Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Sabtu, 04 April 2015

Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara



1.    Pengertian Eksekusi.
Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Eksekusi putusan pengadilan adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat Keputusan yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan untuk membayar sejumlah uang (dwangsom).
Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan bahwa “Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.[1] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “Eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.[2]
Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa eksekusi adalah upaya kreditur merealisasikan hak secara paksa karena debitor tidak mau secara sukarela mememuhi kewajibannya. Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyeleseian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi, objek eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta.[3]
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa eksekusi tidak hanya diartikan dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas. Eksekusi tidak hanya pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada pihak yang kalah, yang tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela, tetapi eksekusi dapat dilaksanakan terhadap grosse surat hutang notariil dan benda jaminan eksekusi serta eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi dalam arti luas merupakan suatu upaya realisasi hak, bukan hanya merupakan pelaksanaan putusan pengadilan saja.
2.    Macam-macam Eksekusi dalam PTUN
1)    Eksekusi Otomatis.
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama salinan putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Penitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah menjadi 14 (empat belas) hari kerja. Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan pemerintah untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya memerlukan pelaksanaan. Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi. Penyelesaian otomatis ini dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat tidak melaksanakan pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita (Mahkamah Agung, 2008: 66). Sesuai sifat dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut agar masyarakat mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan hukum lagi.


2)    Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan  KTUN yang baru ataumenerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6). Ketua Pengadilan  diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
3)    Eksekusi Upaya Paksa.
Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah, yaitu 30 sampai 40 persen. Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa mendatang.
Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari “eksekusi hierarkis” menjadi “upaya paksa”. Perubahan ini adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk melaksanakan putusan.
Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat (menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Perubahan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya paksa ini.
Setelah Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan putusan (Pasal 116 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) ternyata tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa “pembayaran sejumlah uang paksa” dan/ atau “sanksi administratif” dan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud “diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut”.

3.    Mekanisme Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Berkaitan dengan mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam bagian ini akan dikemukakan mekanisme eksekusi putusan berdasarkan phase sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, phase setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
a.    Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.

Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur pada Bagian Kelima mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Pasal 115 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa: “Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.
Adapun mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut ketentuan diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, isi selengkapnya adalah:
a.    Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
b.    Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
c.    Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
d.    Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan Hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
e.    Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
f.     Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagaimana pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal ada 2 (dua) jenis eksekusi putusan, yaitu: eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9) Sub a, yakni (a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dan eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) Sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara kepada Tergugat, maka diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Philipus M. Hadjon menyebut mekanisme eksekusi ini sebagai eksekusi otomatis.
Dikatakan otomatis oleh karena apabila dikaitkan dengan prinsip keabsahan (rechtmatigheid) tindakan Pemerintah, dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara di mana prinsip tersebut terkait dengan batas kepatuhan kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian tidak ada kewajiban untuk memenuhi keputusan yang tidak sah dan dengan demikian pula tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.[4]
Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Instansi Atasan diterapkan apabila adanya putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3, Pasal 97 ayat (10), yakni Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi, dan Pasal 97 ayat (11), dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi, maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi ternyata setelah 3 (tiga) bulan lewat, dan kewajiban itu tidak dipenuhi, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan ini dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis”.
Campur tangan Presiden dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat eksekusi pada Pengadilan tersebut tidaklah semudah dalam eksekusi putusan badan Peradilan Umum (perdata maupun pidana). Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab terhadap pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur Pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut.[5]


b.    Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

Pengaturan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 diatur pada Pasal 116, khususnya yang bertalian dengan amar putusan yang berisi kewajiban pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan penerbitan Keputusan Tata Usaha yang baru, dan amar putusan yang berisi kewajiban penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3, sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)  Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2)  Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)  Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak  dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4)  Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi administratif.
(5)  Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Dalam ketentuan Pasal 116 ayat (4) disebutkan sanksi pembayaran uang paksa dan sanksi administratif. Berkaitan dengan pengertian sanksi tersebut, P. de Haan mengemukakan sanksi merupakan penerapan alat kekuasaan (machtsmiddelen) sebagai reaksi atas pelanggaran norma hukum administrasi. Ciri khas penegakan hukum adalah paksaan (dwang). Sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah refresif untuk melaksanakan kepatuhan. Penegakan hukum administrasi seringkali diartikan sebagai penerapan sanksi administrasi. [6]
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum administrasi. Pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh Tata Usaha Negara (dalam hal dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakantindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas, antara lain:[7]
a)    Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);
b)    Uang paksa (dwangsom);
c)    Denda administrasi;
d)    Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi).
c.    Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009

Pengaturan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir September 2009, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara selengkapnya berbunyi:
1.    Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
2.    Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.    Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (Sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
4.    Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi administratif.
5.    Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6.    Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagaimana pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
7.    Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Dari sisi pemberdayaan Peradilan Tata Usaha Negara maka masuknya ketentuan baru tersebut sebagai norma positif dalam revisi undang-undang yang diharapkan akan semakin memperkuat posisi dan semakin memberdayakan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu lembaga kontrol yuridis terhadap tindakan-tindakan pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara).



[1] Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12
[2] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek(Bandung : Mundur Maju, 1989), hlm 130
[3] Mochammad Djais., 2000, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Fakultas Hukum  Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 16.
[4] Philippus M. Hadjon. Op. Cit. Hal 3-4.
[5] Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta:P.T. Radja Grafindo Persada, 2005. Hal. 81-82.
[6] Philippus M. Hadjon. Op. Cit. Hal 337.
[7] Ibid. Hal. 245.

1 komentar:

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter