a. Definisi Putusan Hakim
Definisi putusan hakim
menurut Andi Hamzah adalah:[1] Hasil atau kesimpulan dari
suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat
berbentuk putusan tertulis maupun lisan.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim
adalah:[2]
Putusan
hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Bukan hanya yang di ucapkan saja yang
disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep
putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan
di persidangan oleh hakim.[3] Sehingga dapat disimpulkan
bahwa putusan hakim adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim
yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu
sengketa antara para pihak yang berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
b. Jenis-Jenis Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam :
1)
Putusan
yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak).
Dalam Pasal
191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus
bebas.[4]
Dengan
demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum
terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan
hukum.
Dalam
penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim
atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
secara pidana ini.
2) Putusan yang mengandung pelepasan
terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag
van Rechtsvervolging)
Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana).[5] Putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria :
a)
Apa
yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan.
b)
Tetapi
sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak
merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang lingkup hukum perdata
atau hukum adat.
Putusan yang
mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap
terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia
tidak dapat dipertanggung jawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa tidak
dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah,
apabila :
a)
Kurang
sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat(1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana).
b)
Keadaan
memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana)
c)
Pembelaan
darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana)
d)
Melakukan
perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-undang (Pasal 50 Kitab Undang
undang Hukum Pidana)
e)
Melakukan
perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang
berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
3)
Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordeling).
Kemungkinan
ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang mengandung
penghukuman terdakwa. Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.[6] Dengan
demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil
pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah
ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu :[7]
1. Sekurang-kurang dua alat bukti yang
sah.
2. Dengan adanya minimum pembuktian
tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam praktek,
hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
hal-hal yang meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, yaitu
terdakwa pernah dihukum, dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah,
memberikan keterangan berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya
pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih
muda mengakui terus terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum
menikmati hasil kejahatannya tersebut.
c. Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Pada
prinsipnya peran hakim merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dengan fungsi
dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan, oleh
karena itu berbicara mengenai peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan
kewenangan. Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan
peradilan, tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan
batas-batas kewenangan yang disebutkan Undang-Undang.
1.
Peran Hakim Dari Segi Tujuan
Melaksanakan Fungsi Dan Kewenangan Peradilan.
Pasal 2 ayat
(2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa:[8]
a.
Peradilan
dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.
Peradilan
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c.
Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
d.
Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
e.
Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
f.
Hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
g.
Hakim
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur, adil,
profesional dan pengalaman di bidang hukum.
h.
Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara
secara perdamaian.
Bertitik tolak dari segi tujuan
melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran
hakim secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :[9]
a. Menegakkan
Kebenaran dan Keadilan
Menegakkan
kebenaran dan keadilan bukan menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti
sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang dan hakim tidak
boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal inilah dituntut peran hakim.
1) Harus mampu menafsir Undang-undang
secara aktual.
Agar hukum
yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu
dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan
kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran
hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan
cita-cita umum (common basic idie)
yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang
bersangkutan.
2) Harus
berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum.
Dalam hal
ketentuan peraturan undang-undang tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang
suatu kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan hukum baru disesuaikan
dengan kesadaran perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal itu dapat
diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari
pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum
baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan
tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
1) Harus berani berperan melakukan contra legem
Dalam hal ini
hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu,
dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut
bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam
keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh
mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis, tapi hal inipun harus
tetap beranjak dari common basic idie.
2) Harus mampu berperan mengadili
secara kasuistik.
Pada
prinsipnya setiap kasus mengandung particular
reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh
karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case, tidak dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti
putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular reason) yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan
dan menerapkannya secara kasuistik sesuai dengan keadaan konkreto perkara yang
diperiksa.
a. Memberi
Edukasi, Koreksi, Prepensi dan Represif
Memberi
Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi
pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan
yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan
pengalaman bahwa berbuat seperti itu adalah salah dan keliru. Memberi Koreksi,
bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap
kesalahan yang dilakukan seseorang.
Memberi
prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi
putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada
masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah. Pengertian yang demikian akan
menanamkan kesadaran bagi mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti
itu.
Memberi represif,
bahwa putusan hakim harus tegas membenarkan yang benar dan menghukum yang
salah. Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan kepastian hukum pada
satu segi serta menegakkan kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan
memberi hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya, masyarakat merasa
dilindungi dan mereka merasa tenteram serta citra wibawa pengadilan akan tegak
sebagai lembaga pencari kebenaran dan keadilan.
Dalam kerangka
edukasi, koreksi, prepensi dan represip, peran hakim baru dapat memberi makna apabila
putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses persidangan yang :
1) Didukung oleh integritas dan
profesionalisme yang solid.
Memang akui
bahwa hakim bukan manusia yang bersifat ultimate,
juga tidak absolut kemampuan dan kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan dan
kelebihan, namun demikian pada diri hakim dituntut sifat dan sikap manusia tipe
ideal dalam bentuk :
a) Memegang
teguh disiplin, yakni harus menepati ketentuan aturan persidangan, jika sidang
ditetapkan pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh.
b) Kualitas
moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak ragu-ragu dan terombang-ambing, tidak
dapat dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang prinsip kejujuran.
c) Berwawasan
luas, yakni cakap dan terampil, menguasai dengan baik teknis justisial,
memiliki dinamika antisipasi yang luwes secara efektif, maupun memodifikasi
nilai-nilai yang segar secara analitis dan konstruktif, sehingga putusan yang
dijatuhkan mengandung nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan yang berbobot
hukum yang matang (the maturity of law),
yaitu yang rasional, praktis dan aktual.
2)
Didukung
oleh sikap arif dan manusiawi.
Hakim sebagai
pejabat yang dianugerahi negara hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut
kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas sebagai seorang manusia
sopan dan santun, mampu menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya sebagai pelayan yang mengabdi kepada
keadilan, menjauhkan sikap dan perilaku arogansi (kecongkakan kekuasaan) dan instrument of power dan menjunjug tinggi
harkat martabat orang yang berperkara.
a.
Menegakkan
asas Imperialitas dan audi et alturam
partem (mendengarkan kedua belah pihak)
Hakim tidak
bertindak berat sebelah, maka hakim harus memberi kesempatan yang sama dan
seimbang kepada para pihak dalam membela dan mempertahankan hak dan kepentingan
mereka. Dengan demikian proses persidangan benar-benar menegakkan prinsip equality before the law, equal protection of the law, equal justice under the law, tidak boleh
bersikap diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris berdasar
jenis kelamin, etnis, golongan dan status sosial.
b.
Menegakkan
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
Asas ini
jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, tapi benar-benar diwujudkan jika ingin menampilkan putusan yang
mengandung edukasi, koreksi, prepensi dan represip. Proses persidangan yang
panjang dan bertele-tele mengakibatkan kebenaran dan keadilan hancur ditelan masa,
menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara
dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.
b.
Proyeksi Tatanan Masa Datang
Baik dari segi
doktrin maupun politik hukum, salah satu tujuan penegakan hukum melalui putusan
hakim, bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada masa yang akan datang.
Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar memberi kepastian hukum
masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat pada masa
yang akan datang, dalam hal ini paling tidak pada bidang kehidupan tertentu,
peran hakim harus mampu memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa
tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa yang akan datang.
c. Harus
Berperan Mendamaikan
Bahwa hakim
tidak semata-mata berperan dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara,
tapi sesuai pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-undang memberi para
hakim untuk mendamaikan. Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus
perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama, sedangkan fungsi
mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan upaya
mendamaikan.[10]
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, menegaskan bahwa dalam perkara
perdata, khususnya yang sifatnya contentius, mediasi adalah suatu hal yang
imperatif, bahkan menurut Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut,
tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum.[11]
d. Ikut
Berperan Membina Law Standard
Penegakkan
hukum melalui badan peradilan (hakim) memerlukan terwujudnya unified legal framework dan unified legal opinion, yakni perlu
terwujudnya keseragaman landasan hukum dan keseragaman pandangan hukum diantara
para hakim, agar tidak berkembang putusan-putusan yang yang bersifat fluktuasis
dan yang bercorak disparitas tinggi. Law
standard dapat terbina dan terwujud, para hakim harus meneliti
putusan-putusan yang telah menjadi stare
decesis, yakni putusan yang mengandung nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang bermakna
pembaharuan dari pembangunan hukum, isinya mengandung perlindungan kepentingan
umum atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang dan putusan
dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti dalam kasus yang sama dari
jumlahnya sudah banyak, maka putusan yang demikian dikualifikasi sebagai
yurisprudensi. Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi, harus bersifat
dinamik dengan acuan, Pertama : hakim tetap bebas menjatuhkan putusan yang
bersifat variabel dalam kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang
menyimpang dari yurisprudensi, tetapi penyimpangan ini tidak bercorak
fundamental hanya bersifat variabel, Kedua : hakim tetap bebas mencipta putusan
baru, tetap dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari putusan
yurisprudensi yang telah bersifat stare
decesis bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau
yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan, ketertiban atau
kemasalahatan umum.
2.
Pengawasan Hakim Dan
Pertanggungjawaban Hakim Terhadap Masyarakat.
Hakim bukanlah
manusia yang sempurna, ia seperti halnya manusia pada umumnya memiliki berbagai
kekurangan dan kelalaian, sehingga kemungkinan terjadi penyalahgunaan atau
tindakan yang tidak profesional yang merugikan. Hal lain yang dianggap berbeda
dari Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 adalah adanya pengaturan umum mengenai
pengawasan hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 menyebutkan bahwa pada
pokonya:[12]
1.
Pengawasan
terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan dan pengawasan
internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan
pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial.
2.
Pengawasan
internal dan eksternal tersebut berpedoman dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim yang disusun dan ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
3.
Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisa putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan
mutasi hakim.
4.
Hakim
yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial.
5.
Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimaksud telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial di Jakarta pada tanggal 8 April 2009 dalam Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial No :
047/KMA/SKB/IV/2009 dan No : 02/SKB/PKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Wewenang dan tugas pengawasan tersebut
diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari
fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur dan profesional sehingga
memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal
penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim adalah perilaku dari
hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisial maupun dalam
kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu hakim dituntut untuk
selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta etika dan
perilaku hakim. Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkret dan konsisten, baik
dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal
itu berkaitan dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Profesi hakim memiliki sistem etika
yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata
nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya
dalam menjalani fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim merupakan pedoman keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan
tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan
dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2)
Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri,
(5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga
Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap
Profesional.[13]
Berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap
masyarakat, pada Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 50
sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 52 A
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 64A Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009,
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, pada pokoknya menyebutkan bahwa:[14]
1.
Hakim
harus menjadikan nilai-nilai hukkum dan rasa keadilan yang berkembang di
masyarakat sebagai dasar pertimbangan hukumnya, agar putusan tesebut mengandung
keadilan bagi pelaku tindak pidana.
2.
Putusan
pengadilan selain harus memuat aturan dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3.
Hakim
harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat
dan benar.
4.
Pengadilan
wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan putusan tersebut dan wajib menyampaikan salinan putusan itu
kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari kerja sejak putusan diucapkan.
Pembaharuan badan peradilan merupakan
sebuah kemestian dan harus dilakukan secara terus menerus, yaitu agar hari ini
lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini, sampai terwujud
kembali badan peradilan yang dipercaya, berwibawa, terhormat dan dihormati.
Salah satu usaha penting yang harus dilakukan berkaitan dengan peran-peran
hakim di atas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu
membangun dan membentuk hakim yang baik. Menurut Bagir Manan upaya ke arah
membangun dan membentuk hakim yang baik itu terdapat beberapa perspektif yang
perlu dijadikan pangkal tolak mencari dan menemukan sarana perwujudan hakim
yang baik adalah meliputi perspektif intelektual, perspektif etik, perspektif
hukum, perspektif kehidupan beragama dan perspektif teknis peradilan.
[1]
Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata,
Liberty, Yogyakarta, 1986. Hal. 485.
[2]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1986. Hal. 206.
[3]
Ibid. Hal. 175.
[4] M.
Karjadi dan R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar,
Politeia, Bogor, 1997. Hal. 169.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid. Hal. 171.
[7]
Ibid. Hal 162.
[8]
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[9] http://www.badilag.net/artikel/12918-prospektif-peran-hakim-dalam-penyelenggaraan-kekuasaan-kehakiman-pasca-diundangkannya-uu-nomor-48-tahun-2009-oleh--drs-h-nurcholis-syamsuddin-sh-mh--1110.html.
Diakses pada 25 Februari 2013. Pukul 02.46 WITA.
[10]
Reglement Buiten Govesten.
[11]
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
[12]
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[13]
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi
Yudiasial Indonesia No: 047/KMA/SKB/IV/2009 No: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
[14]
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.
49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan PTUN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar