Surat Buat Para Pembaca

Plagiarisme atau lebih dikenal dengan plagiat adalah tindakan penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah-olah menjadi karangan dan pendapatnya sendiri tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumbernya, bagi yang melakukannya biasa dikenal dengan sebutan plagiator. Plagiarisme merupakan suatu bentuk kegiatan penjiplakan yang melanggar hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang, hak mana dikenal sebagai Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Oleh karena itu, sangat diharapkan bagi siapapun yang mengunjungi halaman Blog ini kemudian mengambil sebagian atau sepenuhnya tulisan dalam karya ilmiah pada blog ini, mencantumkan sumber tulisan tersebut sesuai dengan yang ada pada kutipan aslinya (footnote/bodynote). Blog ini hanya merupakan sarana berbagi informasi sehingga disarankan agar tidak menggunakan situs halaman blog ini sebagai sumber kutipan tulisan. Terimakasih.

Jumat, 28 November 2014

Pengertian dan Unsur-Unsur Malpraktik





Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan:
Praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik.
Sementara itu kamus inggris-Indonesia  cetakan ke dua belas mengartikan  malpractice atau malpraktik sebagai:[1]
1.    Salah mengobati, cara mengobati pasien yang salah;
2.    Tindakan yang salah
Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa :
Malpraktik adalah setiap sikap/tindak  yang salah, kurang keterampilan dalam ukuran yang tidak wajar. Istilah ini umumnya digunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang mempercayai mereka, termasuk didalamnya adalah sikap-tindak profesi yang salah, kurang keterampilan yang tidak wajar menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk, illegal, atau sikap tindak-amoral.
Veronika dalam bukunya Hukum Etika Dalam Praktik Dokter memberikan defenisi mengenai malpraktik sebagai berikut:[2]
Istilah malpraktik berasal dari malpractice yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanbya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.
Lanjut J. Guwandi menyebutkan bahwa:[3]
Malpraktik adalah istilah yang memiliki konotasi buruk, bersifat stigmatis. Menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan disebut sebagai malpraktik medik.
Sementara itu malpraktik medik menurut Safitri Hariyani mengutip dari pendapat Vortsman dan Hector Treub dan juga atas Rumusan Komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDInya Belanda) adalah :[4]
Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut.
Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir, Malpraktik adalah:
kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).[5] Unsur-unsur malpraktek, yaitu:
1.    Adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan   dalam menjalankan profesinya;
2.    Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3.    Adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia;
4.    Adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
Contoh-contoh malpraktik adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan:
a.    meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;
b.    melupakan keteter di dalam perut pasien;
c.    menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya;
d.    menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;
e.    tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.
 Adapun pemikiran tentang malpraktik itu sendiri antara lain dikemukakan oleh Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI):
para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicecoki obat. Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi.
Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktiki atau bukan, Leenen menyebutkan lima kriteria, seperti yang dikutip  oleh Fred Ameln, yaitu:[6]
1.    Berbuat secara teliti/seksama (zorgvulding hendelen) dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter bertindak onvoorzihteg, tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur-unsur kesalahan; bila ia sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur Culpa Lata;
2.    Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik  (Volgens de medische standaard);
3.    Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie);
4.    Dalam situasi dan konsdisi yang sama (gelijke omstandingheden);
5.    Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis tersebut ( tot het concreat handelingsdoel).
Sungguh tidak mudah menentukan tindakan dokter itu suatu malpraktik atau bukan. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat leenen, menurut Guwandi ada pertanyaan yang harus dijawab:[7]
1.    Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan melakukan demikian?
2.    Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga sebenarnya tidak akan dilakukan oleh teman sejawatnya uang lain;
3.    Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet intentional);?
4.    Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undang-undang?
5.    Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu medical error?
6.    Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)?
7.    Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak dokter?
8.    Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau dibayangkan (foreseability) ?
9.    Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat (inherent risk) pada tindakan medik tersebut?
10. Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena obat-obatan tertentu?

Adami chazawi menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi jika dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang, dengan menimbulkan akibat kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.[8]
Menurut munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolongkan sebagai tindakan malpraktik haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut:[9]
1.    Adanya tindakan dalam arti ”berbuat” atau ”tidak Berbuat” (pengabaian);
2.    Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyelia fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, apotek, dll;
3.    Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi atau juga manajemen kesehatan;
4.    Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
5.    Tindakan tersebut dilakukan secara :
a.    Melanggar hukum dan atau;
b.    Melanggar kepatutan, dan atau;
c.    Melanggar kesusilaan, dan atau
d.    Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
6.    Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati-hatian (kelalaian/kecerobohan);
7.    Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami:
a.    Salah tindak, dan atau;
b.    Rasa sakit, dan atau;
c.    Luka, dan atau;
d.    Cacat, dan atau;
e.    Kematian, dan atau;
f.     Kerusakan pada tubuh dan atau jiwanya, dan atau;
g.    Kerugian lainnya terhadap pasien;








[1] Kamus Inggris Indonesia, John M, Echols dan Hasan Shadilym Cetakan Ke dua belas.
[2] Veronika Komalawati. Op.Cit. hal. 87.
[3] J. Guwandi. Op.Cit. hal. 20.
[4] Safitri Hariyani, Op.Cit. hal. 63.
[5] M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999, hal. 87. 
[6] Fred Ameln, 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya. Jakarta. hal. 87.
[7] J. Guwandi. 2006. Dugaan Malpraktik Medik dan Draft RPP: perjanjian Terapuetik antara Dokter dan Pasien. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. hal. 14.
[8] Adami Chazawi,  Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Dokrtrin Hukum. Bayu Media Publishing. Malang, 2007. hal 5.
[9] Munir Fuadi, 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter). PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta. hal.2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPY HALAMAN

COPY HALAMAN
Copy Page to Word Document

Entri Populer

Flag Counter

Flag Counter