Secara umum penegakan hukum dapat
diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk
memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang
ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardjo[1],
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan‑keinginan hukum
(yaitu pikiran‑pikiran badan pembuat undang‑undang yang dirumuskan dalam
peraturan‑peraturan hukum) menjadi kenyataan.
Secara konsepsional, inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai‑nilai yang
terjabarkan di dalam kaedah‑kaedah yang baik yang terwujud dalam serangkaian nilai untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut
dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya
terletak pada isi faktor‑faktor tersebut. Faktor‑faktor ini mempunyai yang saling
berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari effektivitas
penegakan hukum. Faktor‑faktor tersebut adalah:[2]
a. hukum (undang‑undang).
b. penegak hukum, yakni pihak‑pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum.
d. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut
diterapkan.
e. dan faktor kebudayaan, yakni
sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.
Di dalam suatu negara yang sedang
membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana
untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan
pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan
oleh Roscoe Pound (1870‑1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence,
Politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) sebagai salah satu usaha dalam
menanggulangi kajahatan dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan
hukum pidana yang rasional tersebut
terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap
eksekusi yaitu :[3]
a. Tahap Formulasi, adalah tahap
penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam
tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang
sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian
merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan
legislatif.
b. Tahap Aplikasi, tahap penegakan
hukum pidana ( tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum
mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat
penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana
yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan tugas
ini, aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna.
Tahap kedua ini dapat juga disebut tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap
penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana
pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan
pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana
yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankian
tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah
dibuat oleh pembentuk undang-undangan (legislatur) dan nilai-nilai keadilan
serta daya guna.
Ketiga tahap
penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses yang
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk
membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum
itulah Pancasila.[4]
[2] Soerjono
Soekanto. faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo
Persada: Jakarta. 1983. Hal 5
[3] Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Tth. Hal 173
[4] Roeslan Saleh. Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional. Karya Dunia Pikir: Jakarta. 1996. Hal 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar