A.
Proses
Penyelesaian Perkara Pidana
1.
Proses
penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP
Suatu masalah tentu saja memiliki penyelesaian.
Begitu pula dengan perkara pidana. Berikut adalah proses penyelesaian perkara
pidana yang dapat penulis lampirkan.
A.
Penyelidikan
1)
Pengertian
Penyelidikan
Penyelidikan
dalam Pasal 1 ke 5 KUHAP adalah:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
2)
Pihak
Penyelidik
Penyelidik
dalam Pasal 4 KUHAP adalah:
“Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara
Republik Indonesia”
3)
Wewenang
Penyelidik
Dalam Pasal
5 KUHAP, wewenang penyelidik adalah:
a. Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
b. Mencari
keterangan dan barang bukti.
c. Menyuruh
berhenti seseorang yang dicurigai dan menanykan serta memeriksa tanda pengenal
diri.
d. Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
B.
Penyidikan
1)
Pengertian
Penyidikan
Menurut
Pasal 1 ke 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI, yang dimaksud
dengan penyidikan adalah:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bunyi pasal
tersebut di atas sama dengan yang ditetapkan di dalam Pasal 1 ke 2 KUHAP.
Dengan
penjelasan lain bahwa penyidikan adalah:[1]
“Rangkaian aksi atau tindakan dari penegak hukum
(POLRI) atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan
setekah diketahui atau diduga terjadinya tindak pidana, guna mendapatkan
keterangan, bahan dan apa saja yang diharapkan dapat mengungkap tentang apa
yang telah terjadi dan siapa yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana
tersebut. Pada pokoknya untuk menjamin agar orang yang benar-benar terbukti
melakukan tindak pidana dapat dituntut di pengadilan dan dijatuhi pidana serta
menjalani pidana yang dijatuhkan tersebut.
2)
Pihak
Penyidik
Dalam Pasal
6 KUHAP dijelaskan bahwa penyidik adalah:
a. Pejabat
polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
3)
Wewenang
Penyidikan
Penyidik
berdasarkan Pasal 7 ayat (1), karena kewajibannya (tugas yang melekat padanya
berdasarkan undang-undang) berwenang:[2]
1. Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil
sidik jari dan memotret seseorang;
7. Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan
penghentian penyidikan;
10. Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
C.
Prapenuntutan
Setelah
proses penyidikan selesai, selanjutnya penyidik akan melimpahkan perkara
kepenuntut umum untuk dilakukan penuntutan. Beberapa persoalan dalam KUHAP yang
berkaitan dengan penuntutan dan melakukan revisi, antara lain:[3]
1.
Batas
Waktu Prapenuntutan
Pasal 138 ayat (1) KUHAP mengatur:
“penuntut
umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam kurun waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada
penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.”
Selanjutnya, dalam ayat ayat (2)nya diatur bahwa
jika ternyata hasil penyidikan belum lengkap, berkas perkara harus dikembalikan
kepada penyidik dan penyidik dalam waktu 14 (empat belas) hari sudah harus
menyampaikan kembali berkas tersebut kepada penuntut umum.
2.
Masalah
P-19
Pasal 138
ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa jika hasil penyidikan ternyata dinilai
penuntut umu belum lengkap, penuntut umu mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi. Dalam pelaksanaan
teknnis petunjuk yang dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP dikenal dengan
kode P-19.
Dalam
praktek sering kali yang terjadi pengembalian berkas perkara dari penuntut umum
ke penyidik tidak disertai dengan P-19 sehingga menyulitkan bagi penyidik untuk
mencari apa yang harus dilengkapi. Untuk menyikapi hal tersebut penyidik
terpaksa harus mencari-cari sendir hal yang harus dilengkapi karena dibatasi
oleh batas waktu pengembalian ke penuntut umum. Akibatnya, jika hasil
penyempurnaan berkas perkara tetap tidak sesuai dengan kehendak penuntut umum,
bisa terjadi berkas perkara bolak-balik dari penuntut umum ke penyidik,
sehingga proses penyelesaian perkara menjadi terlambat. Sekalipun ketika
dikonfirmasikan kepihak kejaksaan, hal tersebut dibantah dengan alasan bahwa
kejaksaan tidak mungkin melanggar prosedur standar, tetapi fenomena tersebut
diatas perlu dicarikan solusi.[4]
3.
Masalah
Pengubahan Surat Dakwaan
Pasal 144
KUHAP yang mengatur mengenai pengubahan surat dakwaan perlu direvisi karena
rumusan kalimatnya menimbulkan ketidakpastian dan membingungkan. Pasal 144
KUHAP selengkapnya berbunyi:[5]
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnahkan
maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan
hanya 1 (satu) kali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimullai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
4.
Masalah
Batas Waktu Pelimpahan Perkara ke Pengadilan
Penuntutan
merupakan salah satu tahap dalam proses peradilan pidana yang dapat membuat
jelas status perkara tersebut, yaitu diteruskannya penyelesaian perkara melalui
mekanisme penyelesaian perkara pidana. Akan tetapi, dengan tidak ada batas
waktu yang jelas dalam Pasal 139 KUHAP, di mana dalam pasal tersebut hanya
dikatakan: “penuntut umum segera
menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat
atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan,” dan Pasal 140 KUHAP yang
menyatakan: “penuntut umum dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan,” justru membuat tidak jelas mengenai
waktu kapan penuntutan harus dilakukan oleh penuntut umum setelah ia menerima
dan menganggap berkas penyidikan atas perkara itu sudah lengkap dan dapat
diajukan ke pengadilan untuk dituntut.[6]
D.
Penuntutan
1)
Pengertian
Pasal 1
butir 6 huruf a dan b KUHAP, membedakan antara pengertian “Jaksa” dan “Penuntut
Umum” sebagai berikut:[7]
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini (KUHAP-penilis) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum.
Adapun
pengertian “penuntutan” adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menunrut cara yang
diatur di dalam undang-undang ini (KUHAP-penulis) dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7).
Undang-undang mengatur tugas dan wewenang penuntut umum pada Pasal 14, 15, 137,
140 dan 143 KUHAP.
E.
Pemeriksaan
Pengadilan
Pengadilan
merupakan tempat pengujian dan perwujudan
Negara hukum, yang menjadi barometer dari kemauan dan kemampuan suatu
Negara melakukan norma-norma hukum dalam Negara itu. Karena merupakan
perwujudan Negara hukum, maka dilaksanakan oleh satu kekuasaan Negara yang
merdeka, bebas dari campur tangan pihak maupun tidak memihak.
Pemeriksaan
perkara pidana di pengadilan, terdapat tiga jenis cara, yaitu:[8]
a.
Acara
pemeriksaan biasa
Undang-undang
(KUHAP) tidak menentukan batasan pengertian tentang perkara apa saja yang dapat
diperiksa dengan cara pemeriksaan biasa. Undang-undang hanya menentukan perkara
dioeriksa dengan acara pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat.
Dalam acara
acara pemeriksaan perkara biasa, terdapat tahapan-tahapan yang diatur oleh
undang-undang, yaitu:
1.
Hakim
Membuka Sidang
2.
Pemeriksaan
Identitas Terdakwa
Dalam Hal
terdakwa hadir, dan setelah dipanggil masuk ruang sidang, maka Hakim Ketua
menanyakan keadaan kesehatan terdakwa, mananyakan identitas, seperti nama,
tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaannya, serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya dipersidangan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP).[9]
3.
Pembacaan
surat dakwaan.
Setelah Hakim
Ketua menanyakan mengenai kesehatan Terdakwa, identitas dan memberi penjelesan
pada terdakwa perihal apa uang harus diperhatikan dan dilakukan sekama sidang
pemeriksaan, serta menanyakan ada tidaknya Penasihat Hukum (Advokat)
mendampingi terdakwa, maka Hakim Ketua mempersilahkan Penuntut Umum membacakan
Surat Dakwaan.[10]
4.
Pemeriksaan
Saksi-Saksi dan Alat Bukti Lainnya
5.
Tuntutan
Pidana (Requisitoir)
6.
Pembelaan
(Pledooi)
Terdakwa
atau Advokat yang mendampingi klien dapat mengajukan Pledooi atau pembelaan setelah
selesai jawab menjawab, baik oleh hakim, penuntut umum maupun penasihat hukum
kepada terdakwa, saksi-saksi serta pemeriksaan barang bukti (kalau ada), maka
atas perintah Hakim Ketua penuntut umum membacakan tuntutan pidana
(requisitoir)
7.
Replik
8.
Duplik
9.
Musyawarah
Hakim
10.
Putusan
Hakim
b.
Acara
pemeriksaan singkat
Menurut
Pasal 203 ayat (1) KUHAP. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat
berupa kejahatan atas pelanggaran yang menurut penuntut umum pembuktian dan
penerapan hukum mudah, serta sifatnya sederhana.
c.
Acara
pemeriksaan cepat
Ketentuan
pada acara pemeriksaan biasa berlaku juga pada pemeriksaan cepat, dengan
pengecualian tertentu (Pasal 210 KUHAP).
Perkara yang
diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat, terdiri dari:[11]
1) Tindak
pidana Ringan.
2) Pelanggaran
lalu lintas jalan
F.
Putusan
Pengadilan
Menurut ketentuan umum Pasal 1 ke 11 KUHAP, putusan
pengadilan adalah:
“putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemindahan atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang”
1.
Upaya
Hukum Umum
Dalam arti
luas yang dimaksud dengan upaya hukum dalam konteks hukum acara pidana adalah
upaya, cara dan prosedur serta syarat-syarat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam semua proses atau tingkat penyelesaian perkara pidana.[12]
2.
Upaya
Hukum Biasa
Upaya hukum biasa
terdapat di dalam BAB XVII KUHAP, terdiri dari upaya hukum banding dan upaya
hukum kasasi.
a)
Upaya
Hukum Banding
Di dalam
Pasal 233 KUHAP dan Pasal 67 KUHAP, disebut permintaan banding oleh terdakwa,
dapat dipastikan bahwa yang meminta banding itu adalah terpidana.[13]
Pada
dasarnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa telah terjadi kesalahan
penerapan hukum atau Hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya.
3. Upaya Hukum Luar Biasa
Membedakan
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa adalah dari segi intensitas jarang
terjadi dan hanya dapat dilakukan apabila putusan hakim telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
4.
Upaya
hukum terhadap putusan praperadilan
Upaya hukum
terhadap putusan praperadilan, ada yang dapat dimintakan banding, ada yang
tidak dapat dimintakan banding, sebagai berikut:[15]
a.
Dapat
banding
Terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat banding, tetapi
putusan pengadilan tinggi tersebut merupakan putusan akhir (tidak dapat kasasi-
Pasal 83 ayat 2 KUHAP)
b.
Tidak
dapat banding
Terdapat putusan praperadilan mengenai sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya, dan mengenal tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi akibat tidak
sahnya.
G.
Eksepsi
Terdakwa atau Penasihat Hukum (Advokat) dapat
mengajukan keberatan (Eksepsi) tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa
perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan (Pasal !%^ ayat (1) KUHAP)[16]
2.
UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi
didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Penyelidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk
tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan beri keterangan tetntang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Untuk
kepentinagan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
Permintaan
keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepadam Gubernur Bank Indonesia
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gubernur
Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung
sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
Penyidik,
penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi.
Dalam hal
hasil pemeriksa terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang
cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu
juga mencabut pemblokiran.
Penyidik
berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos,
telekomunikasi, atau alat lainya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Dalam
penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
Sebelum
pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana disebut pada paragraf sebelumnya
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perkara perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.
Putusan
bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan Negara.
Dalam hal
tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepad instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya.
Dalam hal
terdakwa meninggal dunia pada saar dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum
segera menyerahkan salinan berkas berita acara tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli warisnya.
Setiap orang
wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek,
nenek, saudara kandung. Istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
Orang yang
dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperiksa
sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa.
Tanpa
persetujuan sebagaimana yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya, mereka dapat
memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Kewajiban
memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku juga terhadap mereka
menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan
rahasia.
Terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan ytersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa teleha
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Dalam hal
terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Dalam hal
terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa
wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagaimana diucapkan dalam sidang yang
sekarang.
Putusan yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada
kuasanya.
Terdakwa
atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam
paragraf sebelumnya.
Dalam hal
terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita.
Penetapan
perampasan sebagaimana dimaksud dalam paragraf sebelumnya tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
Setiap orang
yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan pada pengadilan yang telah
menhatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) Undang-Undang 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jaksa Agung
mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
Pengadilan Umum dan Peradilan Militer.
Dalam hal
terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan
Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer tidak dapat
diberlakukan.[17]
B.
Kejaksaan
Republik Indonesia
Dalam
lingkup peraturan hukum Indonesia, pada waktu Herziene Inland Reglement (HIR) masih berlaku sebagai hukum acara
pidana di Indonesia, penyidikan dianggap sebagai bagian dari penuntutan.
Kewenangan yang demikian menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator
penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. Apabila jaksa
melakukan sendiri tindakan penyidikan terhadap suatu perkara, untuk menangani
perkara tersebut tidak diperlukan lagi penyidik Polri atau Penyidi Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) agar tidak terjadi duplikasi.
Hal
di atas tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Neil C. Chalin
(Indriyanto Seno Adji, 2001:5) yang menyatakan bahwa “sistem peradilan pidana terdiri dari 3 (tiga) subsistem, yaitu
polisi, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan”. Serta pendapat Norval Morris
(Marjono Reksodiputro, 2000:8), yang menempatkan kejaksaan sebagai salah satu
bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat)
subsistem, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
yang harus dilakukan secara bersinergi.
Oleh
karena itu perlu adanya pembaharuan ketentuan perundang-undangan di bidang
hukum acara pidana. Dengan dicabutnya HIR dan digantikan oleh KUHAP pada tahun
1981 melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Indonesia. Kelahiran KUHAP disambut dengan gembira dan diakui oleh dunia hukum
sebagai tonggak terjadinya pembaharuan hukum, khususnya hukum acara pidana
korupsi di Indonesia. KUHAP menjadi pegangan bagi polisi, jaksa, serta hakim
(bahkan termasuk penasihat hukum), di dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
persidangan di pengadilan. Di dalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan,
penangkapan, dan penahanan berada di tangan lembaga kepolisian, sedangkan
penuntutan berada di tangan lembaga kejaksaan. Dengan dilakukannya pemisahan
kewenangan lembaga kepolisian sebagai penyidik dan lembaga kejaksaan sebagai
penuntut umum, maka telah tercermin adanya suatu sistem pengawasan, agar tidak
terjadi sentralisasi kekuasaan. Meskipun secara yuridis-normatif telah diatur
mengenai tugas dan kewenangan masing-masing lembaga, namun perselisihan dan
ketidakharmonisan tugas dan kewenangan antar lembaga dalam sistem peradilan
pidana masih sering timbul.
Salah
satu perselisihan tugas dan kewenangan tersebut antara lain berada di bidang
penyidikan. Pada waktu HIR masih berlaku, penyidikan dapat dilakukan oleh
banyak instansi. Setelah berlakunya KUHAP, wewenang penyidikan hanya dibebankan
kepada Polri sebagai penyidik tunggal, walaupun masih ada penyidik lain, yaitu
Penyidik Pegawai Negeri SIpil (PPNS) yang kewenangannya sangat terbatas dan di
bawah koordinasi penyidk Polri. Masih ada penyidik lain selain penyidik yang
disebutkan di atas, yaitu jaksa yang melakukan penyidikan bagi pelaku tindak
pidana tertentu. Hal ini tersirat pengaturannya dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP
:
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini
digunakan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang
ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus dengan acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Adapun yang dimaksud dengan
“ketentuan khusus acara pidana” sebagaimana termaktub dalam undang-undang
tertentu adalah ketentuan khusus acara pidana sebagai diatur dalam
undang-undang tindak pidana, misalnya tindak pidana ekonomi dan tindak pidana
korupsi (Marwan Effendy, 2005:145).
Setelah diberlakukan
Undang-Undang No. 5 tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI dengan Pasal 27 ayat (1)
huruf d, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan (nasporing) yang berbeda dengan
pemeriksaan lanjutan (osporing). Kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang diberikan oleh undang-undang tersebut
terbatas terhadap permintaan keterangan terhadap saksi dan ahli serta upaya
lain berupa penggeledahan dan penyitaan, sedangkan pemeriksaan lanjutan (nasporing) dapat dilakukan juga
terhadap tersangka. Baik pemeriksaan tambahan maupun penyidikan lanjutan hanya
dilakukan terhadap berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik sebagaimana
dimaksud oleh KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b.
Menurut Harun M. Husein
(1991:7) ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 17
PP No. 27 Tahun 1983, Kewenangan Jaksa tidak hanya meliputi tugas penuntutan
sebagaimana diatur oleh KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan
terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana yang
bersifat khusus. Jadi, memang benar jika dikatakan bahwa undang-undang yang
memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat khusus, yaitu mengenai kewenangan
jaksa untuk penyidikan dan penuntutan. Perlu juga dipahami, bahwa kewenangan
tersebut tidak bersifat mutlak, karena sekalipun KUHAP yang memuat
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, dapat dikesampingkan berdasarkan
prinsip lex-specialis derogate legi
generali oleh ketentuan undang-undang khusus tersebut. Undang-undang khusus
tersebut juga tidak pernah membatasi kewenangan polisi untuk menyidik tindak
pidana umum maupun tindak pidana khusus. Dengan perkataan lain, tidak pernah
terdapat ketentuan acara pidana yang menyatakan bahwa penyidik Polri tidak
berwenang untuk menyidik suatu tindak pidana apapun.
[1]
Coky T.N. Sinambela, Laurensius Rambe Manalu, Paingot Rambe Manalu, 2010, Hukum
Acara Pidana Dari Segi Pembelaan, cv. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm. 36
[2]
Ibid, hlm. 40
[3]
Al. Wisnubroto, 2005, Pembaharuan Hukum
Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm 64
[4]
Ibid, hlm. 66
[5]
Ibid, hlm. 68-69
[6]
Ibid, hlm. 69-70
[7] Coky T.N.
Sinambela, Laurensius Rambe Manalu, Paingot Rambe Manalu, op.cit., hlm. 122
[8] Ibid,
hlm. 155
[9]
Ibid, hlm. 158
[10]
Ibid, hlm. 159
[11] ibid,
hlm. 174-175
[12] ibid,
hlm. 203
[13] Ibid,
hlm. 205
[14] Ibid,
hlm. 208
[15] Ibid,
hlm. 218
[16] Ibid, hlm.
160
[17]
Lihat BAB IV Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar