahwa putusan hakim harus tegas membenarkan yang benar dan menghukum yang salah. Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan kepastian hukum pada satu segi serta menegakkan kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan memberi hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya, masyarakat merasa dilindungi dan mereka merasa tenteram serta citra wibawa pengadilan akan tegak sebagai lembaga pencari kebenaran dan keadilan.
Dalam kerangka edukasi, koreksi, prepensi dan represip, peran hakim baru dapat memberi makna apabila putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses persidangan yang :

1) Didukung oleh integritas dan profesionalisme yang solid.
Memang akui bahwa hakim bukan manusia yang bersifat ultimate, juga tidak absolut kemampuan dan kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan dan kelebihan, namun demikian pada diri hakim dituntut sifat dan sikap manusia tipe ideal dalam bentuk :
a) Memegang teguh disiplin, yakni harus menepati ketentuan aturan persidangan, jika sidang ditetapkan pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh.
b) Kualitas moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak ragu-ragu dan terombang-ambing, tidak dapat dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang prinsip kejujuran.
c) Berwawasan luas, yakni cakap dan terampil, menguasai dengan baik teknis justisial, memiliki dinamika antisipasi yang luwes secara efektif, maupun memodifikasi nilai-nilai yang segar secara analitis dan konstruktif, sehingga putusan yang dijatuhkan mengandung nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan yang berbobot hukum yang matang (the maturity of law), yaitu yang rasional, praktis dan aktual.
2)    Didukung oleh sikap arif dan manusiawi.
Hakim sebagai pejabat yang dianugerahi negara hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas sebagai seorang manusia sopan dan santun, mampu menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya sebagai pelayan yang mengabdi kepada keadilan, menjauhkan sikap dan perilaku arogansi (kecongkakan kekuasaan) dan instrument of power dan menjunjug tinggi harkat martabat orang yang berperkara.
a.    Menegakkan asas Imperialitas dan audi et alturam partem (mendengarkan kedua belah pihak)
Hakim tidak bertindak berat sebelah, maka hakim harus memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para pihak dalam membela dan mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Dengan demikian proses persidangan benar-benar menegakkan prinsip equality before the law, equal protection of the law, equal justice under the law, tidak boleh bersikap diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris berdasar jenis kelamin, etnis, golongan dan status sosial.
b.    Menegakkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
Asas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tapi benar-benar diwujudkan jika ingin menampilkan putusan yang mengandung edukasi, koreksi, prepensi dan represip. Proses persidangan yang panjang dan bertele-tele mengakibatkan kebenaran dan keadilan hancur ditelan masa, menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.
b. Proyeksi Tatanan Masa Datang
Baik dari segi doktrin maupun politik hukum, salah satu tujuan penegakan hukum melalui putusan hakim, bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada masa yang akan datang. Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar memberi kepastian hukum masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat pada masa yang akan datang, dalam hal ini paling tidak pada bidang kehidupan tertentu, peran hakim harus mampu memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa yang akan datang.
c.    Harus Berperan Mendamaikan
Bahwa hakim tidak semata-mata berperan dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara, tapi sesuai pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-undang memberi para hakim untuk mendamaikan. Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama, sedangkan fungsi mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan upaya mendamaikan.[10] PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, menegaskan bahwa dalam perkara perdata, khususnya yang sifatnya contentius, mediasi adalah suatu hal yang imperatif, bahkan menurut Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.[11]
d.    Ikut Berperan Membina Law Standard
Penegakkan hukum melalui badan peradilan (hakim) memerlukan terwujudnya unified legal framework dan unified legal opinion, yakni perlu terwujudnya keseragaman landasan hukum dan keseragaman pandangan hukum diantara para hakim, agar tidak berkembang putusan-putusan yang yang bersifat fluktuasis dan yang bercorak disparitas tinggi. Law standard dapat terbina dan terwujud, para hakim harus meneliti putusan-putusan yang telah menjadi stare decesis, yakni putusan yang mengandung nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang bermakna pembaharuan dari pembangunan hukum, isinya mengandung perlindungan kepentingan umum atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang dan putusan dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti dalam kasus yang sama dari jumlahnya sudah banyak, maka putusan yang demikian dikualifikasi sebagai yurisprudensi. Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi, harus bersifat dinamik dengan acuan, Pertama : hakim tetap bebas menjatuhkan putusan yang bersifat variabel dalam kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang menyimpang dari yurisprudensi, tetapi penyimpangan ini tidak bercorak fundamental hanya bersifat variabel, Kedua : hakim tetap bebas mencipta putusan baru, tetap dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari putusan yurisprudensi yang telah bersifat stare decesis bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan, ketertiban atau kemasalahatan umum.
2.    Pengawasan Hakim Dan Pertanggungjawaban Hakim Terhadap Masyarakat.

Hakim bukanlah manusia yang sempurna, ia seperti halnya manusia pada umumnya memiliki berbagai kekurangan dan kelalaian, sehingga kemungkinan terjadi penyalahgunaan atau tindakan yang tidak profesional yang merugikan. Hal lain yang dianggap berbeda dari Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 adalah adanya pengaturan umum mengenai pengawasan hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 menyebutkan bahwa pada pokonya:[12]
1.    Pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan dan pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial.
2.    Pengawasan internal dan eksternal tersebut berpedoman dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun dan ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
3.    Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
4.    Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial.
5.    Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimaksud telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial di Jakarta pada tanggal 8 April 2009 dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial No : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No : 02/SKB/PKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisial maupun dalam kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta etika dan perilaku hakim. Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkret dan konsisten, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalani fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim merupakan pedoman keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.[13]
Berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap masyarakat, pada Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 64A Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 51 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, pada pokoknya menyebutkan bahwa:[14]
1.    Hakim harus menjadikan nilai-nilai hukkum dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat sebagai dasar pertimbangan hukumnya, agar putusan tesebut mengandung keadilan bagi pelaku tindak pidana.
2.    Putusan pengadilan selain harus memuat aturan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3.    Hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
4.    Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan tersebut dan wajib menyampaikan salinan putusan itu kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari kerja sejak putusan diucapkan.
Pembaharuan badan peradilan merupakan sebuah kemestian dan harus dilakukan secara terus menerus, yaitu agar hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini, sampai terwujud kembali badan peradilan yang dipercaya, berwibawa, terhormat dan dihormati. Salah satu usaha penting yang harus dilakukan berkaitan dengan peran-peran hakim di atas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu membangun dan membentuk hakim yang baik. Menurut Bagir Manan upaya ke arah membangun dan membentuk hakim yang baik itu terdapat beberapa perspektif yang perlu dijadikan pangkal tolak mencari dan menemukan sarana perwujudan hakim yang baik adalah meliputi perspektif intelektual, perspektif etik, perspektif hukum, perspektif kehidupan beragama dan perspektif teknis peradilan.




[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1986. Hal. 485.
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986. Hal. 206.
[3] Ibid. Hal. 175.
[4] M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997. Hal. 169.
[5] Ibid.
[6] Ibid. Hal. 171.
[7] Ibid. Hal 162.
[8] Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[10] Reglement Buiten Govesten.
[11] Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
[12] Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[13] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudiasial Indonesia No: 047/KMA/SKB/IV/2009 No: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
[14] Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan PTUN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter