Dalam peraktek, kita kenal korupsi dalam 2 (dua)
bentuk, yaitu:
a. Administrative
Coruption
Segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan
hukum peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu-individu tertentu
memperkaya dirinya sendiri. Misalnya, proses rekruitmen pegawai negeri, di mana
dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administrative sampai ujian
pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi, yang harus diluluskan sudah tentu
orangnya. Demikian juga dalam pemenangan tender, calon Gubernur, walikota atau
Bupati selama Orde Baru, di mana pemilihan/seleksi seakan-akan diadakan, tetapi
pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu.
b. Against
The Rule Corruption
Against
the rule corruption artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya
bertentengan dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalah gunaan jabatan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Sementara itu, kata korupsi sendiri dalam kamus
bahasa Indonesia diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang Negara
atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain (balai pustaka, 1995:527).
Sementara itu, komitmen bangsa Indonesia untuk
memberantas tindak pidana terlihat dalam politik bangsa Indonesia, dan
bersamaan pula istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum
Indonesia yaitu dalam Peraturan Penguasaan Militer Nomor : Prt/PM-06/1957
tanggal 9 April 1957.
Rumusan korupsi menurut peraturan tersebut,
dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni:
1. Tiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan sendiri, untuk
kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau
tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian Negara.
2. Tiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan
atau material baginya.
Selanjutnya ketentuan undang-undang korupsi dalam
perkembangannya mengalami perubahan mulai dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian
kembali diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada saat sekarang ini dengan berlakunya perubahan undang-undang tindak pidana
korupsi dari undang-undang sebelunya yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke undang-undang yang baru yaitu
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga berubah pula
atau bertambah unsur-unsur dan pengelompokannya.
Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan terhadap
undang-undang tindak pidana korupsi di mana pada undang-undang sebelumnya hanya
dikenal pengelompokan tindak pidana korupsi kedalam 2 (dua) kelompok besar
tetapi dengan adanya undang-undang yang baru maka pengelompokan tindak pidana
korupsi bertambah dan berubah menjadi 5 (lima) bagian kelompok besar. Adapun ke
5 (lima) kelompok bagian besar Tindak Pidana Korupsi tersebut, meilputi:
1) Pengelompokan
atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi.
2) Pengelompokan
atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi.
3) Pengelompokan
atas dasar sumbernya.
4) Pengelompokan
atas dasae tingkah laku/perbuatan dalam rumusan tindak pidana korupsi.
5) Pengelompokan
tindak pidana korupsi atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
Pada kelompok besar pertama dimana tindak pidana
korupsi dikelompokkan menurut atau berdasarkan substansi dari objek tindak
pidana korupsi tersebut dikategorikan juga sebagai tindak pidana korupsi murni
yaitu tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang
berhubungan dengan perlindungan hak terhadap kepentingan hukum yang menyangkut
keuangan Negara, perekonomian Negara, dan kelancaran pelaksanaan
tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksanaan pekerjaan yang bersifat public
tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini ada 38 rumusan tindak pidana
korupsi murni meliputi Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15,
16, dan 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP). Hal ini salah
satunya dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara Negara atau perekonomian Negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”
Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi menurut
atau berdasarkan substansi dari objek tindak pidana korupsi dalam pengelompokan
ini selanjutnya dapat dibedakan lagi menjadi 4 (empat) bagian sebagai berikut:
1) Tindak
pidana korupsi yang dibentuk dengan substansi untuk melindungi kepentingan hak
terhadap keuangan Negara dan perekonomian Negara. Tindak pidana korupsi ini di
muat dalam pasal 2, 3, dan 4.
2) Tindak
pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap
kelancaran tugas-tugas dan pekerjaan pegawai negeri atau orang-orang yang
pekerjaannya berhubungan dan menyangkut kepentingan umum, tindak pidana korupsi
ini berasal dan termasuk kejahatan terhadap penguasa umum (Pasal 220, 231
KUHP). Di atur pada Pasal 5 dan 6 undang-undang tindak pidana korupsi.
3) Tindak
pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap
keamanan umum bagi barang atau orang dan keselamatan Negara dalam keadaan
perang dan perbuatan yang bersifat menipu, tindak pidana korupsi ini dimuat
dalam Pasal 7.
4) Tindak
pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum mengenai
terselenggaranya tugas-tugas publik atau tugas pekerjaan pegawai negeri, dimuat
pada pasal 8, 9, 10, 11 dan undang-undangn tindak pidana korupsi kelompok atau
tindak pidana korupsi ini merupakan kejahatan jabatan, artinya subjek hukumnya
pun yang menjalankan tugas-tugas
pekerjaan yang menyangkut kepentingan public dengan menyalahgunakan
kedudukannya..
“Pada kelompok besar kedua dimana tindak pidana
korupsi dikelompokkan menurut atau bersasarkan pengelompokan tindak pidana atas
dasar subjek hukum tindak pidana korupsi yaitu tindak pidana korupsi umum
adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada
orang-orang yang berkualitas pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada
setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum
berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi
yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 23, 24 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001”
Pada
kelompok besar ketiga dimana tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi tindak
pidana korupsi atas dasar sumbernya dari KUHP tindak pidana korupsi ini
kemudian dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu:
a. Tindak
pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 rumusan tersebut bersumber dari rumusan
tindak pidana korupsi dalam KUHP permula rumusannya agak berbeda dengan rumusan
aslinya dalam KUHP tetapi substansinya sama yang termasuk dalam kelompok ini
dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12.
b. Tindak
pidana korupsi yang menunjuk Pasal 2 tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi
tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan system pemidanaannya yang
termasuk dalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP, menjadi tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 23.
Pada
pembagian berikutnya yaitu kelompok besar yang keempat adalah dimana tindak
pidana korupsi dikelompokkan atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam rumusan
tindak pidana korupsi yang selanjutnya dapat di bagi ke dalam 2 (dua) bentuk,
yaitu:
1) Tindak
pidana korupsi aktif atau atau tindak pidana korupsi positif dalam rumusannya
mencantumkan unsure perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau materil yang bisa
disebut perbuatan jasmani, jadi untuk mewujudkan tindak pidana korupsi
diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang terdapat pada Pasal 2
yang perbuatannya memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.
2) Tindak
pidana korupsi pasif adalah tindak
pidana melarang untuk tidak berbuat aktif.
a) Pasal
7 ayat 1 sub b, d dan ayat 2 yang membiarkan perbuatan curang.
b) Pasal
10 sub b perbuatan (a) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusak hingga tindak dapat dipakai.
c) Pasal
24 perbuatannya tidak memenuhi ketentuan.
Kemudian
pada kelompok besar kelima yaitu dimana tindak pidana korupsi dikelompokkan
atas dasar dapat tidaknya perbuatan atau tindakan tersebut merugikan keuangan
dan atau perekonomian Negara.
Untuk
kelompok yang kelima ini suatu tindak pidana korupsi tidak dilihat dari
perbuatan atau tindakan semata, dengan kata lain perbuatan atau tindakan
pembuat (pelaku) tersebut bukan merupakan syarat utama, tetapi pada kelompok
kelima ini yang dilihat sebagai syarat utama tindak pidana korupsi atas dasar
dapat tidaknya perbuatan atau tindakan tersebut merugikan keuangan dan atau
perekonomian Negara. Jadi tindak pidana korupsi pada kelompok besar kelima ini
menitik beratkan pada akibat dari perbuatan atau tindakan si pembuat (pelaku)
yaitu merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
3.
Tindak
Pidana Korupsi Oleh Penyelenggara Negara
Memperhatikan rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17
serta Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidananya adalah : “setiap orang yang
berarti orang perseorangan atau korporasi”.
Orang perseorangan berarti adalah individu atau
dalam bahasa KUHP dirumuskan dengan kata Barang Siapa.
Menurut H. Setiyono dalam bukunya menyebutkan bahwa:[1]
“Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan
oleh ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang di dalam bidang
hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam
bahasa Inggris disebut legal person dan
legal body.
Menurut Chaidir Ali dalam bukunya disebutkan bahwa:[2]\
“Arti badan hukum atau korporasi bisa diketahui dari
jawaban atas pertanyaan “apakah subjek hukum itu”, pengertian subjek hukum pada
pokoknya adalah manusia dan segalla sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan
masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pengertian kedua inilah yang dinamakan Badan Hukum.”
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir, baik berupa badan hukum maupun tidak berbadan hukum. Badan hukum
di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen (IMA),
sementara perkumpulan orang yang tidak berbadan hukum dapat berupa Firma (Fa), Commanditaire Vonnootschap (CV).
Setiap orang adalah baik yang berstatus swasta,
maupun Pegawai Negeri. Pengertian Pegawai Negeri dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, meliputi :
1. Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang kepegawaian, yang menurut Pasal
1 angka 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam pasal tersebut
menyebutkan bahwa Pegawai Negeri adalah:
“Setiap warga Republik Indonesia yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan disertai tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lain, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya
dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan
bahwa Pegawai Negeri itu terdiri dari :
(1) Pegawai
Negeri terdiri dari:
a) Pegawai
Negeri Sipil
b) Anggota
Tentara Nasional Indonesia dan
c) Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia
(2) Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari :
a) Pegawai
Negeri Sipil Pusat dan
b) Pegawai
Negeri Sipil Daerah
Dalam
penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, disebutkan
bahwa:
“Yang dimaksudkan dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat
adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintahan
Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi
Vertikal di Dearah Propinsi/ Kabupaten/ Kota, Kepaniteraan Pengadilan atau
dipekerjakan untuk penyelenggarakan tugas Negara lainnya.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan Pegawai Negeri
Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Popinsi. Kabupaten/ Kota yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada
Pemerintah Daerah atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
2. Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksudkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dalam Pasal 92 yang menyebutkan:
a) Orang
yang dipilih dalam pemilihan umum (anggota MPR/DPR, DPRD Tk.I dan DPRD Tk.II).
b) Orang-orang
yang diangkat menjadi anggota Badan Pembentuk Undang-Undang.
c) Anggota
Badan Pemerintah.
d) Badan
Perwakilan Rakyat.
e) Anggota
Dewan Waterschap.
f) Kepala
Rakyat Indonesia Asli.
g) Kepala
golongan Timur Asing.
h) Hakim.
i) Hakim
Wasmat.
j) Hakim
Administratif (P4P/P4D, Majelis Perpajakan, BAPEK dan lin-lainnya).
k) Ketua/anggota
Pengadilan Agama.
l) Semua
Anggota Tentara Nasional Indonesia (Angkatan darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara)
3. Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.
4. Orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
keuangan Negara dan daerah.
5. Orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Dalam
ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di samping
Pegawai Negeri, yang dapat menjadi pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah
Penyelenggara Negara, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
yang dimaksudkan dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang
menjalankan fungsi Eksekutif, Legiskatif, dan Yudikatif dan Pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BOLAVITA Agen Judi Sabung Ayam Online !
BalasHapusTersedia :
• Judi Sabung Ayam S128
• Judi Sabung Ayam SV388
BONUS 100% BILA BERHASIL PASANG TARUHAN MENANG SECARA BERUNTUN 8X,9X,10X
MENYEDIAKAN TRANSAKSI VIA :
• BANK
• OVO
• GOPAY
• DANA
• SAKUKU
• PULSA
• LINKAJA
LINK RESMI PENDAFTARAN » http://159.89.197.59/register/
KONTAK WA RESMI » https://bit.ly/kontak24jam