1.
Pengertian Eksekusi.
Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan
lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (inkracht). Eksekusi putusan pengadilan adalah
pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para
pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat Keputusan
yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan
untuk membayar sejumlah uang (dwangsom).
Pengertian eksekusi menurut R. Subekti
dikatakan bahwa “Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak
yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan
itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.[1] Pendapat
yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
yang menyatakan bahwa “Eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan
terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.[2]
Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih
luas dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa eksekusi adalah
upaya kreditur merealisasikan hak secara paksa karena debitor tidak mau secara
sukarela mememuhi kewajibannya. Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari
proses penyeleseian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi, objek
eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta.[3]
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa
eksekusi tidak hanya diartikan dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas.
Eksekusi tidak hanya pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap kepada pihak yang kalah, yang tidak mau menjalankan isi putusan
secara sukarela, tetapi eksekusi dapat dilaksanakan terhadap grosse surat
hutang notariil dan benda jaminan eksekusi serta eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi
dalam arti luas merupakan suatu upaya realisasi hak, bukan hanya merupakan
pelaksanaan putusan pengadilan saja.
2. Macam-macam Eksekusi dalam PTUN
1)
Eksekusi Otomatis.
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh
Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
salinan putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Penitera Pengadilan
setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
berkekuatan hukum tetap.
Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 ayat
(1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah menjadi 14 (empat belas) hari
kerja. Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan pemerintah untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya memerlukan
pelaksanaan. Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu
apabila dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap
dikirimkan kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka
KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi. Penyelesaian otomatis
ini dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan
waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan
tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah
menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat tidak
melaksanakan pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang disengketakan
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat
yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera dengan surat
tercatat yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita (Mahkamah Agung, 2008:
66). Sesuai sifat dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut
agar masyarakat mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan
hukum lagi.
2) Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat
(3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan
setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan
KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru
ataumenerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya
(berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang
jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima
pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat
melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak
mengindahkannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat
yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat (6)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6). Ketua
Pengadilan diharuskan untuk mengajukan
hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga mengajukannya
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
3) Eksekusi Upaya Paksa.
Selama berlakunya mekanisme eksekusi
hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara relatif rendah, yaitu 30 sampai 40 persen. Dengan lahirnya
mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak yang menaruh harapan bahwa instrumen
ini akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi efektivitas
pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa mendatang.
Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 dengan ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari
“eksekusi hierarkis” menjadi “upaya paksa”. Perubahan ini adalah sebagai
koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang
memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu memberikan
tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk melaksanakan putusan.
Ditentukan pada ayat (3) pasal 116
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan
menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif
negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada
pihak tergugat (menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh)
hari kerja sejak diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada
tingkat pertama agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut. Perubahan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak
mengubah cara upaya paksa ini.
Setelah Ketua Pengadilan memerintahkan untuk
melaksanakan putusan (Pasal 116 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) ternyata tergugat tidak bersedia
melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa “pembayaran sejumlah uang paksa” dan/ atau “sanksi administratif” dan
pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
“diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan tersebut”.
3.
Mekanisme Eksekusi Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor
9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
Berkaitan dengan mekanisme eksekusi putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam bagian ini akan dikemukakan mekanisme
eksekusi putusan berdasarkan phase sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 yaitu ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
phase setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undangundang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
a.
Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur pada Bagian Kelima
mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal
119. Pasal 115 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa: “Hanya
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan”.
Adapun mekanisme eksekusi putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara menurut ketentuan diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986, isi selengkapnya adalah:
a.
Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
b.
Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
c.
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
d.
Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua
Pengadilan mengajukan Hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang
jabatan.
e.
Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2
(dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
f.
Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagaimana pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dikenal ada 2 (dua) jenis eksekusi putusan, yaitu: eksekusi putusan yang
berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9)
Sub a, yakni (a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dan
eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) Sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni (b) pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang baru, atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam
hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
berisi kewajiban Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara kepada Tergugat, maka
diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi. Philipus M. Hadjon menyebut mekanisme eksekusi ini sebagai
eksekusi otomatis.
Dikatakan otomatis oleh karena apabila
dikaitkan dengan prinsip keabsahan (rechtmatigheid) tindakan Pemerintah,
dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara di mana prinsip tersebut terkait
dengan batas kepatuhan kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah,
dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian tidak
ada kewajiban untuk memenuhi keputusan yang tidak sah dan dengan demikian pula
tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu
yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya Keputusan
Tata Usaha Negara.[4]
Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara melalui Instansi Atasan diterapkan apabila adanya putusan yang
berisi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan
c, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau (c) penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3, Pasal 97
ayat (10), yakni Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai
pembebanan ganti rugi, dan Pasal 97 ayat (11), dalam hal putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai
pemberian rehabilitasi, maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut
ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
yaitu dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi ternyata setelah 3 (tiga) bulan
lewat, dan kewajiban itu tidak dipenuhi, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan yang berwenang agar pengadilan memerintahkan tergugat
untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau
melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasannya
menurut jenjang jabatan. Instansi atasan ini dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata instansi
atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannya, maka Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini
merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis”.
Campur tangan Presiden dalam eksekusi putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat eksekusi pada
Pengadilan tersebut tidaklah semudah dalam eksekusi putusan badan Peradilan
Umum (perdata maupun pidana). Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung
jawab terhadap pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur Pemerintahan, tentunya
juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan pengadilan
sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut.[5]
b.
Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004.
Pengaturan eksekusi putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 diatur pada Pasal 116,
khususnya yang bertalian dengan amar putusan yang berisi kewajiban pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan penerbitan Keputusan Tata
Usaha yang baru, dan amar putusan yang berisi kewajiban penerbitan Keputusan
Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3, sebagaimana diatur
dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2)
Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan,
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar
Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi
administratif.
(5)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dalam ketentuan Pasal 116 ayat (4) disebutkan
sanksi pembayaran uang paksa dan sanksi administratif. Berkaitan dengan
pengertian sanksi tersebut, P. de Haan mengemukakan sanksi merupakan penerapan
alat kekuasaan (machtsmiddelen) sebagai reaksi atas pelanggaran norma
hukum administrasi. Ciri khas penegakan hukum adalah paksaan (dwang).
Sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah refresif untuk melaksanakan
kepatuhan. Penegakan hukum administrasi seringkali diartikan sebagai penerapan
sanksi administrasi. [6]
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang
penting di dalam hukum, juga dalam hukum administrasi. Pada umumnya tidak ada
gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga
di dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, manakala aturan-aturan
tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh Tata Usaha Negara (dalam hal
dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum
administrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak
hanya melarang tindakantindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang
khas, antara lain:[7]
a) Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);
b) Uang paksa (dwangsom);
c) Denda administrasi;
d) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan (izin,
pembayaran, subsidi).
c.
Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009
Pengaturan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang telah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir September 2009, terdapat beberapa perubahan
ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004. Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
selengkapnya berbunyi:
1.
Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
2.
Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian
setelah 90 (Sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
4.
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi
administratif.
5.
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6.
Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagaimana pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
7.
Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif,
dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi pemberdayaan Peradilan Tata Usaha
Negara maka masuknya ketentuan baru tersebut sebagai norma positif dalam revisi
undang-undang yang diharapkan akan semakin memperkuat posisi dan semakin
memberdayakan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu lembaga kontrol
yuridis terhadap tindakan-tindakan pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara).
[1] Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum
Eksekusi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12
[2] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek(Bandung : Mundur
Maju, 1989), hlm 130
[3] Mochammad Djais., 2000, Pikiran Dasar Hukum
Eksekusi, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang. Hal. 16.
[4] Philippus M. Hadjon. Op. Cit. Hal 3-4.
[5] Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas
Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta:P.T. Radja Grafindo
Persada, 2005. Hal. 81-82.
[6] Philippus M. Hadjon. Op. Cit. Hal 337.
[7] Ibid. Hal. 245.
terimakasih banyak, sangat menarik sekali pembahasannya...
BalasHapus