Transaksi terapeutik merupakan perjanjian antara pasien
dengan dokter dan/atau rumah sakit, transaksi ini berupa hubungan hukum yang melahirkan
hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa
dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri khusus
yang membedakannya dengan perjanjian pada umumnya. Kekhususannya terletak pada
atau mengenai objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan ini adalah
berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau
transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan atau upaya mencari
terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Jadi menurut
hukum, objek perjanjian ini bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya
yang tepat untuk kesembuhan pasien.[1]
Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi terapeutik juga
terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau
perjanjian. Yaitu rumah sakit/dokter sebagai pihak yang memberikan atau
melaksanakan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan
medis. Jadi secara umum, apa yang diatur dalam perjanjian menurut Buku III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berlaku pula dalam perjanjian terapeutik.
Hanya saja dalam perjanjian terapeutik, ada kekhususan tertentu, yaitu tentang
ikrar atau cara mereka mengadakan perjanjian. Sebab dalam perjanjian terapeutik
dijelaskan bahwa dengan kedatangan pasien kerumah sakit tempat dokter bekerja,
dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat, telah
dianggap adanya suatu perjanjian terapeutik.[2]
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter,
sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu
persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya.
Hal ini dilakukannya setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh infomasi
mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.[3]
Namun ada kondisi lain yang memungkinkan adanya hubungan hukum antara
dokter dan pasien adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk
segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya dalam kecelakaan lalu
lintas, terjadi bencana alam maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan
keadaan pasien sudah gawat, sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui
dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung
melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming
sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan
hukum yang timbul bukan karena adanya “persetujuan tindakan medik” terlebih
dahulu, melainkan karena adanya keadaan yang memaksa atau keadaan darurat.[4]
Dalam hal pasien /keluarganya menyetujui advis dokter untuk menjalani
perawatan di rumah sakit dan rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan dokter
serta rumah sakit timbul sejak pasien masuk kerumah sakit untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang
timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian
yaitu :
a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan
antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar
perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.
b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat
kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit
akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis .
Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit
termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang dalam Pasal 1234 BW ditentukan
bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam perjanjian ini kewajiban
rumah sakit adalah untuk melakukan sesuatu sehingga pasien mendapatkan
kesembuhan. Tindakan utamanya memberikan pelayanan kesehatan yang antar lain
dilakukan oleh dokter dan perawat.[5]
Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara pasien
dengan rumah sakit harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang
ditentukan dalam Pasal 1320 BW, yaitu:[6]
1)
kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya;
2)
kecakapan para pihak untuk membuat perikatan/melakukan
kesepakatan;
3)
suatu hal tertentu;dan
4)
suatu sebab yang halal.
Dengan adanya ketentuan di atas maka
proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit
terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk
bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan
rumah sakit. Pasien dapat mengajukan gugatan pertanggungjawaban berdasarkan
pada wanprestasi (contractual liability)
sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata, juga berdasarkan pada perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1365
KUHPerdata.
Dari hubungan hukum yang terjadi antara pasien, dokter
dan rumah sakit lalu melahirkan hak dankewajiban bagi para pihak. Sebagaimana
yang diatur dalam UU No.29/2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52 yang
menentukan pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak :
a.
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b.
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c.
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d.
menolak tindakan medis;
e.
mendapatkan isi rekam medis.
Selain hak pasien
yang diatur dalam UU Praktek Kedokteran, hak-hak pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan juga terdapat dalam
UU No.8/1999 tentang
perlindungan konsumen Pasal 4, yaitu:[7]
a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas infomasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Disamping hak, pasien juga mendapatkan kewajiban yang
lahir dari hubungan hukum yang dilakukannya, yaitu:
a.
Memberikan infomasi yang lengkap
b.
Melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
c.
Berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya
dengan dokter atau rumah sakit
d.
Memberikan imbalan jasa
e.
Memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan
dokter atau rumah sakit.[8]
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan
hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban
sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi adalah :[9]
a.
Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan
sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis
maupun terapeutik.
b.
Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan
yang diberikannya kepada pasien.
c.
Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam
melaksanakan transaksi terapeutik.
d.
Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien
atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
e.
Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari
pasien atau keluarganya.
Disamping itu juga dokter mempunyai kewajiban yang harus
dilaksanakan, kewajiban tersebut meliputi:
a.
Kewajiban umum
b.
Kewajiban terhadap penderita
c.
Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d.
Kewajiban terhadap diri sendiri.
Dalam hal rumah sakit pemerintah, maka dokter dan perawat
yang bekerja pada rumah sakit tersebut tidak menjalankan hak dan kewajibannya
sebagai aparat melainkan hak dan kewajiban rumah sakit sebagai badan hukum
publik. Sebab itu tanggungjawab dari semua tindakan yang bersumber dari hak dan
kewajiban menjadi tanggungjawab rumah sakit.[10]
Dalam hubungan antara rumah sakit dengan pasien, rumah
sakit menawarkan upaya pelayanan kesehatan dengan meyediakan sarana, prasarana,
dan sumber daya kesehatan. Rumah sakit memikul beban tanggung gugat apabila
pelayanan kesehatan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan rumah sakit
dan standar profesi tenaga kesehatan.
Rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian
untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu rumah sakit yang dipandang
sebagai “recht person” juga dibebani hak dan kewajiban. Secara umum hak rumah sakit dalam pelayanan
kesehatan antara lain:[11]
1)
Membuat peraturan rumah sakit;
2)
Mensyaratkan pasien untuk mentaati segala peraturan rumah
sakit;
3)
Mensyaratkan pasien untuk tunduk dan taat terhadap segala
instruksi yang diberikan oleh dokter kepadanya;
4)
Memilih dan meyeleksi tenaga dokter yang akan
dipekerjakan pada rumah sakit yang bersangkutan;
5)
Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi kepada
rumah sakit
Sedangkan kewajiban rumah sakit selain diatur dalam hukum
dan peraturan perundang-undangan, juga dirumuskan dalam Kode Etik Rumah Sakit
yang meliputi :[12]
1)
Kewajiban umum rumah sakit yang meliputi :
a.
mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian
di rumah sakit (corporate liability);
b.
memberikan pelayanan yang baik (duty of due care);
c.
memberikan pertolongan emergency tanpa mengharuskan
pembayaran uang muka lebih dahulu;
d.
memelihara peralatan dengan baik agar selalu dalam
keadaan siap pakai;
e.
merujuk kerumah sakit lain jika tidak tersedianya
peralatan atau tenaga spesialis yang dibutuhkan oleh pasien.
2)
Kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat yakni harus
berlaku jujur dan peka terhadap saran dan kritik masyarakat dan berusaha
terjangkau pasien diluar dinding rumah sakit;
3)
Kewajiban rumah sakit terhadap pasien, yakni :
a. mengindahkan
hak-hak asasi pasien;
b. memberikan
penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang harus dilakukan serta
resiko yang mungkin timbul;
c. meminta
persetujuan (informed consent);
d. menjaga
rahasia pasien.
4)
Kewajiban rumah sakit terhadap tenaga staf, yakni :
a.
Mengadakan seleksi tenaga dokter;
b.
Mengadakan kordinasi yang baik antar seluruh tenaga
dirumah sakit;
c.
Mengawasi agar segala sesuatu dilakukan berdasarkan
standar profesi;
d.
Berlaku adil.
Karena dipandang sebagai badan hukum yang memiliki hak
dan kewajiban, rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi
suatu perbuatan melawan hukum. Rumah sakit secara institusional
bertanggungjawab terhadap segala konsekuensi yang timbul berkenaan dengan
pelanggaran terhadap kewajibannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.[13]
Secara garis besarnya tanggungjawab rumah sakit jika
dilihat dari sudut pelakunya dapat dibagi mejadi tiga kelompok, yaitu :[14]
1.
Tanggungjawab bidang rumah sakit, penanggungjawabnya
adalah kepala rumah sakit
2.
Tanggungjawab bidang medik, penanggungjawabnya adalah
masing-masing tenaga medik di rumah sakit tersebut.
3.
Tanggungjawab bidang keperawatan, penanggungjawabnya
adalah masing-masing perawat, bidan, dan para medik non perawatan di rumah
sakit tersebut.
Sehubungan dengan tanggungjawab rumah sakit yang
berkaitan dengan personalia dikenal tiga doktrin
yaitu :[15]
1)
Vicarious Liability atau Respondent Supuerior
Prinsip utama doktrin ini adalah atasanlah yang
bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan. Rumah
sakit bertindak sebagai atasan dari staf rumah sakit yang bertindak sebagai
bawahan.
2)
Hospital Liability
Menurut doktrin ini rumah sakit bertanggung jawab atas semua kejadian atau
peristiwa di dalam rumah sakit. Dalam hal kesalahan seorang dokter, maka
tanggungjawab akan diambil alih oleh rumah sakit. Pihak rumah sakit kemudian
akan menggunakan hak regresnya untuk meminta ganti rugi kembali kepada dokter
yang melakukan kesalahan tersebut.
3)
Strict Liability
Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas semua
kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut. Disini berlaku asas “Res Ipsa Laquitor” yaitu fakta yang
berbicara.
[1]
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.11.
[2] Ibid. hal. 12
[3] Ibid. hal. 28
[4] Ibid. hal.30.
[5]
Sri Praptianingsih, Op.Cit., Hal.112.
[6] Ibid. Hal. 30
[7]
Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4.
[8]
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.34.
[9]
Ibid. hal. 31.
[10] Ibid. hal.206.
[11]
Indar, Tanggungjawab Hukum Rumah Sakit
Dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Persfektif Hukum kesehatan Di Indonesia,
Jurnal Ilmu Hukum Amanagappa Vol. 12, Juni, 2004, hal. 204.
[12] Ibid. hal.26.
[13] Ibid. hal.205.
[14] Ibid. hal.207.
[15] Ibid. hal.207-201.
Pak, saya ingin menanyakan terkait dengan transaksi terapeutik yg berdasarkan tulisan bapak bahwa transaksi terapeutik merupakan perjanjian yang terjadi oleh rumah sakit/dokter dengan pasien. Yg saya pertanyakan adalah, Apakah transaksi terapeutik hanya terjadi oleh RS/dokter ataukah setiap tenaga kesehatan yg membuka praktik mandiri seperti bidan misalnya, juga terdapat transaksi terapeutik ? Terima kasih.
BalasHapus