1.
Latar Belakang Pembentukan UU OJK
Pada tanggal 22 November 2011, telah
disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253. Pembentukan UU OJK
dilatar belakangi oleh berbagai alasan, baik yuridis maupun kondisi sektor jasa
keuangan. Latar belakang yuridis pembentukan UU OJK adalah Pasal 34
Undang-Undang Bank Indonesia yang mengamanatkan dibentuknya lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan independen yang mencakup pengawasan, perbankan pasar
modal, industri keuangan non bank, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat. Selain latar belakang yuridis, pembentukan UU OJK juga
disebabkan oleh perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis dan
saling terkait antar masing-masing
subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan dan kompleksitas
transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan sebagai akibat dari
konglomerasi pemilikan pada lembaga jasa keuangan.
Pada
penjelasan umum UU OJK diuraikan mengenai urgensi keberadaan OJK, dengan dasar
pemikiran bahwa, Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga
jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan
dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Oleh
karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang serius terhadap
perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut, dengan mengupayakan
terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang
terintegrasi dan komprehensif.[1]
Terjadinya
proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan
yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik
dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa
keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan
(konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga
jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral
di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum
optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas
sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan
di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari
lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor
jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan
dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif
di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga
dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan
pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan
secara terintegrasi.[2]
Otoritas
Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan
sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi
sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa
keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.[3]
2.
Pengertian
dan Asas-Asas Penyelenggaraan Tugas OJK
Otoritas Jasa Keuangan adalah Lembaga Negara yang
dibentuk berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang
selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Menteri Keuangan, BAPEPAM-LK, Bank Indonesia.
Pasal 1 angka 1 UU OJK menyebutkan: OJK adalah lembaga yang
independen dan bebasdari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
OJK dibentuk dengan tujuan agar
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1. terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel;
2. mampu mewujudkan sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Dalam penjelasan UU OJK, pada
ketentuan umum ditegaskan
bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan
berlandaskan asas-asas sebagai berikut[4]:
1. Asas independensi, yakni independen
dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK,
dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Asas kepastian hukum, yakni asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3. Asas kepentingan umum, yakni asas
yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan
kesejahteraan umum;
4. Asas keterbukaan, yakni asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan,
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan,
serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
5. Asas profesionalitas, yakni asas
yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa
Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. Asas integritas, yakni asas yang
berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang
diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik.
Keselarasan antara penyelenggaraan
tugas OJK dengan asas-asas yang mendasarinya menjadi sangat penting mengingat
konflik kepentingan yang banyak terjadi, khususnya konflik agensi
(konflik antara pemegang saham dengan pihak managerial), yang dampaknya menimbulkan
ketidak seimbangan dalam dalam sisitem keuangan. Jensen dan Meckling
(1976) berpendapat bahwa masalah agensi antara pemegang saham dan manager adalah berasal dari pemisahan kepemilikan
dan pengawasan, dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengawasan serta adanya
perbedaan kepentingan, dapat mendorong terjadinya konflik kepentingan pribadi.[5]
Perusahaan-perusahan
di Indonesia mempunyai komposisi struktur kepemilikan yang agak berbeda bila
dibandingkan dengan perusahaan yang ada di Eropa atau Amerika. Di beberapa
pasar modal Eropa dan Amerika, pemisahan kepemilikan dan pengawasan sudah
dilakukan oleh suatu badan independen yang memiliki kekuasaan yang sangat kuat.
Struktur kepemilikannya pun bersifat menyebar (dispersed ownership)
sehingga konflik keagenan bias terjadi antara manajer dan pemegang saham.[6]
Konflik
kepentingan ini dapat dikurangi melalui mekanisme kepemilikan orang dalam (insider
ownership). Jika controlling shareholders juga merupakan insider ownership maka hal ini
dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena dalam hal ini pemegang saham suatu
perusahaan dapat sekaligus bertindak sebagai manager perusahaan, maka dengan semakin tingginya
tingkat keselarasan dan kemampuan kontrol terhadap kepentingan manajer dengan
pemegang saham.[7]
3. Fungsi, Tugas dan Wewenang OJK
a.
Fungsi
OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.[8]
Terintegrasi maksudnya adalah bahwa sistem yang dibangun
oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan saling terhubung satu
sama lain sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan
mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis).
Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan
keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan
tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tugas:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:[9]
a. kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
a. Wewenang
Wewenang OJK secara umum diatur pada Pasal 8 UU OJK, yaitu:
a.
menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.
menetapkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.
menetapkan
peraturan dan keputusan OJK;
d.
menetapkan
peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.
menetapkan
kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa
Keuangan dan pihak tertentu;
g.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan;
h.
menetapkan
struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
UU OJK mengenal wewenang ini sebagai
wewenang pengaturan,
sedangkan wewenang pengawasan diatur sebagai berikut:[10]
a.
menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.
mengawasi
pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.
melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain
terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d.
memberikan
perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.
melakukan
penunjukan pengelola statuter;
f.
menetapkan
penggunaan pengelola statuter;
g.
menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
h.
memberikan
dan/atau mencabut:
1. izin
usaha;
2. izin
orang perseorangan;
3. efektifnya
pernyataan pendaftaran;
4. surat
tanda terdaftar;
5. persetujuan
melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan
atau penetapan pembubaran;
8. penetapan
lain,
sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
[1] Lihat penjelasan
umum UU OJK Paragraf 2
[2] Lihat penjelasan
umum UU OJK Paragraf 3
[3] Lihat penjelasan umum UU OJK Paragraf 8
[4] Lihat penjelasan
umum UU OJK
[5] Vishny and
Robert. Agency Problems and Dividend
Policies Around the World. Journal of Finance. 1997. Hal 33
[6] Pramastuti,
suluh. Analisis Kebijakan Dividend, Pengujian Dividend Signaling Theory dan
Rent Extraction hypothesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada:
tesis. 2007
[7] Harjito, D. A.,
& Nurfauziah. 2006. Hubungan
Kebijakan Hutang, Insider Ownership dan Kebijakan Dividen dalam Mekanisme
Pengawasan Masalah Agensi di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia
[8] Pasal 5 UU OJK
[9] Pasal 6 UU OJK
[10] Pasal 9 UU OJK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar