Mineral
dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai
oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional
dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai
peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Mengingat
arti pentingnya pengelolaan pertambangan mineral dan barubara, maka sudah
seharusnya negara melalui peraturan perundang-undangannya memberikan kepastian
hukum terhadap pengelolaan pertamabangan mineral dan batu bara demi mewujudkan
pengelolaan yang berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing. Selain itu
pengaturan yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara
harus menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha, baik dari
aspek perizinan pertambangannya hingga aspek analisis dampaknya terhadap
lingkungan wilayah pertambangan.
Pemerintah
pusat melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, memiliki keweanngan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batu bara yang meliputi kewenangan
penetapan wilayah pertambangan[1],
kewenangan menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan[2],
dan kewenangan menetapkan Luas dan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP mineral logam dan batubara[3].
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah pusat ini, merupakan derivasi dari
ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Yang menentukan
bahwa:
Ayat
(2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ayat
(3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikua-sai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sementara itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten,
kota) juga memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di
bidang energi dan sumber daya mineral. Kewenangan Pemda tersebut merupakan
kewenangan konstitusional sebagaimana diberikan UUD 1945, yakni diatur pada
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Yaitu kewenangan yang diberikan kepada
Pemda untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan menjalankan otonomi seluas-luasnya.
Kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi, sebagaimana ketentuan UUD 1945, Pasal
8 ayat (2) "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan"; Pasal 18 ayat (5): "Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah";
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal UUD 1945 a
quo, Pemohon mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
otonomi yang diberikan oleh UUD 1945 adalah otonomi yang seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah (pusat).
Bahwa urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah (Termohon) sebagaimana dimaksud Pasal 18
ayat (5) UUD 1945 adalah meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c)
keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama. Hal mana
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintah Daerah),
yakni: "Urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah (Pusat) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan ftskal
nasional; dan
f. agama."
Sementara
itu, urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral merupakan
kewenangan Pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1), ayat
(2), Pasal 11 ayat (3) dan 5 Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah juncto
Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang
selengkapnya berbunyi:
Pasal 10 ayat (1): "Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
Pasal 10 ayat (2): "Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 11 ayat (3): "Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan criteria sebagaimana
dimaksud ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 14 ayat (2): "Urusan pemerintahan kebupaten/kota yang
bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan; dan
Pasal 7 ayat (4) PP 38/2007; "Urusan pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian;
c. Kehutanan;
d. Energi dan sumber daya
mineral; (penebalan dari Pemohon)
e. Pariwisata;
f. Industri;
g. Perdagangan; dan
h. Ketransmigrasian.
Bahwa
dengan demikian jelas dan terang bahwa urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas adalah
merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dimaksudkan oleh UUD 1945 dan
oleh UUD 1945 urusan pemerintahan tersebut kewenangannya diberikan kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota.
________________________________________________________________________________
Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan
pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sehingga berbicara tentang wewenang tentu juga
akan berbicara terkait dengan organ pemerintahan selaku pelaksana fungsi
pemerintahan. H.D
Stout mengemukakan bahwa wewenang tak lain adalah pengertian yang berasal dari
hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan-hubungan hukum publik.
Lebih lanjut Bagir Manan, mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban,
dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan
dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.[4]
Secara
teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu, atribusi, delegasi, dan
mandat, yang defenisinya adalah sebagai berikut :[5]
a)
Atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ
pemerintah.
b)
Delegasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya.
c)
Mandat terjadi ketika
organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya.
Salah satu kewenangan yang sering
diperbincangkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adalah kewenangan
pemerintahan daerah sebagai implementasi otonomi daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang dimaksud Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam, sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui bahwa kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya merupakan kewenangan yang diperoleh
melalui atribusi. Pasal 1 ayat (2) UU No.
32 Tahun 2004 menentukan bahwa:
Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkaitan dengan
kewenangan pmeintahan daerah ini, salah satu permasalahan yang muncul dalam
pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah adalah Dalam
hal kewenangan pengelolaan sumber daya alam. Di era otonomi daerah, terjadi
perubahan yang mendasar di dalam sistem dan praktek pengelolaan sumberdaya alam. Perubahan itu didasari oleh kewenangan daerah dalam
pengelolaan sumberdaya nasional sangat besar, sedangkan kewenangan Pemerintah
Pusat sangat terbatas. Secara eksplisit
dalam ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan bahwa “Daerah berwenang
mengelola sumberdaya nasional
yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Dalam penjelasannya, yang
dimaksud dengan sumberdaya nasional adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan
dan sumberdaya manusia.
Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 14 UU Pemerintatahan Daerah tersebut di atas, merupakan pengaturan
berkelanjutan dari Ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Secara eksplisit, pada
BAB VI, Pasal 18, UUD NRI Tahun 1945, ditentukan bahwa:
(1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4)
Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.
(5)
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
(7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerin-tahan daerah diatur dalam undang-undang.
Kewenangan
pemerintahan daerah dalam hal pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara,
tentu tidak dapat dikesampingkan karena dasar pemberian wewenang sebagaimana
ditentukan pada ketentuan Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah merupakan kewenangan yang bersumber dari ketentuan Pasal 18 UUD NRI
Tahun 1945. Namun demikian, disisi lain pemerintah pusat juga memiliki dasar
kewenangan dalam pengeloaan sumber daya mineral dan batu bara. Hal ini terlihat
jelas dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, dimana pemerintah pusat diberikan kewenangan yang
meliputi kewenangan penetapan wilayah pertambangan, kewenangan menetapkan
Wilayah Usaha Pertambangan, dan kewenangan menetapkan Luas dan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP mineral logam dan batubara. kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah pusat ini, juga merupakan pengaturan yang berdasar pada ketentua UUD
NRI Tahun 2945, yakni Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3).
Jika
dilihat secara sepintas, nampak bahwa terjadi pertentangan dalam hal kewenangan
pengelolaan sumber daya mineral dan batubara antara pemerintahan daerah dengan
pemerintahan pusat. Namun, jika dicermati kedua ketentuan konstitusi ini tidak
bertentangan, bahkan saling melengkapi di mana Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 merupakan
satu penegasan dari ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Untuk memperjelas
hubungan kewenangan antara pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat dalam
hal pengelolaan sumber saya mineral dan batu bara, perlu diketahui terlebih
dahulu mengenai konsep “hak menguasai Negara” sebagimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Hak menguasai
negara merupakan instrumen (bersifat instrumental),
sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan
tujuan (objectives)[6]. unsur utama ”hak menguasai oleh negara” adalah untuk
mengatur dan mengurus (regelen en besturen).
Dalam kerangka pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa dalam penguasaan itu
negara hanya melakukan bestuursdaad
dan tidak melakukan eigensdaad[7]. Apabila terjadi pergeseran dari bestuursdaad menjadi eigensdaad
maka tidak akan ada jaminan bagi tujuan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.[8]
Untuk mewujudkan tujuan hak
penguasaan negara atas bahan mineral dan batu bara diperlukan upaya untuk memanfaatkan melalui
investasi pertambangan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar
pendayagunaan bahan mineral dan batu bara yang keberlanjutan (sustainability). UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, mewajibkan
agar sumberdaya alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
seperti yang tercantum dalam Pasal 33, yakni “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat tersebut harus
dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi mendatang secara berkelanjutan.
Dalam Pasal 33 ayat (a) juga tercantum dasar demokrasi ekonomi. Ketentuan Pasal
tersebut menetapkan bahwa "perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan, berwawasan
lingkungan... ".Makna kata "berkelanjutan" sebenarnya berkaitan
dengan konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Hal
tersebut berkaitan erat dengan perkembangan gagasan tentang pentingnya wawasan
pemeliharaan, pelestarian dan perlindungan lingkungan yang baik, di mana dewasa
ini telah menjadi wacana dan kehadiran umum di seluruh penjuru dunia untuk menerapkannya
dalam praktik.[9]
Otto
Sumarwoto menyatakan bahwa pengertian pembangunan
berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan
sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan
penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran sosial
yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat
melalui pemerintahannya, kelembagaan dan sosialnya, dan kegiatan dunia
usahanya.[10] Dalam Pasal 3 UUPLH
juga dinyatakan bahwa "pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam rangka
pembangunan manusia lndonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat lndonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat lndonesia seluruhnya yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining
practice) diharapkan mampu membangun
peradaban yang mampu memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah, dan
norma-norma yang tepat, sehingga pemanfaatan sumberdaya pertambangan dapat
memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk yang seminimal
mungkin. Kaidah yang dimaksud meliputi: perizinan, teknis pertam-bangan,
keselamatan dan kesehatan kerja (K3), lingkungan, keterkaitan hulu-hilir,
konservasi, nilai tambah serta pengembangan masyarakat dan wilayah (local and
community development) disekitar usaha pertambangan. Kemudian kaidah lain
adalah mempersiapkan penutupan dan pasca tambang, dalam bingkai kaidah
peraturan perundangan dan standar yang berlaku, sesuai tahapan kegiatan
pertambangan. [11]
Bahan galian tambang mineral dan batubara merupakan sumberdaya
alam yang tak terbarukan (unrenewable
resauces) dalam pengelolaan dan pemanfaatannya dibutuhkan pendekatan
manajamen ruangan yang ditangani secara holistik dan integrative dengan
memperhatikan empat aspek pokok yaitu, aspek pertumbuhan (growth), aspek pemerataan (equity),
aspek lingkungan (environment), dan aspek konservasi (conservation). Penggunaan pendekatan yang seperti ini memerlukan
kesadaran bawa setiap kegiatan eksploitasi bahan galian akan menghasilkan
dampak yang bermanfaat sekaligus dampak merugikan bagi umat manusia pada
umumnya dan masyarakat lokal khususnya. Oleh karena itu kewenangan dalam hal
pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara, haruslah memperhatikan
lingkungan masyarakat disekitar wilayah yang akan dijadikan wilayah
pertambangan. Dengan demikian, pemberian izin terhadap pertambangan mineral dan
batu bara haruslah melibatkan unsur daerah karena faktor dampak yang
ditimbulkan terhadap penetapan wilayah pertambangan di suatu daerah menjadi
kriteria utama dalam pemberian izin pertambangan mineral dan batu bara.
Penerapan konsep otonomi daerah/desentralisasi
kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan harus dilakukan secara
konsisten, termasuk di dalamnya mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan
sumber daya mineral dan batu bara. Dibentuknya undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemrintahan Daerah merupakan implemnetasi dari konsep otonomi
daerah sebagaimana diamanatkan dlam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Dengan
dibentuknya Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dalam
hal kewenangan penetapan wilayah pertambangan, kewenangan menetapkan Wilayah
Usaha Pertambangan, dan kewenangan menetapkan Luas dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP mineral logam dan batubara,
menunjukkan bahwa telah terjadi inkonsistensi dalam penyelengaran otonomi
daerah. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah pusat tidak mengambil alih
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Terlebih kewenangan
pemerintahan daerah dalam hal pertambangan telah lebih dahulu di atur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PENUTUP
Pengembangan
sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk Sistem Pemerintahan Daerah, merupakan
kerangka dasar sistem pengelolaan/pemanfaatan Sumber Daya Alam yang dimiliki
oleh Negara agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Konsistensi penerapan “desentralisasi kewenangan” dalam rangka Otonomi Daerah
akan lebih menjamin terpenuhinya amanah konstitusi sebagaimana tertuang dalam
Pasal 33 UUD NRI 1945.
Atas
dasar pemikiran ini, maka sebaiknya Pemerintah lebih fokus pada fungsi “regulator” dalam pengelolaan sumber
daya alam, termasuk dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Salleng. 2013. Kapita Selekta Hukum Sumber Daya Alam.
Makassar: Membumi Publishing.
Bagir Manan. 1995. Aspek Hukum Daerah Atas Bahan Galian. Bandung:
Universitas Padjajaran.
Otto Soemarwoto. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan
Realitas. Bandung: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Suyartono, 2003, Good Mining Practice, Konsep tentang
Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar. Semarang: Studi Nusa.
[1] Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
[4] Ridwan HR. 2006. Hukum
Administrasi Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 73.
[6] Bagir Manan, Aspek Hukum Daerah Atas Bahan Galian ,
UNPAD, Bandung, 1995, hlm. 4
[7] Ibid,
hlm. 5.
[8] Abrar Salleng.
2013. Kapita Selekta Hukum Sumber Daya Alam. Makassar: Membumi Publishing. Hal.
249.
[10]Otto Soemarwoto, Pembangunan
Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas, ( Bandung: Departemen
Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran Bandung, 2006), hlm. 25.
[11] Suyartono, 2003, Good Mining Practice, Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan yang Baik
dan Benar, Studi Nusa, Semarang, hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar